Like Father, Like Son, Like Drums, Like Stage...and what else? Well, sok engres neh. Masih agak lebih baik, dibandingkan dengan...sok tau. Tapi cerita memang mengenai ayah dan anak, yang kebetulan dengan sadar, sehat dan tanpa paksaan dari siapapun, memilih dunia yang sama.
Bukan
hal yang terlalu aneh lagi sih sebetulnya. Tagline
kece, Like Father Like Son, sudah lumayan sering dipakai saat ini. Yang
paling sering adalah, ayah-anak, Benny
Likumahuwa dan Barry Likumahuwa.
Benny, lebih cenderung multi-instrumentalis dan Barry adalah bass. Benny adalah
living-legend, yang jazzer tulen walau
dulu juga gabung dengan grup nge-rock.
Barry, bassis muda potensial.
Ada
pula keluarga lain, ini malah 3 turunan. Yang lebih dikenal ayah Jopie Item, anak Stevie Item. Masih ada kakeknya Stevie, Lodi Item yang tentu saja ayah dari Jopie. Dan adik dari Stevie, Rainaldi “Yai” Item, masih
ditambah lainnya, Audy. Yang lelaki
itu turun temurun sebagai gitaris semua. Audy lebih dikenal sebagai penyanyi.
Jangan
lupa, ada juga keluarga musisi lain. Addie
MS, Kevin Aprilio. Masih
ditambah emaknya, Memes. Addie MS, dirigen orkestra
kesohor. Dulu pianis. Sementara Kevin, kibor dan ya termasuk music director atawa arranger. Memes, adalah penyanyi.
Thomas Ramdhan dan
Bounty Ramdhan. Ayah, biasa
dipanggil “Samoth”, adalah bassis GIGI.
Sementara anaknya, Bounty memilih tidak jadi bassis tapi drummer. Belakangan,
Bounty mendukung kelompok rock muda terdepan, Kotak.
Dan
satu lagi ah! Ada nama senior dan kawakan, Jelly
Tobing dan putranya, Ikmal Tobing.
Ini ayah drummer rock kawakan, dengan rekor fenomenalnya, 10 jam nge-drums non-stop, Dan Ikmal, mengikuti jejak
sang ayah menjadi drummer pula. Ikmal sekarang mendukung kelompoknya Ahmad
Dhani, Triad.
Contoh
di atas sudah cukup kan ya? Nah rada mirip dengan bang Jelly dan Ikmal. Ini ada bang Yaya Moektio dan putra kesayangannya, dik Rama Moektio.
Sama-sama drummer. Dan keliatannya memang mereka berasal dari keluarga pemusik.
Karena
ada adik dari Yaya, pernah menjadi drummer, walau sekarang sudah pensiun dan
banting stir menjadi usahawan.
Kakek
dari Rama, atau ayah Yaya, apakah juga musisi? Yaya Moektio, yang tetap enerjik
dan seru sejak dulu kala, mengatakan, “Ayah gw
bukan musisi, tapi bergaul dengan musisi. Bisa main piano, tapi ya main untuk
sendiri atau acara keluarga saja sih.”
Yaya
Karya Konsepsianto Moektio, begitu nama lengkap sang ayah. Ia ternyata
kelahiran Manado, 30 April 1957. “Gw sampai umur sekitar 2 tahun, tinggal di
Manado. Babe gw kan dinasnya
pindah-pindah, gw ditakdirkan lahir di Menokad.
Bagitu, kita lahir di Manado ini...,” canda seru Yaya, dan mencoba berlogat
Manado.
Masa
kecilnya biasa saja sebetulnya, terutama soal musik. Tapi ketika ayahnya lantas
membuka sudio latihan, Yaya kecil mulai mengenal drums. Cerita Yaya, jadi dulu
itu di studio ada drums yang mana snare-drumsnya
kalau mau dipakai harus dipanasin
dulu. “Panasinnya pakai listrik ya, jadi ada colokannya di sisi snare itu. Kalau sudah panas, kulit snare kenceng, baru dimainin,” terangnya.
Lanjutnya,
ya harus sering dipanasin, dicolokkin kalau mau dimainin lama snare itu. Jadi,
itulah perkenalannya dengan drums. Dari situ, ia mulai tertarik untuk mencoba
ikut pukul-pukul drums. “Ya dari nontonin teman-teman ayah yang latihan di
studio di rumah itu, gw jadi pengen belajar. Ya lalu belajar aja sendiri.”
Kemudian
masih sekolah, dia dapat kesempatan main di sebuah restaurant, dimana atasnya
itu nightclub. Klab malam itu dulu terkenal, LCC, di kawasan pusat Jakarta.
Selepas sekolah Yaya remaja pergi ke Coca restoran, di bawah LCC. Main di situ.
Lanjut ceritanya, lama kelamaan sesekali ia juga main ke atas, “Gw suka gantiin
Jimmy Manoppo tuh, sebagai drummer tetap di situ.”
Yaya
kemudian menyebut nama seorang tokoh musik kawakan, Sadikin Zuchra. “Pak Sadikin atau pak Ikin itulah guru musik gw
yang bener-bener, yang pertama kali. Dia ngajarin banyak hal tentang musik
keseluruhan, bukan hanya soal drums. Gw dibentuk oleh beliau. Orangnya tegas
tapi sabar dalam ngajarin. Kenalnya ya di klab malam itu, beliau yang pimpin
band di restorannya.”
Ia
ingat, pertama kali main di restoran itu, tahun 1973. Dari situ ia beberapa
tahun kemudian ditarik masuk formasi band Tripod,
antara lain ada Deddy Stanzah dan
gitaris, Harry Subardja di situ.
Grup itu sempat lumayan naik namanya saat itu. Iapun kemudian juga diajak masuk
formasi band lain, Blackbird
namanya.
Dalam
grup “burung hitam” itu, Yaya bersama vokalis mirip Gito Rollies, Sigit Subangun. Gitarisnya, Harry
Subardja juga. Dan bassisnya, “Gw lupa namanya, tapi dia anaknya wartawan
Aktuil, Denny Sabri.” Blackbird ini
malah sempat rekaman satu album, kata Yaya. Tapi selesai album itu, grup ini
selesai!
Kok
selesai? Semuanya sibuk, berpencar, pada punya band-band lain lagi. “Band jaman
itu kan, biasanya ga begitu lama ya. Kayak Tripod kan, walau sempat ngetop,
terutama di Bandung tuh, tapi kan ya Deddy ke Superkid dan band-band lain,
Harry Subardja bantuin Rawe Rontek.
Ya sudah,” kenang Yaya.
Ia
juga masuk formasi kelompok rock lain, Silver
Train. Masih bersama Deddy Stanzah. Dan kelompok ini sempat menghasilkan
album rekaman bertajuk, Gadis Dalam Rock.
Selain almarhum Deddy Stanzah, ada pula Harry Minggoes dan gitaris, Agustin
dalam kelompok ini.
Jelang
akhir 1970-an itu, Yaya juga sempat bergaul dengan anak-anak muda lain di
ibukota. Iapun tercatat pernah memimpin sebuah kelompok vokal bernama, Balagadona. Vocal group itu, sempat
bersaing dengan Chaseiro pada Lomba
Vokal Group Radio Amigos, Jakarta. Dan hasilnya, Chaseiro juara I. Balagadona
kalah dong, seru Yaya.
Nah
awal 1980-an itulah, Yaya masuk formasi Batara.
Ini band yang berisikan Debby Nasution,
Harry “Kuda” Minggoes, Odink Nasution dan vokalis, Freddy Tamaela. “Ini cikal bakalnya Cockpit, kita sempat latihan terus, ga
main-main. Asli kita latihan saja, sampai sekitar setahunlah. Kita baru main di
Balai Sidang Senayan, acara Malam Tahun Baru.”
Begitu
show, grup itu ternyata bikin bengong penonton! “Asli bengong. Karena bengong,
ya penontonnya pada diam saja. Bengong apa bingung? Beda-beda tipis kayaknya.
Saat itu emang kita mainin sudah Genesis, kita ambil album-albumnya yang awal.
Penonton baru meledak dan respon gila, setelah Bharata yang main.”
Menurut
Yaya, situasi penonton bengong itu, ga lantas membuat grupnya jadi patah
semangat! “Kita ya tetap saja mainin Genesis saja, ga peduli. Toh ketika kita selanjutnya main yang kedua, ketiga dan
seterusnya, penonton dengan cepat jadi suka, malah lantas ikut menyanyi, rikues
lagu segala. Mungkin orang-orang mulai jadi kenal dan suka Genesis.”
Sedikit
keterangan mengenai Genesis, salah satu “dewa”-nya musik progressive-rock dunia itu, kalau menyebut era-era awal berarti
ngomongin album kayak From Genesis to
Revelation (1969), Tresspass (1970),
Nursery Crime (1971) lalu Foxtrot (1972) dan album monumental
mereka, Selling England by the Pound
(1973).
Nah,
Yaya sendiri, memang sejak awal sudah menyukai permainan Bill Bruford. Drummer bernama lengkap William Scott Bruford itu,
dikenal sejak bermain dengan Yes,
dari 1968 sampai 1972. Kemudian ia mendukung Genesis, khusus album livenya Seconds Out dan Three Side
Live, di tahun 1976.
“Ya
gw suka Bruford, dari dulu. Bruford itu sumber inspirasi utama gw main drums.
Lalu ya gw suka dengan drummer lain kayak Stewart
Copeland atau ya John Bonham.
Bruford drummer gila tuh, begitu juga Copeland, aneh mainnya. Bonham lebih ke power nya.”
Di
1982, Roni Harahap masuk
menggantikan Debbie. Barata menjelma menjadi Cockpit. Beberapa tahun kemudian,
Harry Kuda mundur, digantikan Raidy Noor.
Pada 1990, vokalis Cockpit, Freddy Tamaela meninggal dunia. Vokalis Cockpit pun
diisi Ari Safriadi.
Dan
bayangkan saja, sudah lebih dari 30 tahun usia Cockpit sampai hari ini. Mereka
tetap eksis dan teguh menjadi cover band,
atau impersonator dari Genesis. Memang soal itu, mereka tetap terunggul. Kagak ade matinye! Beberapa personil,
terus berganti, seperti kibor misalnya. Dimana sempat didukung Krisna Prameswara, lalu sekarang Dave Lumenta. Tapi drummer tetap saja,
Yaya Moektio seorang!
Yaya
tetap meneruskan Genesis eh Cockpit, bersama Odink Nasution, yang menjadi 2 original member tersisa. Walau Yaya juga
sempat mengikuti formasi band lain, seperti Gong 2000 dan kemudian juga God
Bless.
Dan
kemudian sang anak, Rama Yaya Saputra
Moektio, yang lahir di Jakarta pada 1 Desember 1977. Cerita Yaya, ia tak
pernah menyuruh Rama menjadi drummer. “Kepengen sih iya, tapi ga ngotot
ngarahin. Cuma dari kecil, Rama sudah keliatan nih bakatnya bakal ngikutin gw.
Ga terhitung, berapa banyak piring atau gelas, dia pukul-pukul dan praaang, sampai pecah! Biasalah...”
Rama
kecil, sebenarnya mirip sang ayah juga. Ia tak pernah belajar secara formal.
Awalnya nge-drum ya karena menonton saja ayahnya main drum. Pelan-pelan dia
belajar gebak-gebuk sendiri. “Rama ini sih belajar drumnya gw ga tau. Ya studio
kosong, dia main-main deh. Ga gw perhatiin. Dan dia juga ga minta ngajarin,”
Yaya bercerita lagi.
Dan
begitulah, emang bakat turunan. Asli namanya! Ya gimana, sang anakpun juga
ketularan suka Genesis. Drummer favoritnya sejak awal memang Phil Collins. Ia
juga suka Stewart Copeland. Ia mengakui, mulai menyukai drum memang karena
ayahnya dan Genesis.
“Kalau
gw emang gimana ya, sungkan nanya-nanya ke bokap deh. Gw belajar sendiri. Gw
segan gitu lho ke babe. Padahal ya babe sendiri, tapi gw ga enak nanya-nanya.
Jadi belajar sendiri aja,” terang Rama. Sampailah pada satu ketika, ia rekaman
dengan kelompok Kharisma.
Nah
dalam rekaman itu, Rama melakukan take satu lagu, menghabiskan 2 hari. “Dari
situ, gw beraniin minta pengarahan bokap tuh. Dia ga papa dan mau nerangin dan
langsung mengarahkan gw. Bokap ngajarin gw, gimana rekaman yang enak dan
bagus,” jelas Rama.
“Ya
gw cuma bilang ke Rama, kalau rekaman itu jangan didengerin terus. Kalau
terus-terusan didengerin, ga akan pernah puas. Maunya kita rubah lagi, rubah
lagi. Begitu terus. Ga pernah jadi sempurna. Harus bisa nahan diri, bikin limit
aja. Kalau maunya rubah terus, ga bakalan selesai album itu,” Yaya mengatakan
itu sambil menengok ke Rama.
Dari
situlah, mereka mulai menjadi lebih dekat, khususnya untuk urusan drums. Rama
tidak sungkan-sungkan lagi bertanya atau berdiskusi dengan sang ayah. Pesan
Yaya, harus selalu ingat filosofinya main drums. “Maksudnya kan tidak asal
gebuk dan keras. Bukan itu saja. Rasa juga penting. Drummer itu juga ga boleh
sombong,” terang Yaya sambil senyum.
Rama
nambahin lagi, kata bapakku itu, jadi drummer itu harus bisa menyenangkan orang
lain, rajin sholat dan bersedekah. “Babe itu suka becanda, ngawur tapi bener
juga sih intinya. Hahahaha.... soal becanda sih emang dari dulu deh. Babe
sering banget ajak gw becanda tuh.”
Pada
tahun 1997 itu juga, ayahnya Yaya yang kakeknya Rama, minta ke Yaya secara
khusus. “Bokap gw minta tuh, gw main bareng ngedrums berdua dengan Rama. Bokap
mau nonton. Wah, gw seneng banget. Ramanya sih pasti gemetaran! Hahahaha...
Kejadian deh, pas Cockpit main tuh.”
Itulah
saat mereka berdua, ayah dan anak main bareng, double-drums. Setting drums sesuai selera masing-masing. Itu
terjadi saat Cockpit show di Bengkel Cafe, di Sudirman. “Dan bokap gw menonton
dari ruang mixer di FOH. Dia nonton beneran
dan serius. Tegang katanya, tapi abis show itu bokap seneng banget,” kenang
Yaya.
Rama
memang menghadapi keinginan sang kakek, rada-rada bingung dan pusing juga. “Gw
kaget dan kebingungan. Rada ga pede sempet gitu. Tapi bokap ya menenangkan gw,
kasih semangat. Kita mainin beberapa lagu saat itu kok. Dan alhamdulillah
lancar. Gw tuh main bener-bener konsen, denger musiknya. Ga sempat ngeliat ke
bokap, hahahaha...”
Ya
buat sang ayah, iapun juga mengakui saat itu, Rama anaknya memang sudah
mengikuti jejaknya. “Ya gw pada saat itu cukup puas kok. Rama main baik dan
lancar. Kita sempat latihan bareng, hanya berdua. Itu dilakukan pas studio kita
kosong,” terang sang ayah.
So,
berdua kan sama-sama senang Genesis ya? Album favoritnya apa? Seneng dengan
album Genesis yang sama ga? “Gw denger semua album Genesis. Tapi favorit gw sih
itu, Three Sides Live. Bokap
kayaknya selain Seconds Out, juga suka dengan Foxtrot atau Tresspass. Tapi sama
dengan gw kok, bokap sih dengerin semua album Genesis juga,” jawab Rama.
Oh
ya, Cockpit memang pernah mempunyai studio sendiri. Studio tersebut berada di
kawasan sekitar Blok A, Kebayoran Baru. Di studio itu Cockpit latihan rutin.
Mereka juga sempat “melahirkan” grup lain, grup penerus, Cockpit Junior. Yang
junior juga mendapat kesempatan latihan di situ. Studio itu lalu menjadi studio
umum, yang bisa disewa oleh band-band lain. Tapi studio tersebut sekarang sudah
tidak ada lagi.
Yaya
hingga kini juga mendengarkan rekaman dan show dari grup-grup sekarang. “Banyak
sekali drummer bagus saat ini, terutama di sini ya. Masih muda-muda, mainnya
asyik. Karena sarana untuk belajar dan berlatih sekarang tersedia dengan
mudahnya kan? Latihan sendiri juga bisa, gampang kok,” ucap Yaya.
Rama
juga masih terus berlatih. Ia sempat masuk formasi ADA Band,menggantikan Eel, drummer sebelumnya. Tapi sekarang ia
sudah tidak lagi di grup itu. Rama sendiri tercatat mendukung beberapa grup
saat ini seperti FoS (Free on Saturday),
Legendary CHRISYE : DEKADE Project, Baim Trio. Juga bermain bersama DJ Riri Mestika dan Thomas Ramdhan dalam kelompok RRT.
Seperti
juga sang ayah, yang pernah juga berkolaborasi dengan Indra Lesmana dan tampil di sebuah acara konser jazz yang
dikoordinir oleh ayahnya Indra, almarhum Jack
Lesmana. Ia bermain jazzrock saat itu, dimana Indra dan Yaya didukung oleh AS Mates dan Djoko WH. Konser tersebut diadakan di Graha Bhakti Budaya, Taman
Ismail Marzuki.
“Waktu
itu kita mainin lagu-lagu jazzock banget, diambil dari albumnya Bill Bruford.
Wah, pokoknya gw jadi Bruford banget deh. Susah tapi seru banget. Sayang hanya
sekali itu saja. Indra yang ngajakin gw dan gw suka-suka aja, ada waktu ya kita
main barenglah. Emang bagusnya begitu kan, main kemana-mana, jangan hanya
terbatas.”
Tinggal
tunggu mungkin, Rama yang juga menyukai Bill Bruford itu, “mengikuti” jejak
sang ayah, mencoba tampil berkolaborasi dalam warna jazzrock. “Hahahaha, mau
sih. Tapi pasti susah. Dengan Riri dan Thomas kan, itu juga ga ngerock,
musiknya beda. Dalam LCDP nya Oleg Sanchabahtiar juga beda lagi, lebih pop
tapi progressive gitu.”
Setelah
bermain di Bengkel Cafe tersebut, Yaya dan Rama lantas sering bermain bareng
berdua. Terutama saat konser Cockpit. Antara lain pernah di Teater Komunitas
Salihara, waktu Cockpit memainkan khusus hanya repertoar yang diambil dari
Seconds Out.
Mereka
berdua juga khusus bermain bareng pada saat LCDP mendapat kesempatan tampil di Java
Jazz Festival 2014 silam. Berdua main bareng dengan Fariz RM dan DJ Riri Mestika, selain duo-bassist, Rival Himran
dan Leo Maitimu dalam lagu, ‘Serasa’.
Ngemeng-ngemeng,
ayah dan anaknya ini pernah nonton konser bareng? “Pernah, waktu itu ga sengaja
sih. Di Jakblues, Senayan. Gw nonton sendirian, eh di sana liat ada bokap. Kita
nonton bareng Gugun Blues Shelter saat itu,” ucap Rama. Dan ini serunya, sang
ayah lupa! “Yang mana ya Ram? Lupa deh. Emang gw nonton juga ya? Blues festival
ya? Iya kali....” Dan keduanyapun tertawa lebar.
Yang
kompak, dimana mereka memang pergi bersama dan berniat untuk menonton bareng
adalah waktu konser Dream Theatre di
Jakarta, tahun silam. Mereka berdua kepengen banget lihat drummer Dream Theatre
yang baru itu, Mike Mangini. Mereka
penasaran melihat drummer yang profesor di Berklee College of Music itu.
“Gw
ga terlalu tahu Dream Theatre sih. Ya pernah dengar sesekali, tapi ga tahu dan
hafal lagu-lagu mereka. Yang ngajak duluan siapa ya? Rama kayaknya deh.
Drummernya keren dan dahsyat, gw jadi penasaran. Ya kita asli nonton berdua,
bareng dari awal sampai selesai. Drummer itu dahsyat beneran ternyata,” jelas
Yaya menambahkan.
Nah
kalau ayah dan anak sama-sama drummer begini, gimana dengan peralatan drumsnya?
“Rumah kan sudah sendiri-sendiri, set drums juga punya masing-masing. Tapi suka
juga main colong-colongan, hahahahaha. Kalau ada acara, kan suka-suka pengen
pakai tomtom drums yang mana gitu, gw
mau pakai eh keduluan diambil Rama!” Cerita Yaya, yang lagi-lagi disambut
ketawa sang anak.
Soal
perabotan drums. Yaya Moektio itu dikenal punya set drums Octaban. Di tahun
1980-an, set octoban yang adalah tom kecil sepintas mirip tifa itu terbilang
drums yang nge-trend. Yaya membelinya lewat menitip dibelikan ke CV Kawi,
sebuah distributor alat-alat musik terlengkap di era 1970-1990an. Dibeliin di
Rodeo Drive, Los Angeles. Kata Yaya, dibelinya ya tahun 1980-an juga.
Kalau
Rama gimana? Rama tertawa saja. “Ga punya yang kayak gitu sih. Gw juga ga
pernah pinjem octaban itu. Ga boleh...,” tapi Rama tertawa lebar, kayaknya
becanda. Sang ayah tertawa lebar juga akhirnya.
Akrab
banget memang berdua ini. Dan mereka memang berperan banyak, dalam meramaikan
musik Indonesia masa kini, sesuai “peran”nya masing-masing. Ya tentu saja lewat
grupnya sendiri-sendiri dong.
Saran
NM sih, coba pikirkan bikin album rekaman deh. Seru juga kelesss. Ayah, anak,
nge-rock dan main bareng. Tinggal gaet rhythm-section
yang asyik dan mantap, bisa jadi album “fenomenal” tuh. Setuju ga? Ah, nanti
kapan-kapan biar ayah dan anak itu yang menjawabnya langsung...jawab dengan
undang NM liat dan dengar mereka di studio, lagi rekaman! Aha! / dionM
No comments:
Post a Comment