Saturday, February 6, 2016

Yaya Moektio dan Rama Moektio: Like Father, Like Son, Like Drums....





Like Father, Like Son, Like Drums, Like Stage...and what else? Well, sok engres neh. Masih agak lebih baik, dibandingkan dengan...sok tau. Tapi cerita memang mengenai ayah dan anak, yang kebetulan dengan sadar, sehat dan tanpa paksaan dari siapapun, memilih dunia yang sama.

Bukan hal yang terlalu aneh lagi sih sebetulnya. Tagline kece, Like Father Like Son, sudah lumayan sering dipakai saat ini. Yang paling sering adalah, ayah-anak, Benny Likumahuwa dan Barry Likumahuwa. Benny, lebih cenderung multi-instrumentalis dan Barry adalah bass. Benny adalah living-legend, yang jazzer tulen walau dulu juga gabung dengan grup nge-rock. Barry, bassis muda potensial.
Ada pula keluarga lain, ini malah 3 turunan. Yang lebih dikenal ayah Jopie Item, anak Stevie Item. Masih ada kakeknya Stevie, Lodi Item yang tentu saja ayah dari Jopie. Dan adik dari Stevie, RainaldiYaiItem, masih ditambah lainnya, Audy. Yang lelaki itu turun temurun sebagai gitaris semua. Audy lebih dikenal sebagai penyanyi.
Jangan lupa, ada juga keluarga musisi lain. Addie MS, Kevin Aprilio. Masih ditambah emaknya, Memes. Addie MS, dirigen orkestra kesohor. Dulu pianis. Sementara Kevin, kibor dan ya termasuk music director atawa arranger. Memes, adalah penyanyi.
Thomas Ramdhan dan Bounty Ramdhan. Ayah, biasa dipanggil “Samoth”, adalah bassis GIGI. Sementara anaknya, Bounty memilih tidak jadi bassis tapi drummer. Belakangan, Bounty mendukung kelompok rock muda terdepan, Kotak.
Dan satu lagi ah! Ada nama senior dan kawakan, Jelly Tobing dan putranya, Ikmal Tobing. Ini ayah drummer rock kawakan, dengan rekor fenomenalnya, 10 jam nge-drums non-stop, Dan Ikmal, mengikuti jejak sang ayah menjadi drummer pula. Ikmal sekarang mendukung kelompoknya Ahmad Dhani, Triad.

Contoh di atas sudah cukup kan ya? Nah rada mirip dengan bang Jelly dan Ikmal. Ini ada bang Yaya Moektio dan putra kesayangannya, dik Rama Moektio. Sama-sama drummer. Dan keliatannya memang mereka berasal dari keluarga pemusik.
Karena ada adik dari Yaya, pernah menjadi drummer, walau sekarang sudah pensiun dan banting stir menjadi usahawan.
Kakek dari Rama, atau ayah Yaya, apakah juga musisi? Yaya Moektio, yang tetap enerjik dan seru sejak dulu kala, mengatakan, “Ayah gw bukan musisi, tapi bergaul dengan musisi. Bisa main piano, tapi ya main untuk sendiri atau acara keluarga saja sih.”
Yaya Karya Konsepsianto Moektio, begitu nama lengkap sang ayah. Ia ternyata kelahiran Manado, 30 April 1957. “Gw sampai umur sekitar 2 tahun, tinggal di Manado. Babe gw kan dinasnya pindah-pindah, gw ditakdirkan lahir di Menokad. Bagitu, kita lahir di Manado ini...,” canda seru Yaya, dan mencoba berlogat Manado.
Masa kecilnya biasa saja sebetulnya, terutama soal musik. Tapi ketika ayahnya lantas membuka sudio latihan, Yaya kecil mulai mengenal drums. Cerita Yaya, jadi dulu itu di studio ada drums yang mana snare-drumsnya kalau mau dipakai harus dipanasin dulu. “Panasinnya pakai listrik ya, jadi ada colokannya di sisi snare itu. Kalau sudah panas, kulit snare kenceng, baru dimainin,” terangnya.
Lanjutnya, ya harus sering dipanasin, dicolokkin kalau mau dimainin lama snare itu. Jadi, itulah perkenalannya dengan drums. Dari situ, ia mulai tertarik untuk mencoba ikut pukul-pukul drums. “Ya dari nontonin teman-teman ayah yang latihan di studio di rumah itu, gw jadi pengen belajar. Ya lalu belajar aja sendiri.”

Kemudian masih sekolah, dia dapat kesempatan main di sebuah restaurant, dimana atasnya itu nightclub. Klab malam itu dulu terkenal, LCC, di kawasan pusat Jakarta. Selepas sekolah Yaya remaja pergi ke Coca restoran, di bawah LCC. Main di situ. Lanjut ceritanya, lama kelamaan sesekali ia juga main ke atas, “Gw suka gantiin Jimmy Manoppo tuh, sebagai drummer tetap di situ.”
Yaya kemudian menyebut nama seorang tokoh musik kawakan, Sadikin Zuchra. “Pak Sadikin atau pak Ikin itulah guru musik gw yang bener-bener, yang pertama kali. Dia ngajarin banyak hal tentang musik keseluruhan, bukan hanya soal drums. Gw dibentuk oleh beliau. Orangnya tegas tapi sabar dalam ngajarin. Kenalnya ya di klab malam itu, beliau yang pimpin band di restorannya.”
Ia ingat, pertama kali main di restoran itu, tahun 1973. Dari situ ia beberapa tahun kemudian ditarik masuk formasi band Tripod, antara lain ada Deddy Stanzah dan gitaris, Harry Subardja di situ. Grup itu sempat lumayan naik namanya saat itu. Iapun kemudian juga diajak masuk formasi band lain, Blackbird namanya.
Dalam grup “burung hitam” itu, Yaya bersama vokalis mirip Gito Rollies, Sigit Subangun. Gitarisnya, Harry Subardja juga. Dan bassisnya, “Gw lupa namanya, tapi dia anaknya wartawan Aktuil, Denny Sabri.” Blackbird ini malah sempat rekaman satu album, kata Yaya. Tapi selesai album itu, grup ini selesai!
Kok selesai? Semuanya sibuk, berpencar, pada punya band-band lain lagi. “Band jaman itu kan, biasanya ga begitu lama ya. Kayak Tripod kan, walau sempat ngetop, terutama di Bandung tuh, tapi kan ya Deddy ke Superkid dan band-band lain, Harry Subardja bantuin Rawe Rontek. Ya sudah,” kenang Yaya.
Ia juga masuk formasi kelompok rock lain, Silver Train. Masih bersama Deddy Stanzah. Dan kelompok ini sempat menghasilkan album rekaman bertajuk, Gadis Dalam Rock. Selain almarhum Deddy Stanzah, ada pula Harry Minggoes dan gitaris, Agustin dalam kelompok ini.


Jelang akhir 1970-an itu, Yaya juga sempat bergaul dengan anak-anak muda lain di ibukota. Iapun tercatat pernah memimpin sebuah kelompok vokal bernama, Balagadona. Vocal group itu, sempat bersaing dengan Chaseiro pada Lomba Vokal Group Radio Amigos, Jakarta. Dan hasilnya, Chaseiro juara I. Balagadona kalah dong, seru Yaya.
Nah awal 1980-an itulah, Yaya masuk formasi Batara. Ini band yang berisikan Debby Nasution, HarryKudaMinggoes, Odink Nasution dan vokalis, Freddy Tamaela. “Ini cikal bakalnya Cockpit, kita sempat latihan terus, ga main-main. Asli kita latihan saja, sampai sekitar setahunlah. Kita baru main di Balai Sidang Senayan, acara Malam Tahun Baru.”
Begitu show, grup itu ternyata bikin bengong penonton! “Asli bengong. Karena bengong, ya penontonnya pada diam saja. Bengong apa bingung? Beda-beda tipis kayaknya. Saat itu emang kita mainin sudah Genesis, kita ambil album-albumnya yang awal. Penonton baru meledak dan respon gila, setelah Bharata yang main.”
Menurut Yaya, situasi penonton bengong itu, ga lantas membuat grupnya jadi patah semangat! “Kita ya tetap saja mainin Genesis saja, ga peduli. Toh ketika kita selanjutnya main yang kedua, ketiga dan seterusnya, penonton dengan cepat jadi suka, malah lantas ikut menyanyi, rikues lagu segala. Mungkin orang-orang mulai jadi kenal dan suka Genesis.”
Sedikit keterangan mengenai Genesis, salah satu “dewa”-nya musik progressive-rock dunia itu, kalau menyebut era-era awal berarti ngomongin album kayak From Genesis to Revelation (1969), Tresspass (1970), Nursery Crime (1971) lalu Foxtrot (1972) dan album monumental mereka, Selling England by the Pound (1973).

Nah, Yaya sendiri, memang sejak awal sudah menyukai permainan Bill Bruford. Drummer bernama lengkap William Scott Bruford itu, dikenal sejak bermain dengan Yes, dari 1968 sampai 1972. Kemudian ia mendukung Genesis, khusus album livenya Seconds Out dan Three Side Live, di tahun 1976.
“Ya gw suka Bruford, dari dulu. Bruford itu sumber inspirasi utama gw main drums. Lalu ya gw suka dengan drummer lain kayak Stewart Copeland atau ya John Bonham. Bruford drummer gila tuh, begitu juga Copeland, aneh mainnya. Bonham lebih ke power nya.”
Di 1982, Roni Harahap masuk menggantikan Debbie. Barata menjelma menjadi Cockpit. Beberapa tahun kemudian, Harry Kuda mundur, digantikan Raidy Noor. Pada 1990, vokalis Cockpit, Freddy Tamaela meninggal dunia. Vokalis Cockpit pun diisi Ari Safriadi.
Dan bayangkan saja, sudah lebih dari 30 tahun usia Cockpit sampai hari ini. Mereka tetap eksis dan teguh menjadi cover band, atau impersonator dari Genesis. Memang soal itu, mereka tetap terunggul. Kagak ade matinye! Beberapa personil, terus berganti, seperti kibor misalnya. Dimana sempat didukung Krisna Prameswara, lalu sekarang Dave Lumenta. Tapi drummer tetap saja, Yaya Moektio seorang!
Yaya tetap meneruskan Genesis eh Cockpit, bersama Odink Nasution, yang menjadi 2 original member tersisa. Walau Yaya juga sempat mengikuti formasi band lain, seperti Gong 2000 dan kemudian juga God Bless.
Dan kemudian sang anak, Rama Yaya Saputra Moektio, yang lahir di Jakarta pada 1 Desember 1977. Cerita Yaya, ia tak pernah menyuruh Rama menjadi drummer. “Kepengen sih iya, tapi ga ngotot ngarahin. Cuma dari kecil, Rama sudah keliatan nih bakatnya bakal ngikutin gw. Ga terhitung, berapa banyak piring atau gelas, dia pukul-pukul dan praaang, sampai pecah! Biasalah...”
Rama kecil, sebenarnya mirip sang ayah juga. Ia tak pernah belajar secara formal. Awalnya nge-drum ya karena menonton saja ayahnya main drum. Pelan-pelan dia belajar gebak-gebuk sendiri. “Rama ini sih belajar drumnya gw ga tau. Ya studio kosong, dia main-main deh. Ga gw perhatiin. Dan dia juga ga minta ngajarin,” Yaya bercerita lagi.
Dan begitulah, emang bakat turunan. Asli namanya! Ya gimana, sang anakpun juga ketularan suka Genesis. Drummer favoritnya sejak awal memang Phil Collins. Ia juga suka Stewart Copeland. Ia mengakui, mulai menyukai drum memang karena ayahnya dan Genesis.

“Kalau gw emang gimana ya, sungkan nanya-nanya ke bokap deh. Gw belajar sendiri. Gw segan gitu lho ke babe. Padahal ya babe sendiri, tapi gw ga enak nanya-nanya. Jadi belajar sendiri aja,” terang Rama. Sampailah pada satu ketika, ia rekaman dengan kelompok Kharisma.
Nah dalam rekaman itu, Rama melakukan take satu lagu, menghabiskan 2 hari. “Dari situ, gw beraniin minta pengarahan bokap tuh. Dia ga papa dan mau nerangin dan langsung mengarahkan gw. Bokap ngajarin gw, gimana rekaman yang enak dan bagus,” jelas Rama.
“Ya gw cuma bilang ke Rama, kalau rekaman itu jangan didengerin terus. Kalau terus-terusan didengerin, ga akan pernah puas. Maunya kita rubah lagi, rubah lagi. Begitu terus. Ga pernah jadi sempurna. Harus bisa nahan diri, bikin limit aja. Kalau maunya rubah terus, ga bakalan selesai album itu,” Yaya mengatakan itu sambil menengok ke Rama.
Dari situlah, mereka mulai menjadi lebih dekat, khususnya untuk urusan drums. Rama tidak sungkan-sungkan lagi bertanya atau berdiskusi dengan sang ayah. Pesan Yaya, harus selalu ingat filosofinya main drums. “Maksudnya kan tidak asal gebuk dan keras. Bukan itu saja. Rasa juga penting. Drummer itu juga ga boleh sombong,” terang Yaya sambil senyum.
Rama nambahin lagi, kata bapakku itu, jadi drummer itu harus bisa menyenangkan orang lain, rajin sholat dan bersedekah. “Babe itu suka becanda, ngawur tapi bener juga sih intinya. Hahahaha.... soal becanda sih emang dari dulu deh. Babe sering banget ajak gw becanda tuh.”
Pada tahun 1997 itu juga, ayahnya Yaya yang kakeknya Rama, minta ke Yaya secara khusus. “Bokap gw minta tuh, gw main bareng ngedrums berdua dengan Rama. Bokap mau nonton. Wah, gw seneng banget. Ramanya sih pasti gemetaran! Hahahaha... Kejadian deh, pas Cockpit main tuh.”
Itulah saat mereka berdua, ayah dan anak main bareng, double-drums. Setting drums sesuai selera masing-masing. Itu terjadi saat Cockpit show di Bengkel Cafe, di Sudirman. “Dan bokap gw menonton dari ruang mixer di FOH. Dia nonton beneran dan serius. Tegang katanya, tapi abis show itu bokap seneng banget,” kenang Yaya.


Rama memang menghadapi keinginan sang kakek, rada-rada bingung dan pusing juga. “Gw kaget dan kebingungan. Rada ga pede sempet gitu. Tapi bokap ya menenangkan gw, kasih semangat. Kita mainin beberapa lagu saat itu kok. Dan alhamdulillah lancar. Gw tuh main bener-bener konsen, denger musiknya. Ga sempat ngeliat ke bokap, hahahaha...”
Ya buat sang ayah, iapun juga mengakui saat itu, Rama anaknya memang sudah mengikuti jejaknya. “Ya gw pada saat itu cukup puas kok. Rama main baik dan lancar. Kita sempat latihan bareng, hanya berdua. Itu dilakukan pas studio kita kosong,” terang sang ayah.
So, berdua kan sama-sama senang Genesis ya? Album favoritnya apa? Seneng dengan album Genesis yang sama ga? “Gw denger semua album Genesis. Tapi favorit gw sih itu, Three Sides Live. Bokap kayaknya selain Seconds Out, juga suka dengan Foxtrot atau Tresspass. Tapi sama dengan gw kok, bokap sih dengerin semua album Genesis juga,” jawab Rama.
Oh ya, Cockpit memang pernah mempunyai studio sendiri. Studio tersebut berada di kawasan sekitar Blok A, Kebayoran Baru. Di studio itu Cockpit latihan rutin. Mereka juga sempat “melahirkan” grup lain, grup penerus, Cockpit Junior. Yang junior juga mendapat kesempatan latihan di situ. Studio itu lalu menjadi studio umum, yang bisa disewa oleh band-band lain. Tapi studio tersebut sekarang sudah tidak ada lagi.

Yaya hingga kini juga mendengarkan rekaman dan show dari grup-grup sekarang. “Banyak sekali drummer bagus saat ini, terutama di sini ya. Masih muda-muda, mainnya asyik. Karena sarana untuk belajar dan berlatih sekarang tersedia dengan mudahnya kan? Latihan sendiri juga bisa, gampang kok,” ucap Yaya.
Rama juga masih terus berlatih. Ia sempat masuk formasi ADA Band,menggantikan Eel, drummer sebelumnya. Tapi sekarang ia sudah tidak lagi di grup itu. Rama sendiri tercatat mendukung beberapa grup saat ini seperti FoS (Free on Saturday), Legendary CHRISYE : DEKADE Project, Baim Trio. Juga bermain bersama DJ Riri Mestika dan Thomas Ramdhan dalam kelompok RRT.
Seperti juga sang ayah, yang pernah juga berkolaborasi dengan Indra Lesmana dan tampil di sebuah acara konser jazz yang dikoordinir oleh ayahnya Indra, almarhum Jack Lesmana. Ia bermain jazzrock saat itu, dimana Indra dan Yaya didukung oleh AS Mates dan Djoko WH. Konser tersebut diadakan di Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki.
“Waktu itu kita mainin lagu-lagu jazzock banget, diambil dari albumnya Bill Bruford. Wah, pokoknya gw jadi Bruford banget deh. Susah tapi seru banget. Sayang hanya sekali itu saja. Indra yang ngajakin gw dan gw suka-suka aja, ada waktu ya kita main barenglah. Emang bagusnya begitu kan, main kemana-mana, jangan hanya terbatas.”
Tinggal tunggu mungkin, Rama yang juga menyukai Bill Bruford itu, “mengikuti” jejak sang ayah, mencoba tampil berkolaborasi dalam warna jazzrock. “Hahahaha, mau sih. Tapi pasti susah. Dengan Riri dan Thomas kan, itu juga ga ngerock, musiknya beda. Dalam LCDP nya Oleg Sanchabahtiar juga beda lagi, lebih pop tapi progressive gitu.”
Setelah bermain di Bengkel Cafe tersebut, Yaya dan Rama lantas sering bermain bareng berdua. Terutama saat konser Cockpit. Antara lain pernah di Teater Komunitas Salihara, waktu Cockpit memainkan khusus hanya repertoar yang diambil dari Seconds Out.
Mereka berdua juga khusus bermain bareng pada saat LCDP mendapat kesempatan tampil di Java Jazz Festival 2014 silam. Berdua main bareng dengan Fariz RM dan DJ Riri Mestika, selain duo-bassist, Rival Himran dan Leo Maitimu dalam lagu, ‘Serasa’.
Ngemeng-ngemeng, ayah dan anaknya ini pernah nonton konser bareng? “Pernah, waktu itu ga sengaja sih. Di Jakblues, Senayan. Gw nonton sendirian, eh di sana liat ada bokap. Kita nonton bareng Gugun Blues Shelter saat itu,” ucap Rama. Dan ini serunya, sang ayah lupa! “Yang mana ya Ram? Lupa deh. Emang gw nonton juga ya? Blues festival ya? Iya kali....” Dan keduanyapun tertawa lebar.

Yang kompak, dimana mereka memang pergi bersama dan berniat untuk menonton bareng adalah waktu konser Dream Theatre di Jakarta, tahun silam. Mereka berdua kepengen banget lihat drummer Dream Theatre yang baru itu, Mike Mangini. Mereka penasaran melihat drummer yang profesor di Berklee College of Music itu.
“Gw ga terlalu tahu Dream Theatre sih. Ya pernah dengar sesekali, tapi ga tahu dan hafal lagu-lagu mereka. Yang ngajak duluan siapa ya? Rama kayaknya deh. Drummernya keren dan dahsyat, gw jadi penasaran. Ya kita asli nonton berdua, bareng dari awal sampai selesai. Drummer itu dahsyat beneran ternyata,” jelas Yaya menambahkan.
Nah kalau ayah dan anak sama-sama drummer begini, gimana dengan peralatan drumsnya? “Rumah kan sudah sendiri-sendiri, set drums juga punya masing-masing. Tapi suka juga main colong-colongan, hahahahaha. Kalau ada acara, kan suka-suka pengen pakai tomtom drums yang mana gitu, gw mau pakai eh keduluan diambil Rama!” Cerita Yaya, yang lagi-lagi disambut ketawa sang anak.

Soal perabotan drums. Yaya Moektio itu dikenal punya set drums Octaban. Di tahun 1980-an, set octoban yang adalah tom kecil sepintas mirip tifa itu terbilang drums yang nge-trend. Yaya membelinya lewat menitip dibelikan ke CV Kawi, sebuah distributor alat-alat musik terlengkap di era 1970-1990an. Dibeliin di Rodeo Drive, Los Angeles. Kata Yaya, dibelinya ya tahun 1980-an juga.
Kalau Rama gimana? Rama tertawa saja. “Ga punya yang kayak gitu sih. Gw juga ga pernah pinjem octaban itu. Ga boleh...,” tapi Rama tertawa lebar, kayaknya becanda. Sang ayah tertawa lebar juga akhirnya.
Akrab banget memang berdua ini. Dan mereka memang berperan banyak, dalam meramaikan musik Indonesia masa kini, sesuai “peran”nya masing-masing. Ya tentu saja lewat grupnya sendiri-sendiri dong.
Saran NM sih, coba pikirkan bikin album rekaman deh. Seru juga kelesss. Ayah, anak, nge-rock dan main bareng. Tinggal gaet rhythm-section yang asyik dan mantap, bisa jadi album “fenomenal” tuh. Setuju ga? Ah, nanti kapan-kapan biar ayah dan anak itu yang menjawabnya langsung...jawab dengan undang NM liat dan dengar mereka di studio, lagi rekaman! Aha! / dionM


                                  






No comments: