11
Juli bisa jadi penuh arti buat grup satu ini. Grup yang, standar grup-grup band
Indonesia dah. Ada naik turunnya, nongol lalu, “menyelam”, lalu nongol lagi ke
permukaan lantas...sesaat “menyelam” lagi.
Kan
kalau menyelam kelamaan, itu berabe coy!
Biar kata pake tabung oksigen
sekalipun. So, kudu ada nongol-nongolnya dong, bergantian dengan menyelamnya.
Ini tentang diver atau tentang grup
band? Atau, jangan-jangan grup band yang anggotanya para penyelam?
Jangan-jangan
samakan, dia dengan yang lain.... Lebih
tepatnya, mereka dengan yang lain. Hahahaha.
Kenapa jadi lagu dangdut jadi contoh. Ini kan bukan grup dangdut? Ini grup jazz
lho, fusion. Ngepop juga sih,
terutama untuk rekaman. Ah itu mah bukan sesuatu yang ajaiblah. Hareeee geneeee, masak jadi problem yang
begituan?
Jazz
dari dulu, kalau di sini kan, memang kudu pinter-pinter bersiasat.
Kompromistis, begitu istilah kerennya. Tanpa kompromi, artinya ya jangan mimpi
dapat label rekaman, yang mau menerima grup atawa penyanyi itu jadi artisnya. Catet nih, maksudnya label-label besar
atawa major label ya.
Nanti
deh, kita obrolin soal komproma-kompromi itu. Kita omongin dulu soal band yang
lagi pengen saya tulis ini. Saya tuh begitu banyak cerita mestinya, tentang
mereka. Hal tersebut dikarenakan, sudah sejak awal banget mereka, ya saya sudah
kenal baik. Bahkan sebelum grup band ini dibentuk.
Iwang, Roedy, Ricky Jo, Surabaya 1988 |
Ki-Ka : Dewa Budjana, Iwang, Djoko Badjang, Morgan, Cendi, Ricky Jo, Iromy Noorsaid, Roedy. Jakarta Fair, Monas, 1989 |
Jalan
bareng, minum bareng, ngop bareng sampai tidur bareng segala! Oooops! Tidur ya sama-sama tidurlah,
tapi dengan pendampingnya masing-masing dong. Hush, jangan piktor jack. Jangan menduga negatif. Pendampingnya ya temen-temen
sepermainan juga adanyalah.
Emerald BEX.
Saya jadi bingung, mau menulis mereka bagusnya mulai dari mana? Saya lantas
pikir, eh saya tuh belum pernah bahkan menulis mereka ini lengkap lho. Oh
pernah sih, tapi itu di awal banget. Yoih, edan bro itu saya tulis mereka jaman
Emerald 1986 dan di 1988. And, that’s it!
Alamak! Lengkap-lengkap amat juga kagak
tuh...
Akhirnya
tergerak juga untuk menulis. Mumpung banyak juga foto-foto mereka, tentu saja
hasil jeprat-jepret saya sendiri. Menulis bukan melulu menjabarkan data, namun
lebih sebagai informasi yang mudah-mudahan mendekati “sempurna”. Pointnya, menulis untuk bisa dibaca orang atawa publik.
Bukan
untuk saya saja. Berbagi dengan masyarakat luas. Dimana saya rasa, ada banyak
kok fans mereka. Mereka pastinya pengen bisa membaca dengan “baik dan benar”,
dengan nyaman. Dapat info lumayan lengkap tentang idola-idola mereka.
Cieeeeee
idola nih yeeeee. Cieeeeee.... Hehehehe. Iya, waktu mereka muncul
pertama, sebagai band, mereka memang lantas langsung jadi idola baru. Paling
tidak jadi kayak panutan, band asyik en keren tuh kudu kayak merekalah. Contoh
band yang keren itu kek gimana.
Ok
jadi gini, Emerald dibentuk karena kepengen ikut kompetisi band paling
bergengsi di era 1980-an, Light Music Contest. Kontes band
tersebut,diadakan oleh distributor alat musik Yamaha. Diadakan mulai 1983.
Emerald tampil di tahun 1986.
Catatan
saja, menyoal LMC itu. Ini kompetisi sangat bergengsi, sampai-sampai di saat
itu, kalau tidak jadi juara LMC kayaknya “ga jago” atau “ga disegani” gitu. Dan
kalau omongin sejarah musik jazz (teristimewa fusion) Indonesia era 1980-an,
bakal tak akan lengkap, kalau tak memasukkan keseruan LMC tersebut.
Saya
merasa sangat bersyukur berkesempatan menonton sejak 1984, dimana Squirrel Band dari Surabaya, yang
didukung Dewa Budjana, Arie Ayunir jadi juaranya. Ada Iwan Malik juga di grup tersebut. LMC
sendiri digelar sejak 1983, dimana juaranya adalah EMS dari Bandung tuh.
Lalu
di 1985, yang juaranya adalah Krakatau
formasi perdana mereka. Nah, serunya tuh, sebelum LMC biasanya banyak yang
menduga-duga siapa yang akan menjadi juara. Seringkali, sebulan-dua bulan
sebelumnya, sudah beredar gosip-gosip bahwa, musisi itu dan musisi itu bakalan
ikut nanti.
Banyak
band-band yang memang dibentuk khusus buat LMC. Awalnya jadi memang model jammin’. Tapi mereka latihan serius.
Karena jadi juara LMC itu...oho, “sesuatu” banget deh.
Jadi,
dari yang namanya LMC itu muncul band-band dan musisi-musisi yang lantas
dikenal luas, di waktu-waktu kemudian. Mulai dari namanya Erwin Gutawa, almarhum Uce
Haryono, alm. Dadi Sufiyadi,
sampai Yuke Sumeru. Termasuk pula Aryono Huboyo Djati dengan Warimoo-nya bersama kibordis cewek, Yani Danuwijaya dan Esterlita dan Ferdy Maulvi,
kakak dari Edwin Saladin.
Masih
ada juga Black Fantasy, Spirit Band, Mahesh dan Suresh dengan
Gold Fingers-nya. Ada Sapta Bhama dengan Diddi Agephe, Kadri Mohamad
dan Adi Prasodjo.. Lantas Candika, Milky Way, Soundsation.
Kemudian datang dari Bandung ada Miracles,
Coop’s Rhythm Section dengan Ruth Sahanaya. Night Revellers, Trie Utami Soedjono. DAC Band dari Semarang dan lainnya.
Emerald dengan Dewa Budjana, JAZZ-SPOT,1988 |
Ricky Jo, Band Explosion Surabaya, 1988 |
Emerald, feat. Iromy Noorsaid. Klaten, 1989 |
Nah
ya kemudian Emerald. Kata Roedy, yang pengen banget mencoba LMC sebenarnya Iwang Noorsaid, yang masih abege dah waktu itu. Dia masih SMA,
bersekolah di SMUN 68 Salemba waktu itu. Tapi memang LMC lah yang membuat
Emerald lantas terbentuk menjadi band.
Diawali
dengan Roedyanto Wasito sempat main dengan The
Big Kids di Pizzaria, Hilton. Saat itu, Roedy diajak untuk menggantikan Idham Noorsaid yang berhalangan. Di
situlah Roedy dan Iwang serta Inang
Noorsaid, kakak dari Iwang, ngobrolin soal band untuk LMC itu.
Rencana
membentuk band tersebut, didukung sepenuhnya oleh abah Said Kelana. Seniman musik kawakan itu adalah, ayah dari Iwang dan
Inang. Said Kelana –lah juga ayah dan yang dengan totalitas luar biasa
menjadikan The Kids sebagai band
anak-anak yang sangat populer di 1970-an.
Sekedar
mengingatkan nih, The Kids itu kan band keluarga dengan Idham Noorsaid, Iromy Noorsaid. Lalu Lidya Noorsaid dan Imaniar. Sementara di tahun 1970-an itu, dua terbungsu, Inang dan
Iwang belum ikut tampil dengan kakak-kakaknya itu. Nama The Kids lantas menjadi
The Big Kids, saat Inang dan Iwang
ikut bergabung.
Jadi
mereka bertiga sudah sepakat, tinggal cari gitaris. Eh secara tak sengaja, di
jalan Sabang, lagi makan malam gitu mereka berjumpa Morgan Sigarlaki. Morgan diajak untuk ikutan, dan nyong Kawanua
itupun langsung setuju. So, brangkaaaaats
lah!
Mereka
berempat mulai latihan, beberapa kali gitulah di studio keluarga, di dalam
kediaman keluarga Noorsaid. Yaitu di daerah Batu Raja, Jakarta Pusat. Dengan
disupervisi langsung oleh abah Said Kelana,tentunya.
Cendi dan Iwang, Emerald di Semarang, 1989 |
Menurut
mereka, tanggal berdirinya mereka itu adalah 11 Juli 1986. Dan ‘11 Juli’ itu
dijadiin lagu. Lagu itu termasuk salah satu lagu pertama yang mereka bikin
bareng. Lagu lainnya adalah, ‘Meet at Peacock’. Peacock itu adalah tempat biasa untuk hangout selepas disco-time
atau main malam di kafe-kafe. Peacock adalah sebuah restaurant-lounge di areal lobby Jakarta Hilton Hotel.
Pada
jaman itu, Peacock “bersaing” dengan Ramayana Terrace di Hotel Indonesia, serta
lobby resto di Hotel Borobudur, sebagai meeting
point para hangouters selepas
lelah berdisko, atau nongkrong di bar dan kafe mendengarkan live music.
Ya
capek goyang di Tanamur, Oriental Discotheque, Le Mirage sampai Ozone
Disctotheque. Atau dari Green Pub, Captain’s Bar, Swingin’ Pub, Federal Pub,
Palm Beach atau Tavern. Sebagian ga langsung pulang, tujuannya makan lagi. Yang
didatangin ya ketiga tempat itulah. Termasuk anak-anak Emerald.
Kedua
lagu itulah yang dimainkan mereka pada LMC 1986. Dan mereka jadi juara! Iwang
dan Inang jadi best players! Juara
keduanya adalah Kahitna. Ada juga Spirit Band yang ikut serta waktu itu, selain DAC, Canizzaro dan Modulus. Serta 6 atau 7 band finalis lainnya.
Event
LMC nasional tersebut digelar pada 8 Agustus 1986, di Bali Room Hotel
Indonesia. Mereka memang tampil memukau.. Sehingga dewan juri yang diketuai Watanabe, dari pihak Yamaha Musik,
sebagai penyelenggara, memilih mereka sebagai juara pertama.
Begitulah
awal perjalanan mereka. Dengan predikat peraih grand-prize winner LMC, Emerald lalu langsung muncul ke
pentas-pentas musik. Merekapun kemudian dibikinin
konser tunggal oleh Yamaha Musik, yang mensponsori mereka selama setahun Konser diadakan di ballroom Pasaraya Sarinah Jaya, Blok M, Auditorium itu ada di lantai 7, di gedung
pusat perbelanjaan mewah tersebut.
Setelah
mereka menjuarai LMC, saya seringkali bertemu mereka. Jalan bareng. Eh emang
beneran, sampai tidur bareng, ya di kamar masing-masinglah. Kami tuh waktu itu
juga mengerjakan project band lain,
band disko, Stars Show Band.
Roedyanto Wasito, menjadi salah satu motor utamanya. Bersama Cendi Luntungan dan Dewa Budjana.
Nah
pada perjalanan kemudian, mereka berempat mulai main kemana-mana Merekapun mencari vokalis. Tapi terlebih
dahulu, mereka harus mencoba, artinya harus ada proses pendekatan, untuk
kecocokkan. Didapatlah seorang vokalis perempuan, masih muda banget, dia adalah
teman Iwang di SMAN 68. Dyah Parwita
namanya.
Namun
pada waktu berikut, Isnan Noorsaid,
yang biasa dipanggil Inang, ternyata ditarik masuk formasi Wongemas. Grup ini awalnya adalah Gold Guy’s Band, ini nama terdepan pada masa itu sebagai entertainer-band. Mereka biasa
membawakan lagu-lagu bertemakan jazzy
tunes, itu istilah “baru”, sebagai nama lain dari “jazz pop”.
Gold
Guys itu memang grup kafe terpopuler di masa itu. Mereka bermain saban malam,
kecuali Jumat malam di Green Pub, kafe berinterior a la Mexico, di kawasan
gedung Djakarta Theatre. Catatan saja, kepopuleran Gold Guys memberi inspirasi
bagi kemunculan grup-grup entertainer yang membawakan lagu-lagu jazzy.Tak hanya
di Jakarta, tapi juga di Bandung dan Surabaya.
Wongemas
dipersiapkan untuk mengikuti North Sea Jazz Festival di Den Haag, di tahun
1987. Seperti diketahui sejak 1985, ada wakil kelompok jazz Indonesia yang
diberi kesempatan tampil memeriahkan festival jazz terbesar di dunia itu.
Inang Nooraid |
Kalau
ingat ya, di 1985, berangkatlah Karimata
dan Bhaskara. Kemudian di 1986 ada Bhaskara’86. Nah di 1987 itu,
rencananya Wongemas yang dapat tiket. Inang pun memilih konsentrasi di
Wongemas, jadi mengundurkan diri dari Emerald.
Inang
keluar, Emerald jadi vakum sesaat. Lalu ketemulah dengan drummer stylish, Cendirandus Luntungan, biasa dipanggil Cendi. Malah suka dipanggil
pula sebagai CenLung! Lho, bintang kungfu dong? Cendi sejak lama sudah berteman
baik dengan Emerald. Eh emang pendekar kungfu juga?
Kan
seperti seperti cerita saya di atas, Roedy dan Cendi adalah motor utama
kelompok total disko, Stars Show Band. Cendi masuk. Kemudian mereka mengikuti
lagi LMC 1988. Tapi namanya sudah berganti menjadi Band Explosion. Pamor kontes band itu belumlah surut pada masa itu.
Apalagi
ada iming-iming bahwa juara pertama Band Explosion, akan mendapat kesempatan
mengikuti tingkat internasional di Hongkong dan, kalau lolos, maju ke final round tingkat dunia di Tokyo,
Jepang.
Emerald
dengan formasi Iwang, Roedy, Morgan dan Cendi langsung sukses menjuarai BEX
(begitu singkatannya) Indonesia. Dengan Iwang dan Cendi juga terpilih sebagai the best instrumentalist atau best player.
Mereka
maju ke tingkat Asia-Oceania, dimana acara finalnya diadakan di Hongkong.
Emerald menjadi juara, dengan Roedy dan Cendi menjadi the best player. Yang
menarik, cerita mereka, saat membawakan lagu ‘Karapan Sapi’ sebagai komposisi
sendiri, mereka diminta harus menari juga!
Merekapun
berlatih menari juga akhirnya. Dan usaha itu ternyata kan tidaklah sia-sia.
Mereka merebut tiket untuk ikut tingkat dunia di Jepang. Tapi acara final di
Tokyo awalnya direncanakan pada November 1988. Namun saat itu Kaisar Hirohito,
pemimpin utama dan paling dihormati masyarakat Jepang tengah mengalami sakit.
Maka
seluruh Jepang masuk “masa tenang”, demi menghormati sang kaisar yang tengah
sakit itu. Akibatnya BEX tingkat dunia dimundurkan jadwalnya.
Final
Band Explosion tingkat dunia, akhirnya diselenggarakan pada 12 Februari 1989,
dengan diikuti oleh 21 band dari 12 negara. Termasuk Emerald, satu-satunya
wakil terpilih dari Indonesia. Dari kompetisi tingkat dunia tersebut, Emerald
terpilih sebagai peraih silver grand
prize, sebagai juara ketiga.
Perlu
diketahui, dua grup band pemenang pada saat itu memakai vokalis. Yaitu grup
band asal Australia, Janz, sebagai
pemenang pertama, grand prize winner.
Lalu Giraffe yang datang dari
Amerika Serikat, menjadi juara kedua atau peraih first silver grand prize. Nah Emerald itu tidak didukung vokalis,
alias memainkan instrumental saja.
Emerald
waktu itu kembali memainkan lagu andalan mereka, Lagu itu sebenarnya adalah karya dari abah
Said Kelana. Berwarna etnik, ada suasana Maduranya. Menggambarkan suasana
keramaian acara pacu sapi atau karapan sapi di Madura yang tersohor itu. ‘Karapan
Sapi’, begitu judulnya.
Emerald
pada waktu kemudian lantas dikenal sebagai sebuah grup fusion “elektronik”,
dengan bertumpu pada peralatan keyboard dan synthesizer,
yang sering menyelipkan unsur-unsur etnik Nusantara. Tapi mereka tidak
menyertakan instrumen etnik asli. Semua unsur sound dari peralatan tradisi Nusantara, dibunyikan oleh perangkat digital sampling, sebagai bagian penting
peralatan synthesizer yang dimainkan Iwang.
Pemicunya
memang lagu Karapan Sapi itu. Kalau didengarkan, lagu tersebut menjadi unik dan
khas, karena bahkan ada selipan sound
lenguhan sapi, lewat permainan gitar Morgan di dalam lagu.
Pulang
dengan prestasi internasional di Jepang, Emerald langsung kebagian order
manggung dimana-mana. Di saat itulah, saya makin sering bertemu mereka. Malah
seringkali saya diajak mereka turut serta, untuk menyertai mereka tampil di
berbagai kota. Dari Bandung, Jogjakarta, Surabaya, Semarang sampai Klaten.
Oh
ya, waktu dari 1985-1990an itu, saya kerapkali diajak serta beberapa kelompok
jazz untuk menyaksikan penampilan mereka di berbagai kota. Selain Emerald, yang
sering mengajak saya, juga Krakatau. Maka dari itulah, saya terbilang memang
bersahabat sangat baik dengan para personil kedua grup band tersebut. Ya gitu
deh, sering jalan kemana-mana kan?
Kedua
grup itulah, di masa itu yang terbilang alumnus LMC paling sukses. Kahitna juga
salah satu alumnus LMC yang lantas sukses, tapi di era 1990. Malah pada
akhirnya, justru Kahitna terbilang paling sukses, bahkan terus bertahan hingga
sekarang.
Kenapa
Kahitna disebut yang tersukses? Ukurannya sih tepatnya gini ya, Kahitna
kemudian dengan mengambil warna lebih pop, punya hits lebih banyak dari Krakatau maupun Emerald.
Emerald
langsung di 1988 juga, masuk dapur rekaman. Mereka memasaklah lagu-lagu.
Hasilnya adalah album perdana berjudul Cemas,
dirilis tahun itu juga, oleh Granada Records. Menampilkan lagu-lagu seperti,
‘Cemas’ (Dodo Zakaria dan Tarto Saputra), ‘Gaya Disko’ dengan Utha Likumahuwa, ‘Ngeceng’ karya Junaedi
Salat dengan vokalisnya, Jen Retno
Ariyani.
Jen
Retno juga menyanyikan lagu, ’Percaya’, ‘Letih’ dan ‘Mesra’ pada album ini.
Sementara vokalis lain, yang sebenarnya di-plot
sebagai lead vocalist Emerald. Ya
siapa lagi kalau bukan, Dyah Parwita. Dyah, malah “hanya” kebagian 2 lagu,
‘Malam Itu Dingin’ dan ‘Melangkah’.
Dalam
album yang menelurkan hits, ‘Cemas’ dan ‘Ngeceng’ itu memang terasa betul
Emerald sadar untuk kompromistis. Termasuk menerima untuk membawakan lagu bukan
karya mereka sendiri. Dan hanya bisa menyelipkan dua lagu saja, yang
instrumental dengan gaya bermusik mereka, ‘Embun Pagi’ dan ‘Bilyard’.
Menyoal
warna musik, ada sedikit pergeseran dari formasi Emerald 1986 ke 1988. Pada
formasi 1986, mereka terasa lebih dekat dengan warna macam electronic fusion a la Casiopea.
Pada formasi 1988, kehadiran Cendi memberi pelebaran warna. Walau tetap kental
corak (jazz) fusion-nya.
Seperti
juga Krakatau, saat 1985 mereka jadi juara banyak orang menganggap merekalah
“Casiopea Indonesia”.Walau mereka waktu menjadi juara, membawakan lagu dari
fusion band asal Kanada, Uzeb, ‘Pork Chop’. Harap dimaklumi, waktu itu,
Casiopea, superfusion band dari
Jepang itu, tengah populer banget di publik muda penggemar jazz fusion di sini.
Bagaimana
tidak populer, karena ketika nama mereka sedang menaik tinggi dan makin banyak
yang suka, mereka berhasil didatangkan ke Jakarta. Casiopea lalu menggelar
konsernya di 1984. Mereka dua kali tampil yaitu di Balai Sidang Senayan dan
Hotel Sahid Jaya. Kedua konser tersebut relatif penuh penontonnya.
Saat
Krakatau kemudian berganti formasi, dimana Budhy
Haryono digantikan Gilang Ramadhan
serta Indra Lesmana juga ikut
bergabung, musik mereka lantas lantas makin berbeda. Tak lagi ke
“Casiopea-Casiopea” an.
Sedikit
intermezzo, so di 1980-an hingga masuk awal era 1990-an, memang musik jazz
fusion bisa dibilang salah satu trend yang berkembang cukup baik. Teristimewa
di kalangan muda. Saat itulah, Krakatau dianggap lantas bercorak seperti Chick Corea, yang saat itu dikenal
dengan grupnya, Electric Band.
Kemudian
Karimata dianggap sebagai “pengikut” warnanya Mezzoforte, sebuah jazz funk band asal Islandia yang lumayan
populer pula di sini saat itu. Lalu ada lainnya, Bhaskara. Kalau Bhaskara
dianggap “lebih dekat” dengan warna GRP,
ini sebenarnya label rekaman jazz fusion.
GRP
di saat itu jadi lumayan populer pula lewat hasil rekaman live GRP All Stars, yang
beredar dalam format laser-disc saat
itu. Ada nama-nama seperti Lee Ritenour, Ernie Watts, Abraham Laboriel, Steve
Gadd, Larry Williams, Dave Valentine, Ivan Lynch sampai Dianne Schuur.
Saya
yakin, penikmat musik-musik bercorak jazz 1980-an pasti akrab juga dengan GRP
All Stars. Soalnya tuh, menonton rekaman live GRP tersebut, menjadi keharusan
yang pamali kalau sampai terlewat. Belum menonton rekaman itu? Pasti kurang
gaul.....
Emerald
ya terus dianggap condong ke Casiopea. Merekapun pernah dalam beberapa shownya,
menyelipkan lagu Casiopea ke dalam setlist
mereka. Apakah mereka memang suka Casiopea? Mereka waktu itu bilang, ya mereka
mendengarkan Casiopea dan karena sering mendengarkan rekaman Casiopea, ada
pasti pengaruhnya ke dalam musik mereka.
Sebut
saja, “suasana” Casiopea sih ada. Tapi tak berarti plek-sek sama. Apalagi ketika kemudian Cendi pamit mundur, karena
kesibukannya mendukung banyak grup musik lain. Maklumlah, drummer yang punya
gaya khas, baik dalam permainan drumsnya maupun kostumnya itu, termasuk drummer
laris.
Masuklah
Yayang Yuni Zairin, sebagai
pengganti Cendi. Yayang ini adalah teman lama Roedyanto. Sebelum membentuk
Emerald, Roedy masuk dalam formasi Sere’s, Rahwana dan beberapa band lain.
Dalam Rahwana juga Sere’s, ia bermain dengan Yayang, juga Morgan Sigarlaki.
Kalau
untuk saya, pergantian formasi Emerald itu seperti menegaskan bentuk mereka. Fusion
band yang dasarnya adalah para musisi yang dikenal sebagai rhythm section handal. Jam terbang tinggi, sebagai para session players, untuk cafe atau bar dan
grup-grup pengiring.
Itu
pula kekuatan utama mereka bahkan di 1986, saat mereka muncul pertama kali.
Kemampuan Roedy dan Morgan sebagai musisi yang cukup dikenal sebagai session
player sebelumnya, menjadi hal yang diperhitungkan para peserta LMC di tahun
tersebut. Apalagi dengan kehadiran kakak beradik, Inang dan Iwang.
Inang
dan Iwang saat itu memang sudah menjadi perbincangan juga, jadi gosiplah. Bahwa
keduanya tuh masih muda banget tapi dahsyat mainnya. Kenyataannya kan memang,
ya mereka sukses saat itu.
Balik
deui ke tahun 1988-an itu. Di tahun
itu sebetulnya sudah masuk juga nama Ricky
Johannes sebagai vokalis mereka. Mulai ikut tampil bersama mereka. Tapi
belum mendukung album perdana berjudul Cemas itu. Ricky mendekati Emerald, melamar
main ke mereka, dan lantas meninggalkan grupnya saat itu, Mahameru.
Dan
dengan Ricky Johannes, yang kemudian dikenal sebagai Ricky Jo, Emerald menghasilkan album kedua. Album tersebut dirilis tahun 1990 oleh Graphic
Records dan Art Records. Ricky Jo menyanyikan secara apik, .’Pasti Dapat’,
‘Kini’, ‘Cerita Kita’ dan Canda Ria’.
Sementara
ada lagu-lagu lainnya yaitu, ‘The Job’, ‘Seventh Sky’. Lalu ‘Kecapi’, ‘Ronggeng’,
‘Altimeter’. Serta lagu “paling bertuah” mereka, yang adalah “sumbangan” abah
Said Kelana itu, yang dijadikan judul album, ‘Karapan Sapi’. Selepas merilis
album ini, Iwang dikarenakan job
menyerbu terus, terpaksa mundur. Apalagi ia mulai sibuk pula dengan menangani
musik untuk Iwan Fals saat itu.
Iwang
mundur, masuklah Edwin Saladin. Nama
ini, sebelumnya dikenal sebagai motor utama kelompok yang juga alumni LMC, Modulus
Band. Modulus nya tak aktif lagi, maka Edwin ditarik masuk. Edwin diajak Roedy,
karena juga pernah bermain bersama, saat masih di SMA.
Edwin,
seperti juga Yayang, kalau soal jam terbang sebagai session players mah “sebelas-duabelas”
dengan Roedy dan Morgan. Sampai hari saja, kibordis dan drummer itu,kerapkali membantu
banyak band pengiring, bigband sampai orkestra.
Dan
dengan formasi yang jadi lima orang itu, Emerald menghasilkan album berikut, Baralek Gadang. Album tersebut dirilis
tahun 1991, sebagai album ketiga. ‘Hanya Angan’, ‘Baralek Gadang’, ‘Gantolle’.
Kemudian, ‘Gayamu’ dan ‘Satu Lagi’. Memang hanya enam lagu saja. Ada guest player khusus, Dian
HP ikut mendukung album, memainkan piano untuk lagu,’Satu Lagi’.
Tiga
tahun selepas merilis mini album Baralek Gadang, Emerald melepas, Marunda, dirilis 1994. Dengan lagu,
‘Sudah Cukup Lama’, ‘Teman Biasa’, ‘February 14th’, ‘Marunda’. Kemudian ada
lagu, ‘Ternyata’, ‘Hasrat’, ‘Edwina’, ‘Sambali’.
Sejauh
itu, Emerald perlu dicatat sebagai satu-satunya kelompok jazz(y) 1980-an yang
tetap eksis dan terus produktif. Grup-grup lain, yang pernah menghasilkan
rekaman juga, di era 1980-an, terutama dari 1985-an sampai akhir 1980-an, semua
terhenti.
Setahun
sebelum merilis Marunda, Emerald memperoleh undangan untuk ke Jepang lagi. Kali
ini untuk ikut tampil di Sumitomo Music
Festival. Cerita Roedy, kabarnya waktu Emerald tampil di final BEX, ada boss dari Sumitomo menonton dan
terpesona. Maka ketika mereka, Sumitomo mau bikin acara, Emerald pun diundang.
Acara
itu bukan festival kompetitif. Statusnya mereka undangan, dengan bayaran sangat
bagus, terang Roedy. Tapi kemudian di akhir acara itu, Ricky Jo eh dipilih
sebagai vokalis terbaik. Dan Emerald diberi penghargaan sebagai Outstanding Performers kedua, setelah
sebuah band pop Jepang.
Kalau
menyoal angka penjualan album, mungkin saja Emerald belumlah sesukses Krakatau
atau Karimata. Walau bukan berarti, album-album mereka tak berbunyi sama sekali
di pasaran, terutama album pertama dan kedua.
Uniknya,
album ketiga dan keempat, menjadi album penting yang diburu para kolektor
justru pada waktu kemudian. Sekitar hampir 10-an tahun kemudianlah, album-album
Emerald dalam format kaset dicari-cari para kolektor.
Selepas
album Marunda, perjalanan mereka menjadi slowdown.
Bukan berhenti total. Tapi biasa deh, dikarenakan semua personil makin sibuk
dengan proyek musik masing-masing, maka Emerald lantas melambat jalannya.
Kesemua
personil menjadi session players yang terbilang laris, sebagian di antaranya
juga menjadi produser ataupun arranger untuk rekaman. Ricky Jo mulai sibuk
dengan grup lain, salah satunya adalah trionya bersama Fariz RM dan Dandung Sadewa,
Rikardo Batista namanya. Selain itu
juga Ricky menghasilkan solo album.
Bernard Ricky
Johannes, begitu nama lengkapnya. Pemuda yang menyebut N.
Simanungkalit sebagai guru vokal utamanya itu, juga dikenal sebagai penggila
sepakbola. Tak heran, saat ditanya itu Rikardo Batista apaan sih artinya? Ricky
bilang, kan waktu itu demam sepakbola, World
Cup. Itu terinspirasi dari nama-nama pemain sepakbola, terutama dari
Argentina...
Di
awal 1980-an, Ricky memulai karir menyanyinya dengan mengikuti berbagai lomba
menyanyi. Antara lain Pop Singers
serta Bintang Radio dan Televisi RRI/TVRI. Ia meraih prestasi sebagai Juara II
Pop Singers se Jakarta, tahun 1980.
Ia
juga meraih predikat Juara I dan Penampilan Terbaik Bintang Radio dan Televisi,
tingkat DKI Jaya. Serta juara ketiga, dengan predikat Penampilan Terbaik pula,
untuk tingkat nasional, di tahun 1983.
Saya
sendiri mengenal Ricky Jo, sekitar 1986-an, saat ia masuk formasi Splash Band.
Eh iya, kenalan sih sudah sebelumnya tapi lantas menjadi akrab saat ia menjadi
vokalis Splash Band. Ia berduet dengan Nya’
Ina Raseuki, yang lebih dikenal sebagai Ubiet, di grup yang dibentuk oleh Diddi Agephe tersebut.
Permisi
nyelip lagi ya... Di Splash itulah,
saya selain menjadi akrab dengan Ricky, juga mulai mengenal gitaris muda, masih
SMA saat itu, Tohpati Ario Hutomo.
Salah satu grup terawal Tohpati, yang biasa dipanggil Bontot itu, memang
Splash. Splash sendiri dibentuk Diddi bersama Dian Hadipranowo (Dian HP), yang
waktu itu berstatus sebagai istri dari Diddi.
Masih
soal Ricky, ia merilis solo album berjudul Ricky
Johannes di tahun 1993. Dalam album yang diproduksi JFS Records, milik
pencipta lagu kondang, James F. Sundah
tersebut, ada beberapa lagu karya Fariz RM yang dibawakan Ricky.
Melewati
pertengahan 1990-an, Ricky mulai memiliki kesibukan lain sebagai penyiar radio.
Itu adalah stepping stone-nya, untuk
lantas menjadi presenter di televisi. Karirnya di layar kaca sebagai presenter,
dimulai sebagai pembawa acara beberapa acara kuis di stasiun RCTI.
Kemudian
Ricky lantas menjadi presenter acara olahraga, dimana ia dikenal dengan
salamnya, “Salam Olahraga”. Di awal dekade kedua 2000-an, saya sempat diminta
membantunya untuk mempromosikan solo albumnya, RJ. Oh ya, ia mencoba tampil
dengan “nama baru”, RJ itu, mulai
dari solo album tersebut.
Setelah
itu,saya malah lantas menjadi bintang tamu tetap program siarannya di Lite FM
105,8. Dimana dimulai dari menjadi narasumber, yang diwawancarai di 2010, eh
lantas saya menjadi partnernya. Kami
sempat siaran bertiga bersama penyiar cewek cantik, Cindy Purple.
Program
saya di radio tersebut terus berlanjut, sementara Ricky keburu mundur karena
kesibukannya di dunia televisi dan olahraga. Saya hanya sekitar 3 bulan siaran
bareng Ricky. Tapi dengan Ricky lah, saya memang lantas punya program khusus di
radio itu dan berlangsung sampai 5 tahun.
Kami
juga pernah menjadi duo host di beberapa
acara musik. Salah satunya itu, masih terkait dengan radio Lite FM 105,8. Dan
memang saat menerima kabar duka, Ricky berpulang mendadak karena terkena
serangan jantung di 22 Maret 2013, jelas saya kaget.
Ricky
saya kenal aktif berolahraga, terutama sepakbola dan belakangan futsal. Tak
heran iapun juga terpilih sebagai wakil ketua Badan Futsal Nasional di dalam
PSSI. Toh ia ternyata akhirnya pergi juga. Kaget dan juga sedih sih, Ricky sama
seperti semua Emerald, itu terbilang sahabat dekat banget. Banyak sekali cerita
tentang mereka....
Kembali
lagi ke Emerald. Mereka sempat vakum beberapa saat. Terakhir itu, Emerald
dengan formasi terakhirnya, tentu bersama Ricky, sempat tampil di Java Jazz
Festival 2007. Sambutan penonton antusias betul saat itu. Setelah itu, mereka
“hilang” beberapa tahun.
Di
2010, saya dikabari oleh Roedy dan Morgan, bahwa Iwang mengajak mereka main
bareng lagi. Mereka tak terpikir untuk menghidupkan lagi Emerald di waktu itu.
Akhirnya, merekapun kumpul lagi. Awalnya kepikiran bisa reunian formasi BEX,
dengan Cendi sekalian.
Sayang
Cendi terlalu sibuk. Akhirnya diajak lagi Inang Noorsaid. Terjadilah reunian
Emerald formasi pertama itu. Tapi mereka memilih nama BEX Tokyo Reunion. Saya sempat membawa mereka tampil di New Friday Jazz Night, di Pasar Seni
Ancol. Waktu itu, saya membantu Donny
Hardono dengan DSS Production-nya,
menjalankan lagi program live di kawasan Ancol yang sempat dikenal luas publik
Jakarta di era 1980-an itu.
Dari
Pasar Seni Ancol, mereka tampil di Bentara Budaya Jakarta. Setelah itu, mereka
kemudian mengalami pergantian formasi. Inang keluar. Roedy, Iwang dan Morgan
lalu mencari penggantinya. Terbersitlah ide untuk lebih memilih drummer muda
yang fresh. Tapi dengan syarat harus
tahu lagu-lagu Emerald, syukur-syukur kalau suka dan sudah bisa memainkan.
Nah
di saat itulah, mereka memutuskan memakai saja nama Emerald BEX. Ini untuk membedakan dengan Emerald (biasa). Karena
kan biar bagaimana mereka tak menyertakan Ricky Jo saat itu. Karena juga,konsep
Emerald BEX memang hanya akan membawakan lagu-lagu instrumental, pada awalnya.
Didapatlah
drummer muda, Exel Mangare. Dia tahu
sebagian lagu Emerald, dan dicobalah main. Dengan Exel, saya sempat membawa
mereka sampai Medan, ikut memeriahkan North
Sumatra Jazz Festival di tahun 2011. Formasi bersama Exel juga, dibawa lagi
ke New Friday Jazz Night di Pasar Seni Ancol, tahun yang sama.
Sayangnya
Exel yang waktu itu masih bersekolah SMA, ternyata berkeinginan kuat
melanjutkan studi di Amerika Serikat. Ia kepengen memperdalam ilmu nge-drumsnya. Maka mau tak mau, perjalanannya bareng
Emerald harus terhenti.
Emerald
BEX sibuk mencari pengganti Exel. Didapatlah Yandi Andaputra, masih muda juga. Dan setelah beberapa kali main,
dirasakan ada kecocokan. Cuma di waktu itu sempat Morgan, Roedy dan Iwang
memilih untuk bersikap bahwa drummer adalah additional
player saja. Karena melihat cukup sulit untuk bisa mendapatkan drummer yang
“setia setiap saat”.
Jadi
mereka bebas, bisa mengajak drummer siapa saja. Asalkan drummer tersebut mau
membawakan lagu-lagu mereka, syukurlah kalau sudah tahu sebelumnya. Oh ya
syarat lain, harus anak muda banget, ya seusia Exel dan Yandi. Biar bisa
mentransfer enerjilah ya untuk oom-oomnya?
Morgan
dan Roedy saya bilang begitu, di waktu itu, hanya tertawa lebar. Bukan oom
dong, sergah mereka kompak. Kakak-kakaklah. Dan masih disepakati bahwa mereka
mencoba tetap tanpa vokalis dulu.
Walau
merekapun toh sempat menyertakan bintang tamu vokalis, membawakan 1-2 lagu.
Mereka pernah mengajak Teddy Adhitya,
khususnya satu ketika di Pasar Seni Ancol. Pernah juga dengan salah seorang
putri dari Lidya Noorsaid, kakaknya Iwang itu yang menikah dengan gitaris,
Yongkie Ramelan.
Di
2010, eh ini hampir terlewat nih. Emerald pernah juga merilis album The Best of nya. Kumpulan hits mereka,
dari keempat album mereka di tahun 1990-an itu. Tanggapan publik kabarnya
lumayan. Kangen juga rupanya. Seneng juga sahabat-sahabat saya ternyata ngangenin... Hihihihi.
Lagi-lagi
eh iya, saat launching mereka untuk
album tersebut, saya diminta menjadi moderator. Dalam acara ngobrol kita,
isinya lebih banyak becandaan dan mengingat-ingat masa lalu, jaman keemasan
dulu... Seru juga sih.
Sampailah
pada tahun 2015, dimana Emerald BEX lalu menyelesaikan dan langsung merilis
album baru. Berjudul Beda. Berisikan
12 tracks, dimana ada tracks dengan
vokal. Lagu ‘Cemas’ dibawakan oleh Chintana
Jo, putri sulung Ricky Jo.
Lagu
itu diambil dari album perdana, Cemas, yang saat itu dibawakan Utha Likumahuwa.
Khusus untuk dinyanyikan kembali oleh Chintana, lirik lagu ditulis ulang dan
diaransemen baru lagi. Lalu lagu, ‘Hanya Angan’ yang dibawakan kembali, tentu
dengan olahan aransemen berbeda, kembali menampilkan Chintana sebagai vokalis.
Mengenai
Chintana Jo nih, putri sulung mendiang Ricky. Ia memang terlihat senang, ketika
dulu bercerita putri sulungnya mulai menyanyi. Kelihatannya ada bakatnya bisa
mengikuti papanya nih, kata almarhum di masa hidupnya.
Yang
saya ingat, Ricky pernah berpesan, agar Chinta bisa menjadi penyanyi yang baik
dan benar. Kalau memang Chinta pengen menjadi penyanyi profesional, ia senang
dan pasti mendukungnya penuh. Akankah Chintana bakal mengikuti jejak sang ayah?
Waktu akan membuktikan.
Dalam
album tersebut ada lagu-lagu lain seperti, ‘Meet at Peacock’, ‘Journey to
Sabang Street’. Itu lagu-lagu yang punya cerita tersendiri, seringkai dibawain
mereka di panggung, tapi belum pernah masuk di album sebelumnya.
Meet
at Peacock, kan udah saya ceritain di atas. Journey to Sabang Street
terinspirasi dari pertemuan Iwang, Iang dan Roedy bertemu Morgan, yang pada
momen itu mereka bertiga mengajak Morgan untuk bergabung dalam Emerald.
Memang
mereka ketemu Morgan di kawasan tempat makan malam, jalan Sabang, Jakarta
Pusat. Tempat makan itu, serupa dengan kawasan warung-warung makan bertenda di
Blok M, yang dikenal dengan sebutan, Pasar Kaget.
Lalu
‘Billiard’ yang diambil dari debut album mereka juga. Nah ini billiard, cerita
tentang kegemaran mereka main bola sodok itu. Mereka getol banget waktu itu.
Bisa masuk hampir tengah malam dan baru keluar gedung, saat matahari pagi sudah
menyinari bumi! Oho!
Lalu
ada lagu, ‘11 Juli’. Juga ada lagu baru,’Natsepa’, ‘Jakarta’, ‘Mendaki Langit’,
‘Kan Kupetik Bintang Untukmu’. Mendaki Langit dan Kupetik Bintang, dimainkan
awalnya di Pasar Seni Ancol, dan terasa ngerock
banget. Iwang bermain “semena-mena” di kedua lagu yang bernafas pop rock
tersebut.
Lagu
‘Altimeter’, ‘Ronggeng’ yang pernah masuk dalam album Karapan Sapi, dibawakan
lagi. Tetap dengan penggarapan aransemen baru. Jadi memang album tersebut,
lebih ditujukan sebagai semacam bukti mereka masih eksis. Juga kreatif.
Sekaligus
menunjukkan rasa perhatian dan terimakasih mereka terhadap para penggemar setia
mereka. Sudah puluhan tahun dijalani, para penggemar fanatik terus menyukai
mereka. So sweet kaaaaaan? Harus
diganjar dengan album baru.
Album
itu juga memberi penegasan bahwa mereka tetap berusaha bertahan, untuk lebih
mengandalkan lagu-lagu instrumental. Tetap setia pada corak fusionnya.
Lagu-lagu dengan syair, lebih sebagai pelengkap. Bukan semata-mata bonus track
sih. Karena keberadaan lagu-lagu dengan vokal tetap penting.
Karena
mau tak mau, harus diakui bahwasanya Emerald dulunya, sebagai cikalbakal-nya
Emerald BEX punya banyak hits juga dengan vokal. Lagu-lagu tersebut lumayan
populer dan terus disukai bahkan hingga hari ini.
Hal
tersebut membuat mereka meneruskan perjalanan dengan sekalian mencari vokalis.
Mereka belum bisa memastikan, akankah ada vokalis tetap, sebagai pengganti
almarhum Ricky Jo. Karena, menurut Roedy dan Iwang, Ricky Jo susah tergantikan.
Sejak
tahun silam, mereka “menemukan” Dudy
Oris. Nama ini adalah mantan vokalis dari grup pop, Yovie NUNO. Sejauh ini terlihat ada kecocokkan antara Dudy dan
Emerald BEX. Dudy juga mengakui adalah fansnya Ricky Jo dan Emerald. Semua lagu
Emerald yang dibawakan almarhum Ricky, disukai oleh Dudy.
Dudy
saat ini tak tergabung dalam sebuah gruppun. Ia berjalan secara solo saja.
Akankah memang nanti Dudy asli jadi vokalis atau frontline andalan Emerald BEX? Kita serahkan saja pada semesta raya
ya? Kan kalau jodoh, tak akan lari kemana...
Jadi
ya gimana dong? Emerald BEX akankah memakai vokalis tetap seperti Emerald? Tapi
sejatinya, nah ini sebenarnya harus dipertimbangkan juga, biar gimana Emerald
BEX juga dikenal luas karena lagu-lagu fusion-nya yang instrumental.
Mereka
dianggap tetap sebagai band “lawas” yang tetap disegani. Tetap jadi salah satu
ikon jazz(y) 1980-an yang tetap bertahan hingga sekarang. Dan untuk jenis musik
yang mereka mainkan selama ini, mereka bolehlah disebut, seng ada lawan! Tepatnya, ga ada yang bisa “mendekati” mereka,
kalau soal memainkan jenis musik fusion seperti itu, yang memang sih
mengingatkan kita akan musiknya Casiopea.
Waktu
selama ini telah membuktikan, yang rada dekat dengan musiknya Casiopea, memang
hanya mereka. Sampai hari inipun, Casiopea tetap banyak fansnya di sini.
Makanya sampai mereka sudah 5 kali menggelar konsernya di Indonesia sini. 4
konsernya di Jakarta, pertama di 1984, lalu di Jakjazz tahun 1991 dan 1993.
Terakhir di 2015 lalu, “kebetulan” bisa saya tonton.
Sejauh
mana Emerald BEX akan kuat bertahan? Sampai mana stamina mereka untuk terus
eksis? Biar gimana tergantung juga, sampai sebagaimana para penggemar mereka
menginginkan untuk mereka bertahan.
Selain
itu,ini yang tak kalah pentingnya, bagaimana pula mereka lantas bisa
memperlebar ataupun memperluas cakupan wilayah usia penggemarnya. Ada updating pada fansnya, itu rasanya akan
memberi support ekstra untuk dapat memperpanjang “nafas” mereka.
Ya
iya, kalau penggemar musik fusion yang muda-muda, bisa menerima dan menyukai
musik mereka, itu modal bagus be’eng
untuk keberlangsungan eksitensi mereka. Mereka sih tetap kreatif kok, semangat
masih lumayan membara. Cuma kan, kalau ga ada penontonnya, waktu mereka
manggung? Celaka 12 namanya!
Syukur
sih, tak sampai seekstrim itu. Buktinya, mereka tetap tampil di berbagai acara,
di pelbagai konser dan festival. Yang diadakan di berbagai kota. Penonton tetap
terbilang antusias menyambut penampilan mereka di panggung. Ga sedikit memang,
fans-fans relatif fanatik sejak lama yang kangen dengan mereka...
Walau
kadang mereka juga punya problem internal. Biasa dah, apalagi kalau bukan
kesibukan masing-masing personil. Roedy saat ini terbilang sebagai produser
ataupun music director rekaman
berbagai album yang lumayan laris.
Morgan
aktif di musik-musik gospel, melayani
Tuhan. Iwang, nah ini nih. Seringkali tetiba terbang, ga kira-kira jack, keliling Eropa segala. Untuk main,
resital piano, solo! Terakhir,Iwang juga ikut jadi “seksi sibuk” pentas
Kibordis untuk Bangsa, dengan penampilan 100 Kibordis yang menjadi rekor dunia
itu.
Bahkan
juga drummer. Ada beberapa kali dengan sangat terpaksalah, Emerald BEX harus
mengajak drummer lain karena Yandi sudah keburu diikat kontrak dengan band
lain. Drummer yang menggantikan Yandi adalah Muhammad Iqbal. Dan Iqbal ini adalah teman duet Yandi di grup
mereka, Duadrum.
Jadi
memang, “kakak-kakak”nya sudah sepakat menjadikan “adik” mereka, Yandi sebagai
drummer tetap. Cuma sedikit jadi problem, Yandi juga drummer muda yang lagi
laris-larisnya pula. Tapi baiknya, adalah ya way-out...
Ah
akhirnya bisa juga ya, menulis mereka, para sahabat baik saya sejak lama ini.
Menulisnya juga lumejen neh.
Mudah-mudahan lengkap dan....memuaskan para pembaca, terutama para fans-fans
fanatik mereka.
Akhirul
kata, well dudes, keep on goin’. Keep
your music play! Biar bagaimanapun mereka adalah band bagus, yang tetap dan
terus bagus dari 1980-an. Dan musiknya tetap bisa menyegarkan sekaligus
menyejukkan hati dan pikiran, para penikmat musik, segala usia, sampai hari
ini. Malah, kayaknya sih....everlasting!
Sehatslah
selalu ya, brothers! Tuhan memberkati
langkah-langkah kaki dan kreatifitas kalian..../*