Sunday, November 19, 2017

Catatan Saya secara Jazz untuk AMI Awards 2017


T u l u s
Mungkin ini bisa disebut sebagai salah satu edisi jazz dari ajang tahunan bergengsi, Anugerah Musik Indonesia, AMI. Apakah disengaja atau tidak, tapi kesan “bau” jazz yang lebih menyengat, memang cukup tercium.
Terutama misal lihat dari nama Muhamad Tulus, atau yang populer dengan nama simplenya, Tulus. Ia dengan album ketiganya, Monokrom, meraih  6 penghargaan, termasuk penghargaan paling bergengsi yaitu Album Terbaik dan Karya Produksi Terbaik. Termasuk juga Tim Produksi Suara lewat duo kakak-beradik, Ari Renaldi dan Rudy Zulkarnaen.
Seperti diketahui, Tulus memang mengedepankan musik yang rada jazz(y). Paling tidak ada suasana ala musik-musik adult contemporary 1980-an, yang oleh sebagian orang disebut sebagai jazz-pop. Atau light jazz. Atau ada juga “julukan” lain, jazzy tunes.
Apalagi ditambah, dalam beberapa tahun terakhir ini, Tulus dan musiknya tersebut telah menjadi langganan sebagai performer utama, headliner, pada berbagai acara berbentuk festival jazz di tanah air. Hal mana membuatnya seolah, bintang muda ngejazz terdepan kan jadinya?
Saya secara khusus, jadi tergerak sedikit menulis tentang perhelatan AMI Awards 2017, memang sebatas pada “fenomena” edisi jazznya. Ga tau deh, apa memang publik setuju atau tidak, tapi itulah yang saya rasakan. Melihat dari list para penerima penghargaan misalnya. Juga termasuk para performers yang memeriahkan malam puncaknya.
Adapun malam puncak penganugerahan Anugerah Musik Indonesia, untuk tahun 2017, telah berlangsung pada 16 November 2017, mengambil tempat di Teater Garuda, Taman Mini Indonesia Indah, Jakarta. Dan disiarkan langsung oleh RCTI.
Saya sih nontonnya dari layar kaca saja. Dan itupun juga hanya sepotong kecil. Ya jujur mengakulah. Makanya, tak ada foto-foto langsung dari malam penuh kemilau dan pesona itu. Agak lupa sih tepatnya, tanggal kapannya AMI itu! Hahahaha.
Krakatau Reunion, dengan Chapter One

Tapi memang jadi menarik, sekali lagi buat saya ya terutama, saat mengetahui dan menonton Krakatau akhirnya menyempurnakan kesuksesan tahapan edisi reuniannya, lewat meraih 2 penghargaan dari AMI Awards.
Krakatau, yang berdiri sejak1985 dan kini sejak 2015 tampil kembali dengan nama Krakatau-Reunion, seperti diketahui muncul dan langsung beredar kencang namanya. Mereka tampil di begitu banyak festival jazz di seluruh penjuru Nusantara. Pergerakan sangat aktif itu terus terang rada mengejutkan juga.
Dan aktifitas kencang penampilan panggung mereka di paling tidak 2 tahun terakhir ini, menjadi lebih lengkap dengan kesuksesan album mereka, Chapter One, yang diganjar penghargaan AMI Awards.
2 penghargaan untuk Krakatau Reunion lewat album yang dirilis di awal 2017 tersebut adalah, Album Jazz Terbaik, Chapter One. Dan Artis Jazz Vokal Terbaik, ‘Cermin Hati’ dari album Chapter One.
Tentu saja, saya ucapkan selamat kepada Krakatau Reunion. Tak lupa selamat juga kepada executive producer dari album Krakatau Reunion tersebut, Donny Hardono, dengan DSS Music. Dimana DSS pulalah yang langsung menangani perjalanan kembali Krakatau, terkhusus “edisi” Krakatau Reunion sejak mereka berenam sepakat untuk berkumpul kembali, dan bermain bareng lagi.
Dewa Budjana

Gerald Hiras Situmorang
Ucapan selamat juga untuk sahabat baik saya sejak lama, Dewa Budjana. Lewat salah satu track dalam album terbarunya, Zentuary, yaitu, ‘Solas PM’, Budjana mendapat penghargaan Album Jazz Instrumental Terbaik.
Album yang produksi rekamannya dilakukan di USA dan diedarkan resmi pada akhir Oktober 2016 tersebut, telah mendapat pujian dari publik musik pencinta jazz internasional. Mendapatkan juga penilaian sangat positif dari berbagai media musik di USA, Eropa dan dari seluruh penjuru dunia.
Budjana, didukung bassis legendaris, Tony Levin. Lalu drummer jazz kawakan, yang juga pianis, Jack de Johnette. Serta melibatkan pula saxophonis Danny Markovitc serta musisi multi instrumentalis yang tak kalah besar namanya, Gary Husband, kali ini dengan kibor.
Pada kategori musik jazz, di ajang AMI Awards 2017 ini muncul nama-nama yang telah dikenal luas sebagai jazzer-jazzer terbaik. Jadi, Krakatau Reunion dan Dewa Budjana itu bersaing dengan para musisi atau grup band, dengan karya album dan lagunya masing-masing, yang telah meraih perhatian publik di setahun-an terahir ini.
Tak kurang dari Indra Lesmana, dengan. ‘Jack Swing’ dalam solo albumnya, About Jack bersama grup Indra Lesmana Keytar Trio. Atau Indro Hardjodikoro lewat, ‘Always Dare’ dari album Always There. Termasuk lainnya, ada Tohpati dengan, ‘Faces’ dari album grupnya, Tohpati-Bertiga.
Bahkan juga kibordis Krakatau Reunion lainnya, Dwiki Dharmawan, yang notabene juga adalah Ketua Umum AMI pada saat ini. Dwiki secara cukup mengejutkan, terpilih dengan lagu, ‘Frog Dance’ dari solo albumnya, Pasar Klewer..
Nama nominator lainnya adalah almarhum Mike Mohede, dengan lagu, ‘Kaulah Segalanya. Serta ada nama Aimee Saras, Bonita Adi, Aprilia Sari dengan lagu, ‘Tiga Dara’.
Dari khasanah jazz tanah air, menyeliplah bintang muda, dia gitaris tapi juga bassis. Gerald Hiras Situmorang namanya. Gitaris ini sukses memperoleh penghargaan Karya Produksi Instrumental Terbaik, dengan lagu, ‘Familiar Song’.
Kemenangan Gerald cukup mencuri perhatian, karena ia berhasil “melewati” para seniornya, yang adalah para musisi jazz kenamaan. Antara lain ada Dewa Budjana, Indra Lesmana, Indro Hardjodikoro. Serta, sekali lagi juga ada sang Ketua Umum AMI, Dwiki Dharmawan.
Dwiki Dharmawan dan Indra Lesmana

MONTECRISTO
Gerald muncul ke depan, semoga bisa menjadi inspirasi bagi para musisi muda lainnya, untuk tetap teruslah aktif berkarya. Sejatinya, musisi-musisi mudapun memperoleh perhatian yang sama. Perhatian itu bisa pula diartikan sebagai kesempatan. Kan dalam musik, tak mengenal usia.... Selamat ya Gerald!
Kemudian saya juga memilih untuk mengucapkan selamat secara khusus kepada teman-teman baik saya Eric Martoyo, RustamKeithEffendi dengan grupnya, MONTECRISTO. Mereka meraih penghargaan Karya Produksi Rock Progresif Terbaik. Momentum dimana musik prograsif rock mendapatkan perhatian dari publik. Sungguh diharapkan begitu.
Seperti diketahui MONTECRISTO merilis album terbaru mereka, A Deep Sleep,pada beberapa bulan silam di 2017. Dimana mereka kemudian, belum lama ini , juga menyusulkan dengan merilis sebuah album live-nya dalam format DVD.
Juga ada nama Adrian Adioetomo. Gitaris yang populer dengan gitar dobro khasnya itu, memperoleh penghargaan Artis Solo Pria atau Wanita Instrumentalia Terbaik, lewat lagu Tanah Ilusi’. Lagu itu diambil dari mini albumnya diedarkan sekitar penghujung 201, Apaan?
Adrian, yang sekian lama dianggap “tokoh” muda blues Indonesia, lalu memperkenalkan apa yang disebut delta blues itu, sukses menyelip masuk di kategori rock. Tentu patut diberi pujian khusus juga. Buah dari intensitasnya berkarya tanpa henti, senantiasa penuh semangat! Hidup blues!
GIGI juga kebagian penghargaan. Artinya, Budjana bisa bawa tambahan penghargaan nih jadinya. GIGI menang lewat, Adu Domba’ untuk kategori  Duo/Grup Pop Terbaik. Hebat juga euy, sebagai grup 90-an ya, mereka sukses memenangkan pertarungan dengan grup-grup pop, yang sebenarnya secara era muncul belakangan.
Saya awalnya berpikir, seolah mereka yang lebih muda itu “menguasai” pasar musik, terutama pop, masa kini. Misalnya kayak D Masiv, Nidji, Geisha. Sampai Armada. Eh ternyata GIGI yang mendapatkan peghargaan. Selamat!
G I G I

God Bless

Oh ya, balik deui ke wilayah rock. Selamat dan sukses untuk supergroup yang jelang umur 45 tahun karir mereka. The trully living legend band, God Bless.  Grup yang tetap dimotori 2 pendirinya, Achmad Albar dan Donny Fattah serta juga didukung ikon gitaris rock, Ian Antono ini, kebagian penghargaan juga.
God Bless meraih penghargaan untuk kategori Duo atau Group Kolaborasi Rock Terbaik dengan, ‘Damai’. Satu penghargaan lain didapat lewat album ketujuh mereka, yang dirilis tahun silam, Cermin 7, dalam kategori Album Rock Terbaik.
Kemudian selamat untuk penganugerahan Lifetime Achievement Awards untuk penyanyi, penulis lagu, aranjer, musisi multi instrumentalis, Fariz Rustam Munaf. Penghargaan yang sangat layak, sebagai ganjaran setimpal atas segala sepak terjangnya didunia musik sejak jelang akhir 1970-an.
Yang tentu saja, seperti kita ketahui bersama, membuatnya menjadi salah satu musisi, penyanyi dan penulis lagu paling produktif di era 1980-1990an. Dan hebatnya, ini pujian dari lubuk hati terdalam, ia tetap eksis dengan lumayan lancar bahkan hingga saat ini. Ga ada matinye....
Dedikasi totalnya atas musik Indonesia, telah dibuktikannya lewat puluhan solo album, itu belum lagi ditambah berbagai album kompilasi. Tak kurang juga, pelbagai proyek kolaborasi musiknya, dengan berbagai musisi dan penyanyi, dari berbagai usia. So, terus berkarya bro bule, begitu panggilan akrabnya. Dan jangan pernah bosan hidup positif, biar sehat selalu!
Fariz Rustam Munaf

Yala Roesli dan Rumah Musik Harry Roesli
AMI juga memberi bentuk kepedulian terhadap para legenda musik Indonesia yang telah tiada, dengan catatan perjalanan panjang karir musiknya, yang mewarnai musik Indonesia. Penghargaan tersebut diberikan untuk 3 nama, pada tahun ini.
Pertama pada almarhum Harry Roesli, tokoh musik Bandung yang memberi keramaian berbeda pada khasanah musik rock Indonesia, lewat banyak karya-karya musiknya yang khas dan unik. Juga untuk 2 nama besar yang sukses di dunia musik pop Indonesia, almarhum Benny Panjaitan dan almarhum Baartje Van Houten.


Tulus. Foto : Indrawan
AMI Awards sendiri pertama kali diadakan oleh Yayasan Anugerah Musik Indonesia pada tahun 1997. Dan penghargaan AMI Awards ini, bisa dibilang adalah penyatuan dari 2 ajang awarding sejenis, yang telah diadakan sebelumnya.
Kedua penghargaan tersebut adalah BASF Awards, mulai 1985. Lalu HDX Awards, mulai 1992. Kedua ajang penghargaan itu, disokong sepenuhnya oleh dua produsen pita kaset rekaman yang terbilang terbesar di Indonesia, pada saat itu.
Menurut sejarahnya, AMI Awards ini juga diadakan atas gagasan dari 3 organisasi musik resmi yaitu, ASIRI (Asosiasi Industri Rekaman Indonesia), PAPPRI (Persatuan Artis Penyanyi, Pencipta Lagu dan Penata Rekaman Indonesia) serta KCI (Karya Cipta Indonesia).
Adapun konsep dasar dari AMI Awards ini mengadaptasi apa yang telah dijalankan oleh NARAS (National Academy of Recording and Science), yang merupakan penyelenggara dari ajang awarding bergengsi tingkat dunia, Grammy Awards.
Pada AMI Awards pertama di 1997, dengan acara malam penganugerahannya dilakukan di Jakarta Convention Centre, diserahkan 34 kategori penghargaan. Sementara pada 2017 kemarin, diberikan penghargaan dalam 52 kategori. Termasuk penghargaan yang baru diberikan di tahun ini, lagu dan album musik rohani.
Nah soal bebauan jazz yang saya rasakan itu, juga menyembul dari beberapa performers yang dipilih untuk meramaikan malam penganugerahan AMI tersebut. Paling tidak ada, Tohpati-Bertiga. Yang sebelumnya juga Krakatau-Reunion.
Ketika AMI, yang bergengsi tinggi itu, juga memberi perhatian pada pergerakan musik-musik non-mainstream, tentunya perlu diberi apresiasi tinggi. Apalagi langkah konkrit dan nyatanya, menampilkan mereka yang seringkali danggap “tidak pop” itu, utuk bisa tampil secara live.
Karena tontonan malam penganugerahannya itu ditayangkan langsung oleh stasiun televisi. Jarang-jarang grup musik atau artis penyanyi yang bisa disebut, outside mainstream music,  beroleh kesempatan tampil kan? Terganjal rating tentunya, yang membuat penampilan “kaum di luar mainstream”, jadi sangat terbatas.
Adrian Adioetomo

Tohpati - Bertiga
Semoga AMI Awards tetap dapat berlangsung dan menjadi salah satu referensi terpenting, bagi perjalanan dunia musik Indonesia. Sehingga gengsi tingginya juga lantas menjadi magnet untuk keikutsertaan dari kalangan yang dianggap, indie atau independent.
Memang perjuangan paling serius adalah, membuktikan bahwasanya AMI Awards tak cenderung hanya memberi perhatian dan kepedulian, serta apresiasi, bagi kalangan industri musik saja. Upaya untuk memberi ruang bagi musik-musik indie, semoga makin lancar di kemudian hari.
Itu juga soalnya secara kenyataan yang ada, beberapa nama sudah membuktikan, lewat jalur indie pun mereka bisa berbicara. Ada fenomena, artis penyanyi, duo atau grup-grup tertentu, sukses justru bukan melalui jalur “formal”. Baik dari pola distribusi, juga menerapkan strategi promosi yang berbeda.
Tidak menembus jalur distribusi toko-toko musik besar misalnya, dan tidak memakai promosi melalui televisi atau radio. Tetapi toh mereka juga sukses, dikenal luas. Mempunyai penggemar fanatik setia yang loyal dan terus menggelembung saja jumlahnya. Apalagi dengan jadwal manggung mencengangkan!
Itulah situasi dan kondisi yang terjadi di Musik Indonesia Jaman NOW! Kalau AMI tetap peduli dan memberi perhatian pada pergerakan-pergerakan kaum indie, dengan segala kreatifitas uniknya itu, bisa saja diharapkan AMI Awards akan makin menjadi “tujuan utama” dari para pelaku musik di tanah air.
Terus bergaul sehingga tetap dapat memahami dan mengerti situasi dan kondisi terkini yang terjadi pasar musik, membuka pintu pada hal-hal terkini, melakukan semacam updating atas pergerakan di dunia musik Indonesia. Tentu saja hal demikian berfaedah dan bermanfaat.
AMI membuktikan dengan misalnya, mengadakan kategori-kategori penghargaan yang relatif baru, demi menampung aspirasi pasar musik. Makanya memang jumlah kategori itu berkembang, bisa saja bertambah. Walau bisa juga berkurang, misal ada kategori tertentu yang terpaksa tak disediakan di waktu tertentu. Karena tak ada “peserta”nya misalnya. Di titik itu sih, cukup fair dan bisa dimaklumi.
Walau bukan lantas berarti juga, dapat penghargaan AMI itu otomatis lagu atau albumnya menjadi laris-manis tanjung kimpul, duitnya kumpul setelah albumnya ludes. Ga langsung begitu juga, tapi kan tentu saja memberi dorongan positif dan signifikan untuk dunia musik secara keseluruhan?
Saya hanya ingin menulis angle tertentu saja atas AMI Awards ini. Biarlah untuk nama-nama penerima penghargaan lain beserta kategori-kategorinya, teman-teman yang membaca tulisan ini, bisa googling sendiri dan memperolehnya dari situs-situs lainnya.
Salam Musik Indonesia! /*




Wednesday, November 15, 2017

Menonton dan Menikmati Joey Alexander, 12 November kemarin



Diundang menonton. Datang sukacita, senang karena bisa menjumpai lagi “the wonder kid”, eh ok he’s no longer kid anymore...  Menontonnya, menikmatinya. Lalu selesai konser, pulang dan kurang bisa tidur dengan nyenyak. Ah, masih kangen untuk lebih lama mengagumi kedewasaan si pianis remaja itu.
Pada tatanan bahasa gaul Kids jaman Now, disebut “kentang”. Kena sih tapi tanggung euy. Puas-puas ga gitu. Ada yang masih terasa, aduh harusnya sih bisa lebih terpuaskanlah. Tapi jangan diartikan, kecewa.
Kecewa kan ada juga levelnya, seperti restoran atau warung-warung sekarang, soal tingkat kepedesan cabe itu ada levelnya. Kira-kira kecewa, tapi bukan yang level tinggi. Ada sedikit kecewanya.
But overall, yang penting buat saya adalah alhamdulillah memperoleh kesempatan menyaksikan kembali dia. Dulu kenal dan terkagum-kagum, lihat beberapa kali, kenal cukup dekat juga dengan kedua orang tuanya. Waktu itu ia belum lagi 10 tahun usianya. Ini anak makannya apa, tidurnya berapa lama, nontonnya apa kalau di rumahnya, di sekolahnya suka pelajaran apaan sih, seneng olahraga ga sih?
Ya pertanyaan-pertanyaan usil yang berkembang kemana-mana, lantaran melihat kemampuannya dalam bermain piano. Dari dulu saja, terasa betul ia menapak jauh lebih cepat menjadi dewasa dari usianya sesungguhnya saat itu. Tentunya ini soal permainan pianonya ya.
Nah, apalagi sekarang! Apa sih yang “berubah”, tentu saja harapan saya pada konteks positif. Maklum, setelah ia dan orang tuanya memutuskan “hijrah” ke USA, setelah itu hanya bisa menyaksikan, mendengarkan dan mengagumi permainannya semata-mata lewat internet!
Dan 12 November, Minggu malam itulah akhirnya kesempatan bersua dengannya terjadilah. Ttitle konsernya kali ini menarik, A Night with a Million Imaginations. Yang mendatangkannya, pihak yang sama yang mendatangkannya ke Jakarta di tahun 2016 silam, pihak iCanStudioLive.


Konsernya tahun ini digelar di kawasan Tangerang Selatan, di ICE, dalam areal perumahan Bumi Serpong Damai. Sebelum konser utama, yang menampilkannya bersama trionya, penonton disuguhi penampilan tiga kelompok jazz muda, yang bermain di sebuah stage kecil di ruang dalam, sebelum main-hall.
Sebelum ia tampil, saya sudah mencoba mencari tahu dulu. Ya informasi singkat saja. Paling tidak, siapa yang akan menemaninya saat nanti itu. Adalah Dan Chmilienski, sebagai bassis. Lalu drummernya, Ulyess Owens Jr. Itu adalah trionya. Sebuah trio yang menjanjikan. Semua musisi muda!
Lihat saja, Dan Chmilienski.. Kelahiran 28 Desember 1993, mendukungnya sejak album keduanya, Countdown. Ia juga mendukung saxophonist cantik Adison Evans, dalam albumnya, Hero, dirilis 2016. Adison, adalah sesama lulusan Julliard School of Music dengan Dan, Saxophonis itu kerapkali mendukung penampilan Jay z, Demi Lovato dan Beyonce.
Sementara drummer, Ulysess Owens Jr, kelahiran 6 Desember 1982. Ia tampil mendukung bassis Christian Mc Bride dengan format bigband, dalam albumnya yang meraih Grammy Awards tahun 2011, The Good Feeling. Ia juga mendukung album dari penyanyi Kurt Eling, Dedicated to You, yang juga merah Grammy Awards di 2009.
Tahun kemarin Joey tampil di JIExpo Kemayoran, 22 Mei 2016. Ia waktu itu didukung juga oleh bassis Dan Chmilienski dan drummernya, JeffTainWatts. So, ada sedikit perubahan pada susunan formasi trionya.
Josiah Alexander Sila, dan kini lebih populer dengan nama Joey Alexander. Ketemu kemarin memang ia terlihat lebih “langsing”, tetapi tubuhnya menjadi lebih tinggi. Ia sudah remaja saat ini. Remaja muda, jenius tetapi memilih lebih suka disebut saja sebagai musisi, bukan prodigy (= anak ajaib).




Memang keinginan menyaksikan lagi dari dekat, secara langsung, Joey remaja beraksi, itu sudah bergejolak luar biasa. Kepengen tahu aslinya, bagaimana perkembangan musikalitas Joey. Bukan karena “meragukan”nya!
Bukan itu lho. Tetapi lebih pada, saya pengen memiliki juga pengalaman secara live dapat terpesona, mengagumi dan mungkin hingga terkagum-kagum dengan permainan pianonya. Juga atas karya lagunya yang dibawakannya sendiri.
Sebagai orang Indonesia, masak saya tak berbangga hati karena bisa muncul seorang anak-anak, pada awalnya, kini sudah remaja yang lantas ternyata mampu berbicara di pentas musik dunia. Apalagi memainkan jazz! Eits, walaupun soal jazz, ini ada plusnya dan ada minusnya.
Ok soal plusnya, Joey adalah pianis jazz yang sukses mengguncang publik atau dunia “industri” jazz, terutama di tanah kelahiran musik jazz sendiri,di Amerika Serikat itu. Orang Indonesia lho, membuat terkagum-kagum publik Amrik! Minusnya, ini ga enaknya sih, karena jazz adalah segmented. Apalagi untuk di Indonesia, tanah kelahirannya Joey.
Sedari tahun lalu, saat Joey akan melakukan pentasnya di Kemayoran itu, bersama pihak penyelenggara pernah saya utarakan agak ragunya saya.Shownya Joey, karena itu jazz, tetap harus hati-hati mengemasnya. Mengemas itu kan ujung-ujungnya adalah...penjualan tiket!
Padahal apa coba kurangnya, sebelum konser Joey tampil di ajang paling bergengsi industri musik dunia, Grammy Awards. Iapun menjadi nominator. Menjadi nominator Grammy lho, siapa artis atau grup band yang tak bermimpi sampai segitu. Hanya bisa mimpi!
Biarpun ada yang sudah mencoba berjuang untuk susah payah menembus keramaian musik USA. Baru sampai, bisa rekaman dan merilisnya. Dan belum berhasil masuk kategori nominator Grammy. Joey bisa. Bahkan sampai tampil juga.
Musisi Indonesia, ya sebut saja yang jazz juga, ada yang sudah nyaris tampil di setengah dunia ini. Rajin keliling ke mancanegara, tampil di puluhan negara. Tapi tetap, untuk tampil di Grammy, belum bisa. Bahkan untuk bisa membuat karya lagu atau albumnya, masuk menjadi nominator sekalipun.
Joey datang bisa dibilang sendiri, berjuang habis-habisan. Awalnya, tak ada sokongan apapun dari pemerintah, misal lewat instansi kementrian terkait. Orang tuanya berjuang, fight dengan berdoa saja. Yakin dan percayalah. Well, itulah kenyataannya.


Nah segala cerita-cerita “dramatis” di atas, kalau sudah menyenggol jazz ya, bisa “kurang berarti”. Maka dari itu, saya juga sudah menulis dan berbicara selama ini, festival jazz puluhan sampai sejauh ini tak lantas berarti orang Indonesia jadi seperti sudah “melek” jazz.
Tak berarti orang Indonesia sudah menyukai jazz banget. Bahkan kalaupun festival jazz sampai seratusan jumlahnya di seluruh Nusantara, tak akan berarti apa-apa. Malah jadi membingungkan. Lha, kok bisa? Walau toh kenyataan sudah membuktikan, sejauh ini saja nyaris setengah dari festival yang ada itu, sebetulnya sudah vakum. Cuma kuat bertahan dalam kurun waktu sangat terbatas, palingan juga 2 atau 3 kali penyelenggaraannya saja. That’s it!
Apa artinya, festival jazz di Indonesia akan mencapai 100 dalam 2 atau 3 tahun mendatang, kalau di Jakarta saja orang tak begitu antusias menonton seorang remaja nan fenomenal, Joey Alexander?
Eh tapi, saya berandai-andai sih. Terpikir juga. Kalau saja, pada kesempatan mendatang nanti, siapa tahu bisa tahun depan kan ya? Joey Alexander dibawalah keliling, masuk menjadi headliner terpenting beberapa festival jazz yang ada di Indonesia sini, di beberapa kota. Bagaimana?
Mungkin saja, akan mampu menarik antusiasme publik untuk datang menonton. Mungkin bisa dipilih 3 atau 4 saja festival jazz, yang ketahuan sudah terbilang mapan, terselenggara secara kontinyu dengan baik, sudah mampu mempunyai penggemar atau penontonnya yang terhitung setia.
Bisa saja kendala utama pada budget. Wajarlah kalau rate untuk performance-fee Joey Alexander terhitung tinggi. Bahkan, tinggi banget. Joey itu asli bintang jazz internasional saat ini. Ia itu menjadi headliner penting yang ditunggu-tunggu, di banyak festival jazz terkemuka di Eropa dan Amerika lho.
Kendala budget penyelenggara itu, ya dibantu dong sama pemerintah. Tentu melalui instansi seperti kementrian yang berwenang untuk itu. Pasti ada dana kan untuk itu? Kan ada dana untuk memberangkatkan atau membawa keliling kemana-mana seorang musisi jazz Indonesia, selama beberapa tahun ini? Bisa jadi akan terkesan aneh, kalau lantas tak bisa membawa keliling Joey dan grupnya, berkeliling tanah airnya.





Joey biar bagaimana adalah the phonomenon. Ia sangat berpotensi untuk menjadi satu “contoh” konkrit yang real, untuk memberi inspirasi pada anak-anak muda di tanah air. Bisa juga menginspirasi para orang tua, untuk memberi support pada hal positif, misalnya atas bakat ekstra sang anak? Artinya, dalam hal ini, bermusik itu positif adanya. Bisa jadi kebanggaan keluarga, bahkan hingga bangsa dan negara.
So, biar orang Indonesia, bukan mustahil kok bisa berbicara di pergaulan musik dunia. Dan memang sanggup meraih kesuksesan yang sejati. Joey kan sudah membuktikannya? Saya suka mendengar, beberapa teman belakangan ini bilang, ada juga anak-anak seusia Joey yang sama berbakatnya.
Dianggap, bakatnya itu tak kalah dari Joey. Bahkan ada juga yang menyebut, kalau dilihat-lihat malah anak ini lebih dahsyat dari Joey, pada saat Joey di usia semuda itu. Well, boleh saja. Ya mungkin saja benar. Tapi kan kesempatannya ya yang belum terbuka?
Mungkin kelak, Joey lah yang menjadi seperti pembuka jalan? Hari ini Joey dan kedua orangtuanyalah, yang memperoleh anugerah indah dariNYA. Tentu saja terbuka, di kemudian hari ada “Joey-Joey lain”. Kan bagusnya memang jangan hanya ada satu orang Joey Alexander saja, di antara lebih dari 200-an juta penduduk Indonesia.
Kembali kita ke konsernya Joey yang kemarin itu. Sebelum menyinggahi Jakarta, Joey tampil  di Jepang, 4 November. Lalu ke Hongkong, 9 dan 10 November. Sebelumnya, ia menyinggahi Singapura di 7 November 2017.
Dan kemudian tampil di Jakarta pada 11 dan 12 November 2017, di dua tempat dan dengan audience yang berbeda. Malam pertama Joey dan trionya tampil di kementrian pariwisata, dengan penontonnya adalah para undangan yang terdiri dari para menteri dan dubes-dubes negara tetangga dan negara sahabat. Malam kedua, barulah untuk publik.



Ia dan trionya bermain di sebuah stage lumayan besar yang berbentuk bulat dan diletakkan di tengah. Jadi tempat duduk penonton melingkari areal panggung tersebut. Tata cahaya terbilang minimalis, tapi cukup untuk menerangi penampilan di atas panggung.
Joey membuka penampilannya dengan membawakan lagu, ‘My Favorite Things’, yang diambil dari debut albumnya. Album yang lantas terpilih menjadi nominator Grammy Awards kategori Best Instrumental Jazz Album, My Favorite Things. Dan, Best Jazz Solo Improvisation atas lagu standard, ‘Giant Step’, karya John Coltrane yang ada di dalam debut album yang dirilis pada Mei 2015 tersebut.
Yang perlu diingat baik-baik, Joey saat itu menjadi nominator termuda dalam sepanjang sejarah penyelenggaraan Grammy Awards! Usianya kan baru 12 tahun waktu itu. Dan ia baru setahun bermukim di sana, di New York,
Lewat album keduanya Countdown, Joey juga masuk lagi nominasi Grammy Awards, untuk kategori Best Solo Jazz Improvisation. Dalam album itu, ia sudah didukung Ulysees Owens Jr, Dan Chmilienski. Selain itu juga Larry Grenadier, bassis yang juga bermain dengan Brad Mehldau dan Pat Metheny serta saxophonis Chris Potter, yang dikenal bermain dengan Dave Holland dan Dave Douglas.
Pianis belia yang oleh New York Times disebut sebagai, “child prodigy … the most talked-about one that jazz has seen in a while.” melanjutkannya dengan lagu bersuasana Bali yang berkesan riang. Nah baru 2 lagu nih, tapi kekaguman saya terasa sudah melambung begitu tinggi. Terkesima.
Kemampuan musikalitasnya betul-betul terasah dengan baik, salah satunya lantaran pergaulannya dengan para musisi jazz di sana tentunya. Keputusan orang tuanya, Denny Sila dan Farrah Leonora Urbach untuk memboyong sang putra tercinta ke “pusatnya jazz”, adalah hal tepat! Joey berkembang sangat pesat.
Saya merasa ia jauh lebih dewasa, sekaligus lebih cool dan deep. Agak sulit saya lukiskan dengan kata-kata. Kalau terlalu berindah-indah kata, malah jadi common sense lagi nanti. Tapi kenyataannya begitu.








Ia dewasa, dalam hal permainan. Makin matang. Tapi dalam pergaulan, ia tetap Joey yang saya kenal sejak sekitar 5-6 tahun lalu, saat ia masih berusia sekitar 8-9 tahun. Akrab dan hangat, menyambut setiap sapaan. Juga termasuk sapaan saya. Walau saya agak ragu juga, apakah Joey masih mengenali saya, karena sekarang rambut saya pendek banget! Hehehehe. Dulu kan Joey tahunya saya gondrong, jack.
Ia masih melanjutkan permainannya dengan lagu-lagu lain. Peran Chimmy, bassis. Serta juga Ulyess, drummer, nampak mendukung dan kuat melatari permainan piano Joey. Tari-tarian jarinya remaja yang kini berusia 14 tahun di atas tuts-tuts grand piano kelas premium berharga lebih dari 2 M itu, memang melenakan.
Ia menyuguhkan permainan yang ballad, lebih berasa dalam gitu deh. Ia mampu menyuguhkan permainan lembut, halus. Tapi di lagu lain ia bisa bergalak-galak, atau bermain agak liar. Sedikit mengingatkan kita akan pola khas permainan Thelonoius Monk, pianis legendaris itu.
Dan Monk, pianis legendaris kelahiran 10 Oktober 1917 dan meninggal dunia pada 17 Februari 1982, adalah salah satu inspirasi terpenting Joey. Ia mendengarkan karya dan permainan Monk, sejak masa awal ia mulai mengenal piano, dan yang bisa dibilang membuatnya menyukai jazz.
Sedikit belok lagi deh ya, kita senggol soal seorang Thelonious Spehre Monk. Pianis unik ini mempunyai identitas permainan piano yang berbeda, ditambah lagi ia termasuk produktif sebagai penulis lagu. Sekitar 70-an karya lagunya, pada masa kini menjadi lagu-lagu yang tergolong standard-jazz, yang dikenal oleh para pemusik jazz di seluruh dunia.
Beberapa karya apiknya yang unik antara lain adalah, ‘Blue Monk’, ‘Straight, No Chaser’, ‘In Walked Bud, ‘Ruby My Dear’. Dan satu lagu yang terhitung “fenomenal”, ‘Round Midnight’ (pernah ditulis juga sebagai ‘Round About Midnight’, setelah Miles Davis membawakannya dan merekamnya dalam album bertitel sama).
Lagu yang pertama kali direkam pada 1944 itu, lantas tercatat sebagai lagu standard jazz yang paling banyak direkam dan dimainkan oleh para musisi dimana-mana. Bahkan hingga sekarang. Menjadi salah satu lagu standard yang sangat disukai para musisi jazz.
Menurut Joey, Monk, he’s full of joy. sense of humour, shows in his music that he’s funny. Bagaimana dia memberikannya, ya memberikan begitu saja, itu yang memberi pengaruh pada musiknya, pada permainannya. Begitu komentar Joey soal sang idola, pada sebuah video.
Video tersebut adalah teaser dalam rangka memperkenalkan album terbarunya, yang adalah album ketiganya, Joey. Monk. Live. Album tersebut baru saja dirilis, pada September 2017 silam.
Dan setelah memainkan 5 lagu, diambil dari ketiga album yang telah dirilisnya. Eh 5 apa 6  lagu ya? Lalu Chimmy dan Ulyess turun panggung. Naiklah bassis dan drummer pengganti. Barry Likumahuwa serta Taufan Goenarso.
Selain itu  Joey juga memanggil dua penyanyi sebagai special guest star, Glenn Fredly dan Isyana Sarasvati. Mengalunlah ‘Zamrud Khatulistiwa’, yang kabarnya dipilih sendiri oleh Joey. Menarik saja, bagaimana menikmati Joey memberi apresiasi dan melakukan interpretasi terhadap lagu yang dipopulerkan oleh almarhum Chrisye itu.
Glenn menimpalinya dengan baik, begitupun halnya dengan Isyana. Sayangnya eh ada iPad di latar depan panggung. Ternyata iPad itu memuat lirik lagu yang “dicontek” oleh Isyana. Agak mengurangi keelokan penampilan lagu tersebut sih.
Iya, buat saya kan hanya 1 lagu itu saja. Apakah betul Isyana, tak bisa menghafalakn liriknya, dan sangat memerlukan bantuan iPad? Kalau menyanyi sambil melihat teks, bukannya mengganggu konsentrasi? Apakah Isyana grogi menyanyi dengan bintang remaja dengan “kaliber” Grammy Awards?
Menariknya, kabarnya jam session pada lagu tersebut betul-betul spontan dan seketika. Karena harusnya Joey bermain dengan trionya bersama Glenn dan Isyana. Tapi entah mengapa, Chimmy dan Ulyess ternyata tak jadi tampil memainkan itu. Aduh, bayangin saja kalau Isyana ternyata diiringi asli oleh trionya Joey ya, bertambahkah groginya?
Iya mencolek sedikit saja sih, toh demi kecantikan suara dan penampilannya juga adanya. Mohon maaf, kalau saja tak harus ada iPad, Isyana pasti tambah cantik, baik suara juga penampilannya secara keseluruhan...







Kemudian jam session dilanjutkan lagi. Kali ini dipilih lagu ‘Freedom Jazz Dance’, satu nomer standard  Kali ini tetap dengan bassis, Barry Likumahuwa. Namun drummer berganti dengan drummer muda, Dimas Pradipta. Sesi jammin’ masih berlanjut, kali ini hanya bertiga saja, tanpa drummer. Lagu yang dipilih Joey untuk dimainkan adalah, Black Bird’nya The Beatles.
Lagu ini dinyanyikan oleh penyanyi muda nan jelita, Adinda Shalahita. Barry Likumahuwa tetap ikut bermain. Kali ini Adinda juga mungkin nervous, maka ia nyaris lebih banyak lebih memandang menyamping, ke arah Joey bukan ke arah penonton. Terutama penonton di arah depan panggung, dimana berkumpul penonton yang lebih banyak.
Setelah itu, saya berharap sesi jammin’ selesai. Dan konser segera memasuki final-session dimana akan ditutup oleh penampilan kembali Joey bersama Chimmy dan Ulyess. Kalau perlu nanti akan ada encore segala. Ternyata, boro-boro encore. Konser berakhir sampai di situ saja. Kelar sudah.
Buat saya, amazing tak ada sama sekali “protes” penonton. Tak ada teriakan...”more..more.”. Penonton langsung dengan tertib keluar meninggalkan gedung. Saya juga tak kuasa juga kalau lantas berinisiatif berteriak sendirian.
Well ya sudahlah. Segitu saja dulu untuk saat ini, “perjumpaan” saya kembali dengan Joey muda, yang tambah mature as a jazz-pianist itu. Akhir kata, Joey plis deh bisa balik lagi. Konser lagi. Tentu dengan menyajikan lebih banyak lagi lagu.... /*