Fariz
Rustam Munaf, kalau saya bilang, dia musisi multi insrumentalis cum penulis lagu yang mumpuni. Seabrek
karya album rekamannya, tentu di dalamnya dengan berbagai hits karyanya. Itu
adalah bukti konkrit. Tapi ah, banyak orang sudah tahu itu kan?
Fariz
gitu lhoooow, sapa pula yang tak kenal doski.
Kadang
suka nyeleneh. Apa ya, badung? Begitulah. Nobody’s
perfect. Tapi mending kita omongin soal sosoknya sebagai musisi dengan
talenta yang tergolong...luar biasa. Yoih, gimana kagak warbiyasaaaak, doi mainin banyak musik. Pop, ya so pasti itu.
Jazz-jazzan juga, nge-rock, sesekali nge-blues.
Saya
tuh kenal begitu banyak musisi, saya kenal banyak pencipta lagu. Yang saya
kenal deket banget juga banyak. Saya berani bilang, Fariz ini memang musisi
jenius yang langka. Di sini, ga banyak musisi model Fariz. Main banyak alat
musik. Bikin lagu-lagu yang populer, yang disukai begitu banyak orang. Hits-maker, istilah kerennya dah.
Masih
baca ga, catatan kecil saya ini? Sambil ngopi boleh. Pakek roti bakar juga
asyik. Pisang goreg atau singkong goreng aja deh, oh silahkan. Black or white
coffee? What ever laaaah, coy! Lanjut ya? Seruputlah kopinya dikit-dikit.
Fariz
doyan ngopi ga? Sudahah, kita lagi ngomongin musiknya Fariz. Tapi urusan Fariz
suka kopi atau ga, kesampingkan dulu. Saya coba fokus ke apa yang dihidangkan
Fariz kemarin ini di Bentara Budaya Jakarta. Doski tampil akustikan, full,
lengkap. Eh ada unsur etnik juga yang menyelip.
Konsep
tuh penting, bro. Cuma manggung di sana-sini, seneng, semangat. Manggung
banyak-banyak, tapi kalau konsepnya ga detil diperhatiin? Sayang deh. Cepat
atau lambat, publik akan ya jenuh, bosen. Ya kalau sempet populer, kalau toh
ternyata banyak main tapi segitu-segitu aja yang suka, lebih berabe.
Saya
susah juga kalau ngomongin soal Fariz ini. Faiz begitu dia dikenal. Sama
seperti temen-temen deket lamanya juga, kalau saya manggil dia sebagai, bule.
Gimana ya. Jadi saya memang temenan dengan dia sudah lumayan lama. Sejak
1980-an kira-kira.
Ah,
pertemanan deket dengannya kan sudah pernah saya ceritain?
Persoalan
timbul karena kan, saya ngaku dah, saya juga fans musiknya doi. Ini titik
susahnya. Saya bisa-bisa jadi rada diragukan obyektifitasnya. Tapi eits ntar
dulu jack. Buat saya, kalau saya makin merasa dekat, saya malah merasa kalau
harus kritik, ya saya kritik. Karena makin dekat, kita dong yang harusnya “ngingetin”
temen?
That’s what Friends
are for. Hihihihi, bukan “itu gunanya bertemen berempat’.
Saya pengen temen baik saya, yang sudah baik berteman dengan saya, ya jadi
bagus, tambah bagus dan makin bagus dong. Setuju?
No hard feeling
pastinya. Kritik membangun. Harus dong. Tapi, kalau ga mau dengerin atau ga
setuju saya kritik? Well, itu urusan dia yang bersangkutan, dengan hati,
pikiran pribadinya saja. Semua orang punya hak lah.
Fariz
main secara akustik. Gini, itu sudah pernah melintas dalam pikiran saya sejak
beberapa tahun silam. Kira-kira akhir 2000-an dekade pertama lah. Saya pernah
selintas omongin ini ke bule. Saya iseng, kayak nantangin dia.
Dasar
utamanya adalah, saya yakin aja, bule pasti bisa asyik main piano akustik.
Tanpa “dikepung” segala synthesizer,
electric piano en sejenisnya itu. Fariz kan, sejak album pertamanya saja, dikenal
memang memanfaatkan maksimal segala peralatan digital begituan. Ia salah satu
yang terdepan soal per-MIDI-an. Electronic and digital bangetlah.
Bule
main piano doang, kayak gimana? Jangan hanya bule yang main akustik, bandnya
sepenuhnya juga harus akustik! Waktu saya utarakan ide iseng itu, Fariz jawab
oke aja. Dia juga kepikiran hal itu. Jalanin dong, coba le. Dia senyum aja.
Nah
saya memang sempat “ditawari” dia, elo aja yang bikinin konser akustik itu.
Lantas sempat coba colek kanan-kiri, berusaha dapatin sponsor. Dapetin
investorlah, itu bisa juga kan. Saya sudah ngebayangin konsepnya, lebih dtil.
Panggung gimana. Dan yang harus asyik dan unik itu sound, karena
fully-accoustic. Selain konsepin lighting-nya, yang harus pas memberi nuansa
pada musik akustiknya Faiz.
Sayangnya,
usaha saya belum sukses tuh. Belum berhasil mendapat investor ataupun sponsor.
So, disimpen baik-baik deh rancangan itu. Eh sampailah pada beberapa waktu
lalu. Bule kirim message via whats-app. Bilang, datang dong gw mau
tampil akustik nih.
Beneran
le? Semua akistikan gitu? Bass akustik? Gitar juga? Drums ada dong yang pakai
brushes? Ada tiup juga gitu? Bule jawab, iye semuanya lengkap. Elo makanya
harus nonton! Masak sih? Ini seperti yang gw pernah tantangin elo dulu dong ya?
Iya,
jawab bule lagi. Udahlah, elo harus nonton. Doi nambahin lagi, gw pengen ini
bisa jalan dong, ke beberapa kotalah gitu. Elo main dulu le, sekali dua kali,
jadi semacam tester akan atensi publik. Juga bisa dikasih liat ke sponsor kan?
Nah
akhirnya, Fariz main dengan konsep akustikan itu. Dan asyiknya, saya ga datang!
Ya ga bisa nonton, karena satu dan lain hal lah. Ga berani saya kontak bule,
untuk minta maaf ga bisa datang ternyata. Saya pikir, pastinya bule bisa
cerewet tar nya... Hahahahah... Jadi, ya sudah.
Eh
ternyata, bule main lagi. Kali ini di Bentara Budaya Jakarta itu. Dia kirim
lagi message, tapi cuma kirim image eflyer nya aja. Begitu lihat, saya langsung
pastiin, kali ini saya harus nontonlah!
Tibalah
waktunya. Saya datang dan yang saya cukup terperangah, eh formatnya lebih
lengkap lagi! Tak hanya dengan Adi Darmawan (bass), Eddy Syakroni (drums), Iwan
Wiradz (perkusi), Michael Alexander (gitar) dan Eugen Bounty (saxophone,
klarinet). Eh ditambah dengan dua cewek, ada Tiwi Shakuhachi (akordeon, voice ethnic),
Asri Hardjakusuma (violin) serta ada juga kendang yang dimainkan oleh, Jalu G.
Pratidina. Wuiiihm ini seru!
Apalagi,
saya lihat wah soundnya didukung DSS, langsung dengan Donny Hardono sendiri
turun tangan sebagai sound-engineernya. Pasti asyik kalau gini mah. Ga salah
dah, emang saya harus nonton....
Ketika
konser berlangsung, memang akhirnya bisa ditangkap. Suasana dan nuansa akustik
yang terasa. Itu saja, langsung sudah membedakan dengan penampilan Fariz
sebelum ini. Ia tampil maksimal. Musiknya menjadi unik. Lengkap betul
akustikannya.
Apalagi
Iwan Wiradz sempat memainkan pula kecapi sunda segala. Tiwi yang menyuarakan
cengkok etnik, tentu dengan pukulan kendangnya Jalu. Suasana musiknya jadi
lebih lebar. Lebih kaya dan eksotis.
Menurut
catatan saya, bule tak terlalu familiar sebenarnya dengan susupan nuansa etnik,
pada musiknya. Bukan “mainan sehari-hari”-nya nih. Tapi sependengaran saya
kemarin sih, ahay, bule sanggup menaklukkan tantangan itu.
Tampilan
akustik penuh begitu, bukan tontonan lazim, di panggung musik kita. Biasanya
juga disuguhkannya di indoor. Kemarin, digelar di halaman Bentara Budaya yang
berarti open-air atau outdoor. Suasana asyik. Saya suka, itu aja kesimpulan
akhirnya.
Ada
catatan lain lagi kali? Etapi, kopinya udah habis belum? Pisang gorengnya masih
ada ga? Bukan pisang goreng? Masak ngopi sambil makan...kue putu? Cobain deh,
kopi dengan kue balapisnya Manado.... Restoran Manado ga ada yang dekat sama
rumahmu? Waduh, kalau itu mah, PL alias...Problem
Lo! Hihihihi....
Saya
kasih catatan kecil untuk bule sahabat saya itu. Bule agak sedikit saja,
sedikit bingits, “terpeleset”. Maksudnya, salah main not gitu? Ah itu kecillah.
Bukan itu maksud saya.
Tapi
pada menetapkan songlist yang bakal dimainkan. Bule dan band, gak kebanyakan
bawain lagu-lagu barunya. Disjejerin beberapa lagu. Orang, aduh kenyataan
kurang seru sih, banyak yang kurang familiar.
Tak
heran, terasa tensi suguhan musik rada drop sedikit. Ini memang sikonnya sih.
Publik datang, kebanyakan memang, kepengennya ber-asyik masyuk dengan hits nya
Fariz RM. Mereka siap sing a long, goyang, teriak, seneng-seneng...inget masa
lalu. Ya kayak gitulah.
Saya
dan Frans Sartono, temen baik saya yang wartawan Kompas itu sempat membahas soal
itu. Penonton kurang kenal dengan lagu-lagu Fariz yang relatif baru. Yang
datang terutama dari album Fenomena, yang dirilis 2012.
Enerji
penonton terasa betul, disiapin untuk hits nya Fariz yang mereka akrab betul.
Bayangkan suasana, ketika enerji penonton terlampiaskan maksimal dengan apa
yang ingin mereka nikmati. Memberi feed-back
bagus banget untuk Fariz dan teman-teman Anthology Band, format sangat lengkap
itu.
Paling
bijak, mungkin ya, coba lagu baru tetap diselipin. Boleh kok, tapi
selang-seling dengan hitsnya yang sudah sangat populer gitu.
Begini
ya, feed-back itu kan rasanya akan bisa menjadi tambahan enerji membungkus
spirit bermusik, yang bakal lebih memuaskan. Ya buat penonton dan juga buat
para musisi. Walau saya juga memberi catatan khusus, asyiknya Fariz dan
Anthology nya berani menyelipkan, ‘Stairway to Heaven’nya Led Zeppelin di
tengah-tengah. Itu kejutan manis.
Saya
aja terkejut. Bule usil banget. Usil yang kreatif dan menyenangkan! Lagu anthemic yang everlasting itu, dibungkus
lagi dengan aransemen berbeda. Tentunya, aransemen versi akustik.
Well,
tapi sekali lagi ya, overall
mayoritas penonton pasti puas lah. Karena kan gretongan juga toh? Ga juga,
bukan soal gratis nya. Tapi Fariz tampil menarik dan berbeda. Beda yang eksotis
dan juga unik. Menyenangkan kok. Suwerrrr....
Tour?
Layak nih, konsep beginian ga banyak ditemui di acara-acara musik kita kan? Di
sisi lain, saya akui, Fariz memang “masih ada”. Hidup sehat terus bro, biar
kreatifitasmu tak terganggu, semangat bermusikpun terus terpacu, ide-idemu
mengalir dengan lancar. Fariz tetap sosok penting, yang berarti di pentas musik
nasional kita.
Kapan
main lagi, terusin deh konsep ini. Saya salut untuk konsep akustik lengkap
banget itu. Tambah bintang tamu? Perlu ga ya? Iseng aja sih ini, iseng banget
deh. Gini, iseng saya sebut ya, satu nama yang bisa dipertimbangkan jadi
bintang tamu sangat spesial. Buat saya sih, ga ada lain, Candra Darusman! /*