Candra Darusman |
Aswin Sastrowardoyo |
Edi Hudioro |
Karena
atas dasar menghormati para “kakak-kakak” nan baik hati, peramah dan tidaklah
sombong. Maka sayapun bergegas untuk dapat sampai di acara, dengan tidak
terlambat. Padahal perjalanan di hari itu nayamul
bray. Alias, lumayan. Lumayan jauhlah. Bondowoso ke Jember. Jember ke
Surabaya. Surabaya ke Jakarta. Dengan pesawat terbang tentu saja.
Dan
dari yang namanya bandara Soekarno Hatta, lalu mampir di rumah untuk menaruh
koper kecil. Lantas langsung menuju auditorium TVRI di Senayan. Syukurlah, sampai di sana, syuting live belumlah dimulai. Masih suasana
ramah tamah di lobi auditorium.
Keenam
kakak-kakakku yang punya pesta, masih bersiap-siap untuk syuting. Syuting hari
itu memang rada spesial. Tema utama, Dunia
di Batas Senja. Masuk dalam program saban Minggu malam miliknya TVRI, Memori Melodi. Program istimewa itu,
dalam rangka perayaan Hari Ulang Tahun yang ke 40 dari Chaseiro.
Betul
sekali bapak dan ibu, Chaseiro lah yang punya gawe. Candra Darusman, Aswin
Sastrowardoyo, Edi Hudioro, Irwan Indrakesuma, Rizali Indrakesuma dan Omen
Norman Sonisontani. Merekalah yang tengah bersukacita, sang pemilik acara.
Irwan Indrakesuma, di belakangnya ada Candra Darusman |
Izali Indrakesuma |
Omen Norman Sonisontani |
Minus
Helmie Indrakesuma tentunya. Yang
telah pergi meninggalkan semua ke keabadiannya, pada 10 Februari 2013. So,
Chaseiro tersisa 6 orang saja, pada saat ini. Tetapi mereka sejatinya tetap
eksis dan hadir.
Kembali
ke TVRI. Jam 19.30-an saya bergerak masuk ke dalam auditorium, supaya
memperoleh tempat duduk yang memadai, enak menonton, mendengar sekalian
memotret. Acara syutingnya sendiri dijadwalkan mulai 20.00 wib. Karena ini
memang tayangan langsung, live program.
10 menit sebelum pukul 20.00, semua tamu undangan berduyun-duyun masuk dan
memenuhi seluruh tempat duduk yang tersedia.
Sekeliling
saya, dan istri saya di sisi kanan, adalah sebaya. Maksudnya sebayanya Chaseiro
lho. Jangan salah mangarti lei... Di
antaranya ada para “dharma wanita” Chaseiro selengkapnya. Sahabat-sahabat lain,
ada musisi juga. Termasuk eh ada Rezky
Ichwan, film-scorer dan jingle-maker yang sebenarnya pernah
mengisi album pertama Chaseiro, dengan memainkan klarinet.
Dan
pas jam 20.00 memang langsunglah Chaseiro tampil. Suasana campur aduk.
Sukacita, gembira ria, ikutan menyanyi juga. Sing along-lah pastinya. Kata hostnya,
Hilbram Dunar dan Bunga Harum Dhani, rasa-rasanya semua
penonton tidak ada yang tak ikut menyanyi.
Ya
gimana juga sih ya. Lagu-lagu Chaseiro kan memang mewarnai banget kehidupan
kawula muda di era akhir 1970 hingga 1980-an. Entah masa sekolah, ataupun
kuliah. Menemani jalan-jalan, plesiran, hang-out.
Pacaran, pastinya. Pedekate ke cewek
idaman. Dan ya sebangsanya.
Chaseiro
untuk acara live itu didukung grup pengiring. Semuanya musisi muda. mereka
menamakan diri, Rishanda and the Rising.
Dipimpin Rishanda Singgih, bassis
yang juga produser atau music director
muda.
Ga
ada “perubahan” yang menyolok pada musik Chaseiro di acara tersebut. Konsep
dasar bisa dibilang tak berubah banyak. Sehingga alunan nada, bebunyian yang
ditangkap telinga penonton, baik di dalam auditorium maupun yang menyaksikan di
rumah, relatif tetap akrablah.
Maksudnya
akrab bagi, terkhusus, penggemar Chaseiro dari masa-masa “perjuangan” mereka
sebagai kelompok vokal. Nah acara kemarin diadakan pas 6 Mei, karena hari itu
menjadi hari titik awal mereka. Dimana pada 6 Mei itu, mereka meraih predikat
juara pertama, kompetisi Vocal Group yang diadakan oleh Radio Amigos di tahun
1978.
Karena
itulah, merekapun mengundang anggota dewan juri pada kontes 40 tahun silam. Ada
Marusya Nainggolan dan juga wakil
dari almarhum Adji Bandi. Keduanya
saat acara kompetisi menjadi juri bersama Jopie
Item, alm. Yohannes Purba dan
wartawan Billy Aktuil.
Ku lama menanti dalam
sebuah laguku, Rasanya memberi bahagia kita semua.
Itulah
lagu pembuka mereka, ‘Kulama Menanti’, dari album Bila yang dirilis 38 tahun yang silam! Oho, masya Allah itu kan
album Chaseiro yang saya belinya di toko Aquarius, Aldiron Plaza lho. Dan
sekarang mah udah raib. Pergi juga album pertama mereka, Pemuda dari koleksi saya. Entah kemana sih.....
Setelah
lagu, ‘Bagaimanakh’, yang diambil dari album yang dirilis 2001, Persembahan.
Disusul, ‘Sapa Pra Bencana’ yang memiliki lirik unik itu. kemudian dipanggil
naik Donny Hardono. Nama senior ini
adalah salah satu tokoh penata suara kawakan.
Yang
mana, nyaris bisa dibilang sepanjang umur Chaseiro, Donny Hardono selalu
mendukungnya langsung sebagai sound
engineer. Bahkan serunya, Donny Hardono terlibat taksemata hanya di
pementasan, juga termasuk di pengerjaan album rekaman.
Menurut Donny, ia terlibat dengan Chaseiro saat
mereka merekam di Celebrity studio, di kawasan Blok M, Jakarta Selatan. Saat
itu Chaseiro menjalani rekaman untuk penampilan di TVRI secara tapping, karena
masa itu belum dikenal penampilan secara live
atau langsung.
Saya
bahagia dan tak menyangka bisa terlibat dalam perayaan Hari Ulang Tahun ke 40
Chaseiro, ucap Otti Djamalus. Dan
sejatinya, tante Otti, sayapun tak menyangka dan juga bahagia, tante Otti
membawakan dengan manisnya, ‘Untukmu’. Secara itu, salah satu lagu yang nancep juga di hati dan benak saya.
Otti,
the singing pianist nan cantik itu,
ditemani sang suami Yance Manusama
sebagai bassis. Lalu drummer muda, Dezca
Anugrah Samudra. Dan dipermanis, dalam bunyian yang sebenarnya memang deh, dengan
harmonika oleh musisi belia, Rega Dauna.
Otti
Djamalus Trio, didukung pula oleh perkusionis senior yang juga dokter ahli
jantung, Iwang Gumiwang. Dan setelah
Untukmu, Otti membawakan lagu ceria, ‘Tempat Berpijak’. Enak deh lagunya. Iya
kan ya, mbak Otti? Mbak atau tante sih, enaknya manggilnya....
Semua
anugerah yang maha kuasa adanya, tutur Candra Darusman. Saat Hilbram Dunar
menanyakan kenapa aransemen Chaseiro bisa begitu jazzynya? Betul juga sih,
mungkin karena pengaruh referensi mereka pastinya. Apa yang terjadi di dunia
musik pada 40-an tahun lalu itu. Chaseiro memang terkesan cukup jazz(y).
Well,
ada Manhattan Transfer misalnya. Rare Silk juga , bisa juga termasuk Sergio
Mendes. Tentu saja, mereka mendengar dan meresapi. Yang sadar atau tidak,
menjadi semacam inspirasi bermusik mereka. Teristimewa soal penampilan sebagai
kelompok vokal.
Setelah
master of ceremony kawakan, Koes
Hendratmo dipanggil naik pentas untuk memberi komentarnya, giliran berikut
adalah Elfa’s Singers. Kelompok
vokal 80-an, yang dibentuk oleh almarhum Elfa
Secioria dan lahir setelah Chaseiro, membawakan, ‘Pagi Hari’ dan ‘Ceria’.
Elfa’s
Singer tampil dengan formasi hanya Uci
Nurul dan Lita Zein. Mereka
tampil bersama Gabriel Heryanto.
Elfa’s Singers turun panggung, naik lagi Chaseiro dengan salah satu lagu mereka
yang paling ngegoyang. Maksudnya
emang ngajak goyang be’englah. ‘Rio
de Janeiro’, yang adalah karya Guruh
Soekarno Putra.
Glenn Fredly |
Elfa's Singers with Gabriel Heryanto |
Otti Djamalus |
Ada
nama Glenn Fredly, sebagai bintang
tamu spesial. Tugasnya lumayan berat, membawakan ‘Shy’. Ini lagu yang sudah
menyatu banget dengan Helmie Indrakesuma, yang menjadi vokal utama lagu tersebut.
Lagu itu, terus terang saja, “lagu Helmie banget”.
Candra
mengatakan, mereka merasa lagu itu hanya Helmie seorang yang bisa menyanyikan
dengan sebaik itu. Susah nyari penyanyi yang bisa menyanyikan sebaik almarhum
Helmie. Akhirnya, mereka ketemu dan mendapatkan penyanyi lainnya. Ya Glenn
Fredly itulah.
Dan
Glenn, “lulus”lah. Lagu melo-dramatic
itu bisa dimasukki vokal falsetto Glenn, en sukses bikin mata berkaca-kaca para
penonton. Terutama sahabat-sahabat dan kerabat Chaseiro, yang mengenal betul
seorang Helmie. Apalagi sepanjang lagu, di giant
screen, ditayangkan foto-foto diri mendiang Helmie Indrakesuma.
Stay save and
peaceful there, bro Helmie! Kemudian lagu
instrumental, ‘Gemilang’. Karya Candra itu dibawakan dengan menampilkan bintang
tamu tak kalah spesial, Ananda Sutrisno
“Mates” serta gitaris, Tohpati Ario.
Mates
memang yang memainkan bass pada lagu itu, yang ada di album perdana mereka,
Pemuda. Setelah sekitar 40 tahun, merekapun bisa bermain kembali, ucap Candra.
Tohpati
kemudian masih bermain dalam lagu, ‘Dunia di Batas Senja’, yang kali ini
diaransemen dengan nuansa latin jazz kental. Chaseiro tampil lagi, lalu lagu
ini selain mengetengahkan akustik gitar dari Tohpati, juga flute oleh Edi
Hudioro. Eh juga, permainan piano Candra Darusman deh!
Setelah
itu ada guru besar design grafis Institut Tehnologi Bandung, Iman Sujudi. Kaitannya, Iman Sujudi adalah
sahabat dekat Chaseiro sejak dulu, dan dialah yang membuat design logo
Chaseiro. Yang terus dipakai sampai sekarang.
Mereka
sama-sama masih mahasiswa, kebetulan Iman Sujudi memang senang menggambar.
Dialah yang dimintai tolong, dan logo itu dibuatnya untuk dipakai seterusnya.
Logo tersebut, ceritanya, dibuatnya selama 5 hari. Dan begitu disodori, hanya
satu logo, langsung disetujui!
Berikutnya
ada si cantik. Andien Aisyah. Dengan manisnya, Andien membawakan, ‘Pengungkapan’.
Ga sempat latihan sebenarnya, kata Andien setelah tampil. Karena ia juga punya
banyak jadwal lainnya. Etapi, selamat kok. Aan terkendalilah, dan sing penting, penonton puas!
Andien Aisyah |
Dr. Iwang Gumiwang |
Kira-kira
seperti itulah jalannya pementasan Dunia di Batas Senja tempo hari itu. Saya
yakin, bahwasanya sebagian besar penonton terpuaskan dahaganya. Penampilan
keseluruhan dari kakak-kakak “Nchas”, panggilan ikrib dari Chaseiro, juga para bintang tamu. Plus, jangan dilupain,
grup band pengiringnya, rasanya mendekati kesempurnaan yang hakiki.
Maksudnya
sih, semua seolah terbang ke masa lalu. Masa-masa dimana lagu-lagu yang
disajikan sedang mengalami masa-masa jayanya. Dan Chaseiro akan menggelar lagi,
“sekuel” ke 2 dari konser tersebut, pas Sumpah Pemuda, di 28 Oktober mendatang.
Konser
mendatang makanya diberi sub-title
nan gagah dan ciamik, 40 Tahun Chaseiro dan 90 Tahun Sumpah Pemuda. Cocok dan
pas. Lantaran kan lagu “pualing juara” milik mereka adalah, ‘Pemuda’. Lagu tersebut,
menjadi lagu penutup kemarin itu.
Di
sisi lain, sebagian besar lagu-lagu karya Chaseiro banyak mnyodorkan tema-tema
kritik sosial selain cinta tanah air dan persatuan. Tema yang masih relevan
tentunya saat ini, dimana sikon yang ada, kesannya makin lama kok cinta anah
air, persatuan dan kesatuan malah menjadi “barang mahal”.
Chaseiro
menghadirkan lagi lagu-lagu bagusnya, yang tentunya kita harapkan, mengingatkan
akan keindahan dan keunikannya persatuan dan kesatuan. Seperti juga, indah dan
uniknya toleransi dan saling menghargai satu sama lain.
Rizali
Indrakesuma yang kemarin dapat kesempatan memberi sedikit speech, layaklah
sebagai orang paling senior dan mantan pejabat tinggi departemen luar negeri
mengatakan, semoga mereka punya waktu untuk latihan. Dan, punya nafas. Amin,
amin, kakak-Brother. Semoga segala sesutunya dilancarkanNya.
Karena
sejatinya, Chaseiro tetaplah spesial di khasanah musik Indonesia. Konsep
pementasan kemarin, semoga juga nanti di konser 28 Oktober, kayaknya
menyenangkan dan sudah terbilang sempurna untuk penampilan kembali mereka.
Karena
menyajikan sesuatu berbau nostalgia, sejatinya sih susah-susah gampang. Apalagi
kalau diberi sisipan misilain, bagaimana penonton muda atawa milenial bisa
tergerak untuk ikut menonton.
Teringat
konser dari Candra Darusman, mengedepankan hits dari Candra di era 1980-an
beberapa waktu lalu. Upayanya bagus. Cuma realisasinya memang, apa ya, gimana
deh... Saya menyebutnya, harusnya bisa lebih baik lagi. Lebih baik dalam
penyajian selengkapnya sebagai sebuah tontonan. Termasuk dalam pilihan
bintang-bintang tamu penyanyinya.
Eh
iya, pada Juli mendatang akan ada konser Candra Darusman lagi, yang kali ini
diadakan oleh XI Creative. Semoga
saja hasil akhirnya lebih baik dari konser lagu-lagu hits-nya kakak Candra di
sebelumnya itu. Harus bisa lebih baik dong, kan promotornya lebih profesional
dengan jam terbang lumayan, dalam menghasilkan tontonan-tontonan musik terbaik?
Rasanya,
hanya waktu jualah yang memisahkan kita. Terima kasih Chaseiro sudah menyamankan
hati dan menentramkan jiwa. Panjanglah umurnya. Mana bisa saya, dan istri saya
lupakan kakak-kakak Chaseiro lah. Ada sejarah manis tersendiri kami berdua
dengan Chaseiro kan... Sejarah apaan? Aduh masak sih harus diceritain lagi?/*