Wednesday, December 28, 2016

The Return of Chicha Koeswoyo

Setelah beberapa chapter dalam kehidupan ini dilaluinya. Dengan kesadaran. Dan ia nikmati dengan sebenar-benarnya. Maka kini ia merasa, ia telah siap memasuki the next chapter....
Jadi, titik ini bukan sekadar ia melakukan come back. Kembali ke dunia, yang pernah menjadikan ia begitu tersohor, padahal di waktu ia sejatinya belumlah memahami banyak hal. Saat itu, tetiba ia seperti terjatuh di tempat yang tak disangka-sangkanya.
Ya begitulah, ia menikmati hidupnya. Menikmati perjalanan hari demi hari kehidupannya. Semuanya disyukurinya. Semuanya memberikannya kebahagiaan. Membuat hidupnya lebih berarti.
So, Look at Me. Here I am now, with all of my happiness in life? Buatnya, hidup ini patut disyukuri. Dan salah satu cara ia mensyukuri segala nikmatNYA, pada hari ini adalah, ia kembali bernyanyi.....

Siap ga siap, mas. Begitu kenangnya, ia tersenyum lebar sambil menatap jauh ke depan. Ia tak terlalu merencanakan, bahwa ia akan menyanyi lagi. Kembali ke dunia yang telah lumayan lama ditinggalkannya. Ia merasa, sudah tak lagi mengakrabinya. Ada kegamangan, untuk disebut sebagai, kembali?
Waktu masuk studio rekaman, ia sempat ragu. Berpikir beberapa kali. Lalu menyanyi. Ngobrol dan diskusi. Menyanyi lagi. Ngobrol lagi. Meyakinkan dirinya dan sekaligus, meyakini produser musiknya. Apakah ia memang siap?
Roedyano Wasito, bassis dari grup musik fusion terkemuka, Emerald BEX. Ia adalah produser musiknya. Bukan orang jauh. Ia adalah kakak iparnya. Roedy lah yang meyakini dirinya, bahwa ia siap mencoba memberi jalan untuknya muncul lagi.
Tapi kembali tampil, karena memang waktunya. Demi kebahagiaan semata. Bukan karena ia membutuhkan. Bukan karena ia kepengen banget. Karena ia rindu? Kembali ia melempar senyum. Mas, saya merasa ya ini mungkin saatnya kembali...
Tak ada niat terlalu muluk. Tak ada pretensi macam-macam. Ya pokoknya, saya hanya pengen menyanyi lagi saja. Mampukah saya? Itu mungkinlah kegalauannya, saat di dalam studio, mencoba bekerjasama dengan iparnya sendiri. Yang nampaknya sabar, untuk memberikan waktu, tempat dan jalan buatnya.
Musik dari lagu itu sepenuhnya dari Roedyanto, begitu ceritanya. Roedy lah yang menentukan dan menyiapkan lagunya. Dengan musik seperti itu. Buat Roedy, ia memang menyiapkan sesuatu yang mungkin relatif berbeda, dari yang ia bayangkan sendiri sebelumnya.
Ia telah bahagia dngan hidupnya. Hidup bersama suami yang mencintainya sepenuh jiwa dan ia pun mencintainya sungguh-sungguh. Dengan putra dan putrinya yang disayangi dan menyayanginya pula. Mereka memberi support, at least seperti memberi perkenan kepadanya.
Ia bercerita, anakku yang sulung malah bilang, kenapa baru sekarang? Saya haya menjawabnya dengan senyum. Waktu yang membuatnya dan menggiringnya.  Membawanya masuk studio lagi, mencoba menyanyi. Mencoba lagi, menikmati sebuah lagu, untuk bisa dinyanyikannya sebaik-baiknya.
Ia telah menyadari sepenuhnya, ia kembali, karena memang sudah waktunya. Ia juga telah menyiapkan diri, dalam hal ini secara mentalnya, bahwasanya ia mungkin kembali hanya untuk beberapa waktu saja. Kalaupun memang, hanya untuk muncul lagi dalam waktu sangat terbatas, misalnya 2 atau 3 tahun. Ya saya sudah siap kok mas.
Makanya ya, lanjutnya, ia pernah secara becanda bilang ke putra sulungnya, ya dia menyanyi lagi mungkin juga hanya untuk beberapa tahun saja. Ia bilang, ia sadar kan sudah berumur juga. Sudah jadi ibu-ibu pula. Dan anak-anaknya, menurutnya, hanya tertawa saja.
Lucunya, memang putra sulungnya bilang, mengapa tidak dari beberapa tahun lalu saja, untuk kembali menyanyi? Artinya, waktunya jadi relatif panjang. Anaknya yakin, ibunya masih bisa menyanyi. Tapi saat itu, ia hanya memberi senyum lebar saja kepada anaknya itu. Ya ga tau ya, memang waktunya ukan tahun-tahun kemarin, baru datangnya sekarang ini....
Ia menegaskan, sembari meyakini dirinya sendiri, bahwa ia hanya ingin kembali. Tanpa bertujuan terlalu tinggi, atau terlalu muluk. “Kalau saya bisa kembali,dan ternyata bisa diterima publik, itu sudah kebahagiaan luar biasa buat saya. Karena ya untuk hari ini, saat ini, sesungguhnya saya masih belum terlalu yakin betul, apa saya masih bisa menyanyi lagi. Dan bisa diterima masyarakat?”
Well, seperti kita ketahui bersama, memang Helli pun juga udah tiada. Setahun setelah dibikin lagu, dan ternyata meledak luar biasa tak terkira itu, Helli meninggal. Itu cerita yang benar, dari seekor anjing pekingese lucu, berbulu putih yang lincah dan ceria. Jadi, cerita Helli, dengan segala kejayaannya di 1975-an itu sudah berlalu. Jauh berlalu.
Itu cerita manis hidupnya. Bagaimana sang ayah, Nomo Koeswoyo, secara tak sengaja menemukan bakatnya. Ketika sang ayah mengerjakan jingle iklan sebuah pasta gigi, ia meminta sang putri menyanyikan lagu tema iklan tersebut. Pas selesai direkam, lho ayahnya mendengar suara anaknya, nyengek tinggi melengking dan kesannya komersial.
Karena sound engineer studio Yukawi juga menyetujuinya, maka ayahnya langsung menyiapkan proses rekaman. Berlangsung singkat saja. Hasilnya? Memang luar biasa. Album itu sukses besar. Dianggap lagu anak-anak yang pas betul, lirik sederhana, mudah diikuti, mudah dipahami anak-anak. Menurut bapak AT. Mahmud, penulis lagu anak itu, lagu anak berhasil kalau anak-anak ketika mendengar lagu itu, tubuhnya bergoyang mengikuti lagu tersebut.
Kesuksesan Helli, dilanjutkan Si Paul.  Berlanjut dengan Turut Kata Papa dan Mama. Semuanya relatif sama suksesnya. Iapun langsung dikenal sebagai penyanyi anak-anak paling populer. Ia memang pelopor penyanyi anak-anak, yang menghasilkan album rekaman dalam pita kaset.
Kesuksesannya, menimbulkan gelombang baru, penyanyi anak-anak, yang lantas menyusul keluar. Tapi terus terang, kesuksesan Helli itu, sulit ditandingi oleh penyanyi cilik manapun. Bahkan kemudian, oleh dirinya sendiri, sebagai penyanyi asli album Helli yang berisikan 11 lagu itu.
Bahkan adknya sendiri, Helen Koeswoyo, menyusul dirinya menjadi penyanyi cilik berikutnya. Juga sepupunya, Sari Yok Koeswoyo. Mendekati akhir 1970 sampai awal 1980-an, lahirlah para penyanyi cilik. Itu karena Helli? Bisa jadi.... Helli membuat trend baru!
Ia memang sukses luar biasa. Ia bercerita, karena albumnya sukses ia sampai bisa membeli mobil sendiri. Kemana-mana ia diantar oleh mobilnya itu. Gaya deh ya waktu itu, ia bercerita sambil tertawa. Tapi pernah satu ketika, mobil terpaksa dilego. Orang tuanya mengalami masalah finansial, mobilnya terpaksa “dikorbankan”.
Tetapi, kenangnya, ia tak lantas menjadi kaget atau sedih kehilangan mobilnya. Tak apa kok, akhirnya pulang pergi ke sekolahnya ia menumpang motor saja. Suka ada penggemarnya saat itu heran, kok dia naik motor saja? Menurutnya, ya dia hanya melempar senyum, tertawa dan melambaikan tangan saja kepada fansnya yang rada kaget melihatnya menumpang sepeda motor.
Pada perjalanan kemudian, tercatat ada lebih dari 30-an album anak-anak yang dihasilkannya, bersama sang ayah, Nomo Koeswoyo. Juga termasuk album duetnya, dengan penyanyi cilik sukses lain, Adi Bing Slamet, diedarkan pada 1978. Yang notabene, Adi muncul belakangan setelah dirinya.
Catatan album sebanyak itu tentunya adalah rekor tersendiri. Menjadikannya penyanyi anak tersukses, sekaligus terbanyak album rekamannya. Tak ada yang menyamai rekor itu, bahkan sampai saat ini. Bangganya ya? Ia hanya tersenyum dan bilang, sungguh lho ga menyangka sampai segitunya.
Menurutnya, itu adalah sebuah chapter dalam kehidupannya. Saat dimana ia menjadi penyanyi, tanpa direncanakan sebenarnya, sebelumnya. Penyanyi cilik yang sukses. Kalaupun ia mungkin merasa bangga, ia sendiri merasa tak menyadari kebanggaan seperti apa sebetulnya. Karena ia masih anak-anak.
Ia tak lantas berubah. Karena segala sesuatunya, tetap saja dijalaninya biasa saja. Ia misalnya kan, tetap bersekolah biasa, setiap hari. Bergaul ya dengan anak-anak seumurannya, tak dipilih-pilihnya.
Dan lihat saja, ia bahkan tak hanya menghasilkan album rekaman, ia juga lantas menjadi aktris cilik. Antara lain ia main di film Chicha, diedarkan 1976. Lalu dengan Adi Bing Slamet, Itu saat ia masih anak-anak.
Foto dari gooling
Saat remaja, ia bermain di film Gejolak Kawula Muda, bersama Rico Tampatty dan Ria Irawan. Masih di tahun sama, ia juga membintangi Idola Remaja. Kembali bersama Rico Tampatty dan ada juga, Ekky Soekarno.
Dan kalau masih pada ingat, dari kedua film itu juga, ada album soundtracknya. Gejolak Kawula Muda dengan Nomo Koeswoyo juga. Dimana lagu ‘Gejolak Kawula Muda’ menjadi hits-nya. Lagu itu arya Nomo Koeswoyo dan Lesmana.
Ada 10 lagu di dalam album itu. Dan 9 buah lagu lain, adalah karya Tony Koeswoyo, yang adalah pamannya. Album ini lumayan sukses, mengikuti kesuksesan filmnya yang berisikan trend breakdance yang tengah menggila di era itu. Film tersebut diproduksi oleh Rapi Film.
Kalau Idola Remaja, dengan Ekki Soekarno, yang didukung Jimmy Paais dan Dodo Zakaria. Album ini cukup mengejutkan sebetulnya, karena ia berani “menerima tantangan”. Yaitu, mencoba ngerock! Untungnya, ia tak lantas membuat suaranya “memaksakan diri” untuk teriak parahu, serah-serak gitu. Ia memilih, menyiasatinya dengan menaklukkan lagu-lagu rock itu dengan mengambil falsetto.
Lagu ‘Idola Remaja’ sebagai hits utama, adalah karya bersama Dodo Zakaria dan Deddy Dhukun. Ada pula lagu, ‘Dari Waktu ke Waktu’, yang dibuat oleh Ekky Soekarno dan Jimmy Paais. Lagu lain, ‘Gerbang Negeriku’, yang juga dibuat bareng Ekki dan Jimmy. Selain itu, ada 6 lagu lainnya.
Ia juga sebelumnya, sempat menghasilkan selftitled album di tahun 1983. Dimana sisi musik ditangani Candra Darusman. Ada lagu-lagu yang cukup dikenal saat itu, ‘Rinduku’ karya Adjie Soetama. Lalu, ‘Bersamanya’ yang ditulis Deddy Dhukun. Dan lagu, ‘Adikku’, yang ditulis oleh Candra Darusman..

Iapun menyebut, usai film-film tersebut, dan album musik remajanya, ia memang memasuki chapter berikutnya dalam hidupnya. Ia lantas memasuki mahligai rumah tangga, dengan pria pilihannya. Itu juga chapter dalam hidupnya, yang ia sangat nikmati. Ia jalani dengan kesadaran sepenuhnya.
Ia sadari bahwa ia memerlukan perhatian penuh terhadap suami, lalu anak-anaknya yang dilahirkannya. Sehingga ia memang memilih, memasuki sepenuhnya kisah hidupnya menjadi istri dan ibu rumah tangga tersebut. Halaman berisi kisahnya menjadi selebriti, sudah ditinggalkannya waktu itu.
Dan inilah dia sekarang. Lumayan lama juga penantiannya. Lebih dari 30 tahun! Ia telah kembali. Seperti harapnya, semoga diterima dengan baik oleh publik. Mirza Riadiani Kesuma, begitu nama lengkapnya. Kelahiran Jakarta, 1 Mei 1968. Istri dari Andi Indra Kesuma. Ibu dari Andi Rahmat Aqil Kesuma dan Andi Kinaya Putri Kesuma.
Selamat datang kembali, CHICHA KOESWOYO! Bernyanyilah..... Dan semuanyapun bergembiralah. /*




Bayangin The Rollies Berdiri Sejak...1967!

Kita The Rollies sih ga tua. Kita cuma hidup lebih lamaan saja, dan semangat kami itu tetap muda. Begitu ucap Benny Likumahuwa, satu ketika beberapa tahun lalu. Menyoal grupnya, yang ikut membesarkan namanya sebenarnya. Tetapi yang kemudian, ia juga terasa sebenarnya ikut membesarkan nama The Rollies juga adanya.
Sebuah perjalanan sedemikian panjang, bagi sebah grup musik. Bayangkanlah, sudah mulai berjalan sejak 1967! Hingga hitungannya, kalau hari ini kan mereka segera memasuki usia 50 tahun!

Hanya terpaut 5 tahun saja, dengan The Rolling Stones, yang tetap dan senantiasa rock n roll on-stage. Masih steady, sebagai sebuah grup rock legendaris. Dan The Rollies, begitupun halnya, tetap on-stage. Steady, walau mereka lebih miris dan ironis. Kehilangan 2 orang frontliners andalan. Yang sudah pergi dan tak akan kembali lagi.
Agak sulit membayangkan, sebuah grup band, tetap eksis, padahal sudah kehilangan 2 orang personil pentingnya. Gimana tak penting, 2 members mereka itu bisa dibilang juga identitas khas grup ini. Sulit dicari tandingannya.

Karena begitulah memang, The Rollies memang sangat lekat dengan timbre khas Bangun Soegito dan Delly Djoko Alipin. Pada jaman kejayaannya, publik lebih kenal dengan nama Gito Rollies dan Delly Rollies.
Gito, meninggal dunia pada 28 Debruari 2008, karena penyakit kanker getah bening. Lalu Delly Djoko Alipin, kibordis dan vokalis, meninggal karena serangan jantung, pada 30 Oktober, 6 tahun sebelumnya di usia 53 tahun. Selain itu juga gitaris mereka, kerap pula menjadi vokalis, Bonny Nurdaya, meninggal dunia di usia 55 tahun, pada 13 Juli 2003.

The Rollies sendiri menurut catatan, didirikan tahun 1967. Pendirinya adalah Deddy Sutansyah, yang lantas lebih dikenal sebagai Deddy Stanzah. Deddy mengajak Iwan Krisnawan, drummer serta Teuku Zulian Iskandar Madian, gitaris.  Mereka berasal dari grup musik yang telah lumayan dikenal saat itu, Delimas.
Selain itu, Deddy juga mengajak Delly Djoko Alipin, kibordis, yang berasal dari kelompok berbeda, Genta Istana. Dan orang tua Deddy, pemilik hotel Niagara, yang lantas menyokong penuh grup ini. Antara lain menyediakan sarana peralatan band lengkap.
Nama The Rollies adalah ide dari Deddy Stanzah. Ada beberapa versi, soal arti dari The Rollies. Ada yang menulisnya, karena Deddy dan Iskandar berambut ikal (roll), sementara Delly dan Iwan berambut lurus. Lainnya, ada yang mengira kemungkinan karena saat awalnya dulu itu mereka seringkali membawakan lagu-lagu The Rolling Stines dan Hollies.
Seperti sikon yang ada saat itu, terutama di kota-kota besar, grup-grup band memang membawakan lagu-lagu hits dari barat. The Rollies juga begitu. Mereka membawakan lagu-lagu dari The Beatles, The Bee Gees, The Rolling Stones, Hollies, Marbles, Beach Boys.


Pada jelang memasuki 1968, masuklah kemudian vokalis, Bangun Soegito Toekiman. Gito, yang kebetulan berambut sejenis Deddy, sebelumnya seringkali membawakan lagu-lagunya Tom Jones, Engelbert Humperdinck, dan sejenisnya.
Namun ketika ditarik masuk The Rollies, Delly menyarankan Gito mencoba membawakan lagu-lagu soul seperti James Brown. Ternyata cocok. Dan mulai saat itu, musik mereka memang mulai melebar, dan jadi menyelipkan pula lagu-lagu James Brown yang soul dan funk itu.
Lantas menjelang masuk era 1970-an, masuklah kemudian Benny Likumahuwa. Ia multi instrumentalis, pandai memainkan flute, trombone, bass, drums. Juga mahir dalam membaca not balok dan menulis aransemen musik. Masuknya Benny, memberi perubahan lebih lagi pada The Rollies.
Benny yang mengarahkan supaya The Rollies mengedepankan pula instrumen tiup. Lalu Gito pun selain menyanyi, juga meniup trumpet. Sementara Iskandar selain bermain gitar juga bermain saksofon. Mereka mulai dikenal sebagai kelompok brass rock band.
Orientasi musik merekapun pelan tapi pasti mulai bergeser. Mulai kerapkali membawakan lagu-lagu dari brass rock band luar seperti Chicago, Blood, Sweat and Tears sampai Tower of Power. Dan mereka memang relatif kuat dengan bentuk tersebut. Bisa dibilang, tak ada yang menyamai saat itu.
Pada perjalanan berikutnya, akhirnya Gito memilih hanya menjadi vokalis saja. Diajak masuklah, trumpetist, Didit Maruto. Kemudian masuk pula gitaris, Raden Bonny Nurdaya. The Rollies, pada masa itu mulai sering menjadi band pengiring beberapa penyanyi solo yang populer waktu itu.
Menyoal sebagai band pengiring, sejatinya The Rollies, bahkan di 1968,pernah menjadi pengiring penyanyi jelita, Aida Mustafa. Tatkala Aida membuat album rekaman yang dirilis oleh Philips Singapura. Di sekitar tahun itu pula, The Rollies memperoleh kesempatan main di Capitol Theatre secara reguler.
Mereka kembali berkiprah di tanah air, mulai seputaran 1971-an. Dan memang mereka lantas berhadapan dengan grup-grup pop yang tengah merajai pasar musik. Sebut saja seperti Koes Plus, The Mercy’s, Panbers, D’Lloyd dan Favorite’s Group.

Mereka merilis album Let’s Start Again dan Bad News, di bawah label Remako. Juga merilis Sign of Love, dengan label Purnama Records. Nah album-album mereka saat itu dianggap kurang komersial. Tak sanggup bersaing dengan album-album yang dihasilkan para grup pop yang saat itu begitu populernya.
Menariknya, The Rollies justru bisa dibilang sukses sebagai grup panggung. Pementasan mereka dimana-mana, relatif sukses. Mereka memang dianggap menarik aksi panggungnya, apalagi dengan adanya barisan tiupnya itu.
Juga tentunya, dengan lumayan luasnya musik yang mereka sajikan. Karena ada banyak musik yang mereka selalu hidangkan, baik itu pop rock, blues, soul, funk. Mereka makin terasa dekat dengan warna Chicago. Sehingga sering disebut sebagai Chicago van Bandung.
The Rollies juga menjadi grup band yang seringkali diajak menjadi band pembuka konser artis luar di Indonesia. Antara lain ada The Bee Gees, pada 2 April 1972 di Stadion Utama Senayan. Lalu Shocking Blue, yang datang dari Belanda itu, di Taman Ria Monas pada 23 Juli 1972.
Merekapun pede aja untuk dipanggungkan dalam satu acara bersama para band rock papan atas seperti AKA dan God Bless, di Jakarta dan Surabaya. Dari konser rock itu, terlihat bahwa mereka ternyata juga mulai punya fans fanatik.
Pada 1974, The Rollies harus kehilangan drummer Iwan Krisnawan. Iwan meninggal di usia baru 27 tahun, kabarnya karena overdosis narkoba. Lalu Deddy Stanzah pun mundur, karena mulai dijauhi oleh teman-teman di grupnya itu, karena alasan memakai narkoba. Masuklah bassis, Oetje F. Tekol. Lalu posisi drummer diisi Jimmy Manoppo.
Dengan formasi baru itu, The Roliies seperti memperoleh suntikan darah baru. Mereka mulai aktif kembali. Lalu meghasilkan album rekaman. Albumnya itu adalah Live Album, diambil dari pementasan mereka di Taman Ismail Marzuki, 2 dan 3 Oktober 1976.
Album itu diedarkan oleh Hidayat Audio dan bisa disebut album live dari rock band Indonesia yang pertama kali diedarkan. Perekaman langsung tersebut dilakukan oleh Jack Lesmana. Album itu ditunggu-tunggu fans fanatiknya, karena lebih dari 3 tahun mereka tak melepaskan album.
Dalam album Live tersebut, mereka membawakan lagu-lagu yang sebelumnya sudah kerapkali mereka bawakan, dan masuk pada album-album mereka sebelumnya. Seperti, ‘Free’, ‘Gone Are the Song of Yesterday’. Lalu juga, ‘Salam Terakhir’ karya Iwan Krisnawan, dan ‘Setangkai Bunga’ yang ditulis oleh Iskandar.
Mengenai album rekaman, sebenarnya album pertama mereka adalah debut album mereka yang digarap dan diedarkan Pop Sound Singapura. Mereka meng-cover lagu-lagu barat, yang biasa mereka bawakan di atas panggung. Seperti ‘Sunny’ (Bobby Hebb), ‘Love of a Woman’ (Samantha Sang), ‘You Keep Me Hangin On’ (Diana Ross  & the Supremes). Selain lagu-lagu soul James Brown seperti, ‘It’s a Man’s Man’s World, ;I Feel Good; dan ‘Cold Sweat’.
Dalam album itu mereka juga membawakan lagu, ‘Gone are the Song of Yesterday’. Lagu ini sekian lama bahkan dianggap sebagai signature song mereka. Padahal sejatinya, lagu tersebut adalah milik dari sebuah grup band asal London, Love Affair.
Tercatat juga, mereka sempat merilis album Halo Bandung, dirilis juga di 1969 oleh Pop Sound Singapura. Mereka dalam album ini membawakan malah lagu-lagu daerah, tentu diaransemen lagi, dengan gaya musik mereka. Selain lagu-lagu keroncong dan langgam! Tuuuuuh kan, luasnya musik mereka!
Pada era 1970-an itu, popularitas The Rollies ikut didongkrak naik oleh media musik paling populer saat itu, Aktuil. Mereka seringkali ditulis dan dimuat majalah beken tersebut. Karena majalah itu memang berkantor pusat di kota Bandung, seperti markasnya The Rollies.
Apalagi ditambah berbagai sensasi yang ditimbulkan mereka. Semisal, salah satu yang sensasional, saat Gito Rollies, mengendarai sepeda motor dalam keadaan bugil keliling Bandung, merayakan kelulusannya dari SMA. Ditambah persoalan beberapa personilnya yang menjadi junkies itu, ya Gito, Iwan dan Deddy.

Kembali lagi ke album rekaman. Setelah Live Albumnya, mereka merilis Tiada Kusangka. Kembali dirilis oleh Hidayat Audio, di tahun 1976. Jadinya semacam album revisited, dimana mereka membawakan lagi lagu-lagu yang telah mereka masukkan di album-album terdahulu. Jadi ada lagu-lagu seperti, ‘Salam Terakhir’, ‘Love of a Woman’, ‘Pahlawan Revolusi’, ‘Let’s Start Again’, No Sad Sad Song’, ‘Tiada Kusangka’, ‘Mawar Idaman’, ‘Lagu Rindu’ dan ‘Gone are the Song of Yesterday’. Musik mereka terkesan lebih matang.
Disusul dengan album berikutnya, Dansa Yok Dansa,  di 1977. Nah kali ini mereka berada di bawah label Musica Studio. Nama mereka menjadi, New Rollies. Benny Likumahuwa juga sudah mengundurkan diri sebagai anggota band. Ikut mundur kemudian adalah Iskandar. Posisi Iskandar digantikan Pomo, dari The Pro’s.
Dan mulai di album ini mereka membuka pintu, menerima karya-karya lagu dari penulis lagu lain. Alhasil, mereka memang seolah juga membuka diri untuk lebih kompromistis, dengan selera pasar. Ngepop? Begitulah. ‘Dansa Yok Dansa’, karya Titiek Puspa, salah satu contohnya. Tapi tetap bagusnya, masih terasa roh The Rollies nya.
Yang perlu dicatat, memang sejak 1977 tersebut, The Rollies lantas menghasilkan lagu-lagu hits, yang mendapat respon bagus dari khalayak umum. Menjadi terkesan lebih light dan poppish, tapi kalau buat saya sih, mereka sebenarnya tidaklah terlalu “melacurkan diri”....
Bimbi, adalah album kemudian yang dirilis Musica Studios setahun berikutnya. Mengandalkan lagi karya Titiek Puspa, ‘Bimbi’. Lagu ini lebih ngehits lagi. Selain juga mereka sukses menyodorkan lagu lain, ‘Hanya Bila Haus di Padang Tandus’, karya Johanes Purba sebagai hits juga.

Nah Oetje lantas melejitlah sebagai salah satu penulis lagu hits lewat, ‘Kemarau’. Lagu itu, dijadikan sebagai judul album yang dirilis pada 1979. Lagu bertemakan kepedulian atas lingkungan hidup itu, ternyata memperoleh anugerah Kalpataru dari Kementriaan Lingkungan Hidup. Diserahkan sang menteri sendiri, Prof. Dr. Emil Salim saat itu.
Mulai album Bimbi itu, Oetje Tekol muncul sebagai penulis lagu handal. Ia menghasilkan, ‘Hari Hari’. Lagu itu, kerapkali dibawakan Gito Rollies, saat show solonya. Dan selalu direspon positif penonton
Dari album itu, lahir pula hits lain mereka. Salah satu lagu ballad mereka yang lumayan populer, jaman ke jaman, ‘Kau Yang Kusayang’, karya Anto. Lagu itu sukses lho mengharu biru emosi dan hati para penggemar musik tanah air!
Di 1979, mereka melepas Kerinduan. Ini lagu ballad lain, yang meremas-remas hati para penggemar musik. Kayak pengen mengulang sukses lagu melankolis, ‘Kau Yang Kusayang’ itu. Masih dirilis oleh Musica Studios. Dalam album ini, Oetje menulis lagu bernuansa cinta tanah air, ‘Indonesia’.
Dalam album Kerinduan, juga mulai bisa didengar suara drummer, Jimmy Manoppo. Jimmy kebagian tugas, menyanyikan, ‘Mereka yang Berjasa’ dan ‘Satu Surga’ Lalu di album kemudian, dirilis pula di tahun sama. Judul album, Pertanda. Lagu yang diandalkan memang, ‘Pertanda’, dan lagu itu karya Jimmy Manoppo.

4 tahun, mereka tak menghasilkan album lagi. di 1983, mereka kemudian melansir 2 album berturutan. Album ke 14, Rollies 83, dengan mengandalkan, ‘Mabuk Cinta’. Lagu ini ditulis Harry Sabar. Dari album ini juga muncul, ballad manis lain mereka, ‘Burung Kecil’.
Sebagai album ke 15 adalah Astuti. Lagu andalan, ‘Astuti’, masih berirama rada reggae, seperti juga Mabuk Cinta. Astutidibawakan duet Gito dan Delly. Tapi seperti juga beberapa hits lain, lagu-lagu hits The Rollies yang memang dibawakan Gito itu, selalu saja sukses saat Gito melakukan show secara solo.
So, masuk 1980-an, Gito memang mulai kerapkali ditanggap main, sendiri. Dimana grup pengiringnya berganti-ganti. Ada beberapa kali, Gito juga main misalnya dengan Yuke Sumeru Band. Atau juga Dimensi Band, yang dimotori Donny Suhendra dan Yuke Sumeru.
Penampilan secara solo dari Gito itu, bisa dibilang relatif sukses. Nah ketika itulah, saya sempat beberapa kali memang berjalan bareng dengan Gito. Masih terkesan rada “badung”. Ya sisa-sisanya masih ada. Hehehehe. Ia masih minum minuman beralkohol, walau sudah berusaha membatasi diri dengan hanya bir hitam.
Yang saya ingat, Gito saat itu memang mengakui, ga mungkin kalau ia meninggalkan The Rollies. Grup itu memang membesarkan namanya. Serta, juga memberikannya banyak hits. Lagu-lagu The Rollies itu terbukti lumayan populer dan dikenal publik. Mereka, para penonton sering merikues dan ikutan menyanyi bareng!
Pada 1986, The Rollies masih menghasilkan Problema. Dan sejak album ke 14 hingga ke 16 ini, label rekaman mereka berpindah lagi. Kali ini dengan Sokha Records. Lagu andalan tentunya, ‘Problema’ karya Oetje Tekol. Ada lagu lain, ‘Maju Ayo Maju’ dari Junaedi Salat. Selain, ‘Maafkanlah’ karya Jimmy Manoppo.
Serunya memang, dari saat itu memang grup ini unik. Tak lagi terlalu brass rock band, tapi mereka punya banyak penyanyi! Ga hanya vokalis utama Gito Rollies lho. Ada Delly, Bonny sampai Jimmy. Semuanya punya lagu yang dinyanyikan sendiri-sendiri.
Walau begitu, terasa enerji mereka nampaknya sudah terkuras habis. Mulai dari album ke 15 dan selanjutnya, mereka sudah terlihat agak kepayahan dalam menghasilkan karya-karya baru. Maksudnya, baru yang benar-benar baru dan segar.

Saat itu pula, Gito memang mulai sering tampil solo. Demikian pula halnya dengan Jimmy Manoppo. Jimmy membuat grup khusus sebagai band pengiring, untuk beberapa acara di TVRI. Iapun juga menghasilkan solo album.
Sementara Oetje Tekol, mulai bermain, melakukan jammin’ atau kolaborasi dengan musisi lain, justru dari sebelumnya. Salah satunya adalah bersama Fariz RM. Dimana Fariz, dengan Oetje lalu Karim Suweileh dan gitaris, Joko Waluyo Haryono menghasilkan album Sri Panggung. Album yang menghasilkan hits, ‘Gairah Baru’ dan ‘Sri Panggung’ itu mengetengahkan vokalis, Jackie Bahasoean.
Dan untuk album rekaman, The Rollies masih berusaha terus kreatif. Walau mungkin “tinggallah sisa-sisa”. Ada album Iya Kan, New Roliies yang diedarkan tahun 1990. Mereka kembali di bawah Musica Studios. Mungkin karena materi lagu adalah lagu-lagu hits mereka sebelumnya, banyak yang berasal dari album yang dirilis Musica. Hanya ada ‘Iya Kan’, sebagai lagu baru, ditulis bareng oleh Oetje dan Deddy Dhukun.
Mereka kemudian vakum. Walau tetap tidak menyatakan diri berhenti. Apalagi mengatakan mereka bubar. Di 22 Januari 2001, Deddy Sutansyah, pendiri The Rollies meninggal dunia di Bandung. Namun kelompok ini lantas masih mencoba tetap bertahan.
Pada akhirnya, 2 mantan pemain utama mereka, Iskandar dan Benny Likumahuwa, bergabung kembali. Kembalinya Benny, menegaskan lagi The Rollies sebagai sebuah brass rock band. Mereka didukung dua vokalis muda, Alfredo Ayal dan Guswin. Mereka berdua memang diplot sebagai pengganti Delly dan Gito.
Perjalanan mereka terlihat benar kan, sedemikian panjangnya. Juga bisa dibilang tragis, karena satu demi satu musisi dan penyanyi pendiri serta andalan mereka berpulang. Tapi toh mereka tetap mencoba berupaya keras, bisa bertahan.
Hingga kemarin ini, di Desember 2016, mereka tampil di acara Delapan Puluhan di TVRI. Mereka tampil live, dengan cukup siap. Pada saat itu, penampilan mereka cukup mengobati kerinduan para penggemar mereka. Apalagi Alfredo, dan juga Guswin, lumayan berhasil untuk tampil mengisi vokal almarhum Delly dan Gito.


Merekapun tampil selengkapnya. Selain Alfredo dan Guswin, juga ada Iskandar, Benny Likumahuwa, Oetje F. Tekol, Jimmy Manoppo, Didiet Maruto. Didukung pula oleh Masri Piliang (gitaris), serta Nyong Anggoman (kibordis).
Tak pelak, The Rollies harusnya tetap tercatat sebagai salah satu grup pop rock yang unik. Selain menyandang predikat sebagai grup musik tertua di Indonesia, yang masih eksis hingga sekarang, musik mereka yang relatif berbeda itu sebenarnya tetap menarik. Menarik tak hanya bagi penggemar lamanya saja, yang notabene kaum berumur, tentunya.
Tapi juga kayaknya, menarik buat penggemar musik muda. Mereka masih punya potensi, dengan musik dan performance mereka, untuk ditonton dan dinikmati penggemar musik yang berusia lebih muda-an.
Yang penting sih, tetap bisa lebih banyak tampil. Muncul di berbagai acara musik. Ok, sukses dan Long Live The Rollies!/*





.





Thursday, December 22, 2016

DKSB, Apa Kabarnya?



DKSB gimana kabarnya, mas? Baik. Terus berkreasi dan terus eksplorasi. Sampai kapan bergerak terus? Sampai anak-anak bosen dan gw juga bosen.... Itu celotehan berdua, saya dengan sang “juragan” DKSB itu sendiri. Yup obrolan dengan mas Harry Roesli itu, saat sekitar 2004 lah. Beberapa bulan sebelum mas Harry tiada....
Pernah juga, di masa jauh sebelumnya lagi, ngobrolin tentang DKSB dengan almarhum. Tapi terus terang saya lupa. Kayaknya sih, sebagian saya jadikan tulisan juga, masuk di majalah saya. Cari-cari tu majalah, kagak ketemu juga. Ah, kumaha ieu....
Tapi yang jelas, saya dari dulu tertarik dengan keberadaan DKSB alias Depot Seni Kreasi Bandung. Kayaknya ini komunitas seni yang seru banget. Rada mbeling, sedikit ngaco tapi asoy. Terkesan ngawur gimana gitu tapi pasti dan jelas.
Itu mah persis sang leader sendiri. Terkesan bandel banget, sering ngaco, ngawur.  Hampura, saya pernah omong ini langsung juga ke almarhum. Doski hanya ketawa lebar. Bukan marah, tapi malah ajak hayoooo kita makan dulu. Padahal baru 2,5-3,5 jam sebelumnya kita makan bersama lho.... Hehehehe.
DKSB itu, dulu teh saya ingetnya dengan Bedug Jepun eh Bedug Jepang nya. Satu yang saya ingat, Bedug Jepang berdentum-dentum, lalu mas Harry tereak-tereak memanggil penonton, saat Jakjazz di Senayan, tahun 1996. Jazz banget tadi mas, kata saya waktu itu. Iya, jawab beliau, jazz untuk Ireng Maulana!



Hihihihi, saya ingatnya, sebelum Jakjazz itu, setahun sebelumnya ya. Harry Roesli menulis kritik cukup pedas terhadap Jakjazz. Dan karena itu, kata almarhum Ireng Maulana, kita ajak aja Harry Roesli ikutan main deh sekarang supaya Jakjazz ga dikiritik lagi!
Itu pertemuan pertama dengan Bedug Jepangnya DKSB. Kedua, ketika saya diundang menonton sebuah acara di kota Yogyakarta, yang dibikin sahabat baik saya, ini juga sekarang sudah almarhum, Wawan Djuanda. Kesannya mendalam memang, dengan perjumpaan di kedua pentas tersebut.
Ok balik ke DKSB sendiri. Kemarin itu, mereka menggelarlah proyek “rada mustahil”. Sebuah Reuni-an, relatif akbar karena baru pertama kali dibikin dan semua diundang. Sementara proses persiapan kurang dari 3 minggu! Sakti euy!
Saya diundang. Aduh, alhamdulillah, masih diinget. Hihihihi. Tapi sungguh, saya tak terbayangkan bahwa reunian bakal “selengkap” itu. Jadi ceritanya reunian terjadi, gegara “tantangan” dari salah satu tokoh penting DKSB, adik ipar Harry Roesli. Adalah Haviel Perdana, yang sekian lama bermukim di negeri Ratu Elizabeth, pulkam ceritanya.

Haviel kabarnya kerap pulang kampung sih, jadi ini bukan yang pertama. Tapi dia pengen, bisa bikin sesuatu deh di kali ini. Eits, pas juga dengan waktu meninggalnya Harry Roesli kan, 11 Desember. Dan begitulah, Layala dan Lahami, si kembar putra Harry Roesli dapat pe-er mulia.
Dibantu teman-teman lain, juga turun tangannya para senioren DKSB tentu saja, maka akhirnya rencana itu bisa terealisasikan dengan baik. Dibikin di Secapa AD, di daerah Hegarmanah.
Betewe, DKSB sendiri, berdiri kapan sih? Menurut Aat Soeratin, setelah acara kemarin sempat saya tanyain, DKSB itu berdiri 17Juli 1981. Saya sempat sampaikan ke kang Aat, agak aneh saya googling beberapa kali, ga ada tulisan yang menjelaskan kapan DKSB berdiri....
Sebelum dengan kang Aat, saya juga sempat tanyakan Geni Gunawan. Kang Geni, bersama Hendra “bolotit”, yang adalah adiknya sendiri, adalah formasi pertama dari Bedug Jepang. Penampilan mereka pertama ya setelah DKSB berdiri, yaitu setelah 1981 itu. Oh ya dulu itu, panggilan kang Geni juga mirip. Lantaran kan kakak beradik ya. Jadi Hendra bolotit, maka Geni disebut sebagai “bolotot”. Ah, aya-aya wae....
Seinget kang Geni, DKSB berdiri sebelum pementasan Musik Sikat Gigi di Gelora Saparua, Bandung. Hal itu diiyakan oleh kang Aat.  Yang lantas menambahkan, sebelum ada DKSB “komunitas” yang dipimpin Harry Roesli itu bernama The Gang of Harry Roesli. Yaaaa mengikuti dari nama kelompok mas Harry yang merilis album Philosophy Gank, yang didirikan tahun 1971.


Nama itu bisa dibilang resmi tak resmi. Karena kalau “induk”nya yaitu grup bandnya sendiri, sebenarnya sudah selesai riwayatnya pada sekitar 1975. Grup bandnya sendiri didirikan Harry bersama Indra Rivai, Albert Warnerin. Dimana debut album mereka diedarkan pada 1973 oleh Lion Records, Singapura.
Waktu itu, kelompok musik itu didukung pula oleh Hari Pochang (harmonika), Janto Soedjono (drums) dan Dadang Latief (gitar). Harry Roesli sendiri bermain perkusi, bass dan gitar. Indra sendiri, kibor, ia juga kibordis pendukung Bimbo. Albert Warnerin, tentu saja, gitaris.
Balik deui ka DKSB. Di tahun 1981 itulah, DKSB lantas didirikan oleh sekitar 200-an orang penggiat kesenian, baik itu penyanyi, musisi, penari, perupa, teaterawan, pembuat film, aktor dan aktris sampai sastrawan. Kelompok dibuat, dengan nama itu, supaya spektrum kreatifitasnya lebih lebar dan luas.
Agar tidak terlalu “milik” Harry Roesli sendiri, terang Aat lagi. Jadi, ya memang lantas menjadi milik kita semua, sangat demokratislah, hehehehe. Dan ide nama, DKSB itu, datangnya dari Aat Soeratin.
Kelompok itu sudah cukup lama berkumpul bareng, membuat macam-macam acara. Termasuk di antaranya Ken Arok, berbentuk Rock Opera itu. Ken Arok sendiri diadakan oleh Teater Ken Arok, dengan pergelaran pertama di Bandung. Dan yang kedua di Balai Sidang Senayan, Jakarta.
Geni Gunawan bercerita, ia sendiri masuk gabung dengan Harry Roesli di sekitar 1978. Dimana ia gabung dulu dengan paduan suara, Kharisma. Geni masuk karena diajak kang Imang, salah satu tokoh senior DKSB juga adanya.
Di 1981 an tersebut, Bedug Jepang dibuat dan dipentaskan. Personilnya ada 5 orang. Ada Eddi Wayang, Luki Podish dan Iwan ndut. Ketiganya kini sudah tiada. Jadi yang tersisa memang hanya kang Geni dan kang Hendra. Dan mereka berdualah yang memulai pementasan Bedug Jepang, pada Reuni DKSB kemarin itu.
Dan lantas dilanjutkan oleh kelompok penerus Bedug Jepang lain, hingga yang generasi sekarang, yang datang dari Rumah Musik Harry Roesli. Oh ya, RMHR tersebut memang menjadi “organisasi berbasis komunitas” lanjutan dari DKSB.



Menurut Layala Roesli, DKSB setelah bapaknya tiada memang jadi berhenti. Pihak keluarga lebih memilih untuk menjalankan RMHR, jadi memang kembali kepada almarhum sendiri. Jadi sekitar 2005, DKSB tidak ada lagi aktifitasnya.
Namun sejatinya, para anggota memang mulai sibuk sendiri-sendiri, dengan beragam aktifitas masing-masing. Walau kebanyakan dari mereka, tetap tak kehilangan kontak satu sama lain. Malah ada yang sempat berjalan bareng, misal membuat acara.
Pada perjalanan kemudian juga, satu demi satu anggota DKSB sudah pergi. Maka terpikirlah memang, kenapa tidak berkumpul kembali yang masih ada. Mumpung jumlahnya juga bisa dibilang masih lumayan banyak.
Begitu deh ceritenye eh, ceritana. Merekalah yang lantas sepakat, riang gembira, kumpul lagi. Bertemu lagi. Berbuat sesuatu bareng. Bergotong royong. So, hil yang mustahal itupun akhirnya tidaklah “mustahil”. Tidak pula mustajab. Mustajab? Eala, itu  teh saha?
Mustajab itu, hehehehe, mungkin Jujun. Jujun itu kemarin muncul ngabodor sorangan wae. Aslik, bodor pisan. Bikin gerrr lah. Sekilas Jujun ini macam Mr. Bean. Memangnya namanya, Jujun Mustajab? Maaf banget, saya lupa mencoba meminta KTP nya, untuk melihat nama aslinya....
Jujun, bukan mantan DKSB, itu keterangan Aat lagi. Dia seniman Longser sebenarnya. Kang Jujun memang bersimpati sejak lama dengan DKSB. Kemarin itu, ada juga Ega Robot, yang tidak pernah gabung dengan DKSB sebelumnya.
Ega Robot adalah seniman ethnic-contemporer yang mana kelompoknya adalah grup seniman tradisi, dengan gamelan. Kalau Jujun ber-standup comedy. Maka Ega Robot membawakan, ‘Walking the Dog’, tentu saja dengan gamelan.
Lagu itu dari album Tiga Bendera, yang dirilis tahun 1980. Dan lagu itu, oleh Ega Robot  di-mix dengan Magdalena. Menunjukkan bagaimana Harry Roesli dan DKSB menjadi sumber inspirasi mereka yang terpenting, dalam hal eksplorasi musiknya.
Pada pementasannya sendiri, di Sabtu malam itu, konser dibuka lagu ‘Bawalah Aku Pulang’. Memutarkan kembali suara langsung almarhum Harry Roesli. Sayangnya, saya ga sempat nonton, karena baruuuu saja sampai di gedung Secapa itu, lagi jalan ke dalam gedung dari parkiran.
Lagu kedua, ‘Bidadari – Tunggul Ametung’, dibawakan oleh Uchy Amyrtha KSP, bersama para penari dan pemeran Tunggul Ametung. Setelah itu tampil kang Imang menjadi bapak guru, dalam lagu, ‘Ratu Dunia’.
Aduh, 2 mata acara inipun lewat lagi euy. Karena saya masih harus mengurus registrasi, kudu dicari dulu nama saya, ga ada pula! Cari deui, cari deiu. Eh baru kelihatan deh. Harus pelan-pelan dicarinya. Dapat kaos cantik, eh maksudnya keren. Tuisan dksb di belakang dan indonesia – aku cinta kau di depannya beserta merah putih!



Nah saya baru bisa menonton dengan baik, sambil memotret tentunya ya, saat Renny Djayusman naik panggung. Renny adalah sahabat lama almarhum, mereka berdua saling hormat-menghormati, saling mendukung. Renny pula, ini seingat saya, yang membuat saya jadi mengenal dekat almarhum. Pada waktu sekitar pertengahan 1980-an, kira-kira.
Nama lain, yang saya tak akan lupa juga, yang lantas mendekatkan saya dengan almarhum adalah almarhum sahabat baik saya, Remy Soetansyah. Remy juga bisa dibilang, salah satu wartawan musik yang sangat dekat dengan Harry Roesli.
Renny membawakan ‘Tegar’. Dengan diiringi “pasukan musik pengawal tetapnya”, dari komunitas Indonesia Kita. Ada Estu Pradhana (kibor), Rival Himran (bass), Joel Vai (gitar), Rama Moektio (drums) dan backing vocalnya adalah Riffy Putri.
Setelah Tegar dibawakan Renny Djayusman, disusul berikutnya oleh lagu ‘Dunia’. Ini dibawakan oleh grup musik DKSB, yang bisa disebut angkatan terawal. Menampilkan sebagian besar original-members nya, yang lumayan lama tak lagi bermusik sebenarnya. Seperti antara lain ya sebut saja Eddy Mehong dan Ario Wibisono. Ario mencoba mengingat pertama kali ia gabung dalam DKSB.





Seingatnya, ia masuk sebelum Musik Sikat Gigi. Jadi, ia langsung tampil dalam pementasan itu. Setelah itu, iapun ikut mendukung rekaman album Harry Roesli-DKSB Band. Album itu dirilis oleh label Prosound, mulai edar tahun 1984.
Disebutkan, bahwa Ario termasuk salah satu musisi untuk kibor pertama di DKSB, dalam grup musiknya. Maksudnya dalam era setelah DKSB resmi berdiri. Nah kemarin itu, Ario selain dengan Mehong juga bersama Haviel sendiri. Selain itu ada Biak, Rully, Ivan Deva, Nasrul, Pras, Beben dan juga, Acan Rachmat.
Setelah itu, barulah barisan tiga generasi bedug jepang. Dimana generasi 90-an diwakili oleh Brew, Saswi, Omes, Rahwa, Ucup, Budi Dalton, Rubi Roesli, Daru, Reza Jengkol dan Ammy. Berikutnya adalah generasi “baru-an” yang dari RMHR itulah, langsung dipimpin Yala dan Hami Roesli.
Oh ya, pada kesempatan itu ada tampil Erick Yusuf, dulu dikenal sebagai bassis. Kini ia lebih dikenal sebagai seorang ustadz lho. Ia ternyata dapat menyempatkan diri, untuk bisa ikut memeriahkan acara. Ya bermain bass, juga kibor!
Pada perjalanan lalu, ada nama Yuke Sumeru pula sebetulnya. Menurut Geni, kalau tak salah Yuke bergabung dengan DKSB bersamaan dengan waktu Geni bergabung. Yuke juga bassis. Dan uniknya, sama seperti Erick Yusuf, Yuke pun kini lebih dikenal sebagai soerang ustadz. Menarik kan, kini ada 2 ustadz di jajaran alumnus DKSB.



Sayangnya, hanya ada Erick Yusuf yang tampil. Yuke Sumeru, kesulitan mencari waktu luangnya, di tengah padatnya jadwalnya untuk menghadiri dan memimpin berbagai pengajian. Saat ada Yuke dulu, tercatat juga ada gitaris, Donny Suhendra. Saat itu mereka dikenal lewat kelompok BOM, Batalyon of Musicians. Bersama kibordis kawakan, Bambang Nugroho dan drummer, Lambertus
Penampilan berikutnya ada bintang tamu, “generasi kemudian”, ini betul-betul memang “bintang tamu”. Misalnya Dira Sugandi, yang membawakan ‘Sejuk dan Teduh’. Selain itu ada Netta Kusumah Dewi, yang kebagian menyanyikan lagu, ‘Sekuntum Kembang’ dengan gaya genit dan menggoda. Gimana ga menggoda, ditemani barisan “WTS, Waria sampai Om senang dan Hansip” segala! 
Netta juga menyanyikan lagu, ‘Manusia Baru’, sebagai lagu pengunci acara. Lagu itu dibawakan, setelah pemutaran lagu ‘Jangan Menangis Indonesia’ yang epic dan fenomenal itu, dengan menampilkan suara asli almarhum Harry Roesli. Selama lagu diputar, pada giant screen ditampilkan berbagai wajah Harry Roesli dalam berbagai acara.
Selain lagu-lagu itu, masih ada lagu lain, seperti ‘Malaria’ yang dibawakan oleh Hari Pochang, Harry Tantan dan Imang. 57Kustik tampil pula,membawakan ‘Orang Basah’. Selain lagu ‘Sekar Jepun’dan ‘3 Bendera’ yang dibawakan oleh DKSB Band, DKSB Bigband serta DKSB Voices. Juga para anggota paduan suara Kharisma.




57Kustik sendiri adalah kelompok akustik potensial, semua dari anak jalanan. Sebagian memang "ditemukan" dan sempat merasakan pendidikan langsung dari almarhum sendiri. Sebuah kelompok yang rajin betul berlatih, dan telah tumbuh menjadi sebuah kelompok musik muda berbakat, dan menjanjikan! Mereka sudah tampil pada banyak acara dan festival, terutama jazz. Bahkan sampai negeri jiran, Malaisya.
Sayangnya, walau jam terbang sudah lumayan, toh sempat mengalami "sedikit kesulitan" dengan penyelenggara sebuah festival jazz di lingkungan kampus di ibukota. Panitya festival jazz, yang relatif besar di kampus terhormat itu, nampak kurang banyak membaca sih. 57Kustik disyaratkan untuk mengikuti audisi terlebih dahulu! Ahay. Akhirnya, mereka mengurungkan niatnya untuk bisa tampil di event, yang suka disebut festival jazz pertama di sini itu.
Sempat muncul pula Yudhistira AN Massardi, membawakan puisi berjudul, ‘Kania’. Bercerita tentang Kania Perdani Handiman, yang adalah istri dari almarhum. Dan memang jadinya, sebuah pementasan lumayan lengkap, sebagai bentuk semacam retrospeksi perjalanan karya-karya almarhum Harry Roesli, sepanjang hayatnya.
Ikut tampil juga, perupa kawakan, Tisna Sanjaya yang melukis dalam salah satu segmen. Selain itu ada Herry Dim. Dan pelukis pasir, Fauzan.





Harry Roesli adalah seniman sejati Bandung, yang telah menjadi tokoh seniman skala nasional. Berbagai karya-karyanya, yang memang sebagian besar berorientasi lebih pada idealismenya, bersuasana eksperimentasi. Ia memang banyak menyusupkan cerita, dalam pelbagai karyanya. Baik karya teater, lagu, pementasan-pementasannya.
Ia dianggap juga seniman yang kritis, dan sangat rajin mengkritik pemerintah. Seringkali, lirik lagunya, dapat membuat merah kuping para pejabat era orde baru. Merah lantas, agak gatal gimana gitu yaaaa....
Tapi begitulah seorang Harry pada jamannya. Ia mengkritik, seolah bersebrangan dengan pemerintah. Tetapi satu hal yang perlu diingat, itu semua dilandasi akan kecintaannya yang luar biasa terhadap tanah airnya. Itu yang membuatnya mengkritik, ada yang relatif keras. Bukan hanya “mencolek”, mungkin juga “menyubit” pemerintah.
Boleh mengkritik, tapi ia tak mencaci. Apalagi membenci luar biasa pemerintah yang berkuasa saat itu. Hal demikianlah yang tentu saja, kita bisa lihat perbedaannya, dengan apa yang terjadi saat ini. Kritik sudah berubah menjadi ejekan sampai cacimaki. Bahkan kian berkembang menjadi hasutan atau provokasi untuk membenci pemerintah.
Lebih ekstrim lagi, bahkan seolah mendorong untuk pergerakan menggulingkan pemerintahan yang sah. Oho. Kritik ala Harry, dilakukan penuh canda sebetulnya, santai. Tapi memang kreatif dan...., sebut saja ya, bermutu.




Hari ini, di jaman sekarang ini, dalam ranah sosial media kita tentunya melihat perbedaan yang sangat jauh berbeda. Seorang Harry Roesli, pada masanya itu, memang belum mengenal “kegaduhan” wilayah sosial media seperti sekarang. Teriak dan cacimaki di twitter dan facebook misalnya. Menggalang puluhan ribu sampai ratusan ribu followers untuk menebarkan kebencian, secara terus menerus. Secara masif dan terstruktur? Ngeriiii ah!
Pendeknya memang jadinya miris, Harry melempar kritik. Tapi lihat apa yang telah diberikannya kepada bangsa dan negara ini? Hiburan, gaya bertutur lewat musik dan lagunya terasa segar, bikin orang mungkin tersenyum walau kecut. Tapi tidak mengajak orang membenci kelewat batas. Dan karya-karya lagunya, saat ini adalah aset bangsa, lebih dari sekedar aset keluarga saja.
Kembali sedikit belok deh ya, permisiiii, dengan suasana gaduh dan panas saat ini. Mencaci dan mengejek pemerintah, menebarkan kebencian yang mendalam, tapi apa sih yang sudah mereka berikan terhadap bangsa dan negaranya ini? Kecintaan dan kebanggaan?
Teristimewa, hal sosial lain yang harus tetap tercatat. Bagaimana Harry Roesli begitu peduli terhadap anak-anak jalanan. Para pengamen cilik, diantaranya. Anak-anak yang seperti tertinggal, tersingkir. Terasing dari duniaya, dan bahkan tak punya tempat tinggal dan tak lagi mengenal orang tuanya!
Ada berapa banyak anak-anak jalanan telah “diselamatkan”nya? Ribuan jumlahnya. Ia peduli dan ia mengasihi, mencurahkan sebagian waktu dan enerjinya untuk mereka. Karena mereka juga generasi penerus bangsa!
Dan itu dicatat dengan baik lho. Bahwa Harry Roesli yang bengal, tapi sekaligus juga menjadi ayah atau abah dari para pengamen jalanan anak-anak di Bandung. Bukan untuk mencetak mereka jadi "sama bengal"nya. Tapi Harry, berupaya,memanusiakan mereka....



Djauhar Zaharsyah Fachrudin Roesli, begitu nama lengkap Harry Roesli, biar bagaimanapun menunjukkan ia tetap sangat mencintai tanah airnya. Dan betapa ia bangga atas ke-Indonesia-annya itu.
Ah sudahlah, nanti malah terlalu jauh berbeloknya. Bisa menghabiskan bahan bakar sih. Dan lantas, bagaimana selanjutnya? Apakah pementasan seperti kemarin, dapat dilangsungkan lagi? Misalnya, dibawa ke Jakarta?
Saya pikir, adalah baik pementasan bernas dan cerdas begitu, dapat diteruskan. Dikelola dan dipersiapkan dengan lebih baik lagi. Tanpa canggung dan ragu, yang mau tak mau, membuka diri untuk bungkusan lebih modern.
Karena, karya-karya almarhum Harry Roesli, hendaknyalah menarik dan dapat diterima dengan penuh pemahaman yang baik dan benar, oleh generasi muda. Generasi masa kini. Agar senantiasa lestari dan bertumbuh dan “menghidupi” setiap jaman, setiap generasi.
Mencerdaskan kok. Tak bertendensi menebar benci, yang membodohi. Apalagi karya-karya almarhum Harry Roesli memang sedemikian luas dalam hal tema, selain visi dan misinya. Tak melulu politik semata lho. Termasuk sosial, kebangsaan, cinta tanah air hingga relijius.
Ga semua badung, nakal, usil dan mengkritik. Tapi ada tema yang segar, membuat kita seperti berkaca, melihat diri kita sendiri, sampai jangan melupakan sang khalik, pemilik kehidupan dan semesta raya nan agung ini.
Pendeknya, karya memang teramat lengkap sebetulnya. Sampai jenis musiknyapun beragam, mengandung pelbagai elemen-elemen musik, dari pop, blues, rock, world music, tradisi, progressive rock dan lainnya.
Mas Harry Roesli, apakah mas Harry sempat menonton dari atas sana, kemarin? Spritmu terus hidup, menjadi modal dasar utama pergelaran itu. Ah, pasti tahu ya? Bisa dong ngerasainnya? Dan ternyata, anak-anakmu di sini ini, setelah mas Harry pergi, tetap mengingat dan menjaga dengan baik pesanmu.... Jangan matikan lampu di meja kerja saya./*