Wednesday, September 28, 2016

Solo City Jazz 2016, Akhir Pekan Ini

Intensitas, adalah sebuah kata kunci terpenting. Dilengkapi dengan semangat ekstra, kerja keras dan juga terus berpengharapan. Jangan lupa, pakai doa! Itulah dasar dari perjuangan kami, dalam terus melanjutkan acara tahunan ini.
Tetap berjuang, walau kami telah mulai melakukannya sejak 2009. Itulah kali pertama Solo City Jazz diselenggarakan oleh kami, C-Pro Production. Saat pertama kali itu, kami memperoleh restu dan dukungan maksimal dari bapak Joko Widodo, yang kala itu masih menjabat sebagai Walikota Solo.
Membuat publik Solo menjadi tambah jazzy, memang harus terus menerus terjaga kontinuitasnya. Harapan kami tentunya, ketika publik Solo menjadi lebih jazzy, akan menjadi lebih apresiatif pada musik jazz atau jazzy.
Dalam hal ini, jazz untuk Solo, sesuai konsep sedari awal Solo City Jazz, memang jazz yang unik. Unik dalam arti, jazz yang dapat dirasakan dekat dengan keseharian masyarakat Solo sendiri. Kan bikinnya di Solo?
Harus lantas diakrabi publik Solo. Selain itu, jazz di sini, memang lebih pada posisi melengkapi lagi keberadaan kota Solo. Memberi tambahan warna lagi bagi kota Solo, dengan event berbentuk festival jazz yang khas Solo.

Besar harapan kami, publik Solo bisa memberi apresiasi, memberi atensi lebih meningkat dari tahun ke tahun atas apa yang lakukan dengan Solo City Jazz ini. Dan demi memberi corak lebih berwarna, jadi menghadirkan variasi yang diusahakan semenarik mungkin, maka kami berupaya memberitema-tema tertentu pada setiap penyelenggaraan Solo City Jazz.
Lihat seperti Solo City Jazz kami di tahun ini. Kamimemberi kesempatan lebih lebar bagi potensi-potensi bibit muda, terutama justru dari kota Solo dan sekitarnya. Kalau diingat, tahun lalu, kami menampilkan bintang-bintang harapan dari daerah-daerah lain. Tahun ini, berbeda. Ya memberi porsi lebih pada para musisi muda Solo.
Kami berharap, Solo City Jazz dapat ikut mendorong secara aktif lahirnya para jazzer muda berbakat, yang dapat memanfaatkan event kami ini. Memanfaatkan untuk menjadi arena mencari tambahan pengalaman yang efektif, menjadi ajang etalase kemampuan mereka. Sembari, mereka juga bisa bergaul dengan para musisi yang juga memainkan jazz, yang sudah berkelas nasional, bahkan internasional.

Adapun di tahun 2016 ini pada hari pertama, Jumat 30 September 2016, akan tampil membuka Solo City Jazz adalah Surakarta Ska..Selection. Kemudian penonton akan disuguhi penampilan dari talenta muda cantik, Michelle Kunhle. Dilanjutkan dengan Galih Naga Seno, lantas ada B’Fuzz. Hari pertama Solo City Jazz, akan ditutup penampilan para musisi muda asal Purwokerto, Seroja.
Di hari kedua, Sabtu 1 Oktober, akan tampil Aditya Ong, nama muda potensial dari kota Solo. Dilanjutkan dengan nama baru nan berbakat lainnya, Iza Nael. Berikutnya, akan tampil, kolaborasi lintas negara, yaitu gitaris muda, Tesla Manaf dan pemain tiup asal Spanyol, Rodrigo Parejo. Penampilan kedua musisi beda negara tersebut, akan dipermanis dengan penampilan performing arts yang artistik. Kolaborasi Indonesia dan Spanyol itu akan ditingkahi oleh penari muda asal Solo, Dhea Fandari.

Satu catatan penting, Tesla Manaf adalah gitaris dan penulis lagu berusia muda, yang telah melanglang buana. Album rekamannya diedarkan label rekaman internasional, Moon June Records, yang memperoleh sambutan hangat dari para penggemar musik jazz, world music dan progressive seluruh dunia.
Tak pelak, Tesla adalah salah satu gitaris potensial yang bermasa depan cerah. Ini adalah kali kedua ia memeriahkan Solo City Jazz. Dimana pertama kali, Tesla tampil di Solo City Jazz kedua, tahun 2011. Sementara RodrigoParejo, adalah flutist muda berbakat asal Spanyol. Yang juga telah melanglang buana dan dikenalpublik pencinta musik jazz, world music dan kontemporer internasional.
Nama-nama muda di atas, tentu saja adalah nama-nama yang bakatnya kami beri apresiasi lebih. Saatnya mereka memperoleh kesempatan. Dan inilah saatnya publik mengenal mereka lebih jauh dan lebih dalam. Tak kenal, maka tak sayang kan  Maka, semoga mereka nanti akan lebih dikenal, dan tentunya, lebih disayang...
Seberapa besar bakat mereka, bagaimana menariknya penampilan mereka, marilah bersama-sama menyaksikan dan menonton penampilan mereka satu demi satu. Ini penampilan penting mereka, di awal-awal perjalanan karir mereka tentu saja.
Solo City Jazz hari kedua, akan ditutup penyanyi yang belakangan tambah populer, dengan grup “kolaborasi”nya, Trio Lestari, bersama Glenn Fredly dan Sandhy Sondoro. Penyanyi ini dikenal luas juga sebagai sebagai dokter bedah kecantikan. Siapa lagi kalau bukan, Teuku Adifitrian,yang lebih dikenal dengan nama Tompi.

Tompi secara khusus akan memeriahkan Solo City Jazz tahun ini, dengan didukung band pengiring tetap untuk solo-projectnya. Penampilan dari Tompi, diharapkan akan memberikan kegairahan tersendiri bagi publik Solo, untuk datang menyaksikan pergelaran Solo City Jazz ini.
Pada tahun ini Solo City Jazz kembali akan digelar di Taman Balekambang, seperti tahun 2015 silam. Dan seperti biasa, penonton tak akan dipungut bayaran, alias gratis, untuk menyaksikan pementasan Solo City Jazz dalam dua hari penyelenggaraannya.
Solo City Jazz yang diadakan oleh C-Pro Production dengan chairman Wenny Purwanti dan festival director, Gideon Momongan kembali bermitra dengan Mataya art&heritage. Dan tentu saja, tetap memperoleh dukungan dari Pemerintah Kota Solo.
Kami tentunya akan sangat bersukacita, bila publik Solo dapat datang menyaksikan acara kami. Menonton dan menikmatinya. Dan merasa terhibur karena sajian musik dari para performers nanti. Ragu? Nah, makanya datang menonton saja...

Sampai bertemu di Taman Bale Kambang, di akhir pekan ini. Salam Musik!/*



Monday, September 26, 2016

It's Amazing. Candra Darusman akan Kembali Lagi


foto : DSP
Menyebut namanya, ini unik dan menarik. Ia salah satu dari sedikit sekali musisi di sini, yang saat melangit namanya, malah tetiba menghilang. Ia lumayan berani, berbelok arah, meninggalkan jalur nyamannya. Yaitu, popularitas yang sedang posisi bagus, menanjak.
Ia malah terbang, meninggalkan Indonesia. Dan itu artinya, melepas popularitasnya sebagai musisi cum penulis lagu cum penyanyi. Ia memilih berkecimpung lebih dalam di dunia hak kekayaan intelektual internasional.
Untungnya, ia tak begitu lama meninggalkan jauh dunia musik, sebagai praktisi. Ia lantas dapat menyiasati waktu, untuk sesekali menyempatkan diri pulang ke tanah air. Terutama untuk tampil lagi, meneruskan perjalanannya bersama-sama teman-teman baiknya, di salah satu grup yang ikut membesarkan namanya.
Waktupun berjalan terus. Tak terasa memang, kita umurnya makin banyak kan? Demikian juga figur musisi, yang popularitasnya relatif cepat menanjak di awalnya, karena faktor babyface-nya itu. Nah memang, kita lantas bisa berharap, satu waktu di depan, ia kembali dan berperan lagi, di dunia musik Indonesia.
Kenyataan lantas membuktikan, ia memang akan menyelesaikan masa tugasnya di wilayah internasional. Berarti,ia akan segera kembali. Lalu, apa yang akan dilakukannya, ketika ia “pulang kampung”? Pastinya dong, tak sekadar, kembali bermukim di rumah lamanya saja. Masak cuma, balik tinggal di Bintaro lagi? Hehehehe...

foto  : DSP
Dia bernama lengkap, Candra Nazarudin Darusman  Tentu saja ia sudah lumayan dikenal luas publik, tentu saja terutama oleh penggemar musik.  Publik mengenalnya antara lain, bisa disebut, melalui karya-karyanya di group musik, yang awalnya adalah kelompok vokal, Chaseiro. Juga solo albumnya, walau terasa minim, karena hanya ada 2 album. Dan berikutnya, lewat grup musik (jazz) fusion yang ikut dibentuknya, Karimata.
Sekedar mengingatkan saja, Chaseiro berdiri sejak tahun 1978. Merilis album perdana di 1979, Pemuda, dengan semua lagu yang mereka bawakan, juga ditulis oleh Candra Darusman. Dibantu penulisan syair beberapa lagunya oleh sahabat-sahabat dekat mereka seperti Harry Sabar, Joeliardi Soenendar dan Irvan N.

Perlu diketahui, saat Chaseiro baru mulai berdiri, mengikuti kontes vokal group Radio Amigos. Mereka berhasil jadi juara saat itu, dengan salah satu lagu yang dibawakan, ‘Mari Wong’, adalah ciptaan Candra.
Lalu, Karimata mulai tampil pas di pertengahan 1980-an, dengan kemudian melansir album pertama mereka, Pasti, di tahun berikutnya. Grup ini diperkenalkan di tahun 1985, menjadi “wakil” Indonesia di ajang festival jazz, North Sea Jaz Festival, di Den Haag, Belanda. Waktu itu, bersama kelompok Bhaskara.
Dalam album perdana Karimata itu, Candra menulis 3 lagu di antaranya. Karimata sendiri, kemudian sempat merilis 5 album rekaman. Dengan setelah album Jezz, yang dirilis 1991, mereka kemudian vakum hingga sekarang.
Sementara solo album Candra Darusman sendiri, dihasilkannya sebelum keterlibatannya dengan Karimata, yang antara lain membuatnya terpaksa “vakum” sesaat dari Chaseiro. Ini lantaran kedua solo album itu, Indahnya Sepi (1981) dan Kekagumanku (1983), terhitung lumayan laris di pasar.


Selain itu, Candra, setelah kesuksesan solo albumnya, juga mulai aktif bermain dengan sebuah kelompok band lain. Candra Darusman Latin Jazz Band. Dimana ia kerap didukung para musisi muda, antara lain dari kelompok, Black Fantasy.
Ia juga sempat menjulang tinggi namanya sebagai salah satu dari “3-Serangkai” produser, yang berada di kesuksesan beberapa album jazzy di era pertengahan 1980-an. Bersama dua sahabatnya, sesama anggota Karimata yaitu Erwin Gutawa dan Aminoto Kosin, Candra antara lain sukses “membentuk” Ruth Sahanaya. Lewat debut album penyanyi cantik itu, Seputih Kasih,yang dirilis tahun 1987.

Di sisi lain, ia juga merupakan salah seorang yang ikut membuat acara tahunan, Jazz Goes To Campus (JGTC) yang mulai diadakan pada tahun 1977 dan terus sukses diselenggarakan setiap tahun di Universitas Indonesia, hingga kini.
JGTC tersebut, pada awalnya, sampai beberapa tahun di periode awal, lebih sebagai sebuah panggung jazz dengan beberapa grup dan musisi yang tampil. Digelar dari siang sampai sore hari di areal Taman Ekonomi, kampus Salemba. Konsepnya sederhana waktu itu. Panggungpun minimalis.
Sederhana dalam penyajiannya. Tetapi yang bikin menarik, JGTC pada tiap tahun penyelenggaraannya, senantiasa menghadirkan nama-nama jazzer kenamaan Indonesia. Tua dan muda. Tampil dalam suasana lebih bersahabat, dekat dan intim.
Namun kemudian berkembang, dengan menampilkan lebih banyak lagi performers, misal lantas jam pertunjukkannya sampai masuk ke malam hari. Alhasil panggung jazz “mahasiswa” itu, berkembanglah menjadi berbentuk festival jazz, pada saat menjelang akhir 1980-an.

Sebagai penulis lagu, dua karya Candra Darusman bahkan masuk sebagai 2 dari 150 lagu Indonesia terbaik sepanjang masa, pilihan majalah Rolling Stone Indonesia pada 2009. Dan sebagai catatan lain pula, Candra pernah menempatkan salah satu lagu yang ditulisnya, ‘Hari Yang Indah’, menjadi Finalis pada Fesival Lagu Pop Nasional, tahun 1977.
Pada saat malam final, yang menyanyikan lagu itu adalah, sahabat-sahabatnya, dari keluarga Indrakesuma. Mereka kelak kemudian bergabung dengannya di Chaseiro, Rizali, Helmie dan Irwan Indrakesuma.

Pemuda keren yang lahir di Bogor, 21 Agustus 1957 ini, juga dikenal sebagai sosok yang sangat memperhatikan kesejahteraan seniman musik di Indonesia dengan keikutsertaannya sebagai Direktur Persatuan Artis Pencipta Lagu, Penata Musik Indonesia (PAPPRI) dan juga General Manager Yayasan Karya Cipta Indonesia.
Setelah menjabat sebagai konsultan selama 9 tahun di organisasi dunia World Intelectual Property Organization  di Geneve, Swiss, saat ini Candra Darusman masih terus mengabdikan diri dalam pengembangan kebijakan HaKI dengan jabatannya sebagai Deputy Director WIPO yang berkedudukan di Singapura.
Pengabdian ini juga yang lantas membuatnya terpilih dalam Penghargaan Kebudayaan Tahun 2016, untuk kategori Pencipta, Pelopor dan Pembaru. Penghargaan ini diterima Candra Darusman kemarin, pada 23 September 2016 dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. Penghargaan tersebut diberikan karena dedikasinya dalam bidang Seni Musik (Pelopor HaKI Bidang Musik dan Festival Jazz di Indonesia).



Atas dasar serangkaian catatan perjalanannya tersebut di ataslah, rasanya tepat kiranya kalau Signature Music, lantas bermaksud untuk memberikan penghargaan, atau apresiasi lebih, kepada Candra. Berupa sebuah album rekaman dan sebuah buku. Perjalanannya selama ini telah memperlihatkan dedikasi dan konsistensinya dalam dunia musik Indonesia.
Mngenai buku, adalah tentang Intelectual Property dan hak cipta dalam industri musik yang akan berjudul Perjalanan Sebuah Lagu ini merupakan sebuah pengenalan tentang segala hal yang berhubungan dengan karya cipta, ditulis dari pengalaman dan pandangan seorang Candra Darusman. Diharapkan buku ini dapat memberikan gambaran dan menjadi pegangan bagi para pencipta di Indonesia akan hak, kewajiban dan perlindungan atas karya ciptaannya.

Sedangkan album musik akan berjudul It's Amazing - Perjalanan Karya Candra Darusman. Album direncanakan akan dirilis di Agustus 2017 dan akan menampilkan 12 lagu karya Candra yang pernah direkamnya bersama Chaseiro, Karimata dan juga solo albumnya, dengan tambahan 2 lagu baru. Lagu-lagu ini akan dibawakan oleh beberapa penyanyi, baik solis maupun group/ band, yang dikenal di Indonesia. Dan dengan tambahan sebuah lagu baru yang akan dibawakan langsung oleh Candra Darusman sendiri.
Beberapa penyanyi dan musisi yang akan ikut serta dalam album ini antara lain adalah: Maliq & D'Essentials, Glenn Fredly, Fariz RM, Sheila Majid, Shili & Adi dan Andien.
Sedangkan beberapa arranjer Indonesia yang juga sudah menyatakan kesiapannya untuk ikut serta dalam album ini adalah Addie MS, Erwin Gutawa, Yovie Widiyanto, Tohpati dan Andi Rianto. Beberapa musisi lain juga sedang dalam tahap pembicaraan untuk dapat ikut berpartisipasi dalam album ini.
  


Dan kedua gawe besar untuk tahun depan itu, ditandai dengan sebuah acara Syukuran dengan potong tumpeng. Acara tersebut sekaligus sebagai kick-off dari mulainya proses produksi album dan buku tersebut di atas, diadakan Sabtu 24 September lalu, di studio Erwin Gutawa, di kawasan selatan Jakarta.
Dalam acara yang dipandu Ferdy Hasan itu, Candra berkesempatan memaparkan hal terkait apa yang tengah terjadi dewasa ini, pada dunia musik secara global dan di Indonesia. Pemaparan berlangsung sekitar hampir 30 menit. Bentuknya, menjadi kayak “kuliah umum” saja.
Ada hal-hal menarik, tentu saja memberi pencerahan dan menambah wawasan, karena Candra menerangkan dengan kelengkapan data-data. Misal mengenai incomings dan potensinya di industri musik masa sekarang.
Baik itu tentang penjualan fisik (terutama CD). Kemudian juga download. Termasuk streaming. Bagaimana sebuah produk rekaman musik dijual, bagaimana dengan potensi pasar dan jalur-jalur distribusi yang tersedia pada saat ini.
foto  : DSP


Adapun para “mahasiswa” yang mengikuti kuliah umum kemarin itu, terdiri dari beberapa praktisi musik, dan para wartawan baik dari online, surat kabar maupun televisi. Candra, sebagai “keynote speaker”, ditemani para “pemrasaran”, yang ikut memberikan komentar, masukan dan pandangannya.
Para “pemrasaran” adalah  Erwin Gutawa, Andien Aisyah, Addie MS dan Glenn Fredly. Ikut memberikan komentarnya, wartawan musik legendaris, Bens Leo. Kuliah umum Candra Darusman mengenai dunia musik saat ini dan terkait HaKI, dibuka oleh executive producer, Panji Prasetyo
Turut hadir pula, beberapa nama lain. Seperti Yudhis Dwikorana, Iman Sastrosatomo, Fryda Lucyana dan Widyasena Soemadio. Menyusul belakangan, datang juga, Once Mekel.
Perihal Signature Music Indonesia, adalah sebuah label rekaman Indonesia yang telah menerbitkan dua buah album, Fariz RM, Fenomena (2011). Dan album Erwin Gutawa, OST Musikal Laskar Pelangi (2012). Dengan produser eksekutifnya, Panji Prasetyo, adalah lawyer yang juga bergiat di sisi hak kekayaan intelektual.





Panji sendiri, yang mengaku adalah penikmat musik Indonesia relatif fanatik, bermaksud menghadirkan katalog musik-musik Indonesia bagus. Bagus di sini konteksnya adalah,musik-musik yang pernah memberi inspirasi kuat, dalam perjalanan musik Indonesia.
Upaya menghadirkan lagi karya-karya lagu seorang tokoh bernama Candra Darusman, adalah salah satu langkah yang diniatinya sejak beberapa tahun lalu. Jelas dasarnya, ia berpendapat, karya-karya Candra itu pantas betul dicatat dalam sejarah perjalanan musik Indonesia selama ini.
Ga salah sih. Karya-karya lagu Candra, memang terbilang menjadi lagu-lagu yang sempat lumayan kental mewarnai jaman. Paling tidak di era 1980-an dulu. Lagu-lagu bagus, yang sungguh bukan lagu-lagu “mudah”. Kekuatannya ada pada lagu, dan juga syairnya yang “berbicara”. Baik soal cinta, juga soal kemanusiaan. Dalam pilihan bahasa yang manis, relatif mudah dicerna, tapi bukan barisan kata-kata “pasaran” biasa.
Ada catatan lain, yang tak kalah serunya nih. Yaitu, Candra sekian waktu terkesan “tidak pede” untuk hadir solo lagi. Kalau menurut saya, ia bukan tidak percaya diri, atau terlalu low profile. Kemungkinan ia belum punya cukup waktu, untuk memusatkan konsentrasinya. Waktunya belum datang saja. Maklum, Candra seorang yang cukup perfeksionis selama ini lho.
Kalau menyoal lagu-lagu asyik tahun sebelumnya, dalam hal ini era 1980-an, ketika dihadirkan lagi sebenarnya bukan semata-mata karena menyolek urusan romantisme masa lalu. Bukan cuma menghadirkan nostalgia. Karena kalau hanya urusan itu, ketika kesenangan nostalgia sudah meredup, ya kelar sudah!
Tentunya, lagu itu baik musik dan lagunya sendiri, tetap kontekstual didengar hari ini. Kalau lantas diupayakan bisa didengarkan lagi, lebih sebagai menjelaskan ada lagu-lagu sebagus ini di waktu lalu. Dan, nah ini nih yang penting, tetap enak dan nyaman kok didengar hari ini. Begitu kan?
Turut menambah perbendaharaan lagu-lagu bagus masa sekarang, yang so pasti tak kalah dari lagu-lagu yang beredar di masa sekarang ini. Artinya, ya yang menikmati itu tak hanya orang-orang yang sudah pernah mengenal lagu-lagu tersebut, terbuka lebar untuk merangkul penggemar yang “baru”.
Itulah yang pas, kalau disebut sebagai “melestarikan”. Mampu merangkul penggemar yang relatif “baru”. Sehingga karya-karya lagu dan musik itu, akan tetap hidup, dari waktu ke waktu.

Signature Music memang menuju ke arah situ. Melestarikan dengan “baik dan benar”. Kali ini karya suami dari Budi “Dini” Ariani dan ayah dari Kara, Rio dan Rino, bernama Candra Darusman. Dan dengan dukungan penerbit Kompas Gramedia, juga akan menerbitkan pemikiran, pandangan serta berbagi pengalamannya dalam dunia musik, dalam sebuah buku.
Paket komplit yang semoga tak hanya menghibur, tapi juga memperluas wawasan dan memberikan pengetahuan lebih detil lagi. Bagus untuk publik, termasuk para musisi dan penyanyi. Tahun depan akan dirilis. Di Agustus 2017, pas saat Candra Darusman nanti berusia 60 tahun.
/*





Foto - foto  :  Gideon Momongan



Tuesday, September 20, 2016

Saat Saya Memotret SIPA 2016





SIPA adalah Solo International Performing Arts. Sebuah bentuk sajian festival seni pertunjukkan yang lumayan lengkap. Dimana kalender tetap saban setahun sekali ini, senantiasa menyajikan tari, teater dan musik, yang datang dari pelbagai belahan bumi.
Penggagas utama adalah Joko Widodo, dikala Presiden Republik Indonesia tersebut, masih menjabat sebagai Walikota Solo. Diadakan pertama kali di tahun 2009. Dan ketika itu, langsung mencuri perhatian, sebagai salah satu event besar seni pertunjukkan yang terbilang lengkap.
Lengkap karena, senantiasa membuka pintu lebar-lebar bagi keterlibatan berbagai unsur tradisi dari berbagai daerah di seluruh penjuru Nusantara ini. Menjadi etalase akan karya-karya seni pertunjukkan yang berbasiskan pada tradisi seni budaya, yang datang dari berupa-rupa etnis atau suku bangsa tanah air.
Dimana segenap potensi budaya kreatif tersebut, dipersandingkan dengan beragam seni pertunjukkan dari etnis-etnis lain, yang berdatangan dari seluruh dunia. Baik Asia, Eropa, Amerika, Afrika dan Australia. Sehingga melengkapi konsep sajian festival, yang juga berdasarkan akan kebersamaan dan saling mengahrgai satu sama lain.
Tahun ini adalah penyelenggaraannya yang ke 8 kalinya. Dan merupakan kali kedua, saya bisa beroleh kesempatan untuk menyaksikannya langsung. Dimulai dari Kamis 8 September. Dan berlangsung setiap malam, hingga Sabtu 10 September 2016. Mengambil tempat di kawasan Benteng Vastenburg, di tengah Solo.




Malam pertama diisi maskot SIPA 2016, Peni Candra Rini, yang berkolaborasi dengan teater Semarak Candra Kirana. Lalu Park Na Hoon Dance Company (Korea Selatan), Premijit Manipuri Dance (India). Dan ikut memeriahkan festival ini, nama-nama tenar dari Indonesia sendiri.
Yaitu seperti harpist jelita, Maya Hasan, asal Jakarta. Kemudian juga rombongan Kua Etnika, di bawah pimpinan seniman kawakan, Djaduk nan Ferianto, asal Yogyakarta. Dan sebagai penutup acara, malam pertama, tampillah Dewa Budjana, dengan memboyong grup bandnya sendiri.
Seru juga lho, ketika membaca di website milik SIPA. Pengisi acara di malam pertama, Budjana, membawa Jack de Johnette, Gary Husband dan Tony Levin. Wuidiiiih, dahsyat betul! Mereka, para virtuoso atau master musik jazz dan kontemporer dunia itu, memang pernah berkolaborasi dalam rekaman salah satu album Dewa Budjana. Dimana rekaman itu dilangsungkan di Amerika Serikat, pada tahun lalu.
Memang benarkah, bahwa Budjana memboyong selengkapnya "band-project"nya itu ke SIPA 2016 kemarin? Budjana aja deh yang menjawabnya.....







Pada malam kedua, dihadirkan beragam performers lain seperti kelompok musik muda, Trodon, asal ibukota Jakarta. Keteng Keteng Girls (Medan), Nadi Singapura. Lantas kolaborasi lintas etnis, lintas negara, terdiri dari Nell Chua dan Ruanatworkz (Singapura, Malaisya), Philips Graulty (USA), Blessing Chimanga (Zimbabwe), Rodrigo Parejo (Spanyol) dan Peni Candra Rini.
Tampil pula Avijit Gosh (India). Lalu Komunitas Musik Tadulako, berbahasa Kaili, dari Palu. Mereka memulainya dengan prosesi tersendiri. Serta dipuncaki, duo Nya’ Ina Raseuki a.k.a Ubiet (voices) dan Dimawan Aji (cello).
Sementara pada malam terakhir, malam minggu 10 September, tampillah Gondrong Gunarto & Friends (Solo), Elly Luthan Dance Company (Jakarta), kelompok Gangsadewa (Yogyakarta).






Juga tampil lagi bentuk kolaborasi yang didukung Blessing Chimanga (Zimbabwe), Philips Graulty (USA), Nell Chua dan Ratnaworkz (Singapura, Malaisya) serta Rodrigo Parejo, yang datang dari Spanyol. Selain itu juga penampilan musisi muda, Viky Sianipar dan grupnya dari Jakarta.
Kemeriahan malam penutupan itu, disempurnakan oleh penampilan Sruti Respati dan Indro Hardjodikoro bersama kelompok Musim Keroncong-nya, yang datang dari Jakarta. Mereka tampil sebelum pesta kembang api, serta closing ceremony, yang didukung para performers SIPA 2016 dan grup musik Trodon.





Buat saya, menonton SIPA dan kemudian, tentunya tak mungkin tidak untuk tak memotretnya itu. Itu kejadian langka.Momen yang mengasyikkan. Menyegarkan. Agak jarang saya temui. Bayangin, saya datang dan bisa menyaksikan langsung SIPA saja, dari 2009, Lha baru kesampaian lagi di 2016!
Itupun, catet nih, saya dapat undangan untuk bisa melihat baru di hari kedua dan di hari penutupannya. Hari pertamanya itu, saya missed. Masih di Jakarta tuh. Padahal seru juga kayaknya, kalau bisa menyaksikannya komplit 3 hari. Keberagaman pengisi acaranya itu lumayan menarik.
Kabarnya, selama ini SIPA ditangani tata artistiknya oleh Sugeng Yeh. Nama satu ini, saya suka akan hasil kerja kreatifnya, membesut acara-acara pertunjukkan seni, baik teater dan tari, termasuk juga musik. Dan kemarin di SIPA, ya salah satu yang bikin saya tak mau kehilangan momen memotretnya, sisi artistik pada sajian visualisasinya itu.
Bukan perkara sempurna, ciamik ataupun kerennya. Tapi lebih pada, saya merasa nyaman dan enak aja untuk memotretnya. Inilah sebagian karya saya. Selamat menikmati. Dan oh ya, terimakasih untuk Sruti Respati, atas undangannya ya.. /*