Presiden sudah mandi
belum? Itu tulisan dalam twitter.
Lalu, Presiden pagi ini sudah sikat gigi belum, nanti mulutmu bau lho. Presiden
kita kan juga cukup eksis lho di twitter. Presiden Susilo ah sudah sebut dengan
nama pop-nya saja, Presiden SBY deh.
Lalu, twit-twit yang dikirimkan oleh seorang
bernama @DjadukFerianto itu memang buat SBY? Berani benar? Ga takut ditegur nanti dia? Tapi ntar dulu, kok ditegur, itukan
betul saja ya? Rasa-rasanya sih ga ada yang salah. Menanyakan sudah mandi apa
belum, apa sudah sikat gigi apa belum, ke seseorang, Presiden sekalipun.
Haram-kah? Twitter itu bukannya makin luaaasss....? Dan...boleh ngapain aja?
Toh memang betul, kalau
kita tidak sikat gigi akan berakibat menghembuskan aroma mulut 9 mungkin 10
rupa? Bahkan bisa saja sampai 13 rupa! Tidak keruan lagi baunya! Alamak! Apa
jadinya? Presiden lho? Masalahnya, apa seorang presiden sampai lupa sikat gigi?
Nyang bener aje...
“Lho apa aku salah? Aku
kan nanya ke anakku! Anakku itu, namanya ya Presiden,” Djaduk Ferianto terkekeh-kekeh. Lewat jam 12 malam lho, saat itu. Saya, Gideon Momongan, kongkow-kongkow
dengan kangmas Djaduk. Ditemani dua
sahabat baik, Singo Tj. Ia seorang
kolektor kaset musik Indonesia yang idealis dan kekeuh! Satunya lagi, Ceto Mundiarso, penulis jazz cum penyiar radio yang jazz-oriented gitu radionya. Mereka
memang tinggal di Jogja juga.
Dan tempat kita ngebrel-ngabral itu di sebuah kafe gaul,
tempat ngupi-ngupi di Jogja. Sempat
saya dan Djaduk, harus menunggu sesaat dicarikan kursi. Karena penuh
pengunjung. Yang terjadi, Djaduk bilang, Masak oom-oom gini harus berdiri menunggu. Begitulah memang ceritanya,
mayoritas yang ada 98% mungkin 99% adalah mahasiswa dan mungkin pelajar, yang
memenuhi kafe gaul itu!
Betul sekali, teman!
Yang 1 atau 2 % yaaaa gitu deh, ya kami-kami ini. Para oom-oom yang ternyata, agak-agak sedikit insomnia! Bukan penyakit,
tapi sudah tradisi. Jadi bukan persoalan, tapi ya dinikmati dan dijalankan
saja. Karena toh, malam itu, kita ngobrol sampai jam menyentuh angka 3!
Dan memang Djaduk nan
Ferianto, yang ternyata tak dikira, seusia dengan saya itu, anaknya ada 5.
Nama-namanya begini I Gusti Arirang, K. Ratu Hening, G.Presiden
Dewagana, K. Rani Nyaribunyi, E. Rajane Tetabuhan. Lengkap sudah,
semua ada! Ya Gusti, ya Presiden, ya Raja...
Anak sudah 5, ia
kelahiran Jogjakarta,19 Juli 1964. Tapi sejatinya, tak terlihat ia sudah seusia
begitu. Awet muda sekali nampaknya. Musik mungkin membuat otot-otot mukanya
terjaga kelenturan eh salah dong! Kekencangannya kan? Terlihatlah lebih muda
dan lumayan segar. Masalahnya memang, awalnya saya pikir saya itu terpaut usia
jauh dengannya. Ya iya dong, tetap saya merasa jauh lebih muda...
Kesampingkan soal siapa
terlihat lebih mudah. Masih menyoal nama. Nama pada anak, bagaimana kalau
Namaku Siapa Namaku. Atau, nama anak menjadi, Apalah Arti Sebuah Nama? Kamipun
memperbincangkan teman-teman lain yang memilihkan nama buat anaknya, yang tidak
generik! Alias, tidaklah biasa. So, nama anakmu kemudian, siapa dong mas?
Djaduk tertawa lebar.
Kami juga ngobrolin cem-macem. Termasuk situasi dan kondisi
Jogja saat ini, bagaimana peta jazz di Jogjakarta hari ini. Perlu diketahui,
pada saat itu, Djaduk tengah sibuk finalisasi acara tahunannya, Ngayogjazz. Ia juga harus menjadi
pembicara soal Heritage kota. Iapun
tengah menggodok rencana pementasan besar, diperkirakan untuk November nanti di
Jakarta, acara musik & tari kolosal, Gema
Nusantara. Ini acara atas gagasan alm. Taufik
Kiemas.
Gema Nusantara ini
pernah dipentaskan pada 1984, sebagai karya refleksi pertama. Mengenai gagasan
Nusantara. Saat itu, ayahanda, Bagong Kussudiardjo masih ada. Beliau yang
memimpin langsung pementasan itu. Djaduk menata musiknya.
Termasuk juga, soal
poster-poster dan gerakan seniman Jogja dalam Mencari Hariyadi. Ah, banyaklah
yang diobrolin. Ditemani kopi, teh es manis, nasi goreng bermacam rasa. Backsound, cekakan-cekikikan anak-anak muda, tamu lain kafe itu. Dan
sejatinya, saya pribadi “menyimpan” banyak cerita mengenai seorang Djaduk
Ferianto, yang sudah cukup lama saya kenal.
Maka berikut ini, adalah
sekilas obrolan “Pejabat Pusat” dan “Pejabat Daerah”.Tapi “Pejabat Daerah”nya
bak penguasa tunggal. Yang mempunyai gaya kepemimpinan welas-asih, berdedikasi pada rakyatnya. Dengan mengutamakan,
Mendekatkan Seni pada Masyarakat. Iya, kami suka bergurau dengan menyebut
sebagai Pejabat Daerah dan Pusat, itu ide usil seorang Gregorius Djaduk Ferianto. Itu nama baptisnya.
Obrolan, kesana-kemari
memang. Satu hal pasti, saya akui terus terang, sahabat saya Djaduk ini, makin
terlihat sehat. Bisa jadi, berat badan terus bertambah. Makin segar dan
agak-agak ngangenin gitu deh.
NewsMusik : Mas
Djaduk, ceritakan masa kecilmu sedikit. Hubunganmu dengan ayahanda, pak Bagong
Kussudiardja....
DF : Karena
saya anak terkecil di keluarga maka gak heran kalau perilaku nya selalu nakal
dan manja katanya , padahal menurutku biasa saja. Hanya memang cara mendidik Bapakku sangat
disiplin bergaya militer.. Jadi wajar juga kalau kata-kata kasar sering muncul
dari gaya bicara Bapak saya dan seluruh isi kebun Binatang terlempar di saya
kalau saya melakukan kesalahan atau tidak pas dimata Bapak saya. Tapi itu asyik….Sejak
kecil memang dilatih untuk
mandiri, jadi fasilitas yang ada dirumah tidak bisa diperlakukan seenaknya saja
semua harus seijin dari Bapak bahkan tergantung mood nya Bapak bisa meminjamkan atau tidak.
NM :
Tampil dengan pimpinan/koreografi dari ayahanda pertama kali kapan?
Acara apa?
DF : .Saya mulai menari di depan publk waktu umur 5
tahun menari
Kuda-Kuda
karya Bapak saya. Itu di
acara Kawinan murid nari Bapak saya.
Itu terjadi th 1969
NM : Apakah pada pementasan itu, seluruh
anak-anak ikut? Kakak-adik...
DF : Iya semua keluarga ikut mengisi
acara kakak
saya juga menari tetapi menari yang lain yang anak laki-laki seperti saya, Butet dan Oto
kakak lelaki tertua menari Kuda-kuda
NM : Hal
apa yang paling berkesan mengenai figur ayahanda?
DF : Yang jelas kedisiplinan dan tanggung
jawab . Saya bersyukur mendapatkan ajaran seperti itu dari
bapak
saya
NM :
Bagaimana pula, dengan ibunda? Hal apa yang paling berkesan dari beliau?
DF : Ibu
saya orang yang sabar dan penuh tanggung jawab sebagi Ibu. Untuk urusan
pendidikan Ibulah yang paling aktif menemani anak-anaknya belajar. Ibu selalu
menghindar dari konflik dengan Bapak, bahkan sangat sabar dan toleran akan
perilaku kurang ajarnya Bapak he….he…he. Karena Ibu sadar selalu ingin membuat
Harmoni, bahasa
Jawa-nya Sing Waras Ngalah
NM :
Apakah pernah bertentangan dengan orang tua, mungkin dalam hal ini
dengan ayahanda? Hal apapun...
DF : ..Pada
umur dewasa sering kami bertengkar dengan Bapak saya karena berbeda cara pandang dan selera. Inilah yang berat antara bapak dan anak
satu profesi. Jadi saya melihat bapak
itu sebagai bapak
biologis tapi
bukan bapak
ideologis
NM :
Apakah ada kebiasaan ayahanda, yang lantas menurun pada anda? Kebiasaan
keseharian mungkin. Atau kebiasaan dalam berkesenian?
DF : Saya
merasakan ada,
yaitu selalu... gelisah
NM :
Apakah ayahanda menyaksikan penampilan anda dengan Rheze, dalam Lomba
Musik Humor itu? Apa kesan beliau?
DF : Bapak
tidak menonton,
tapi hanya mencibir dan selalu di Nol.
yang saya perbuat, itu gaya Bapak saya untuk saya tidak cepat puas
NM : Saat
masa kecil hingga remaja, bagaimana hubungan anda dengan keluarga? Eh, jadi
anda itu hanya berdua dengan, Butet?
DF : Saya
terkecil dari 7 bersaudara
lho. Hubungan kami semua sangat mendukung pada pilihannya
masing-masing.
bisa dikatakan sangat kompak
NM :
Mungkin ada, satu momen yang paling diingat, bersama orangtua, pada masa
lalu? Bisa momen paling menyenangkan atau mungkin momen yang lucu?
DF : Ketika Ibu saya meninggalkan kami
sekeluarga Bapak jadi kurang bersemangat dalam hidupnya apalagi dalam proses
kreatifnya. Maka saya yang mengusulkan untuk mencari pendamping baru tapi syaratnya
Bapak harus pahami bahwa kwalitas
Ibu baru ini tidak bisa sama dengan Ibu Almarhumah, dan yang mencari harus saya ibaratnya kalau mau beli
kendaraan itu kan di coba dulu nah yang test
drive-nya harus saya
he…he…he dan Bapak saya hanya bisa sewot aja.
Selengkapnya
putra-putri Bagong Kussudiarja adalah Ida
Manutranggana, Elia Gupita, Rondang Ciptasari, Otok Bima Sidharta, Butet
Kartarejasa dan Purbasari AW.
Dan memang, Djaduk Ferianto adalah yang terbungsu. Sejauh ini, publik memang
lebih mengenal Butet dan Djaduk. Duo kakak-adik yang terlihat saling mendukung
dan harmonis betul.
Nama kakak, Otok
Sidharta, juga sebetulnya lumayan dikenal, sebagai salah satu tokoh musik
kontemporer. Maka tak heran, mereka memang berada pada lingkaran musik-musik
yang agak di luar mainstream musik
industri. Walaupun demikian, bukan berarti Djaduk sendiri lantas memusuhi musik
pop atau budaya pop.
Misal “pop” dalam
bentuk bungkusan untuk Java Jazz
Festival misalnya. Ia senantiasa menyukai, dengan cara menyempatkn diri
hadir menonton. Yang belum, ya diajak main saja oleh Peter Gontha. Ia mengatakan hal itu sambil tertawa lebar. Selalu
diajak, untuk tahun depan. Tapi tidak kesampaian. Ia menceritakan itu dengan
santai. Terlalu santai sehingga, apakah ia memang kepengen ikutan meramaikan
Java Jazz Festival?
Ah bisa jadi, hanya ia,
istrinya dan Tuhan lah yang tahu. Tapi ia tetap bersahabat pula dengan Peter
Gontha, termasuk dengan para profesional yang menjalankan festival jazz akbar
yang hiruk-pikuk itu. Eits,emang istrinya tahu?
Yang pasti, ia pernah
memeriahkan ajang festival jazz akbar lain, sebelum Java Jazz Festival, yaitu Jakjazz. Menampilkan Jazz Buka Iket
Blangkon, di Jakjazz 1995. Lalu Di tahun 1997, Djaduk muncul berkolaborasi
dengan Aminoto Kossin. Perlu
diketahui, pada masa itu, Aminoto dan Erwin
Gutawa mempunyai program musik televisi, 2-Warna. Itu sebuah program musik yang mengetengahkan percampuran
musik barat-timur, barat-tradisi, yang kini sering disebut, World Music.
Dan memang Djaduk juga
muncul pula di program 2-Warna tersebut, setahun sebelumnya. Sebuah program
yang menarik dan dipuji kaum musik. Tapi rupa-rupanya, kurang begitu menarik
buat publik. Terlihat dari rating,
“primadona” atawa pegangan utama pihak televisi, yang kurang menggembirakan!
Tak heran, pihak stasiun televisi tersebut lantas dengan “tega”nya,
menghentikan program musik “sehat” itu.
Mungkin dianggap kurang
“dahsyat” ya? Tidaklah megah dan kolosal, bak tayangan konser musik televisi
saat ini, yang terkesan gemebyar dengan tata lampu warna-warni. Meriah dengan
bintang-bintang pop, yang sebagian besar rela untuk main minus one bahkan playback?
Dan, semua seragam lho! Aha!
Nah, mengenai Rheze, itu adalah kelompok musiknya.
Mereka menjadi Juara I pada Festival
Musik Humor di tahun 1979. Waktu itu, Iwan Fals juga menjadi peserta, dan
menjadi Juara Harapan. Tapi malah lantas Iwan Fals lebih ngetop ya, kata
Djaduk. Lalu dari musik humor, ia antara lain berkelana kesana-kemari.
Ia menggarap Unen-Unen, dalam sebuah konser musik,
1982. Muncul pula antara lain di Pawai Lintasan HUT ABRI di tahun 1985,
sebelumnya di Pawai Lintasan Hari Kebangkitan Nasional, di tahun sama dan ia
menjadi penata musiknya. Lalu ia tampil di Pekan Komponis Muda di tahun 1987,
yang dikoordinir tokoh musik, Suka Harjana.
Menurut Djaduk, Suka
Harjana yang juga menjadi kritikus musik, menilai bahwa dirinya sama dengan
seniman musik lain, alm. Harry Roesli
dan alm. Wayan Sadra. Musik
ketiganya, sulit dibaca, susah dibahas.
NM :
Pernahkah anda ada konflik dengan Butet? Biasanya, “bersebrangan” soal
apa ?
DF : Kalau
konflik besar
blm pernah tapi kalau beda pendapat bahkan beda pendapatan sering kali., hahaha. Tapi kami
berdua menyikapi beda pendapat dan sering tegang itu semua memang untuk
menghasilkan yang terbaik
NM :
Kalau hal apa yang paling berkesan mengenai Butet apa, mungkin di masa
lalu?
DF : Butet
itu sangat rasional
nah saya kelebihan emosinya
NM : Saat
kecil, Djaduk kecil memperoleh “roh” berkesenian dari mana lagi, selain dengan
hidup bersama seorang Bagong Kussudiardjo, tentu. Dari lingkungan, misal
paman-bibi, mungkin tetangga, teman kecil?
DF : Setelah
saya SMA saya banyak bergaul di
luar lingkungan keluarga. Bahkan bergaul sama teman–teman bapak saya yang
berbeda Ideologinya dan lawan dalam pilihan berkeseniannya
NM :
Jadi, masa kecil seorang Djaduk, seperti apa? Rajin bersekolah? Sekolah
SD dan SMP - SMA dimana? Jauh dari rumah?
DF : Semua
berjalan Lancar aja. Biasa
koq. Ga ada yang spesial...
NM :
Adakah guru, yang paling berkesan pada masa sekolah dulu?
DF : Guru SMP saya kebetulan beliau
juga kepala
sekolah namanya pak
Oengki Sukirno , dia selalu
meberikan dan meminjamkan buku
koleksinya tentang Bung Karno .dan
setelah saya baca
beliau selalu
ajak saya berdiskusi tentang Soekarno. Beliau ternyata seorang Marhenis sejati.
Itulah cara mendidik kesadaran berpolotik dan demokrasi sejak dini.
Sedikit mengenai Ir.Soekarno, Presiden Republik
Indonesia pertama itu. Ayahandanya, memiliki gagasan yang seperti mewujudkan
ide besar Bung Karno. Djaduk menunjuk pada tari pergaulan Yapong, karya ayahnya. Bung Karno memang memilih sebuah tari
pergaulan khas Nusantara, yang dipilihnya Serampang
12.
Dari situ, ayahnya juga
mengarahkan Djaduk dan anak-anaknya yang lain, belajar Indonesia. Menghargai
akan apa yang kita miliki.
Sementara itu, menyoal
Butet, kakaknya. Djaduk memang senantiasa mendukung berbagai pementasan monolog
Butet. Mulai dari Lidah Pingsan,
pada 1997. Berikutnya adalah, Lidah
(Masih) Pingsan, di tahun berikutnya. Dilanjutkan dengan Raja Rimba Jadi Pawang, di tahun 2000. Dan
terus berlangsung hingga sekarang.
Ia dan Butet juga
memimpin dan mengelola Yayasan Bagong
Kussudirdja. Yang “markas besar”nya adalah di Desa Kembaran,Kasihan,
Bantul. Di areal sebesar sekitar 1 Hektar itu, berdiri padepokan yang dibangun
tahun 1977 dan diresmikan penggunaannya 1978. Di atas tanah itulah juga kini
berkantor selain Yayasan itu, juga studio rekaman. Lalu pusat kegiatan dan
menejemen dari Kua Etnika, Sinten Remen dan tetap juga Padepokan Tari.
Padepokan juga
mempunyai program bernama Jagoan Wetan,
sebuah program outbound yang
berlandaskan kesenian. Salah satu wujud, mendekatkan seni pada masyarakat
secara nyata. Pesertanya, menurut Djaduk, banyak datang dari profesional kantoran. Kalangan bank, pemerintahan, asuransi
misalnya.
NM : Lalu
mengenai keluargamu saat ini, bertemu istri dimana dan kapan?
DF : Nama
panggilan Petra, saya bertemu sebetulnya sejak kecil orang dia adik kelas saya
di SD. Pada
waktu saya mempersiapkan musik
buat Festival Folklore di Olimpiade
Seoul
Korea Selatan,
1987 ketemu lagi karena Petra yang jadi vokalisnya
jadi dari situ sampai akhir
kita nikah
NM : Apakah
istri, juga pelaku kesenian? Penari, misalnya?
DF : Bukan
penari dia penyanyi.
Khususnya penyanyi di Gereja
NM : Apa
yang paling diingat mengenai istrimu?
DF : Dia
orang yang sangat religius. Sementara saya
ini partikelir
he…he..he
NM : Adakah
kritik dari istrimu terhadap karya-karyamu?
DF : Dia selalu punya cara untuk mengenali karya-karya
yang saya buat. Caranya ha…ha..ha rahasia dong...
NM : Bagaimana dengan anak-anakmu? Apakah mereka
memperhatikan pergerakan berkesenian ayahnya? Rajin menonton misalnya?
DF : Anak–anak
selalu kayak tak acuh
dengan apa yang saya buat
tapi mereka mengikuti proses kesenian saya
NM :
Adakah karyamu, yang disukai anak-anakmu?
DF : Hampir
semua yang saya buat anak-anak cuek,
tdk bilang suka tapi juga tidak bilang jelek. Mereka
benar-benar menyimpan pendapatnya
NM :
Apakah cara mendidikmu, sama dengan cara mendidik ayahanda terhadapmu?
DF : Ooooooh tidak, saya
mendidik dengan kemerdekaan
NM :
Mengenai berkesenian, apakah keinginanmu terhadap putra-putrimu?
DF : Aah,
jadi manusia seutuhnya. Gak muluk-muluk
NM : Mas
Djaduk, Kua Etnika, apa konsep mendasar, ketika anda membentuk grup ini?
DF : Ini sebuah
Group yang berakar pada tradisi
tapi berkembang pada zamannya
NM : Apa
karya pertama, dan dimana-kapan pementasan pertama dari Kua Etnika?
DF : Nang Ning Nong Orkes Sumpeg karya saya dengan Kua Etnika yang pertama
kami konserkan
di TIM Jakarta, tahun 1996.
NM :
Bagaimana dengan Sinten Remen? Apa konsep awalnya?
DF : Nah,
kalau Orkes Sinten Remen ini sebuah group
yang saya konsentrasikan
buat jualan artinya entertainment. Rohnya sih memang keroncong tapi
saya kemas kekinian.
NM : Lalu
bagaimana anda dan Butet, menjalankan Yayasan Bagong Kussudiardjo ini mas? Maksudku,
adakah target tertentu?
DF : Kami berdua sedang menciptakan dan
mempersiapkan sistem
buat generasi ke 3 dari keluarga besar Bagong Kussudiarja dan menterjemahkan
semangat dari almarhum bapak, yaitu mendekatkan
seni pada publik.
Itu concern
utama kami
NM : Apakah sebelum ayahanda pergi, pernah
menitipkan secara khusus mengenai Yayasan ini? Atau menyampaikan keinginan
mendiang, untuk masa depan padepokan?
DF : Secara
implisit
di akhir
sebelum wafat Bapak hanya bicara bahwa kalian berdua sebisa mungkin ikut
memikirkan Padepokan Seni
NM : Oh
ya,adakah pesan-pesan terakhir mendiang ayahanda terhadap anda dan Butet, yang
secara khusus. Menyangkut kehidupan berkesenian...
DF : Kalau
itu tidak
hanya untuk kami berdua, beliau selalu
pesan pada murid dan orang yang pernah bersentuhan dengannya di kesenian : Jadilah Bagong-Bagong besar jangan
jadi bagong kecil.
Maksudnya, jangan hanya jadi peniru.
NM :
Bagaimana juga dengan konsep anda mengenai Ngayogjazz dan Jazz Gunung?
DF : Ini
juga usaha saya meneruskan semangat Bapak tapi dalam bentuk yang lain Yaitu
menyiapkan calon pendukung produk seni,.Masyarakatnya.
Karena seni itu bisa langgeng kalau ada pendukungnya
NM : Apa
pendapat anda, mengenai World Music? Sejauh mana World Music itu, bisa menjadi
pintu bagi seniman-seniman musik kita untuk berbicara di dunia internasional?
DF : Bentuk
sebuah pengakuan akan eksistensi para pelaku seni musik yang
berangkat dari tradisi
dan kita harusnya bangga akan
pengakuan ini dari pada hanya jadi peniru dari produk seni yang bukan dari
akarnya. Maka para seniman tradisi
sekarang ini bisa memperluas pergaulannya dan percaya dirinya tumbuh akan pilihannya . Dari sinilah
ruang eksistensi dan penghargaan dimulai, para seniman musik tradisi tidak
menjadi minder dengan para musisi yang lain
NM :
Lalu, bagaimana pendapat anda dengan jazz Indonesia? Perkembangannya
saat ini?
DF : Jazz
Indonesia tidak ada, yang ada Jazz yang main di Indonesia. Saya memahami Jazz
yang paling mutakhir
ini sudah tidak sekedar bermain
repertoar saja tapi sudah menjadi perilaku.
NM : Yup
setuju, Jazz Indonesia memang sejatinya, jazz yang dimainkan oleh musisi
Indonesia
DF : Iya
dong. Dan memang, makin maju
Ngayogjazz, ini memang
konsep jazz yang berbeda dari bentuk festival jazz yang lagi bertumbuhan dengan
suburnya di Nusantara, paling tidak dalam 4-5 tahun terakhir. Jazz dekat dengan
alam, akrab dengan penduduk sekitar. Bukan menjadi festival megah dan mahal.
Jauh dari kesan itu. Jazz yang sangat merakyat.
Djaduk menyebut nama Trie Utami, Syaharani dan Iga Mawarni,
tiga nama penyanyi jazz yang bersedia membantunya ketika pertama kalinya
menggelar festival ini. Itu terjadi di Desa Tembi, tahun 2007. Selanjutnya,
Ngayogjazz berpindah-pindah, antara lain di Pasar Seni Gabusan, Bantul. Pindah
ke Kotagede. Lalu ke Sleman. Seperti jazz yang blusukan gitu.
Orang-orang pasti
menyebut, ya bukan Djaduk kalau idenya “generik”. Dari jazz blusukan, lalu di
2009, ia malah membawa jazz menembus dinginnya daerah dataran tinggi. Ia
menggelar Jazz Gunung, di areal Pegunungan Bromo. Dengerin jazz, menikmati
sambil merasakan betapa eksotisnya...kedinginan yang menusuk tulang itu! Seru
juga.
Satu demi satu musisi
dan penyanyi jazz, lantas tertarik merasakan sebuah pengalaman baru, yang
mungkin belum pernah mereka dapatkan. Bahkan juga pasti ga bakalan sering
mereka alami. Main jazz, harus tetap fokus, sementara jari-jari tangan
“terancam” kaku, karena suhu yang sangat rendah.
Ataupun bermain di
teras rumah orang, pekarangan rumah, bahkan bermain di panggung yang
bersebelahan dengan pemakaman umum pedesaan! Ini pengalaman, atau tantangan?
Dan kian banyak musisi
dan penyanyi akhirnya...ketagihan! Hebat juga, mas Djaduk ini!
Lantas, Djaduk ini
pemusik apa sebetulnya? Kontemporer, tapi malah menggelar festival jazz
“aneh-aneh” begitu? Yang pasti, ia masih punya waktu untuk menggarap musik
untuk film! Oho.
Antara lain, ia
menangani musik untuk film Cemeng 2005 :
The Last Primadona, disutradarai oleh N.Riantiarno
dan dirilis 1995. Lalu Daun di Atas
Bantal-nya Garin Nugroho, tahun
1997. Pada 1998, ia menangani musik untuk Telegram,
karya Slamet Rahardjo. Di 2008, ia
pernah menjadi nominator Festival Film Indonesia untuk musik film, dari film Tiga Doa Tiga Cinta. Dan di 2012, ia
membesut musik untuk film Soegija,
yang menjadi nominator di AFI dan FFI tahun itu.
Tak hanya itu, ia juga
menangani musik untuk banyak sinetron, antara lain Alang-Alang, Bayangan Cermin
Palsu, Pakaian dan Kepalsuan.
Semuanya karya Teguh Karya, di tahun
1994. Di tahun sama, juga sinetron karya Slamet Rahardjo, Soero Buldog. Selain itu Bawang
Merah, Bawang Putih dengan sutradara Dimas
Haring. Lainnya, Saur Sepuh
karya alm. A.Kadir.
Ia lantas pernah
menerima Piala Vidia dari Festival Sinetron Indonesia di tahun 1995 untuk musik
sinetron, lewat film Senja Kesaksian
Surti. Pada tahun yang sama, ia juga memperoleh penghargaan Pemusik Kreatif oleh PWI Cabang Yogyakarta.
Belum lagi, berbagai
dukungannya lewat musik, tentu saja. Pada bermacam pentas teater, tari, acara
musik nasional, hingga acara-acara lain di stasiun-stasiun televisi. Misalnya, Opera Rama Shinta dari N.Riantiarno di
tahun 1994. Pentas Musik Kenduri
Nasional di Lapangan Monas, Jakarta, tahun 1995.
Rahwana
Obong karya Sardono
W.Kusumo di 1995. Musik untuk tari-musikal EKI
(Eksotika Karmawhibangga Indonesia) Ken
Dedes, 1996. Penata Musik Perayaan
Natal Nasional di tahun 2003. Penata Musik pada Pembukaan Pekan Raya Jakata, di tahun 1994. Ada musik tari untuk Kidung Kunthi karya Miroto, 1999. Dan banyak lainnya. Sibuk
betul!
NM :
Sementara itu, bagaimana juga, pengamatan anda, mengenai atmosfir
kesenian di kota Jogjakarta? Misal, apresiasi masyarakatnya?
DF : Yogya
itu dinamis bersamaan dengan masyarakatnya,
jadi ruang apresiasinya sangat mendukung buat para pelaku kreatif. Masyarakatnya diajak nyeni sangat responsif.
NM : Mas
Djaduk, adakah perbedaan yang secara signifikan, apresiasi ataupun suasana
berkesenian di Jogjakarta hari ini dengan masa lalu ? Sebut saja, ketika masih
ada seorang Bagong Kussudiardjo?
DF : Oooh, dulu di tahun 60-an sampai akhir 90-an itu terasa
masih kubu-kubu an, udah kayak Partai
saja. Anggota
kelompok seni tidak bisa merangkap di
organisasi yang sama . Beda dengan sekarang semuanya sudah bersInergi, sadar akan
sebuah jaringan. Dan berkomunitas. Lebih sehat
NM : Ok,
sekarang ini ya, menurut anda, pandangan dan pendapat kaum musik barat terhadap
musik Indonesia kita ini, sebenarnya bagaimana?
DF : Macam-macam,
ada yang sekedar melihat aspek esotiknya
tapi ada juga yang melihat musik lebih dalam dengan hubungan kehidupan masyarakatnya. Macam-macam.
NM : Lalu
mas, menurut anda sendiri, apa itu pelestarian budaya?
DF : Hanya
sekedar merawat
tapi tidak mengembangkan
NM :
Ketika ada seorang musisi muda, apapun alatnya, ingin bermusik secara
“orang Indonesia”. Menurutmu, si musisi muda harus bagaimana?
DF : Jadilah
diri sendiri! Itu aja
NM :
Menurutmu , apa arti INDONESIA hari ini?
DF : Tidak
ada arti
baku , karena Indonesia itu selalu tumbuh.
Hari ini saya bisa katakan Indonesia itu Korupsi tapi lain waktu bisa
saya mengatakan Indonesia Bisa he…he…he.
Gitu kan?
Djaduk juga kerapkali
melakukan perjalanan keliling berbagai negara. Paling sering dengan kelompok
Kua Etnika, seperti tampil di ajang Wien
Jazz Festival di Wina, Austria, tahun 2009. Di tahun sama juga mengikuti OzAsia Festival di Adelaide, Austria.
Di 2007, tampil dalam konser Kua Etnika di Bisbane dan Melbourne, Australia.
Kemudian tampil pada Raised from The
Roots Breaktrough Borders, bertema A
Love Story Between Jazz & Gamelan di Esplanade, Singapura.
Pada 2004, Kua Etnika
berkesempatan melakukan tur keliling Eropa, menyinggahi Hongaria,Polandia,
Austria, Belanda sampai Republik Cheko. Setahun sebelumnya, mereka memperoleh
undangan tampil di Istana Ratu, di Amsterdam, Belanda.
Sejauh ini Kua Etnika
sendiri telah merilis album Nang Ning
Nong Orkes Sumpeg. Lalu, album kedua itu Ritus Swara. Ada juga, kami kolaborasi dengan Kamul Bahri Hussein dari Malaysia dan Kirubakaran, musisi dari India. Albumnya itu, Many Skins One Rhythm. Dan Quintessence.
Sementara Sinten Remen,
menghasilkan beberapa album antara lain Parodi
Iklan, dirilis tahun 2000. Orang jazz lho yang mau merilis, Chico Hindarto namanya. Lalu Janji Palsu, tahun 2002. Maling Budiman dan Parodi Anak Indonesia. Lantas terakhir OMDO, di tahun ini. Kemarin itu launchingnya
di Bentara Budaya Jakarta.
Ketika obrolan
berlanjut dengan mengambil tempat di Padepokan Bagong Kussudiardja di Bantul,
sekalian untuk sesi pemotretan. Djaduk sempat mengatakan seniman itu harusnya
memang multi talenta. Beda dengan orang akademisi, yang terbiasa patuh pada
defenisi. Bagi seniman, definisi itu sudah tak penting lagi. Sudah masuk ke
dalam diri masing-masing.
Maka tak heran, Djaduk
memang dapat berkelana kemana-mana. Dalam pelbagai karya, yang tampil dalam
macam-macam bentuknya. Ia mungkin saja tak lagi menari, tapi untuk menangani
musik untuk sebuah pentas tari, ia pasti harus “menari”.
Karena tak mungkin
lagi, begitu sih rasanya, kalau ia masih menari saat ini. Pertama, perkara
waktu. Kedua, ah masak saya musti menyebut soal badannya? Kurang bijaksana
mungkin ya. Saya menyebut begini saja, persoalan kelenturan tubuh. Toh, pikiran
dan idenya tetap lentur kemana-mana kan? Itu membuktikan ia seniman tulen.
NM : Apa
yang belum tercapai dalam hidupmu saat ini? Dalam hal apapun ya...
DF : Sugih
atau kaya, maksudnya kaya akan apapun
terutama ilmu dan informasi.
NM :
Keseharian anda, berapa jam sehari anda mendengarkan musik? Dan musik
apa, yang anda sedang sering mendengarkan,menyimaknya saat ini?
DF : Setiap
waktu saya dengarkan musik,
semua saya dengarkan karena saya diberi Tuhan kuping, maka saya
maksimalkan pemberian ini.
NM :
Bagaimana dengan film? Punya waktu tertentu, menonton film? Film
berjenis apa?
DF : Film
yang saya senangi nonton Film XXX buat energy baru he…he…he…he
NM :
Dalam hal keimanan. Sebagai seorang beriman, dimana anda meletakkan
Tuhan dalam kehidupan anda? Juga dalam kegiatan kesenian anda... Serius
sedikit, boleh ya?
DF : Tuhan
ada dimana-mana dan Tuhan selalu mengintip apa yang sedang saya lakukan...
NM :
Apakah anda juga sempat mengamati dunia olahraga Indonesia saat ini? Apa
pendapatmu, kangmas?
DF : Nah,
olah raga dan musik di
Indonesia itu sangat penting... Kalau tidak
percaya amati di kota–kota seluruh Indonesia pasti ada toko Sport dan Musik, itu artinya
para musisi
harus sadar akan olahraga
makanya banyak para musisi di Indobesia mati karena kurang menjaga kesehatan
badannya.
NM : Wah,
ya ya ya...betul juga! Tapi, tidak tahu ya, kegiatan olahraga anda saat ini
mas, tapi penting juga rasanya. Melihat anda itu bertahan dengan tubuh yang
sangat sehat seperti sekarang....
DF :
Makan secukupnya sih. Ngemil
mungkin. Ya, tubuhku terlalu sehat ya? Ha ha ha ha...
NM :
Sekarang ini, apa yang sedang anda kerjakan? Misal, mempersiapkan
pergelaran tertentu? Kapan dan dimana rencananya?
DF : Saya
baru mau melempar Album Rohani yang ke 2 buat Natal tahun ini dan hasil
penjualan CD ini semuanya akan kita hibahkan buat saudara kita yang ada di
Flores untuk biaya pendidikan.
Maka, ayoooo
siapa mau nyumbang....!
NM :
Kalau boleh meminta, anda ingin mencapai usia berapa? Dan apa yang akan
anda isi dalam masa tua anda?
DF : Saya
ikut sutradara
tunggal yang di atas saja..
NM :
Terima kasih banyak ya kangmas, DJaduk (Eh saya teringat “sebutan manis”
Trie Utami terhadap Djaduk Ferianto, ya itu sebagai...DJ Aduk. Emangnya DJ ya,
mas?)
DF :
Hahaha... Besok-besok saya coba jadi DJ beneran. Iie (Trie Utami
maksudnya) itu usil memang...Hehehehe.
/*dionMomongan
No comments:
Post a Comment