Penampilan dari Tropical Transit, pembuka yang menyegarkan Jazzgunung2018 |
Bagaimanakah
menyaksikan jazz, dengan para musisi dan penyanyi pilihan, yang tampil di atas
panggung yang terletak di ketinggian sekitar 2000 meter di atas permukaan laut?
Dingin pasti, tetapi seperti apakah suasana dinginnya itu?
Itulah
yang sungguh sangat menggoda hati dan apa ya. Pokoknya menggeltik nurani saya
sungguh-sungguh, untuk dapat mengalami pengalaman yang gelagatnya nih, kayaknya
bakalan seru. Bakalan apa lagi ya, indah mungkin. Pengalaman yang tak mudah
dilupakan begitu saja.... Ceileee!
Kemarin
dari 27 sampai 29 Juli 2018, masyarakat teristimewa penggemar musik jazz, dapat
mengalami pengalaman menonton jazz yang berbeda. Adalah acara festival
bertajuk, Jazz Gunung, yang
merupakan acara setahun sekali dan telah diadakan sejak tahun 2009.
Saat
pertama kali diadakan, pada 25 Juli 2009, penonton yang datang baru mencapai
angka tak lebih dari 250 orang. Saat itu, Jazz Gunung diadakan hanya sehari,
dengan mengambil lokasi di areal Java
Banana Lodge, Bromo. Pada 2012, saat penyelenggaraan keempat, Jazz Gunung
lantas digelar selama 2 hari. Dan sejak penyelenggaraan ke delapan di 2016,
Jazz Gunung pun berpindah tempat ke areal peristirahatan nan eksotis, Jiwa Jawa Resort.
Festival
yang bisa disebut salah satu festival jazz tertinggi di Indonesia, bahkan di
dunia ini, mengetengahkan tema tetap, “Lebih Asyik dan Lebih Segar”. Tentu
saja, hal tersebut dikarenakan atmosfir menonton yang berbeda. Di udara terbuka
dan dengan kwalitas udara pegunungan yang lebih bersih, sangat minim polusi.
Sebuah tawaran pengalaman menyaksikan tontonan jazz berkelas yang sangat
menggoda tentunya, terutama bagi para penyuka musik jazz.
Sigit Pramono,
seorang praktisi perbankan dan fotografer, menggulirkan ide pementasan festival
jazz di kawasan Tengger Bromo tersebut. Dan kemudian ia menjadi motor utama,
dimana lantas mendapat dukungan sahabatnya, kakak-beradik seniman asal Yogyakarta.
Siapa
lagi kalau bukan, seniman musik Djaduk
Ferianto, serta seniman serba bisa, Butet
Kertaradjasa. Dan sekian waktu, keduanya juga langsung bertindak sebagai
pembawa acara. Selain Djaduk Ferianto, juga selalu mengisi acara dengan
mengetengahkan konsep kolaborasi, diberi nama Ring of Fire.
Pada
perjalanannya, Jazz Gunung memang langsung dimotori oleh Sigit dan Djaduk,
termasuk sebagai kurator utama. Sementara Butet Kertaradjasa, memilih lebih
sebagai seorang yang hanya memberi pengaruh saja. Butet memilih kata yang
menggelitik, ia sebenarnya hanyalah penghasut saja untuk Jazz Gunung itu.
Festival
tersebut, pada penyelenggaraan tepat satu dekade, mempunyai tema khusus
lainnya, Jazzawarsa. Dan salah satu
yang baru, adalah penyelenggaraan festival menjadi 3 hari. Dari hanya diadakan
dua hari saja sebelum ini.
Dimana
lebih uniknya, hari ketiga diadakan pada pagi hingga jelang siang. Sehingga
penontonpun akan berkesempatan menghirup udara bersih dan segar pagi hari
pegunungan. Yang tentu saja menyehatkan dan menyegarkan. Dan pasti menjadi
lebih menyenangkan, karena sambil menikmati sajian musik jazz, yang,bisalah dibilang, terbaik.
Selain
tepat berusia 10 tahun, penonton Jazz Gunung juga akan memperoleh kesempatan
langka yang lain. Sebuah pengalaman, yang mungkin hanya sekali seumur hidup,
mengamati fenomena alam, Bulan Berdarah
atau Blood
Moon, yang dapat dinikmati setelah selesainya pentas Jazz Gunung malam
pertama.
Sayangnya,
karena kondisi fisik lagi kurang ok ya, akhirnya pengalaman menikmati fenomena
Bulan Berdarah itu, ah terlewatkan. Oh ya, ceritanya sudah saya tulis dan
upload di website saya ini sebelumnya...Bahagia itu Sederhana untuk kami...l
Festival
Jazzgunung, di hari pertama, Jumat 27 Juli, dibuka oleh penampilan Kramat Percussion Ensemble. Mereka
membawakan lagu-lagu dalam bahasa Madura. Kemudian panggung diisi kelompok world music asal Bali, Tropical Transit, yang dipimpin gitaris
Ketut Riwin.
Udara
dingin yang mulai meusuk-nusuk tulang, ditambah semilir angin yang pelan tapi
pasti bak “menipiskan kulit” itu, seperti dihangatkan oleh penampilan kelompok
Tropical Transit itu. Suasana jadi segar, walau terus terag, mulai menggigil....brrrr....
Setelah
Tropical Transit, berikutnya adalah kelompok muda dari negeri Belanda,Jungle by Night. Disebut oleh Butet dan
juga Djaduk, kelompok itu terdiri dari cucu-cucu kumpeni, yang dulu datang
menyerbu Indonesia... Ada-ada saja.
Nah
saya tengah beradaptasi dengan tiupan angin, suhu udara yang relatif rendah.
Tak hanya tubuh saya. Terpenting sih, bagaimana saya memotret dengan rileks.
Santai. Bebas. Tanpa perlu terganggu dengan suhu udara. Bisa?
Lalu
naik kemudian, kelompok trio jazz rock dari Jakarta. Yang dikomandoi oleh
gitaris ternama, Tohpati Ario. Nama
mereka Tohpati Bertiga. Ini trio yang saya suka. Aduh, suasana tuh panas,
senang dong jadinya.
Memotretpun
jadi terasa....”enteng”. Enak, lincah ngejepret-jepret kiri kanan. Jepret Bowie drummer,Bontot a.k.a Tohpati dan Indro Hardjodikoro, bassis. Hebatnya
mereka, selesai manggung di Ponorogo, di dinihari harus menuju Ponorogo. Ada
jadwal manggung keesokan harinya. Weleh, weleh!!
Setelah
Tohpati Bertiga, muncullah Barry
Likumahuwa dengan band Project-nya. Barry Likumahuwa
Project, lebih ramai lagi sebenarnya. Tapi eh ramainya beda, lebih nge-groove.
Pakai vokalis segala. Eh ternyata,
Barry, dan kekasihnya, Adinda, kemarin itu menjelang hari pernikahannya! Wah,
selamat ya!
Festival
di malam pertama tersebut, yang makin lama dinginnya itu makin menusuk tulang
karena suhu mencapai 7 derahat celsius, ditutup penampilan penyanyi kenamaan, Andre Hehanusa. Andre Hehanusa mengharu
biru suasana dingin, dengan lagu-lagu karyanya yang dipopulerkannya sendiri di
era 1990-an seperti ‘Kuta Bali, Karena Kutau Engkau Begitu’ dan ‘Bidadari.
Nah
memang makin malam, makin menggigil. Ga lagi rileks sebetulnya dalam memotret.
Apalagi saya saking merasa kian menggigil, jadi sibuk pula mondar-mandir ke backstage. Di situ ada perapian yang
bisa menghangatkan badan.
Tapi
terus terang, makin malam memang udara sudah mengganggu. Biasanya saya paling anteng kalau di udara dingin. Tapi
kemarin di Bromo, aduh memang harus fit sih. Kalau ga, berabe cuuuy. Susah
bahkan untuk mencari fokus tepat, dalam membidik objek.
Masih
aja menggigil, padahal saya sudah macam Michael Jackson! Iye bray, pakai sarung
tangan hitam. Berbahan wol. Dan, tetap mengigil lho. Pokoknya memang
menggelisahkanlah...
Kelompok
etnik tradisi setempat, menjadi pembuka Jazz Gunung hari kedua, Sabtu 28 Juli.
Yang kemudian digantikan oleh sebuah duo asal Perancis, Insula. Selepas penampilan duo Perancis, dengan musik jazz
bersuasana Timur Tengah tersebut, tampil Bintang
Indrianto.
Bintang
Indrianto, yang menyebut dirinya selalu dengan Pemain Bass Indonesia,
menghidangkan lagu-lagu karyanya yang baru. Ia sengaja menyiapkan sebuah album
rekaman baru, berjudul Soul of Bromo,
khusus untuk Jazzawarsa Jazz Gunung tahun ini. Bintang, mengajak serta gitaris
perempuan, Endah Widiastuti, sebagai
partner kolaborasinya kali ini.
Well,
Bintang memang terbiasa menyiapkan album secara sesegera mungkin. Melengkapi
penampilannya di satu acara. Itu kebiasaan kreatifnya yang, yah saya sebutnya
sih...Bukan Bintang kalau, “biasa-biasa saja”.
Bukanlah
Bintang Indrianto namanya, kalau tampil dengan konsep musik sama secara terus
menerus. Soul of Bromo, dia tampilkan khusus untuk tampil di Jazzgunung 2018.
Idenya seru, ya serulah gimana ia meminta Endah Widiastuti bermain gitar. Eits,
gitar elektrik!
Endah
senang bukan kepalang. Excited banget
dia, ungkap sang suami, Rhesa Aditya. Kan kalau Endah tampil dengan Rhesa,
mainnya akustikan. Sudah lama juga aku ga main elektrik, eh mas Bintang
mintanya aku main elektrik, Endah berbinar-binar bercerita. “Tentunya aku
seneng banget, ga sabar untuk main. Kalau bisa sering-sering, wah pasti suka
banger,”tambahnya lagi.
Sebagai
penampilan utama ketiga di Jazz Gunung 2018 hari kedua adalah Surabaya All Stars. Didahului dengan
penyerahan anugerah kepada mendiang Bubi Chen sebagai acara seremonial perayaan
sepuluh tahun Jazz Gunung.
Kelompok
jam-session asal Surabaya tersebut,
mengumpulkan berbagai musisi kawakan Surabaya, yang dekat dengan almarhum Bubi Chen. Dan ikut tampil pula,
beberapa pianis jazz, yang pernah memperoleh arahan dan pendidikan jazz
langsung dari sang maestro jazz Indonesia, Bubi Chen.
Para
musisi Surabaya turun panggung, lalu gilirannya kelompok yang didirikan dan
dipimpin langsung oleh Djaduk Ferianto. Grup bernama Ring of Fire itu, adalah pengisi acara tetap Jazz Gunung dari kali
pertama penyelenggaraannya, di 2009.
Tunggu
dulu, suhu udara gimana? Pemotretannya lancar atau ga di hari kedua?
Alhamdulillah bro, udah lebih segar. Cukup tidur sih kemarinnya. Jadi tubuhku,
sudah lebih nyaman menerima suhu yang seperti “anjlok” ke bawah 10 derajat
celcius. Alhasil, memotret lebih nyaman. Sudah seperti biasalah ya....
Kelompok
ini sejatinya adalah kelompok berdasarkan atas kolaborasi dengan berbagai
musisi dan penyanyi, bahkan lintas genre. Konsep musiknya memang dibentuk oleh
Djaduk Ferianto. Dan di tahun 2018 ini, Ring of Fire berisikan grup tetap
bernuansa world music yang kental asal Yogyakarta, Kua Etnika.
Kelompok
Kua Etnika, yang didirikan oleh Djaduk Ferianto sendiri, sudah berpengalaman
tampil di berbagai festival musik di dalam dan di mancanegara. Secara khusus,
di kesempatan Jazzawarsa, Kua Etnika menyertakan penyanyi jazz perempuan,
kelahiran Batu, Malang, Syaharani.
Djaduk,
Kua Etnika dan Syaharani, ah sungguh sayang kalau dilewatkan begitu saja oleh
kamera saya. Bukan saja, sebaiknya dipotretin. Tetapi, itu namanya, kudu! Kudu
dipotretlah. Mereka itu memiliki vitalitas tinggi, energi penuh. Asyiklah
menonton mereka, mendengarkan musik mereka yang ramai. Dan, memotretnya!
Syaharani
bersama Djaduk Ferianto dan Kua Etnika, sukses menghangatkan areal amfiteater Jiwa Jawa Bromo malam itu.
Mengajak penonton berdiri dan bergoyang. Cara sehat untuk bisa meredam suhu
dingin malam itu, yang kembali menembus angka 10 derajat celsius.
Dan
terakhir tampillah kelompok muda yang tengah menanjak naik namanya, Barasuara. Kelompok asal Jakarta
tersebut, memang menjadi salah satu grup musik yang paling ditunggu-tunggu penampilannya
oleh sebagian besar penonton Jazz Gunung malam itu.
Barasuara
yang enerjik itu, memuaskan para penonton yang harus memakai pakaian
berlapis-lapis, memakai penutup kepala dan telinga sampai menggunakan sarung
tangan. Karena bila berpakaian kurang tebal, resikonya akan menggigil
kedinginan, yang bisa mengganggu kenikmatan menonton pastinya...
Yoih,
termasuk ikke dong cyiiin.Kostumku itu kaos dalam, kaos
lengan pendek ditambah kaos lengan panjang dan jaket berpenutup kepala.
Bawahannya ya celana dalam, so pastilah, ditambah celana pelapis, istilah
kerennya longjohn. Baru celana
panjang. Loreng so pasti! Kaos kakipun, rangkap dua! Hahahaha.
Dan
kemudian ini nih, yang juga saya tunggu-tunggu. Nonton, menikmati musik jazz
dan memotret di pagi hari banget! Sadaaaappp!
Nikmatnya
matahari pagi nan sejuk, semilir angin pegunungan yang bersih, yang membuat
kita dapat bernafas dengan lega. Baru kali inilah, di ke sepuluh tahun
penyelenggaraannya, Jazz Gunung di Bromo diadakan di pagi hari. Sekitar pukul
06.30 pagi, panggung amfiteater yang dihiasi panggung berdekor bambu diisi
penampilan Bonita and the Hus-Band
Senangnya
hati ini, mengalami pengalaman mengesankan. Pagi hari dengan kesegaran alami.
Kayak sembari membersihkan paru-paru saja kan. Emang jadi bersih? Nafas lega coy, dan memotret juga asyik. Asyiknya
itu, asyik banget!
Lagu
pertama mereka yang berjudul ‘Bromo’
seperti sebuah sapaan mesra dan pas dalam membuka acara. Penontonpun
disuguhi pemandangan nan memukau perbukitan dan pepohonan, sebagai latar
belakang panggung utama.
Syuuuur
kali lah pokoknya, lae! Iya, gimana ya, memotret panggung musik, belakangnya
kawasan perbukitan yang disinari mentari pagi hari. Oh indahnya. Agak-agak
kalap juga memotretnya. Apalagi, jelaslah suhu udara terasa bersahabat betul.
Menyenggol
dikit nih soal Jazzgunung di kawasan pegunungan Boro tersebut. Ditinjau dari
sisi pariwisatanya ya. Jadi, menurut
penyelenggara, salah satu misi dari Jazz Gunung adalah, ikut mengangkat kembali
potensi eksotisme kawasan Bromo-Tengger-Semeru, sebagai salah satu destinasi
pariwisata unggulan Jawa Timur, bahkan Indonesia.
Dan
kabarnya, misi tersebut dapat tercapai, selama acara Jazz Gunung diadakan.
Peningkatan signifikan para wisatawan domestik, diantaranya juga terselip
wisatawan asing, menggembirakan para pelaku pariwisata di kawasan tersebut.
Adapun
areal tempat konser musik diadakan, berkapasitas lebih dari 2200 penonton. Dan
rekor jumlah penonton hingga menembus angka 2200 tersebut, tercapai di tahun ke
sembilan Jazz Gunung, yaitu di 2017.
Selain
panggung utama permanen, areal Jazz Gunung juga dilengkapi kedai-kedai penyedia
kuliner, baik makanan dan minuman. Termasuk menikmati kopi khas Bromo. Selain
itu juga ada stand penjualan cendera mata festival, yang diserbu para penonton
sepanjang tiga hari Jazz Gunung itu.
Sementara
pada kesempatan di tahun 2018, jumlah penonton terbanyak, khususnya di malam
kedua di Sabtu malam, mencapai angka hampir 2000 penonton. Dan para penonton
tersebut, menyebar luas di semua penginapan yang tersedia di kawasan wisata
Bromo Tengger. Mereka memilih bermalam di hotel berbintang, hotel-hotel tak
berbintang, penginapan model guest house
ataupun yang berkonsep home stay.
Tentu
saja, para penonton yang menyerbu Jazz Gunung, dan datang dari segala penjuru
Nusantara itu, menggairahkan suasana di sana. Serta ikut menggairahkan industri
pariwisata, di kawasan pariwisata, yang mengandalkan pesona pemandangan
matahari terbit dari puncak Bromo. Salah satu pemandangan matahari terbit
terbaik di dunia, versi media-media pariwisata internasional.
Ok, back to the
stage, dude!! Setelah keempat musisi dan penyanyi
dari Bonita and the Hus Band tampil,
giliran berikut adalah penampilan yang tak kalah uniknya. Kelompok vokal,
akapela, Bianglala Voices. Mereka
adalah para guru vokal, dan ada yang menjadi pengajar SMU di Jakarta.
Bianglala
Voices adalah salah satu nama terdepan dan terhitung paling senior, di jajaran
kelompok vokal akapela di Indonesia selama ini. Dan tetap saja bertahan setelah
lebih dari 10-an tahun usianya. Ah masak hanya 10 tahun? Kayaknya lebih dong.
20-an tahun, bisa jadi....
Mereka
berenam membuat suasana lebih adem, romantis. Menjadikan atmosfir lebih teduh
dan sejuk. Sementara mentari perlahan makin menyinari terang kawasan di sekitar
areal Jazz Gunung. Suhu udara makin hangat. Satu persatu penonton, mulai berani
melepas jaketnya.
Selesai
Bianglala Voices yang menyejukkan suasana, tampil duo yang suami istri. Ini
adalah kelompok musik berdua, yang sukses meraih popularitas di kalangan muda
seluruh Indonesia. Mereka adalah Endah
Widiastuti, pada gitar akustik dan vokal. Serta Rhesa Aditya, pada bass elektrik.
Endah
n Rhesa, menambah suasana adem, dan menjadi lebih romantis di pagi yang
bergerak menyongsong siang itu. Dengan mesranya kedua suami istri ini, menyapa
lalu menghibur para penonton dengan lagu-lagu bermuatan hubungan cinta kasih,
saling menghargai dua insan dan mencintai kehidupan dan kedamaian.
Seperti
halnya juga dengan dua grup sebelumnya, kesempatan kemarin itu adalah kali
pertama duo yang populer di kalangan milenial tersebut, untuk tampil di acara
Jazz Gunung.
Matahari
makin meninggi, suhu udara mamin berasa lebih hangat. Dan panggungpun kemudian diisi
penampilan trio perempuan, Nonaria.
Grup
akustik ini, mereka juga didukung musisi tamu yang memainkan bass elektrik,
membawakan lagu-lagu bernuansa musik-musik era 1950-1960. Musiknya didominasi
suasana yang cerah, ceria, juga menggelitik. Sajian musik Nonaria, memang pas
dihadirkan di panggung besar yang permanen, dengan dihiasi patung orang Tengger
ber-udeng yang bermain saksofon karya pematung Dolorosa Sinaga itu.
Nesia
Ardi, Yasintha Pattiasina dan Nanin Wardhani dari Nonaria adalah menjadi penutup
dari pergelaran tiga hari sepuluh tahun Jazz Gunung Bromo tersebut. Pada pesan
penutupnya, Sigit Pramono mengucapkan terima kasih atas dukungan seluruh
penonton dan mengajak untuk dapat berjumpa kembali di tahun depan, 2019, dengan
menyuguhkan para penyanyi dan musisi jazz terbaik yang lainnya lagi.
Sungguh,
sebuah pengalaman tak mudah dilupakan, menikmati jazz dan meresapi udara segar
pegunungan. Menjadikan sebuah peristiwa menyenangkan dalam merasakan harmonisasi alam, musik, pepohonan, pegunungan
dan angin semilir serta sinar mentari yang membelai mesra tubuh.
Apalagi
juga selain menikmati dengan tubuh ini, memotret pula. Paling tidak ya, koleksi
jeprat-jepretan “iseng-iseng lucu sederhana menyenangkan hati” jadi bertambah.
oto-foto saya mah biasa-biasa saja kok, kalaupun menyenangkan hati ya hatiku dewe’an. Aku suka memotret soale.
Dan
oh ya tambah spesial, dikarenakan kemarin itu, saya juga membantu teman-teman
dari BBS TV, digital TV station from Surabaya, melakukan peliputan lengkapnya.
Walau hanya di hari kedua dan ketiga saja. Ini liputan acara jazz pertama
mereka, begitu kabarnya. Kayaknya, semoga menyusul liputan estival ataupun
konser-konser jazz lainnya nanti.
Bromo
menyenangkan. Jazzgunung menyamankan ah. Rasanya memang, tahun depan harus
kembali lagi...../*