Monday, April 15, 2019

Memotret Jokowi Lagi, Setelah 7 tahun!





Dan kesempatan itu datang juga. Secara tiba-tiba dan awalnya tak sadar juga. Saya bisa memotret lagi beliau, dari jarak relatif dekat. Luckily! Got that chance after about  7 years ago, setelah saya memotret beliau “terakhir” di Solo, tahun 2012.
Itu adalah kesempatan memotret beliau, yang tampil meresmikan Solo City Jazz. Kan festival jazz khasnya Solo itu, saya ikut membidani, ngerjain, ikutan capek-capek dari awal banget. Dan kebetulan, festival itu mendapat restu secara langsung dari beliau. Yang menyambut hangat rencana, dengan konsep detail dari saya. Bersama-sama Wenny Purwanti, dari C-Pro Jakarta. Dimana ada Indrawan Ibonk juga di dalamnya.
Ya senenglah. Tentu saja. Bisa memotret lagi orang yang saya kagumi dan hormati. Yang pernah saya kenal dan kerapkali bertemu sejak 2009 di kota Solo. Sedari awal, waktu di Solo, saya sudah terheran-heran dibuatnya. Ini beda banget dengan pejabat-pejabat daerah di kota-kota lain, yang pernah saya jumpai.
Apa bedanya? Sudahlah, biar untuk pengalaman hidup saya saja ya. Terlalu banyak dan panjang untuk diceritain, bray.




Jadi kesempatan itu memang, ini kata teman saya, ya pasrahin jangan ngoyo. Ga ngoyo memang, kalau saya, ditemani istri mencoba merangsek maju terus. Menembus puluhan ribu orang yang memadati areal lapangan utama, Gelora Bung Karno.
Ga berasa cuy. Lha maju dan maju terus, pelan tapi pasti. Dan saat beliau datang, berpidato, jaraknya dari tempat saya, lumayaaaannn bray! Lumayan banget. Dan hanya bisa nyiapin kamera sebisa-bisanya. Terhimpit-himpit sih. Tapi ya saya ga mau kehilangan momen.
Padahal panas menyengat, walau sesaat hampir saja hujan. Panas, adem, panas. Tetapi hawa di tengah himpitan ribuan orang yang berdesak-desakkan rapat itu, aduh .... mana tahaaaan!
Istri saya, sibuk dengan hape-nya, mengambil momen dengan video. Saya memotret, memanfaatkan sebisa mungkin ruang-ruang bidik yang sempit. Sempit, dan kerapkali terganggu, tangan-tangan yang menaikkan handphone-handphonenya masing-masing. Belum lagi, bendera-bendera kecil segala.
Ga sempat lagi mengganti-ganti lensa. Ga juga sempat, memakai hape misalnya. Sudah, jepret saja “seadanya”. Dimana saya memakai kamera dengan lensa tele-zoom, 70-300mm yang standar saja. Ga mampu beli lensa yang premiumlah....
Tapi saya senang. Sukacita. Seperti juga, dengan penuh rasa sukacita, berdasarkan cinta dan kekaguman, yang membuat saya dan istri antusias untuk hadir di Gelora Bung Karno siang itu. Apa ya, kami memang kadung cinta sih dengan sosok beliau....
Seperti juga sahabat baik kami, Nini Sunny dan Karmila Syarif. Kami berempat memang sepakat datang barengan ke GBK. Kayaknya kami memang harus datang. Siap banget menjadi bagian dari sebuah “pesta rakyat” yang, mungkin ya, yang terbesar. Terbesar, paling tidak dari apa yang telah pernah kami ikuti atau hadiri selama ini.
Cukup puas. Walau akhirnya, beliau belum selesai berpidato sore itu, kami berdua sudah beringsut pelan mundur. Ga kuat juga cuy, soalnya panasnya itu. Belum lagi, sorot matahari sore itu pas banget ke wajah kami!
Padahal pengen betul sebenarnya, menjepret duo pilihan kami. Joko Widodo dan Ma’ruf Amin. Sayang,fisik kami drop euy. Jadi mundur, padahal tak berapa lama ketika kami mundur, pak Kiai Maruf Amin lantas mendampingi pak Jokowi, dan ditemani pula oleh pak Jusuf Kalla. Ah!






Tapi sudahlah. Saya bersyukur banget bisa memperoleh momen “tak sengaja” sore itu. Angle atau ruang bidik itu,gimana ya, saya ga bisa masuk lewat backstage. Ga sukses memperoleh backstage-pass, ataupun macam ID untuk all acess. Ya gagal aja.
Tetapi “berkah”nya ternyata ya, dapatnya malah sudut pengambilan yang lebih dekat dari arah depan.Memang kudu berjuang sih.Tetapi aduh, nikmatnya euy. Senangnya tak terkira, saudara-saudaraku sekalian. Sulitlah digambarkan dengan kata-kata....
Makin terkagum-kagum saja. Beliau tak berubah dari sosok seorang Walikota, yang saya kenal dan kerapkali berjumpa di sekitar 7-10 tahun lalu itu. Walikota Solo yang lalu menjadi Gubernur DKI Jaya. Dan kemarin, ia berdiri sebagai Presiden Republik Indonesia. Yang tengah “didorong” untuk kembali menjadi Presiden, untuk periode kedua.
Pak Jokowi, semoga Tuhan selalu bersertamu. Semoga Semesta mendukung segala apa yang telah bapak kerjakan dan hasilkan selama ini.  Buat saya, juga istri saya, dan tentunya juga ada puluhan juta warga masyarakat lainnya, bapak adalah orang baik yang terbaik. Untuk menjadi pemimpin lagi Indonesia, menuju Indonesia yang lebih baik dan lebih baik lagi.
Saya hanya bisa memastikan dalam diri saya, ... Pak, saya siap sedia berdiri menjagamu, berjajar mengawalmu pak. Bersama jutaan orang lain yang memilihmu karena cinta! Kami optimis, Indonesia Maju di bawah kepimpimpinan bapak lagi kelak! /*









Tuesday, April 2, 2019

12 Tahun Setelah Chrisye Pergi....


Ia telah pergi, kembali ke sang pencipta nan agung, 30 Maret 2007. Usianya masih terbilang relatif muda, waktu ia pergi keabadiannya, 57 tahun. Begitu cepatnya ia pergi. Tetapi ia meninggalkan warisan setumpuk lagu-lagu hits, yang akan dikenang sepanjang masa.
Lagu-lagunya terus mengisi hari-hari kehidupan begitu banyak orang. Suaranya tetap saja berkumandang dimana-mana, sampai hari ini, dua belas tahun setelah kepergiannya. Dan Chrismansyah Rahadi, yang begitu populernya dengan nama pendek, Chrisye, akhirnya menjadi seorang penyanyi pria yang bisa disebut yang tersukses selama ini.
Ia punya lagu yang pas, musik yang apik. Dan lebih daripada itu, ia memiliki suara yang sangat khas. Dimana suara yang berciri khas itulah, yang sulit di”tiru” oleh penyanyi-penyanyi pria lainnya. Itu salah satu kendala paling penting, bahwasanya kalau menyanyikan lagu Chrisye, jangan coba-coba meniru persis suara Chrisye.
Semaksimal mungkin berdaya upaya, tetapi hasil akhirnya, biasanya sih, bukan melenakan pendengar atau penonton, malah...mengganggu kenikmatan! Bisa terasa macam, ini kok gatel kuping kita ya? Itu salah satu keunggulan utama sosok seorang Chrisye.
Dan karena itulah, lantas muncul sebuah komunitas kecil.  Yang terdiri dari para “Chrisye lovers”. Yang bukan semata-mata pencinta saja, tetapi lebih sebagai sekumpulan orang, dari pelbagai profesinya, yang menaruh respek dan apresiasi tinggi atas Chrisye dan lagu-lagunya. Juga memberi hormat pada perjalanan hidup sang legenda itu.
Komunitas Kangen Chrisye namanya. Dan saya juga ada lho di dalamnya. Dan saban setahun sekali, K2C ini punya gawean. Sebenarnya lebih berupa arena silaturahmi saja, gathering lah bahasa kerennya. Cuma bukan sekedar kumpul-kumpul.
Silaturahmi lalu, merilis buku. Sudah ada beberapa buku dirilis sejauh ini. Yang dicetak dan disebarluaskan bukan untuk komersial. Lebih sebagai mengingat, melestarikan, memelihara terus kenangan-kenangan dengan sosok almarhum, suara dan tentu saja, dengan lagu dan musiknya yang terasa abadi dan tak lekang dimakan zaman itu.
Buku-buku tersebut adalah Chrisye, Kesan di Mata Media, Sahabat dan Fans (rilis 2012). Kemudian 10 Tahun Setelah Chrisye Pergi (Ekspresi Kangen Penggemar) (2017). Ketiga, 11 Tahun Kangen Chrisye (Kumpulan Tulisan Jurnalis Tentang Chrisye, dirilis tahun 2018).
Adalah seorang Ferry Mursyidan Baldan, yang sejatinya politikus,yang memberi perhatian ekstra pada almarhum Chrisye. Tak menampik kalau disebut ia pencinta Chrisye, yang sudah dekat sejak Chrisye masih ada.
Karena kedekatannya tersebutlah, timbul respek tingginya. Dan saat Chrisye, Ferry merasa sangat kehilangan. Seperti juga yang dirasakan oleh jutaan penggemar Chrisye lainnya. Dan lantas membuatnya berinisiatif  mengajak sahabat-sahabatnya, yang dikenalnya baik dan sama-sama menyukai Chrisye, untuk membentuk sebuah komunitas.
Pada 2018 lalu, Ferry Mursyidan Baldan dan Yanti Chrisye
Ferry kemudian giat juga mengumpulkan pelbagai pernak-pernik tentang Chrisye. Di waktu mendatang, ia berencana untuk bisa mendirikan sebuah museum kecil, yang berisikan berbagai memorabilia terkait Chrisye. Nantinya, itu akan menjadi hotspot-nya penggemar Chrisye secara keseluruhan.
K2C dibentuk sejak 30 Maret 2012, dan selain Ferry Mursyidan Baldan sebagai penggagas dan pendiri sekaligus ketua, K2C terdiri dari beberapa penulis musik atau wartawan. Juga fotografer dan termasuk pula profesional di bidang show management. Maka tak heran, selalu ada event kecil di setiap 30 Maret.
Wadah ini adalah murni non profit dan tak boleh menjadi alat politik, begitu digariskan oleh Ferry Mursyidan Baldan. Ini murni berbuat untuk dan atas nama Chrisye, dan tentu saja sepengetahuan dan diijinkan pihak keluarga Chrisye, demikian dijelaskan Ferry lagi.
Kegiatan yang kecil dan sederhana, menjadi agenda tetap K2C, setiap tanggal kepergian almarhum dan pada tiap 1 September, hari kelahirannya. Acaranya bisa berupa berziarah bersama ke makam almarhum lalu dilanjutkan pengajian bersama anak yatim, selepas Maghrib.
Bisa juga berlanjut dengan, bersama-sama mendengarkan lagu-lagu Chrisye, bisa lewat CD. Atau merikues band di kafe, menyanyikan lagu-lagu sang legenda itu, bila memang memilih nongkrong dan ngopi bareng di kafe, tambah Ferry.
Khusus memperingati kepergian Chrisye di tahun 2019 ini, diadakan pementasan Legend of Love, Tribute to Chrisye di panggung Pasar Seni Jaya Ancol. Bekerjasama dengan Pasar Seni Ancol dan  Jakarta Melayu Festival.
Jadinya adalah sebuah upaya memberikan warna lain pada sajian lagu-lagu memorable dari Chrisye. Yaitu upaya mencoba memberi sentuhan khas musik Melayu. Sebuah gagasan yang unik.
Walau pada implementasinya, bukanlah hal mudah. Mengingat sebagian besar lagu-lagu yang dipopulerkan Chrisye itu, baukanlah musik yang “mudah”. Apalagi lagu-lagu itu sudah amat lekat dengan musiknya. Mencoba membungkusnya dengan musik yang berbeda, selain tidak mudah juga rada beresiko sebenarnya.

Acara kemarin itu menampilkan banyak penyanyi yang menjadi langganan pengisi acara Jakarta Melayu Festival.seperti Nong Niken, Darmansyah, Alfin Habib, Tom Salimin dan Takaeda, serta Eri Susan, Shena Malsiana.
Selain itu, dimeriahkan pula oleh penyanyi populer yang telah lumayan dikenal, Bonita. Putri entertainer kawakan Koes Hendratmo itu, seperti diselipkan  untuk memberikan tambahan warna yang spesifik pada sajian musik malam itu. Muncul juga violis, Henri Lamiri, yang mendukung grup band Seroja, sebagai pengiring.
Dalam kesempatan malam itu, diserahkan juga tanda mata berupa sebuah lukisan, karya seniman Pasar Seni Ancol, pelukis Prawoto. Lukisan wajah Chrisye itu diserahkan oleh pihak Pasar Seni Ancol, dan diterimakan oleh saya, sebagai wakil dari K2C dan keluarga almarhum Chrisye.Kemarin, Yanti Chrisye, istri almarhum, tak dapat hadir..



Chrisye memang sejatinya tak pernah hilang. Segenap kegiatan yang dilakukan K2C, adalah bukti bahwasanya kepedulian, penghargaan dan kecintaan terhadap almarhum tak pernah habis.
Buat Ferry pribadi, semua lagu Chrisye mempunyai keindahan dan kelembutan. Mendengarkan lagu-lagu Chrisye tak pernah bosan, karena selalu menimbulkan rasa bahagia.
Pada waktu selanjutnya, diharapkan memang lagu-lagu dan musik-musik indah yang diedarkan pada masa-masa lalu, tetap akan dapat terdengar sepanjang masa. Selain didengar dan dinikmati, tentunya juga dapat memberi apresiasi yang tinggi pada penyanyi-penyanyinya. Termasuk juga penulis lagu dan para pemusiknya.
Lagu-lagu itu menjadi bagian penting dalam sejarah kehidupan begitu banyak orang. Tak hanya Chrisye memang, ada nama-nama lain yang mewarnai masa-masa muda banyak sekali orang. Sekaligus menjadi inspirasi dasar bagi perjalanan musik Indonesia,  memberi pengaruh positif bagi karya-karya musisi generasi berikut, pada masa-masa mendatang. /*