Showing posts with label Artikel. Show all posts
Showing posts with label Artikel. Show all posts

Sunday, February 24, 2019

Pinky, Seisi Dunia menunggumu.....


Iya, seisi langit dan dengan segala daya pikatnya. Bahkan juga terang dan gelapnya. Kan memang dirimu agak lama...seperti tiada berita, tak ada kabarnya. Apalagi alunan suara bagusmu itu.
Dan tetiba ada lagumu, mengalun.  Dibuka dengan suara akordion. Selintas ini macam lagu-lagu bersuasana Melayu. Tapi berikutnya, didengar lagi eh kok malah terbang jauh. Jauh banget, bukan Melayu tetapi...Tango!

Tiap detak jantung ini, kisahkan ceritamu
Dalam terasa segala asa .. Bawa anganku sambut mentari melukis cahaya warna

Menari-narilah imaji penari tango, seksi, menari-nari berpasangan. Karena Tango adalah partner dance kan, harus berpasangan. Dan pasangan serasi melenggak-lenggok akan membuat mata susah untuk berkedip. Mempesona dan melenakan.
Kamu kemana aja, sahabatku? Masih cantik, baik wajah maupun suaramu. Bisa jadi, bukan cuma diriku merindukanmu. Tak pernah lupa tentunya, pelbagai penampilanmu dengan berbagai-bagai musisi. Belum lagi, kolaborasimu dengan banyak penyanyi, bersepanggung, berduet dan lainnya.
Ah, Pinky Safira! Jadi pengen ketemu, ngobrol kemana-mana. Ngobrolin.... Isi Dunia dan kehidupan di dalamnya? Serunya ya.... Karena satu hal yang aku ingat, bahkan saat ngobrolpun suaramu merdu...

Pastikan saja melangkah, Yakin tak Meragu, Kupenuhi isi Dunia dengan Cinta tak teratas ...

Tango sendiri sebenarnya adalah tarian pergaulan yang ditemukan orang-orang Argentina, dan menjadi tarian khas negerinya Maradona dan Lionel Messi itu. Makanya, gaya dribbling melewati 3 atau  4 pemain bahkan lebih yang dilakukan Messi, menyempurnakan apa yang dilakukan Maradona di era sebelumnya, disebut-sebut dribbling atawa gocekan Tango.
Sementara Tango yang diberikan Roedyanto Wasito untuk seorang sahabatnya, Pinky Safira, menghasilkan lagu yang santai. Leha-leha, leyeh-leyeh, minum teh es manis etapi jangan pakek gula deh. Pisang goreng? Sebaiknya, juga jangan goreng-gorengan sih.
Roedyanto, bassis yang juga produser dan tidak doyan gula dan gorengan itu, seringkali “usil”. Memberi semacam ide alternatif yang mungkin tidak terbayangkan sebelumnya. Contohnya, musik dan lagu untuk Pinky inilah...
Maksudnya, single ‘Seisi Langit’ memang lumayan melenakan. Walau tanpa melihat ada pasangan bertango dengan eksotisnya. Dan suara itu, suara Pinky mengalun manja-manja, manis walau tak bergula, gimana gitulah.
Welcome back, sista. Kekangenan akan lebih terobati, kalau saja ada lagi lagu-lagu lain yang bisa didengarkan. Lagu lain, album maksudnyakah? Kenapa tidak? /*



Mau denger single 'Seisi Dunia', klik link di bawah ini 
(Like and Subscribe ya...) :


Tuesday, December 4, 2018

Cerita Romantikanya Membuat sebuah Festival Jazz



Pada awalnya, bagaimana membangunnya. Mengolah, dengan cara bersinergi dalam hal ide dan kreatifitas. Mencari-cari bentuk yang khas, identik. Dan itu adalah kenikmatan tersendiri.
Susah-susah gampang sih, dalam membuat sebuah festival jazz. Karena, harus dengan proyeksi yang panjang. Soalnya gini,kalau membuat sebuah festival jazz hanya untuk dua atau tiga tahun saja, kalau saya sih merasa, ah buang-buang enerji saja bro!
Bagaimana mengemas, lalu mencari bentuk “ideal” yang khas. Kemudian menjalankannya. Lantas mempertahankan kesinambungan atawa kontinuitasnya. Dan bagaimana juga kita menjaga soliditas dalam bersama-sama menjalankan, kebersamaan yang tetap harus dijaga. Dan mungkin, sebut saja sebagai, harus dihormati dan dimaklumi. Bahwasanya dikarenakan kebersamaan saja, apa yang sudah dicita-citakan bersama-sama itu bisa berjalan.
Dan berjalan,sampai tahun ke delapan lho! Artinya, sudah masuk di tahun ke delapan. Hal mana, rasanya tidaklah membayangkan bisa berjalan hingga sejauh ini... Kaget, seneng, bingung, ya sekaligus terkesima.

Lalu begitulah, sampailah pada bagaimana bisa dipertahankan. Agar supaya tetap memiliki identitas khas. Biar terlihat beda gitu, dengan festival-festival jazz lain. Kan seperti yang kita ketahui bersama, bahwa entah kenapa festival jazz bisa menjamur di seluruh penjuru Nusantara ini. Paling tidak di  5-6 tahun belakangan ini.
Menariknya ternyata North Sumatra Jazz Festival bisa bertahan terus. Kerja-bareng WEM, atau WASPADA eMusic, dengan saya dan sahabat baik saya, Indrawan Ibonk. Oh ya kami berdua memilih memakai bendera, indiejazzINDONESIA. Bisa terjaga kontinuitasnya, kan harusnya atas dasar soliditas kolaborasi penyelenggaranya.
Tetapi dalam perjalanan kemudian, biasalah itu ada up and down. Terutama soal semangat. Mulai terjadi, seperti kebingungan juga kami ini. Apa lagi, bagaimana lagi, siapa lagi? Sementara itu, persoalan klasik mah terus membayang-bayangi perjalanan NSJF ini.
Berharap bahwa kelak di tahun ke 6 ke atas gitu ya, bisa terjaga independensinya. Dijalankan lebih “leluasa”, dengan lebih mandiri. Tegak kepala, jalan dengan lebih pasti. Idealnya sih begitu.


Lihat ya, festival jazz boleh menjamur, tapi ada berapa banyak gelaran festival jazz di Indonesia ini, yang bisa bertahan lama? Ga usah jauh-jauh, lewat saja 3 atau 4 tahun deh. Stamina sebagian besar festival jazz tersebut, rata-rata lantas drop, selepas melewati 3 atau 4 tahun pertama. Lantas, hilang ditiup angin....
Makanya, ketika NSJF bisa bertahan segitu lama. Jelas harus disyukuri. Ga nyangka deh. Tetapi bagaimana selanjutnya? Sementara hal paling “mengganggu” terus saja mengikuti. Apalagi kalau bukan soal pendanaan.
Finansial nih. Ternyata belum bisa juga NSJF berjalan dengan lebih pasti. Saban tahun, harus “kusut” atau “tergopoh-gopoh” soal pembiayaannya. Kemandirian belum bisa tercapai. Entah sampai kapan....
Memang ternyata, tak mudah untuk membuat sebuah festival jazz itu. Iya, siapa bilang gampang? Apalagi soal mempertahankan kontinuitasnya, sebagai agenda tetap setahun sekali.
Sponsor tetap masih selalu diharapkan. Susah-susah gampang juga mendapat atensi mereka, lebih “kompleks” lagi untuk bisa memperoleh dukungan dari pihak sponsor tersebut. Tawar menawarnya alot!




Terkadang, pada akhirnya ya gimana ya, yang penting jalan dulu deh. Negosiasi alot dengan sponsor, seringkali seputar siapa yang akan ditampilkan. Siapa yang banyak penggemarnya, siapa yang paling populer. Dan apesnya, itu berarti memang sih...Jazz dan tidak jazzlah ya, yang penting tetap bisa jalan.
Persoalan “sangat klasik” sih, mungkin juga menjadi problem pada festival-festival lain yang beruntung tetap bisa dipertahankan, untuk waktu yang lumayan panjang. Yang populer itu, aduh biasanya yang...ga jazz! Macam mana ini lae....
“Untung”nya ada grup tuan rumah. Erucakra Mahameru & C Man. Seperti diketahui kan, Erucakra sebagai gitaris dan leader C Man, notabene juga adalah Direktur Utama NSJF juga adanya.
Tim berempat yang menjalankan, sekaligus memotori NSJF, sejak kali pertama di 2011 ya tetap. Erucakra, didukung saya sebagai direktur festival. Indrawan Ibong, sebagai direktur produksinya. Dan Arsyadona Mahameru,istri dari Erucakra, sebagai direktur finansialnya.
Seperti biasa, seperti yang terus terjadi sejak kali pertama di 8 tahun silam, khusus saya dan Ibonk, punya tugas atawa tanggung jawab rangkap-merangkap. Efisiensi dan efektifitaslah ya. Wah, wah, double nih pendapatannya? Hush! Ini kerjaan penuh persahabatan dan berdasarkan atas asas kemanusiaan... Hihihi.




C Man selalu tampil, di setiap tahunnya. Target saya memang bagaimana C Man menjelma menjadi sebuah kelompok jazz (jazz rock tepatnya), dengan warna lebih ke progressive-fusion nya, kebanggaan Sumatera bagian Utara. Lalu menjadi nama yang dikenal secara nasional. Berikutnya, C Man bisa melanglang buana ke seluruh dunia....
Edun, muluk amat? Ga juga sebenarnya. Erucakra punya potensi untuk itu, terutama soal kreatifitas bermusiknya. Ide-idenya keren dan fresh, walau sesekali oho terlalu liar. Tapi masih bisa dimaklumi...
Nah Erucakra sendiri, diharapkan bisa didampingi musisi-musisi yang dapat bekerjasama dengannya. Berdiskusi, ngoprak-ngoprek musik bareng, lalu main bersama dengan sebaik-baiknya.
C Man sejauh ini, masih harus terus berproses. Proses untuk mematangkan soliditas, bagaimana relation antar musisinya, dengan Erucakra sebagai leader sekaligus penggagas musiknya. Proses itu makan waktu.




Kayaknya makan waktu yang lumayan panjang. Dengan segala romantika di seputarnya. Tetapi C Man, dengan Erucakra sebagai komandan, harus diakui salah satu dari sedikit saja grup band beraliran “dekat dengan jazz”, yang tetap eksis hingga saat ini. Tentu saja di kawasan Utara Sumatera, atau terkhususnya, Medan dan sekitarnya. Sesuatu dong kan
Sampailah kita di NSJF tahun ke delapan, Oktober kemarin di Grand Ballroom JW Marriot Hotel. Ada nama-nama junior macam Tobi Tan Kai Rong, kibordis belia asal Singapura yang kini sedang bersekolah di Medan. Atau penyanyi muda, Nikita Mawarni serta Jessica.
Mereka tampil dengan kelompok Fiesta Band. Sebelumnya ada grup bernama Shenology yang lumayan bersemangat. Diikuti berikutnya ada De Vote Singers & Band, yang mencoba mengadaptasi penampilan grup vokal macam Manhattan Transer misalnya.
Untuk penampilan utama adalah Erucakra Mahameru & C Man, yang kali ini Eru menyodorkan konsep Rise of the Kingdom – Sriwijaya Kronikel. Berangkat dari menafsirkan kejayaan era kerajaan Sriwijaya dulu.




C Man pun didukung para musisi tradisi, yang datang dari Universitas Sumatera Utara. Untuk hasapi, suling sampai gordang 9. Dan ditambah juga, kolaborasi istimewa, C Man dengan penyanyi ekspresif, dengan suara khas, Bonita.
Bonita datang sorangan, kali ini. Tanpa kelompoknya, Bonita and the Hus Band. Mungkin di kesempatan mendatang, sangat layak bila Bonita diboyong ke Medan untuk NSJF, tentu dengan format grup bandnya. Jadi, lebih lengkap.
Dan sebagai performer penutup acara, highlight utama NSJF tahun ini, adalah penyanyi jelita. Ia penyanyi yang sekaligus juga model dan aktris muda berbakat, Eva Celia Lesmana.
Eva Celia dengan grupnya, sebenarnya lumayan sukses sebagai pengisi acara utama. NSJF terasa tetap bisa dijaga kekhasannya. Ya, menurut saya sih begitu. Eva Celia, memberi nuansa yang berbeda. Kecantikan muka, penampilan dan suaranya seolah mempercantik NSJF sih.
Dan selesailah. Begitulah cerita NSJF di tahun ini. Lalu eh disambung dengan festival lain lagi, seminggu kemudian, tempatnya bukan di Medan. Tetapi di pulau Samosir nan eksotis itu.
Bagaimana pula dengan festival di Samosir itu lae dan ito’? Ah nantilah. Di tulisan berikutnya saja. Nanti ada juga. Kau eh klean tunggu saja ya. Mantap kali kan, dari Medan lantas bersambung dengan Samosir pula!








Persoalannya, tahun depan bagaimana? Kembali lagi bersambungan begitu, dari Medan seminggu kemudian ke Samosir? Insya Allah. Kalau saja semesta mengijinkanlah ya. Kalau memang alam raya berkehendak, tentu saja terjadilah kehendaknya.
Semoga di tahun mendatang, akan dapat tersaji lebih baik dan lebih baik lagi. Terus terang, NSJF tahun ini terasa cukup terbatas, tetapi memang sih yang penting tetap terjaga kesinambungannya.
Mau rikues siapa, untuk menjadi top highlight di tahun mendatang? Semoga saja dilancarkan, dimudahkan dan dilajukanlah perjalanan NSJF di tahun-tahun berikutnya. Artinya, semoga rikuesnya, eh sudah ajukan rikues belum, bisa dipenuhi di kesempatan mendatang ya.
Horas! /*






Wednesday, October 10, 2018

Mhyajo untuk IMF-WB Annual Meeting 2018 di Bali


Tiada lain, tiada bukan bahwa hanya totalitas dan kesediaan dengan sepenuh hati, untuk menapaki proses kreatif. Itulah kunci terpenting buatnya, untuk menjadi modal berharga dalam pencapaian hasil karya seni terbaik.
Adalah Mhyajo, lengkapnya Mia Johannes, yang bersyukur diberi kepercayaan untuk menyutradarai pementasan khusus, pada acara pembukaan konferensi internasional IMF-WB di Bali.
Pergelaran itu akan dilakukan pada 12 Oktober di Garuda Wisnu Kencana, Bali. Sebagai bagian dari mata acara pembukaan 2018 Annual Meeting IMF – WB (International Monetery Fund – World Bank).
Mhya lantas memikirkan dan mengerjakan konsep, hasilnya adalah ide pagelaran berisi 8 babak, yang berdurasi 40 menit. Dalam karya pertunjukkan itu, Indonesia dimunculkan selengkapnya, dari Sabang sampai Merauke. Dan bersyukur, bahwa ide itu diterima oleh panitya penyelenggara konferensi tingkat dunia tersebut. Congratulation, sis!

Ah trims, bro, begitu jawabnya. Lantas Mhya menyambung, gini bro proses kreatifnya telah dimulai sejak bulan Maret 2017. Berlanjut pada sesi workshop musik dasar yang dilakukan mulai awal April 2018. Proses selanjutnya, pengambilan gambar dan mengabadikan dalam bentuk video pendek berisi pemandangan dan adat istiadat di Indonesia selama 27 hari pada bulan Mei 2018.
Terakhir, sambung Mhya lagi, adalah proses melatih gerak para penari yang kesemuanya dilakukan di Bali, dari pertengahan Juni 2018. Pergelaran tersebut melibatkan total 1.586 pekerja seni, dengan 755 orang di antaranya diambil dari warga masyarakat sebuah desa, bernama desa Bona, di kawasan Gianyar, Bali.
Kemudian Mhya melanjutkan lagi, “Lelah fisik dan mengalami naik turun emosi tentu saja, karena ini adalah pekerjaan yang luar biasa rumit namun terbayar ketika mengingat kembali tujuan awal aku membuat konsep pagelaran ini.  bahwa aku hanyalah mediator yang mengemban tujuan tulus untuk para tunas bangsa, sehingga mendapat kesempatan yang sama layaknya pekerja seni profesional”

Ia masih melanjutkan, “Nantinya selesai pagelaran, benih yang telah aku sebar akan menjadi tunas dan membentuk tanaman indah. Rancangan ini dibuat sebagai pondasi untuk ke depan bukan untuk saat ini saja. Bayangkan bahwa Bali merupakan melting pot bagi dunia dan sewajarnyalah, semua kultur dan budaya Indonesia harus dapat terepresentasikan dengan baik di pulau ini. “
Mhya masih menambahkan lagi, diharapkan kelak para seniman ini dapat tetap berkreasi dan menyebarkan pembelajaran mengenai pulau-pulau lainnya, dengan ciri khas budayanya,  di Indonesia setelah rangkaian latihan 5 setengah bulan. “Jadi sejatinya, pagelaran ini bukan hanya sekedar kemewahan di atas panggung, tapi sarat makna dan misi budaya”, jelas Mhya lagi.
Ia mengatakan bahwa dasar utama adalah kesabaran dan hati yang tulus, dalam menjalani rangkaian proses persiapan pagelaran tersebut. Adapun title dari pagelaran itu adalah, The Colors of Indonesia, sebuah pergelaran seni budaya Nusantara.
Karyanya tersebut merupakan karya kolosal kultural Indonesia pertama yang diadakan di Garuda Wisnu Kencana, setelah patung raksasa karya Nyoman Nuarta itu diresmikan pada September lalu. Dan boleh dang, kalo mo disebut sebagai salah satu karya kolosal berlandaskan kultural Nusantara, karya anak negeri!


Untuk mewujudkan ide dan gagasannya dalam karya pagelaran kultural tersebut, Mhyajo merangkul musisi Andi Rianto, sebagai direktur musik. Selain itu, ia juga mengajak serta I Made Sidia, sebagai koreografer tari dengan dibantu oleh 7 orang asisten penata tari. Seperti juga para penarinya, mereka datang dari Gianyar, Bali. Keseluruhan ditangani dan dilakukan orang-orang Indonesia, tidak melibatkan tenaga asing.
Sebagian besar latihan, dari tahap awal hingga proses latihan gabungan lengkap, seluruhnya diselenggarakan di desa Bona, Gianyar. Karena memang sebagian besar penari yang terlibat adalah warga desa tersebut, baik bapak-bapak, ibu-ibu, remaja bahkan juga termasuk penari anak-anak.
“Di panggung seluas 514 meter, aku tidak menjanjikan teknik spektakuler, tapi aku menjanjikan aura ketulusan yang terpancar dari 1.586 pekerja seni. Tentu ku berharap akan menjadi pagelaran yang memukau bagi 189 perwakilan negara yang nanti akan menyaksikannya”, ucap Mhya.
Totalitas seorang Mhya Jo, sutradara seni pertunjukkan lulusan sekolah kenamaan dunia, Lincoln University telah ditunjukkannya. Ia dengan sadar dan sabar, akhirnya memutuskan untuk hanya mengerjakan dua acara pertunjukkan di tahun ini. Ia menolak tawaran menggarap tontonan pertunjukkan sejenis yang lainnya di tahun ini.

Oh ya, saya selipkan tulisan saya sebelumnya. Untuk mengingatkan siapa perempuan cantik nan enerjik bernama Mia Johannes ini. Mhyajo ke Lincoln University

Dan selepas pagelaran di Bali pada 12 Oktober itu nanti, Mhyajo akan langsung berkonsentrasi pada karya keduanya di tahun ini. sebuah pagelaran musikal adaptasi bebas, dari salah satu legenda tradisi Nusantara. Diberi judul Bunga untuk Mira, yang menurut rencana akan diadakan pada 22 dan 23 Desember nanti di Jakarta.
So, beres di Bali kong langsng capek-capek untuk pergelaran Desember nanti do e? Adooooh, kasiaaang. Maar, sukses ne untuk semuanya. God Bless you! /*