Tuesday, August 29, 2017

Saya Menonton Prambanan Jazz Festival 2017 lhoooo....




Prambanan Jazz Festival, tahun ini sudah ketiga kalinya. Dan tetiba mejadi viral, karena ada “very special case” yang menyangkut nama penyanyi pop populer, yang katanya mainnya molor jamnya lalu di stop begitu saja, saat sedang perform.
Well sudahlah, kasus itu harusnya sudah clear enough dengan penjelasan pihak penyelenggara, Rajawali Indoneisa, yang dilansir media-massa. Pendapat saya? Sudahlah. Apalah saya, berkomentar soal gawean orang lain? Toh juga penyelenggaranya tak kenal pula saya? Walau saya sebenarnya menonton langsung lho, itupun karena jasa baik teman-teman musisi!
Ahaha. Tapi gini saja, persoalan yang terjadi gampang kok. Telusuri saja, kenapa jam mainnya bisa mundur hingga 2 jam, seperti yang dikatakan sang penyanyi di akun instagram-nya? Kan gini, kalau jam mainnya pas, on time maksudnya, pasti tak akan ada kasus?
Jadi pelajaran saja, bagi semua pihak yang ingin membuat sebuah festival jazz. Well gini, buatku ya, semua orang bisa membuat festival jazz. Beneran, semua orang pasti bisa! Apalagi yang punya uang berlebih ataupun orang yang punya kemampuan berlebih dengan mengumpulkan uang dari sponsor.
Rajawali toh sudah membuktikan, Festival di kawasan candi Prambanan itu bahkan sudah ketiga kalinya ini. Tiap tahun ada molor jadwal, ada “kasus”. Apesnya tahun ini, sempat terangkat naik.
Nah kasus yang terjadi itu, persoalan yang mendasar ada pada setiap festival jazz. Artinya, sebenarnya telah “biasa” terjadi pada banyak festival jazz. Jadwal molor, atawa dengan kata lain, rundown tidak berlangsung mulus.
Korelasi dengan yang ikke sebut di atas cyiiin, semua orang bisa berkeinginan bikin festival jazz dan kemungkinan bisa mewujudkan keinginannya itu. Tetapi, apakah dia sendiri yang terjun untuk mewujudkan keinginannya? Sendirian atau dua orang, atau tiga oranglah. Susah jack!
Butuh tim pelaksana yang mumpuni. Berkemampuan baik dalam hal komunikasi, memahami bentuk festival harus bagaimana, mengerti mengenai pelaksanaan sebuah festival musik.
Harus ada tim pelaksana, inget ya tim bukan perorangan, yang lebih baik lagi memang mengenal para artis penyanyi atau grup band para pengisi festival. Punya ketegasan di saat harus tegas, bisa fleksible bila memang saatnya kudu sedikit dilenturkan.
Kasus jadwal molor, tentu saja bukan cuma dialami Prambanan Jazz Festival kok. Bahkan Java Jazz Festival yang sudah sedemikian besarpun,kerapkali mengalaminya, bisa dibilang saban tahun terjadi juga. Notabene kan, Java Jazz Festival dengan ke-akbar-annya yang lantas jadi semacam patokan, inspirasi utama orang bikin festival jazz di sini.
Emerald BEX



Saya sih sudah seringkali menceritakan eh menulis persoalan seputar jazz festival di sini. Entah ya, dibaca atau tidak. Dibaca dan bisa dipahami ga? Dibaca, dipahami lalu apa dijadikan semacam referensi atau tidak? Terserah sih sebetulnya....
Maka terjadi deh, bikin festival musik bagi sebagian orang, dipahami bahwa festival musik harus jazz dan harus besar-besaran. Jangan kalah sama Java Jazz Festival. Harus seperti Java Jazz Festival. Sekaligus buktiin, kita juga bisa bikin yang besar-besaran emangnya hanya...Jakarta dengan JJF nya itu doang?
Bikin festival kan pada akhirnya, bukan semata-mata perkara konsep lalu fulus semata. Setuju dong? Tadi saya tulis, emang bisa dibikin sepenuhnya hanya oleh 1-2 orang? Ada tim pendukung. Ya show, ya menejemen panggung, ya produksi. Lalu koordinator artis plus para “pemandu artis” (baca : Liasion-Officer), kemudian vendor tata suara dan tata cahaya, juga panggung. Promosi, bagian penjualan tiket de el el.
Semua harus bisa bekerjasama dengan baik. Saling terkait erat. Dan semua pihak itu, adalah elemen-elemen penting bagi terlaksananya sebuah festival. Mereka bersatu untuk menghasilkan sebuah festival yang nyamanin dan ngenakin para musisi pengisi acara juga penonton. Kemudian, memuaskan pihak boss atawa promotor yang berkaitan erat betul dengan sponsor, kalau didukung sponsor ya.




Lingua
Lalu ini nih, semua lantas “mendadak jazz”. Ok, pasti ada yang bikin festival karena memang dasarnya pencinta jazz. Tapi ada juga yang membuat festival musik dan ikut-ikutan jazz, karena sponsor yang meminta begitu? Atau, ya dengan kata lain juga, latah jadi ikut-ikutan?
Ironisnya, memang penggemar jazz itu sedemikian banyakkah di negeri ini? Apakah memang sebagian besar masyarakat memang menyukai jazz lalu meminta-minta dibikin lebih banyak lagi festival jazz, atau memohon supaya di daerahnya ada festival jazz juga?
Bahwasanya lantas, membuat sebuah festival jazz seolah untuk merebut image, modern dan kekinian gitu? Tidaklah ketinggalan jaman dong? Betulkah jazz sekarang menjadi simbol kekinian??
Jazz yang mana? Jazz yang bagaimana? Tak berpikir melakukan edukasi, langsung jazz digelar, skala festivalpun. Masyarakat pasti akan menonton, toh ini gawe besar. Tapi yang terjadi, sebagian besar festival jazz malah....menjauhkan para musisi jazz dari panggung jazznya!
Maksudnya, festival jazz yang dibikin itupun rata-rata, sebagian besar toh juga tidak pede memainkan para musisi atau artis penyanyi jazz? Sponsor ga suka, kadung dianggap bukan menjadi magnet untuk mendatangkan penonton. Aduh!
Nah serunya kan, para grup atawa artis penyanyi yang sejatinya pop, lalu karena sering lebih diandalkan untuk meraih penonton lebih banyak ya, ya kemudian dianggap jadi grup jazz atau penyanyi jazz!


T Five


Itu yang saya sebut, malah menjauhkan para penyanyi, pemusik dan grup jazz dari panggung jazznya. Penonton festival disuguhi nama-nama yang memang mereka kenal, lebih kenal sih tepatnya. Soalnya bersliweran kan di pelbagai media massa, di layar kaca. Musisi atau penyanyi jazz, siapa yang menulis dan memuatnya di media, atau menayangkannya di televisi?
Festivalnya jazz, yang main lebih banyak yang justru non-jazz. Mau tambah hal lebih miris lainnya? Fee untuk yang non jazz itu berkali-kali lipat dari yang jazz, itu dibela-belain. Saat melakukan approach untuk yang jazz, tega lho ditawar padahal budget fee mereka itu mungkin hanya seperempat kali ya dari bintang-bintang non jazz!
Penyelenggara festival jazz tega, untuk melakukan hal-hal tidak fair, melakukan tindakan diskriminasi. Yang jazz ditekan, yang non jazz diangkat-angkat padahal untuk sebuah acara festival jazz. Naaaah!
Ga juga lah, ada kok grup band jazz atau penyanyi jazz yang “bandrol”nya itu bersaing serius jumlahnya, dengan artis penyanyi dan grup non jazz? Sebut ada berapa. Berapa banyak sih? Sebagian besar toh, dapat kesempatan main susah bener, diterima mainpun disebut budget hanya .... “segini” nih, terbatas.

Lingua



Ipang Lazuardi


Ditambah lagi, ketika akhirnya masuk line up pengisi, ya memang justru jadi “pelengkap” saja. Jam mainpun bisa “semena-mena”. Ambil contoh Emerald BEX, fusion band yang bernama lumayan besar sejak era 1980-an lho. Diajak tampil di Prambanan Jazz Festival, ditaruh di rundown main jam 14.00. Matahari menyengat, panggungpun tak beratap.
Pemusiknya main seperti di sauna. Penonton juga baru sedikit, ada 2 penonton berucap masak sih Emerald BEX main jam siang begini, sayang amat. Kenapa ya, padahal kalau ditilik rundown di hari pertama dimana Emerald BEX itu main, astaga notabene yang “lebih mendekati jazz” itu justru Emerald BEX lho.
Penonton baru sedikit, siapa juga orang mau berpanas-panas nonton di jam segitu? Tambah apes, peralatan grup itu, kibornya, error karena langsung dipanggang matahari. Mereka tetap saja main, ya tentu dengan “seadanya” saja, karena kibornya yang justru jadi andalan utama dalam membunyikan musik mereka kan tak bisa berfungsi maksimal. Ya sutra, sikaaaaat aje, seru mereka!
Saya coba tanya, kenapa tak mendiskusikan jam main, antisipasi soal alat itu lho. Menurut mereka, dari pihak penyelenggara mengatakan justru mereka ditaruh siang bolong, supaya bisa menarik banyak penonton! Itu dari salah satu panitya.
Tetapi mereka juga dengar desas-desus, ini atas permintaan sebuah stasiun televisi yang bekerjasama dengan penyelenggara. Dimana stasiun televisi tersebut ga mau Emerald BEX main di sore, jam dimana pihak televisi itu akan melakukan tayangan live. Mereka, pihak televisi itulah, yang menentukan bahwa mereka hanya mau melakukan live dengan para penampil yang mereka pilih.
/rif band





Hebat kan? Mana yang benar? Ah sudahlah, sudah berlalu. Emerald BEX juga sudah tak berkeinginan mempersoalkannya lagi kok. Jadi pelajaran saja buat mereka, besok-besok ada tawaran main siang bolong begitu, mereka sudah emoh.
Tapi itu salah satu pelajaran berharga bukan hanya untuk grup band, ya juga untuk penyelenggaranya. Bikin jazz dalam bentuk festival, tapi justru me-“nomer sekian”-kan performers yang jazz. Bukan kesalahan penyelenggara dong, karena itu permintaan sponsor sih?
Kenapa harus jazz, ya kembali kesitu sih. Apakah kalau tidak memakai kata jazz, maka sponsor tak mau memberikan dukungan dana? Sementara, sebenarnya memang sponsornya memahami jazz? Lebih menginginkan jazz, atau lebih menginginkan penonton penuh??
Lalu karena pemahaman akan “festival jazz” itu harus besar dan banyak artis dan grup band populerNya, tak disadari beberapa festival jazz yang sejenis. Maksudnya ya yang kelasnya sama, relatif besarlah, bentuknya ya jadi seragam. Memang lebih mengedepankan nama-nama yang justru non jazz.
Sekali lagi, persoalannya kan, kenapa juga sih harus festival jazz? Kalau misal festival musik saja, pasti tak akan mampu mengundang sponsor? Padahal dengan tanpa jazz, toh lebih leluasa, mengambil artis dan grup ini itu. Asyik-asyik aja mereka semua bisa dimainkan kan?
Toh juga festival jazz itu, kan akhirnya bersikap tak fair terhadap para “pelaku atau praktisi jazz”. Artinya, ga ada pengaruh secara signifikan terhadap scene jazz tanah air. Ga lantas membuat stasiun-stasiun televisi membuka pintu untuk menampilkan pemusik dan penyanyi jazz. Juga tak membuat stasiun-stasiun radio lalu mau memutarkan rekaman album jazz...



Base Jam

Echa Sumentri dengan Base Jam
Lebar nih persoalannya. Dari kasus satu, lalu kemana-mana gini. Saya hanya mengulangi lagi, bahwa persoalannya sebenarnya sih ya itu yang saya uraikan di atas. Persoalan kemudian juga pada soal jadwal kan? Di sekitar pertengahan Agustus, festival jazz itu bertumpuk. Bahkan ada 3 festival jazz, diadakan pada waktu bersamaan lho. Rebutan musisi dan penonton dong?
Ah mirisnya sih ya, para musisi jazz ga terlalu merasakan mereka ”diperebutkan”. Atawa direpotkan jadwal. Sebagian ada sih yang lantas kalang kabut dengan jadwalnya. Tapi ga banyak. Karena ya itu tadi, sebagian festival jazz itu memang tidak juga lantas memang mengandalkan penampilan para musisi atau penyanyi jazz kok.
Perlu saya garis bawahi, ingatkan bener-bener lho ya. Saya bilang, sebagian. Bukan semua festival jazz di sini. Masih ada festival jazz yang ah jazz-nya itu lho, asyik kok. Yang begitu, biasanya pasti memperoleh respon penuh semangat dari para musisi, penyanyi termasuk grup band yang nge-jazz.



ADA Band

ADA Band
Ok deh, saya menulis ini sebetulnya sih sekedar review sekilas dari Prambanan Jazz Festival 2017. Event itu sendiri dilangsungkan pada 18 hingga 20 Agustus 2017. Saya menonton dari awal sampai akhir, bisa wara-wiri leluasa ke backstage juga, hanya di hari pertama saja.
Itu kan, seperti yang saya bilang di atas, atas jasa baik teman-teman musisi yang tampil. Jadi dapat ID Card yang bisa bebas berkliaran di belakang panggung, bercengkrama, bertemu,ngobrol-ngebrel, becandaan dengan para musisi dan penyanyi yang tampil.
Hari kedua saya datang berbekal ID Card media, karena ditolong teman wartawan yang menjadi koordinator. Tapi ID Wartawan itu tak bisa dipakai untuk ke belakang panggung. Jadi hanya menonton di depan saja, di tengah-tengah penonton saja.
Ga bisa leluasa menonton, ga bisa bertemu musisi. Lalu, ya lihat saja saya tak bisa juga memotret dengan baik sih. Jadi memang, saya ga memperoleh undangan resmi gitu dari pihak penyelenggara. Tak apa, kan kami belum kenal toh?
Padahal tahun lalu di 2016, saya sih sudah kenal. Saya menulis cukup panjang lebar juga. Ada kok di website saya ini. Ya sudah lama bro, udah lupa keleussss. Yoih, tak mengapa sih. Biasalah itu.....
Nah di hari kedua itu, saya memang mengetahui kasus yang ramai diperbincangkan menyangkut bentroknya jadwal main Afgan dan Sarah Brightman. Yang berujung dengan distop mainnya Afgan tersebut.
Kalau hari kedua molor sampai 2 jam-an, seperti yang dialami Afgan itu kan? Di hari ketiga, saya terus terang memilih tak datang. Jauh aaaah bro dari Jogja, panas juga... Hihihi. Tapi saya toh dapat berita, ada curhat dari teman-teman musisi yang main di hari ketiga itu. Molornya jadwal bahkan hingga 3 jam!

ADA Band


The Groove


Kenapa sih ya bisa molor? Hari pertama itu molor sedikit lebih dari setengah jam di awal. Kemudian makin malam, molornya lebih, ya bertambah. Karena, beberapa performers “terlalu asyik”nya tampil sehingga lewat 5 menit kemudian 10 menit, lalu juga 15 menit lebih dari ketentuan rundown.
Di hari pertama, ada juga performer yang diminta selesai dalam 10 menit lagi. Lalu penyanyinya berkata kepada para penonton, masak saya tinggal sepuluh menit lagi? Padahal saya siapkan banyak lagu-lagu khusus untuk penonton saya di sini malam ini lho... Gimana, kalau saya tambah sekitar 30 menit lagi? Penonton sukacita dong!
Tapi jadwal kan dadi molor. Piye iki, broh? Si penyanyi tampil, ya lebih dari 30 menit yang dia sebutkan itu. So, kasus molornya jadwal bisa karena juga talent nya. Ga terima kalau hanya diberi porsi waktu hanya 30 menit, merasa tak cukup. Agak-agak lupa, bahwa ini festival ya, banyak pengisi acara lain yang juga menunggu giliran main setelah dia kan?
Sering terjadi, ada yang bandel begitu, mengakibatkan penampil berikutnya terpaksalah diminta untuk mengurangi durasi mainnya. Demi supaya waktu festival secara keseluruhan, jangan jadi molor tak terkendali.
Jadwal molor karena ulah talent juga bisa terjadi karena ketdak tegasan tim penyelenggara, dalam hal ini show atau festival director maupun stage mamagement. Kata seorang teman musisi, yang tampil di hari ketiga, yang jadwal mainnya mundur 3 jam itu. Yang bikin rundown aja ga bisa menghormati keputusan yang mereka bikin  dan sebarluasin, gimana band yg lalu ga patuh mau respect sih sama mereka?
Katon Bagaskara


Andre Hehanusa



Serunya, band temen itu, main jelang magrib. Diminta main saja, terobos saja saat adzan magrib. Ga papa kok. Band itu sangat keberatan, karena ini Indonesia. Ga boleh. Mereka sempat “ditekan” untuk main saja, ga papa. Band tetap menolak keras! Yah gitu deh, show dan stage teamnya sudah kelewat panik kayaknya.... Gawat juga!
Tapi ya itulah yang terjadi. Saya memang kebetulan menonton langsung. Saya jadi bisa bicara eh menulis begini, karena ada di sana. Lantas saya menuliskan ini, agar menjadi masukan yang mudah-mudahan berharga bagi pihak penyelenggara Prambanan Jazz Festival.
Semoga di kesempatan tahun mendatang, bisa menjadi lebih baik lagi. Dan siapa tahu, jadi bisa lebih jazz lagilah. Masukan atau kritik saya juga semoga bisa menjadi masukkan buat penyelenggara festival jazz yang lain.
Kesimpulannya apa? Ah simpulkan saja sendiri. Yang penting, usahakan hargai kaum jazz dengan sebaik-baiknya. Kalau saja tak bisa, kenapa juga harus jazz? Jangan jauhkan para kaum jazz kita justru dari panggung jazz....
Well, Jazz as Always..... Meaning? /*






NAIF