Thursday, August 16, 2018

Jazzgunung dan Kenikmatan Memotretnya




Penampilan dari Tropical Transit, pembuka yang menyegarkan Jazzgunung2018
Bagaimanakah menyaksikan jazz, dengan para musisi dan penyanyi pilihan, yang tampil di atas panggung yang terletak di ketinggian sekitar 2000 meter di atas permukaan laut? Dingin pasti, tetapi seperti apakah suasana dinginnya itu?
Itulah yang sungguh sangat menggoda hati dan apa ya. Pokoknya menggeltik nurani saya sungguh-sungguh, untuk dapat mengalami pengalaman yang gelagatnya nih, kayaknya bakalan seru. Bakalan apa lagi ya, indah mungkin. Pengalaman yang tak mudah dilupakan begitu saja.... Ceileee!
Kemarin dari 27 sampai 29 Juli 2018, masyarakat teristimewa penggemar musik jazz, dapat mengalami pengalaman menonton jazz yang berbeda. Adalah acara festival bertajuk, Jazz Gunung, yang merupakan acara setahun sekali dan telah diadakan sejak tahun 2009.
Saat pertama kali diadakan, pada 25 Juli 2009, penonton yang datang baru mencapai angka tak lebih dari 250 orang. Saat itu, Jazz Gunung diadakan hanya sehari, dengan mengambil lokasi di areal Java Banana Lodge, Bromo. Pada 2012, saat penyelenggaraan keempat, Jazz Gunung lantas digelar selama 2 hari. Dan sejak penyelenggaraan ke delapan di 2016, Jazz Gunung pun berpindah tempat ke areal peristirahatan nan eksotis, Jiwa Jawa Resort.
Festival yang bisa disebut salah satu festival jazz tertinggi di Indonesia, bahkan di dunia ini, mengetengahkan tema tetap, “Lebih Asyik dan Lebih Segar”. Tentu saja, hal tersebut dikarenakan atmosfir menonton yang berbeda. Di udara terbuka dan dengan kwalitas udara pegunungan yang lebih bersih, sangat minim polusi. Sebuah tawaran pengalaman menyaksikan tontonan jazz berkelas yang sangat menggoda tentunya, terutama bagi para penyuka musik jazz.
Sigit Pramono, seorang praktisi perbankan dan fotografer, menggulirkan ide pementasan festival jazz di kawasan Tengger Bromo tersebut. Dan kemudian ia menjadi motor utama, dimana lantas mendapat dukungan sahabatnya,  kakak-beradik seniman asal Yogyakarta.
Siapa lagi kalau bukan, seniman musik Djaduk Ferianto, serta seniman serba bisa, Butet Kertaradjasa. Dan sekian waktu, keduanya juga langsung bertindak sebagai pembawa acara. Selain Djaduk Ferianto, juga selalu mengisi acara dengan mengetengahkan konsep kolaborasi, diberi nama Ring of Fire.



Pada perjalanannya, Jazz Gunung memang langsung dimotori oleh Sigit dan Djaduk, termasuk sebagai kurator utama. Sementara Butet Kertaradjasa, memilih lebih sebagai seorang yang hanya memberi pengaruh saja. Butet memilih kata yang menggelitik, ia sebenarnya hanyalah penghasut saja untuk Jazz Gunung itu.
Festival tersebut, pada penyelenggaraan tepat satu dekade, mempunyai tema khusus lainnya, Jazzawarsa. Dan salah satu yang baru, adalah penyelenggaraan festival menjadi 3 hari. Dari hanya diadakan dua hari saja sebelum ini.
Dimana lebih uniknya, hari ketiga diadakan pada pagi hingga jelang siang. Sehingga penontonpun akan berkesempatan menghirup udara bersih dan segar pagi hari pegunungan. Yang tentu saja menyehatkan dan menyegarkan. Dan pasti menjadi lebih menyenangkan, karena sambil menikmati sajian musik jazz, yang,bisalah dibilang, terbaik.
Selain tepat berusia 10 tahun, penonton Jazz Gunung juga akan memperoleh kesempatan langka yang lain. Sebuah pengalaman, yang mungkin hanya sekali seumur hidup, mengamati fenomena alam, Bulan Berdarah atau Blood Moon, yang dapat dinikmati setelah selesainya pentas Jazz Gunung malam pertama.
Sayangnya, karena kondisi fisik lagi kurang ok ya, akhirnya pengalaman menikmati fenomena Bulan Berdarah itu, ah terlewatkan. Oh ya, ceritanya sudah saya tulis dan upload di website saya ini sebelumnya...Bahagia itu Sederhana untuk kami...l




Festival Jazzgunung, di hari pertama, Jumat 27 Juli, dibuka oleh penampilan Kramat Percussion Ensemble. Mereka membawakan lagu-lagu dalam bahasa Madura. Kemudian panggung diisi kelompok world music asal Bali, Tropical Transit, yang dipimpin gitaris Ketut Riwin.
Udara dingin yang mulai meusuk-nusuk tulang, ditambah semilir angin yang pelan tapi pasti bak “menipiskan kulit” itu, seperti dihangatkan oleh penampilan kelompok Tropical Transit itu. Suasana jadi segar, walau terus terag, mulai menggigil....brrrr....
Setelah Tropical Transit, berikutnya adalah kelompok muda dari negeri Belanda,Jungle by Night. Disebut oleh Butet dan juga Djaduk, kelompok itu terdiri dari cucu-cucu kumpeni, yang dulu datang menyerbu Indonesia... Ada-ada saja.
Nah saya tengah beradaptasi dengan tiupan angin, suhu udara yang relatif rendah. Tak hanya tubuh saya. Terpenting sih, bagaimana saya memotret dengan rileks. Santai. Bebas. Tanpa perlu terganggu dengan suhu udara. Bisa?
Lalu naik kemudian, kelompok trio jazz rock dari Jakarta. Yang dikomandoi oleh gitaris ternama, Tohpati Ario. Nama mereka Tohpati Bertiga. Ini trio yang saya suka. Aduh, suasana tuh panas, senang dong jadinya.
Memotretpun jadi terasa....”enteng”. Enak, lincah ngejepret-jepret kiri kanan. Jepret Bowie drummer,Bontot a.k.a Tohpati dan Indro Hardjodikoro, bassis. Hebatnya mereka, selesai manggung di Ponorogo, di dinihari harus menuju Ponorogo. Ada jadwal manggung keesokan harinya. Weleh, weleh!!




Setelah Tohpati Bertiga, muncullah Barry Likumahuwa dengan band Project-nya. Barry Likumahuwa Project, lebih ramai lagi sebenarnya. Tapi eh ramainya beda, lebih nge-groove. Pakai vokalis segala.  Eh ternyata, Barry, dan kekasihnya, Adinda, kemarin itu menjelang hari pernikahannya! Wah, selamat ya!
Festival di malam pertama tersebut, yang makin lama dinginnya itu makin menusuk tulang karena suhu mencapai 7 derahat celsius, ditutup penampilan penyanyi kenamaan, Andre Hehanusa. Andre Hehanusa mengharu biru suasana dingin, dengan lagu-lagu karyanya yang dipopulerkannya sendiri di era 1990-an seperti ‘Kuta Bali, Karena Kutau Engkau Begitu’ dan ‘Bidadari.





Nah memang makin malam, makin menggigil. Ga lagi rileks sebetulnya dalam memotret. Apalagi saya saking merasa kian menggigil, jadi sibuk pula mondar-mandir ke backstage. Di situ ada perapian yang bisa menghangatkan badan.
Tapi terus terang, makin malam memang udara sudah mengganggu. Biasanya saya paling anteng kalau di udara dingin. Tapi kemarin di Bromo, aduh memang harus fit sih. Kalau ga, berabe cuuuy. Susah bahkan untuk mencari fokus tepat, dalam membidik objek.
Masih aja menggigil, padahal saya sudah macam Michael Jackson! Iye bray, pakai sarung tangan hitam. Berbahan wol. Dan, tetap mengigil lho. Pokoknya memang menggelisahkanlah...
Kelompok etnik tradisi setempat, menjadi pembuka Jazz Gunung hari kedua, Sabtu 28 Juli. Yang kemudian digantikan oleh sebuah duo asal Perancis, Insula. Selepas penampilan duo Perancis, dengan musik jazz bersuasana Timur Tengah tersebut, tampil Bintang Indrianto.



Bintang Indrianto, yang menyebut dirinya selalu dengan Pemain Bass Indonesia, menghidangkan lagu-lagu karyanya yang baru. Ia sengaja menyiapkan sebuah album rekaman baru, berjudul Soul of Bromo, khusus untuk Jazzawarsa Jazz Gunung tahun ini. Bintang, mengajak serta gitaris perempuan, Endah Widiastuti, sebagai partner kolaborasinya kali ini.
Well, Bintang memang terbiasa menyiapkan album secara sesegera mungkin. Melengkapi penampilannya di satu acara. Itu kebiasaan kreatifnya yang, yah saya sebutnya sih...Bukan Bintang kalau, “biasa-biasa saja”.




Bukanlah Bintang Indrianto namanya, kalau tampil dengan konsep musik sama secara terus menerus. Soul of Bromo, dia tampilkan khusus untuk tampil di Jazzgunung 2018. Idenya seru, ya serulah gimana ia meminta Endah Widiastuti bermain gitar. Eits, gitar elektrik!
Endah senang bukan kepalang. Excited banget dia, ungkap sang suami, Rhesa Aditya. Kan kalau Endah tampil dengan Rhesa, mainnya akustikan. Sudah lama juga aku ga main elektrik, eh mas Bintang mintanya aku main elektrik, Endah berbinar-binar bercerita. “Tentunya aku seneng banget, ga sabar untuk main. Kalau bisa sering-sering, wah pasti suka banger,”tambahnya lagi.




Sebagai penampilan utama ketiga di Jazz Gunung 2018 hari kedua adalah Surabaya All Stars. Didahului dengan penyerahan anugerah kepada mendiang Bubi Chen sebagai acara seremonial perayaan sepuluh tahun Jazz Gunung.
Kelompok jam-session asal Surabaya tersebut, mengumpulkan berbagai musisi kawakan Surabaya, yang dekat dengan almarhum Bubi Chen. Dan ikut tampil pula, beberapa pianis jazz, yang pernah memperoleh arahan dan pendidikan jazz langsung dari sang maestro jazz Indonesia, Bubi Chen.




Para musisi Surabaya turun panggung, lalu gilirannya kelompok yang didirikan dan dipimpin langsung oleh Djaduk Ferianto. Grup bernama Ring of Fire itu, adalah pengisi acara tetap Jazz Gunung dari kali pertama penyelenggaraannya, di 2009.
Tunggu dulu, suhu udara gimana? Pemotretannya lancar atau ga di hari kedua? Alhamdulillah bro, udah lebih segar. Cukup tidur sih kemarinnya. Jadi tubuhku, sudah lebih nyaman menerima suhu yang seperti “anjlok” ke bawah 10 derajat celcius. Alhasil, memotret lebih nyaman. Sudah seperti biasalah ya....
Kelompok ini sejatinya adalah kelompok berdasarkan atas kolaborasi dengan berbagai musisi dan penyanyi, bahkan lintas genre. Konsep musiknya memang dibentuk oleh Djaduk Ferianto. Dan di tahun 2018 ini, Ring of Fire berisikan grup tetap bernuansa world music yang kental asal Yogyakarta, Kua Etnika.




Kelompok Kua Etnika, yang didirikan oleh Djaduk Ferianto sendiri, sudah berpengalaman tampil di berbagai festival musik di dalam dan di mancanegara. Secara khusus, di kesempatan Jazzawarsa, Kua Etnika menyertakan penyanyi jazz perempuan, kelahiran Batu, Malang, Syaharani.
Djaduk, Kua Etnika dan Syaharani, ah sungguh sayang kalau dilewatkan begitu saja oleh kamera saya. Bukan saja, sebaiknya dipotretin. Tetapi, itu namanya, kudu! Kudu dipotretlah. Mereka itu memiliki vitalitas tinggi, energi penuh. Asyiklah menonton mereka, mendengarkan musik mereka yang ramai. Dan, memotretnya!





Syaharani bersama Djaduk Ferianto dan Kua Etnika, sukses menghangatkan areal amfiteater Jiwa Jawa Bromo malam itu. Mengajak penonton berdiri dan bergoyang. Cara sehat untuk bisa meredam suhu dingin malam itu, yang kembali menembus angka 10 derajat celsius.
Dan terakhir tampillah kelompok muda yang tengah menanjak naik namanya, Barasuara. Kelompok asal Jakarta tersebut, memang menjadi salah satu grup musik yang paling ditunggu-tunggu penampilannya oleh sebagian besar penonton Jazz Gunung malam itu.
Barasuara yang enerjik itu, memuaskan para penonton yang harus memakai pakaian berlapis-lapis, memakai penutup kepala dan telinga sampai menggunakan sarung tangan. Karena bila berpakaian kurang tebal, resikonya akan menggigil kedinginan, yang bisa mengganggu kenikmatan menonton pastinya...





Yoih, termasuk ikke dong cyiiin.Kostumku itu kaos dalam, kaos lengan pendek ditambah kaos lengan panjang dan jaket berpenutup kepala. Bawahannya ya celana dalam, so pastilah, ditambah celana pelapis, istilah kerennya longjohn. Baru celana panjang. Loreng so pasti! Kaos kakipun, rangkap dua! Hahahaha.
Dan kemudian ini nih, yang juga saya tunggu-tunggu. Nonton, menikmati musik jazz dan memotret di pagi hari banget! Sadaaaappp!




Nikmatnya matahari pagi nan sejuk, semilir angin pegunungan yang bersih, yang membuat kita dapat bernafas dengan lega. Baru kali inilah, di ke sepuluh tahun penyelenggaraannya, Jazz Gunung di Bromo diadakan di pagi hari. Sekitar pukul 06.30 pagi, panggung amfiteater yang dihiasi panggung berdekor bambu diisi penampilan Bonita and the Hus-Band
Senangnya hati ini, mengalami pengalaman mengesankan. Pagi hari dengan kesegaran alami. Kayak sembari membersihkan paru-paru saja kan. Emang jadi bersih? Nafas lega coy, dan memotret juga asyik. Asyiknya itu, asyik banget!
Lagu pertama mereka yang berjudul ‘Bromo’  seperti sebuah sapaan mesra dan pas dalam membuka acara. Penontonpun disuguhi pemandangan nan memukau perbukitan dan pepohonan, sebagai latar belakang panggung utama.



Syuuuur kali lah pokoknya, lae! Iya, gimana ya, memotret panggung musik, belakangnya kawasan perbukitan yang disinari mentari pagi hari. Oh indahnya. Agak-agak kalap juga memotretnya. Apalagi, jelaslah suhu udara terasa bersahabat betul.
Menyenggol dikit nih soal Jazzgunung di kawasan pegunungan Boro tersebut. Ditinjau dari sisi pariwisatanya ya. Jadi,  menurut penyelenggara, salah satu misi dari Jazz Gunung adalah, ikut mengangkat kembali potensi eksotisme kawasan Bromo-Tengger-Semeru, sebagai salah satu destinasi pariwisata unggulan Jawa Timur, bahkan Indonesia.
Dan kabarnya, misi tersebut dapat tercapai, selama acara Jazz Gunung diadakan. Peningkatan signifikan para wisatawan domestik, diantaranya juga terselip wisatawan asing, menggembirakan para pelaku pariwisata di kawasan tersebut.
Adapun areal tempat konser musik diadakan, berkapasitas lebih dari 2200 penonton. Dan rekor jumlah penonton hingga menembus angka 2200 tersebut, tercapai di tahun ke sembilan Jazz Gunung, yaitu di 2017.
Selain panggung utama permanen, areal Jazz Gunung juga dilengkapi kedai-kedai penyedia kuliner, baik makanan dan minuman. Termasuk menikmati kopi khas Bromo. Selain itu juga ada stand penjualan cendera mata festival, yang diserbu para penonton sepanjang tiga hari Jazz Gunung itu.




Sementara pada kesempatan di tahun 2018, jumlah penonton terbanyak, khususnya di malam kedua di Sabtu malam, mencapai angka hampir 2000 penonton. Dan para penonton tersebut, menyebar luas di semua penginapan yang tersedia di kawasan wisata Bromo Tengger. Mereka memilih bermalam di hotel berbintang, hotel-hotel tak berbintang, penginapan model guest house ataupun yang berkonsep home stay.
Tentu saja, para penonton yang menyerbu Jazz Gunung, dan datang dari segala penjuru Nusantara itu, menggairahkan suasana di sana. Serta ikut menggairahkan industri pariwisata, di kawasan pariwisata, yang mengandalkan pesona pemandangan matahari terbit dari puncak Bromo. Salah satu pemandangan matahari terbit terbaik di dunia, versi media-media pariwisata internasional.

Ok, back to the stage, dude!! Setelah keempat musisi dan penyanyi dari Bonita and the Hus Band tampil, giliran berikut adalah penampilan yang tak kalah uniknya. Kelompok vokal, akapela, Bianglala Voices. Mereka adalah para guru vokal, dan ada yang menjadi pengajar SMU di Jakarta.
Bianglala Voices adalah salah satu nama terdepan dan terhitung paling senior, di jajaran kelompok vokal akapela di Indonesia selama ini. Dan tetap saja bertahan setelah lebih dari 10-an tahun usianya. Ah masak hanya 10 tahun? Kayaknya lebih dong. 20-an tahun, bisa jadi....




Mereka berenam membuat suasana lebih adem, romantis. Menjadikan atmosfir lebih teduh dan sejuk. Sementara mentari perlahan makin menyinari terang kawasan di sekitar areal Jazz Gunung. Suhu udara makin hangat. Satu persatu penonton, mulai berani melepas jaketnya.
Selesai Bianglala Voices yang menyejukkan suasana, tampil duo yang suami istri. Ini adalah kelompok musik berdua, yang sukses meraih popularitas di kalangan muda seluruh Indonesia. Mereka adalah Endah Widiastuti, pada gitar akustik dan vokal. Serta Rhesa Aditya, pada bass elektrik.
Endah n Rhesa, menambah suasana adem, dan menjadi lebih romantis di pagi yang bergerak menyongsong siang itu. Dengan mesranya kedua suami istri ini, menyapa lalu menghibur para penonton dengan lagu-lagu bermuatan hubungan cinta kasih, saling menghargai dua insan dan mencintai kehidupan dan kedamaian.





Seperti halnya juga dengan dua grup sebelumnya, kesempatan kemarin itu adalah kali pertama duo yang populer di kalangan milenial tersebut, untuk tampil di acara Jazz Gunung.
Matahari makin meninggi, suhu udara mamin berasa lebih hangat. Dan panggungpun kemudian diisi penampilan trio perempuan, Nonaria.
Grup akustik ini, mereka juga didukung musisi tamu yang memainkan bass elektrik, membawakan lagu-lagu bernuansa musik-musik era 1950-1960. Musiknya didominasi suasana yang cerah, ceria, juga menggelitik. Sajian musik Nonaria, memang pas dihadirkan di panggung besar yang permanen, dengan dihiasi patung orang Tengger ber-udeng yang bermain saksofon karya pematung Dolorosa Sinaga itu.
Nesia Ardi, Yasintha Pattiasina dan Nanin Wardhani dari Nonaria adalah menjadi penutup dari pergelaran tiga hari sepuluh tahun Jazz Gunung Bromo tersebut. Pada pesan penutupnya, Sigit Pramono mengucapkan terima kasih atas dukungan seluruh penonton dan mengajak untuk dapat berjumpa kembali di tahun depan, 2019, dengan menyuguhkan para penyanyi dan musisi jazz terbaik yang lainnya lagi.



Sungguh, sebuah pengalaman tak mudah dilupakan, menikmati jazz dan meresapi udara segar pegunungan. Menjadikan sebuah peristiwa menyenangkan dalam merasakan  harmonisasi alam, musik, pepohonan, pegunungan dan angin semilir serta sinar mentari yang membelai mesra tubuh.
Apalagi juga selain menikmati dengan tubuh ini, memotret pula. Paling tidak ya, koleksi jeprat-jepretan “iseng-iseng lucu sederhana menyenangkan hati” jadi bertambah. oto-foto saya mah biasa-biasa saja kok, kalaupun menyenangkan hati ya hatiku dewe’an. Aku suka memotret soale.
Dan oh ya tambah spesial, dikarenakan kemarin itu, saya juga membantu teman-teman dari BBS TV, digital TV station from Surabaya, melakukan peliputan lengkapnya. Walau hanya di hari kedua dan ketiga saja. Ini liputan acara jazz pertama mereka, begitu kabarnya. Kayaknya, semoga menyusul liputan estival ataupun konser-konser jazz lainnya nanti.
Bromo menyenangkan. Jazzgunung menyamankan ah. Rasanya memang, tahun depan harus kembali lagi...../*