Friday, September 6, 2019

Persekutuan Dua Gitaris Asyik itu bernama JANAPATI


 


Saya kenal Tohpati itu, kapan ya? Saya ingat, waktu itu Tohpati sedang latihan di sebuah studio di Pejompongan, Jakarta. Dia bercelana pendek lho, latihan dengan Splash ya,’tot? Dengan Diddi Agepe, Dian HP, Cendi Luntungan dan lainnya.
Waktu itu saya juga akan latihan di situ dengan grup disko, Stars Show Band namanya, wah ga nyambung ya main disko lho. Begitu ceritanya dari atas panggung. Katanya itu tahun 1986. Dan eh Budj, lho saya kan juga ada dong di situ?
Jadi, ok sedikit mengenang masa lalu yang lalu banget. Maksudnya, udah lama bangetlah. Di masa itu, studio tersebut jadi kayak tempat kostlah. Banyak musisi pilih tidur di situ, pada ga pulang ke rumah. Ya musisi yang lantas main bareng di grup seru-seruan itu, Stars Show Band. Grup itu difasilitasi dan dimotori si pemilik studio.
Berhari-hari ya pada nongkrong di situ, dan memang pada males pulang ke rumah masing-masing. Budjana, saat itu sebenarnya kost di daerah Pondok Jaya (iya kan ya, masih di Pondok Jaya, Budj?). Termasuk saya juga, ya jadi jarang pulang ke rumah saya di Bintaro.
Tapi Budj, berarti duluan saya kenal dengan Bontot dong ya? Bontot, panggilan ikribnya Tohpati itu, saya kenal sebelumnya, tahun 1985an. Waktu latihan di sebuah studio di kawasan Cipete. Lagi latihan juga dengan Splash Band. Waktu diperkenalkan Diddi Agepe ke Bontot, dia masih berseragam sekolah putih-abu abu.





Ok sedikit intermezzo. Lalu begitulah. Dan yang mempertemukan mereka, memberi ide kenapa mereka gamain bareng berdua, adalah almarhum Ireng Maulana. Budjana bercerita, itu seikitar 1990-anlah. Kita coba eh enak, eh keterusan deh. Dan format itu tetap mereka coba pertahankan maksimal.
Dipertahankan rada “susah payah”, mengingat jadwal sibuk masing-masing dengan proyek musiknya. Budjana dengan GIGI, tentunya. Selain proyek solo, baik rekaman maupun manggung.
Tohpati, demikian juga. Jadwal manggung dan rekaman, lumayan padat. Belum lagi, ia juga menjadi produser rekaman banyak album penyanyi-penyanyi. Selain menjadi music director untuk banyak pementasan konser musik, terutama solo artis. Dimana Tohpati biasanya bersama orkestra, yang juga dipimpinnya langsung.
Yang pasti, keduanya dipesandingkan oleh gitar, so pasti itu mah! Dan keduanya, bisa disebut dua musisi yang paling aktif menghasilkan album rekaman. Hanya ada satu nama, yang bisa “sejajar” mereka berdua, soal produktifitas rekaman solo, yaitu Bintang Indrianto. Notabene juga sahabat mereka berdua juga....
I Dewa Gede Budjana dan Tohpati Ario Hutomo, lantas menjadi JANAPATI. Mereka dipersatukan oleh seorang bernama Dhani Pette. Ini juga sahabat mereka, sebut aja “orang ring satu” mereka berdua deh.
Pette, nama aslinya sih Dhani Widjonarko, adalah mantan menejer GIGI sekian belas tahun lamanya. Pette kemudian juga menangani menejemennya Tohpati, untuk solo karirnya. Dia memakai bendera Pos Entertainment. Dan karena Pette lah, akhirnya mereka berdua bisa rekaman serius dan, ini yang terpenting, konser tunggal!





Eh bayangin, hari gini cuy, pastinya ga akan banyak orang yang mau nekad, berani matilah, menggelar tontonan konser dua gitaris. Mana lagi tanpa penyanyi! Ga ada bintang tamu. Ya duo gitar, lagu-lagu instrumental! Kekurangan penyanyi, apa?
Ya ga gitu juga. Padahal, mungkin banyak juga yang mengira, kurang ngetop apa sih, Dewa Budjana sama Tohpati gito lhooow! Ya ga otomatis sih, bahwa lantas banyak yang kayak berebut mau manggungin mereka.
Konser tunggal jazz gitar? Pasti akan banyak promotor, harus berpikir berkali-kali dulu. Yang nonton siapa? Dan berapa banyak? Emang ada yang nonton gitu? Kalau hanya mendengarkan rekaman mungkin, ini mungkin ya, bisa banyak kali. Tapi nonton hanya dua gitaris main musik, sehebat apapun permainan mereka? Ah.
Kasusnya kan, emang beda, antara yang berani bikin konser sama yang kira-kira mau nonton. Yang sering terjadi, keraguan bisa”menggoyahkan iman” promotor. Misal, kok sampai sejauh ini kayaknya tiket masih banyak? Padahal bisa saja, banyak yang mau sih menonton tapi ga sempat beli duluan, via online misalnya. Ya go show saja, mudah-mudahan masih dapat tiket.




Pada kenyataannya, JANAPATI kemarin, yang mengambil di Teater Jakarta nan megah, di Taman Ismail Marzuki. Jumlah kursi terisi sekitar lebih dari 80-an persen. Mendekati 90%? Tidak sold-out memang. Tapi peraihan jumlah segitu, lumayan mengejutkan! Ya balik lagi, pasti ada keragu-raguan. Ga banyak orang yang berani gambling, di dunia showbiz sih.
Bukan begitu, Pette? Dasarnya Pette ya....orang gila lah! Hehehe, maaf, ‘te. Dua hari sebelum konser, saat jumpa pers, ia masih mengatakan yakin. Ada dukungan sponsor sih, walau kabarnya ga besar. Yakin bahwa banyak yang akan menonton. Bahwa masih banyak lagi yang kayaknya baru belakangan nanti, di Hari-H akan membeli tiket.
Saat hari konser, di sore hari, saya tanya lagi. Gimana tiket bro, penyebarannya gimana? Nyebar gimana, bagi-bagi ke orang, Pette tertawa. Ya jalan aja, udah siap semuanya kan, Dion. Tinggal jreng aja tu Budjana sama Bontot. Tapi sejauh ini sih, ya relatif bagus penjualannya kok.
Pette nyantai-nyantai aja, walau masih batuk-batuk sepulangnya dari naik haji, beberapa waktu sebelumnya. Ia kembali menyantap makan siangnya. Dibikin santai saja atau gimana? Ah, Pette bukanlah orang baru di dunia showbiz.

 



Pada konsernya sendiri, JANAPATI didukung “band” yang terdiri dari Marthin Siahaan (kibor), Fajar Adi Nugroho (bass), Demas Narawangsa (drums), Iwan Wirad (perkusi). Dan dengan orkestrasi yang dikomandoi oleh RM. Tjondro.
Repertoar yang merekamainkan, sebagian besar diambil dari rekaman album mereka, Janapati bersama orkestra, yang direkam di Praha. Kebetulan waktu itu Tohpati ada kesempatan rekaman sama orkestra di Praha sana, ya bisa numpang ga, maksudnya terusin aja sekalian Janapati. Ternyata bisa, makanya kita rekaman deh.
Album perdana mereka dirilis resmi pada hari konser kemarin, dalam format CD dan Vinyl. Lumayan juga yang beli, terutama CD nya. Kan untuk vinyl itu, rada segmentedlah. Lebih tepatnya, lebih segmented lagi kali ya?
Konser yang mengalir lancar. Menyenangkan dan menyamankan, sajian repertoar mereka, dengan bungkus musik orkestranya. Saya melihat, band yang menjadi dasarnya, berasa pas dan lumayan solid. Amanlah.
Hebat euy Tohpati ini. Seminggu sebelumnya, eh tepat seminggu lho, kan dia baru menyelesaikan konser dengan mengiringi Nicky Astria. Itu juga hasil akhir musiknya, juga dengan orkestrasi, terbilang “baik dan benar”.
Tohpati sukses membesut musik untuk Nicky Astria, dengan memberi porsi lapang untuk Nicky mengeluarkan segenap kemampuan vokalnya. Dengan musik yang tepat dan pas, untuk vokal khas Nicky. Makanya, hasil akhirnya sih nyaris sempurna. Ya, karena sempurna itu hanya milikNYA.....
Dengan Janapati, terasa tangan dingin Tohpati juga dalam mengemas musiknya. Macam-macam musik. Sampai mencuri perhatian dengan menggelitik kuping lewat memainkan Cicak Cicak di Dinding’ misalnya, dengan riang dan jenaka.





Saya sempat menantikan adanya sesi khusus, mereka hanya bermain berduaan saja. Jadi, balik ke konsep awal. Orkestra dan band, rehatlah sejenak. Eh ga ada. Tapi ah, ga krusial amat sih. Cuma mungkin, kalau ada kesempatan konser lagi, hal itu bolehlah dipertimbangkan.
Mereka tepat, memilih lagu ‘Rahadi’ menjadi pembuka. Terdengar sekilas, ringan, renyah, empuk, gurih. Membelai kuping, bisa bikin paling ga jari tangan dan kaki goyang-goyang dikitlah.Lagu itu katanya, khusus ditulis mereka berdua untuk mengenang sahabat baik mereka,penyanyi legendaris yang telah berpulang, Chrisye.
Seperti salam pembuka yang relatif manis, dan memperkenalkan sajian musik mereka berikutnya di malam itu. Lagu-lagu lain, mengalir lancar. Seperti lagu ‘Janapati’, yang kental aroma fusion 80-annya. Ini salah satu lagu favorit saya nih.
Mereka juga menyelipkan temamusik keroncong, dimana secara khusus maju ke depan, format lebih simple. Ricad Hutapea dengan flue, RM. Tjondro dengan biola, lalu tiga tiup. Plus Iwan Wiradz dengan kendang dan Demas dengan tambourine.Ini juga “selingan” yang segar.





Dan alhasil, secara keseluruhan menjadi konser yang menyenangkan sih. Lumayan sukseslah untuk memaku orang, terus mengikuti konser yang memainkan 14 lagu itu. Walau bisa jadi, terselip penonton yang mungkin tidaklah “doyan-doyan amat” dengan lagu-lagu tanpa syair begitu, “jazz-jazzan”. Toh ya ga pulang duluan juga kan?
Kedua gitaris bermain lebih santai tetapi yakin. Ya gitu sih kesan saya. Santai, sehingga candaan bisa keluar juga, membuat orang tersenyum. Sehingga kan, kesannya ga lah menjadikonser yang kaku-kaku amatlah. Ngepop, mungkin tepat ya istilah itu?
Direncanakan, Janapati berniat untuk merancang tur kecil. Mungkin menyasar pada kampus ke kampus. Formatnya minimalis, yaitu kembali hanya berduaan saja. Sudah ada dalam perencanaan. BaikPette maupun Tohpati dan Budjana berharap, mereka mendapat kesempatan untuk merealisasikan rencanaitu.
Konser Janapati adalah sebuah oase, dari hiruk pikuk dunia musik Indonesia kita. Berbeda, tapi kan terbukti bahwa bukan berarti ga akan ada yang mau nonton toh? Apalagi konser terasa dipersiapkan matang, lumayan detil.
Sound nyaman, relatif amanlah. Enak didengarkan. Lighting juga optimal, sedap gitu untuk disantap oleh mata penonton. Bahkan juga friendly gitu deh, untuk lensa kamera. Ada multi media dengan giant screen, yang “tidak neko-neko” tetapi cukup untuk menjadi penyegar mata.
Terima kasih ya sudah menghibur, Budjana, Tohpati dan semua musisi yang ada. Tak lupa, oh ya haruslah juga berterima kasih pada Dhani Pette. Kapan bisa main di acara saya.....?/*








Wednesday, September 4, 2019

Pemanasan yang Pas, sebelum The Joshua Tree Asia Tour 2019




Sungguhpun saya bukanlah fans fanatik mereka. Ga lah. Saya dengerin mereka, maksudnya mulai lebih banyak dengerin mereka, di era 1990-an. Walau tahu beberapa hits mereka, dan lumayan suka, sejak sekitar 1980-an. Tahu, suka, tapi apa kalau sudah begitu lalu bisa menyebut diri sebagai fans?
Kagum dan cukup suka, iya. Belum sampai pada taraf, nge-fans. Mulai sekitar akhir 1990-an, mulai sering liat cerita-cerita atawa update info dari official website mereka. Apalagi saat saya lantas bekerja lagi di sebuah majalah musik. Kalau itu malah, jadi sering browsing, masuk pelbagai web fans gitu.
Barulah saat bertemu seorang penggila, nah ni die ini namanya fans fanatik lahir bathin. Baru saya kek kebuka matanya. Lebih tepatnya, lebih terbuka untuk bisa mendalami sepak terjang grup legendaris itu. Atau, bisa juga disebut, bisa lebih memahami, memaklumi musik mereka! Ceileee...
Nama penggila beneran itu Djundi Prakasha. Dia urang Bandung. Punya clubs, salah satu yang terfavorit saat itu di Bandung. Syahdan, ternyata doski dan tempatnya punya agenda tetap tahunan. Saban November, persisnya pas ulang tahun dia, pasti ada peryaan bertema grup idolanya itu.





Suka U2 kan, begitu satu ketika di era awal 2000 dia bertanya. Lumayan bro. Ok, datang dong ke U2 Nite di tempatku ya. Lalu dia bercerita ya itu perayaan ulang tahunnya juga deh sekaligus. Reramean aja sama musisi, kebanyakan dari Bandung tapi ada juga yang dari Jakarta.
Well dudes, for your information, saya mafhum bahwasanya Djundi adalah U2 dan U2 ya Djundi. Bro and sis, bayangin, dia dan istrinya kerapkali memburu konser U2 dimana-mana. Edun! Dan bukan hanya memburu, maksudnya  cuman menonton doang.
Djundi rela datang sepagi mungkin ke venue tempat U2 manggung, langsung patuhi ikut antrian. Sabar bener! Ngantri dari sepagi mungkin, balapan sama sunset kayaknya, demi mendapatkan posisi nonton yang terdepan! Asli terdepan. Pas mendtok barricade, yang memisahkan areal stage dan penonton.
Stand in line nya malah, katanya nih, kalau perlu dari semalem sebelumnya! Oh My My....Dan itu adalah "tradisi"nya, karena menurut cerita Djundi, ya yang antri itu sudah ratusan. Banyak yang kayak dia dan Rani, istrinya. Akhirnya, ya jadi nambah-nambahin teman-teman deh.




Nah kebiasaan itu, terus berlangsung sampai ya....sampai sekarang. Alhasil, pada era smartphone becomes more and more smart begini, ya Djundi tentunya sukses dong, dapat foto-foto ekxklusif. Ya dengan smartphone-nya, posisi terdepan begitu. Foto-foto doi mah juara....!
So, apa ada yang lebih gokil dari itu? That’s why I told u, he’s freakin’crazy, in absolute way. Apaanlah mo disebut. Dan saya terkagum-kagum. Satu ketika dulu, ga perlu repot yeee, kan ga bisa meliput langsung, Jauh, mahal, kagak punya sponsorpun.....
Djundi pergi kan. Ya saya bilang iseng-iseng aja, bro tulis dong tentang U2 yang elo tonton nanti itu, elo ceritain aja, nanti gw yang bikinin tulisannya. Ternyata Djundi antusias. Beneran? Soal foto-foto, gapanglah nanti cari di internet, kalau perlu beli dari web-web foto, bisa juga colek perwakilan label rekamannya di Indonesia.
Jadi dong! Buat saya dan majalah saya, itu mah tulisan liputan supergroup yang sangat eksklusiflah. Kami berterima kasih berat ke brother Djundi dan istri. Dan selanjutnya ya, saya jadi langganan datang ke acara U2 Nite andalannya di clubsnya di Bandung itu. Mungkin sekitar 5-6 tahun deh, selalu sempatkan waktu untuk datang.






Suasananya itu lho. Padat banget tapi seru pisan euy. Pada nyanyi-nyanyi semua, goyang, loncat-loncat. Haceeeppp pastinya! Pokoknya, it’s a Party, the real one, dude! Datang senang. Nah, pulangnya itu wah senangnya jadi lebih dari double double lah.
Suasananya itu lho, kalo emang seneng dengerin hitsnya U2, ya named it. Whatever... ah apalah deh  ‘Sunday Bloody Sunday’, Pride (In the Name of Love)’. Atau, yang rada melankolis nyis-nyis manis gimanalah, ‘With or Without You’  Atau lagu yang kek liriknya dihafal semua fans U2, ‘I Still Haven’t Found What I’m Looking For’ selain ‘Where the Street Have No Name’.
Ada lainnya macam ‘New Year’s Day’ atau ‘One’. Jangan lupa, ‘The Fly’, ‘Mysterious Way’ lah. ‘Suck in a Moment You Can’t Get it Out’ (U2 doyan yeee, pake judul panjang-panjang...), ‘Beautiful Day’, ‘Walk On’, ‘Vertigo’, ‘Sometimes You can’t Make it on Your Own’. Dan banyak lagi lainnya.
Sudahlah, saya tak hendak bercerita soal Bono, The Edge, Adam Clayton dan Larry Mullen Jr, atawa para punggawa U2. Masak saya bercerita di sini lagi soal sejarah grup asal Irlandia, yang berdiri sejak 1976 itu? Googling ajalah ya....









Yang saya ceritain kan event U2 Nite itu. Dimana kemarin ini, beberapa minggu silam, Djundi lalu membawa U2 Nite nya ke Jakarta. Digelar deh di Hard Rock Cafe. Dan suasananya petjahhh juga, langsung dong ingetin kejayaan U2 Nite di Fame Station-nya Djundi Di Bandung, beberapa tahun silam itu.
Menampilkan penyanyi muda yang suangaaat enerjik, Acidastree. Nonton vokalis cewek yang sekalian maen kibor juga ini, bisa seolah kita ikut-ikutan sama keringetannya sama dia.... Lalu ada special guest, Rama Nidji, gitaris. Selain itu ada Sendy (gitar), Dika (drums) dan Arief (bass).
Bintang tamu vokalis ada kakak-beradik, Magi dan Andy rif. Saya tuh ngaku deh, kecele banget. Pikir Magi bakal ngedrums, eala...asli lho dia nyanyi aja. Dan...keren! Maklumlah Magi bro, saya baru kali ini asli lihat Magi jadi penyanyi sebener-benernya. Anjriiittt!
Andy, sudahlah tak perlu diceritain lagi. Dia kan emang keburu jadi ikon-nya U2 Nite di Bandung, bahkan dimana-mana kayaknya, di seantero Nusantara Raya kita ini. Lalu sempat diajak ngejam juga, sampai Vincent “Club Eighties” Rompies, Lilo KLa dan Ronal Surapradja segala. Plus, Brian Kresnaputra, drummernya Sheila on 7.






Ada total 26 lagu dibawain kemarin itu! Band nya diberi title, DrowningMen & A Woman. Acaranya sendiri dibuka sesi talkshow menghadirkan Steve Lillywhite, produser kenamaan yang mengangkat tinggi nama U2, paling tidak lewat 3 album terawal U2 itu. Ditemani Ronal Surapradja, Adib Hidayat dan Komunitas U2 di Indonesia.
Sebelum musik mengisi sepenuhnya ruangan, diawali pemanasan. Sesi karaoke lah, dimana lagu-lagu U2 diputerin oleh DJ, Indra 7. Warming-upnya aja sudah rame, karena penonton langsung tergerak untuk turut menyanyi. Astaga!
Dan begitulah suasana konsernya U2 di Jakarta. Eh maksudnya mah bukan U2 tulen ya. Event itu jadi semacam pemanasan juga sebelum U2 akan membawa The Joshua Tree Tour keliling Australia dan Asia di November tahun ini. Waduh, bakalan berapa banyak fans U2 yang akan menyerbu Singapura atau Australia, dari Indonesia maksudnya. Kan U2 belum juga bisa dihadirkan di sini nih.
Kenapa ya ga masuk Indonesia? Persoalannya bukan sematamata isu HAM kok, seperti yang selama ini beredar. Lebih ke soal produksi dan logistik saja. Pendanaan juga krusiallah. Silahkan berhitung kalau mendatangkan mereka perlu biaya berapa, sebagai fee belum lagi memenuhi riders tehnisnya, dan tetek-bengek riders lainnya?
Butuh “orang gila” yang berani nekad menghamburkan isi koceknya. Yaeyalaaaa....orang gila tapi berduit. Dokatnya harus “tak berseri”. Masak cuma sekedar orgil doang? Emangnya kira-kira seberapa sih? Gosipnya, minimal hanyalah sekitar 1,5 – 1,6 juta dollar kudu disediain di depan mata, itungan minimalnya. Tentu, plus - plus dong ah. Lumayan ga?
Bro, elo nonton U2 kan nanti, tanya Djundi ke saya beberapa bulan lalu. Pengen bro, tentu saja pengen. Beli tiket buruan, bakal cepet abis. Iya sih. Ya nanti deh, kita ketemu di Singapura ya.... Suwerrr bro? Iya kalau ga ketemu di Singapura, berarti di Auckland deh, eh kejauhan ya? Mungkin mendingan Sydney atau Perth?
Tapi emang udah beli tiketnya? Belum, bro /*