Friday, December 15, 2017

didiet & violin & adrenalin rush & lain sebagainya


Orang-orang banyak mengenalnya sebagai “si violinist cilik”. Seperti kemarin waktu ia tampil di Bentara Budaya Jakarta, bersama teman-teman musisinya. Paling tidak ada dua orang teman saya, yang sempat jumpa, mereka asyik menonton. Eh, ini Didiet yang kecil itu dulunya kan? Nyaris mirip pertanyaan kedua teman saya itu kepada saya, tentu tidak bersamaan. Mereka tak saling mengenal kok.
Tentu saja, saya tak mungkin menjawab dengan, ya iyalah dulu kecil sekarang udah besar dong. Kan dia makan dan minum, orang tuanya ya membesarkan dia dengan baiklah. Kasih makananan, minuman, masukkin dia ke sekolah dan mengajarkannya musik dengan baik....
He he he, ga begitulah ya. Publik ada yang masih ingat, si pemain biola cilik, yang bermain di depan presiden di istana, pada suatu waktu sekitar lebih dari 10 tahun lalu  Eh lebihlah dari 10 tahunan sih. 15 tahun-an deh kayaknya ya?
Sebenarnya, sosok pemain biola cilik yang mengesankan penonton televisi tanah air, bahkan sudah sejak sebelumnya. Pria kelahiran 22 Mei 1986 ini katanya, sudah tampil di sebuah acara perayaan salah satu stasiun televisi swasta,waktu umurnya baru menginjak 7 tahun-an!
Nah memang faktanya, si pemain biola cilik ajaib itu, sudah dewasa sekarang. Kan sudah menikah, dan beberapa bulan nanti akan mempunyai anak lho. Artinya, saat ini ia telah menjadi dewasa. Dewasa mudalah. Boleh dong disebut sebagai, pemain biola muda gitu kan ya?

Noldy Benyamin Pamungkas

Dion W Subyakto

Shadu Rasjidi
Pada Kamis malam 7 Desember silam, Sigit Arditya, si violinis muda yang dikenal luas dengan nama Didiet itu tampillah di Bentara Budaya Jakarta itu. Ia mengajak serta banyak sahabat-sahabatnya sesama musisi.
Dalam sebuah konser berbentuk semacam intimate showcase itu, Didiet didukung Eghay (kibor), Indra Prasetyo (gitar), Zoltan Renaldi (bass) dan Dion Subyakto (drums). Formasi itu tampil di beberapa lagu. Ada musisi lainnya, Noldy Benyamin Pamungkas (gitar), main di satu lagu. Kemudian juga ada, Shadu Rasjidi (bass).
Kemudian pada satu lagu lain, Didiet memboyong kelompok musiknya, Kulkul. Dimana ia tampil dengan Demas Narawangsa (drums), mereka berdualah pendiri dan motor utama Kulkul. Selain itu dengan RM. Aditya (kibor) dan Faisar Fazya (gitar). Yang bermain bass, Zoltan Renaldi juga.

Indro Hardjodikoro

Yankjay Nugraha

Tohpati dan Dion Subyakto

Windy Setiadi
Masih ada musisi lain yang mendukungnya. Dimana Indro Hardjodikoro (bass) dan Yankjay Nugraha (gitar), kembali ber-reuni dengan Didiet dan kibordis, Eghay. Tinggal drummernya aja, kalau ada Iqbal ya pas sudah reunian LCLR+ atau BPB+ nya Yockie Suryoprayogo deh.
 Mungkin tepat juga sebenarnya ya, penampilan mereka kemarin itu, sebagai reunian juga memberikan semangat untuk lekas sembuh Yockie Suryoprayogo yang telah mempertemukan mereka. Kalau saja mas Yockie sehat segar, menontonnya, bisa terharu dan....minta ikutan dilibatkan? Waduh!
Selain itu, eh masih ada musisi lainnya? Iya banyak juga kok. Masih ada Tohpati Ario, ya tentu saja gitaris, masak Tohpati main drums? Tentu saja Tohpati, tak bernyanyi dong. Satu lainnya lagi, Windy Setiadi, yang bermain akordion dan...mixer!
Hah, mixer apaan? Windy ini double-job. Windy yang disebut Didiet, suka dipanggil sebagai mbakbro itu, main akordion di satu lagu. Tapi selain itu ia juga punya tugas, berada di belakang mixer utama sebagai sound engineer! Weleh, weleh, multi fungsi.
Tohpati Ario Hutomo


Zoltan Renaldi

Faisar Fayza, Didiet dan Zoltan Renaldi

Demas Narawangsa
Ada 7 lagu yang dibawakan Didiet dengan teman-teman musisinya bergantian main, mendukungnya. Kesemua lagu adalah karya Didiet sendiri. Dan ada di dalam debut albumnya, yang secara resmi dirilis pada saat penampilan live-nya saat itu.
Setelah shownya usai, ngebrel-ngobrollah beberapa waktu. Lalu pulang, nah pas di pintu keluar Didiet pun mencegat saya dan menyerahkan satu keping compact disc albumnya itu. Wah thank you bro ‘diet! Didiet bilang, dengerin ya oom, semoga suka. Pasti dong, jawab saya.
Anehnya Didiet ini, kenapa jadi manggil oom ke saya? Padahal kan kemarin-kemarin juga manggil saya mas lho. Sejatinya, bahkan masih boleh manggil dengan kak lah. Intermezzo dikit lho. Jangan sampai mengernyitkan dahi gitu dong, kenapa dengan panggilan kak? Ha ha ha
Lalu begitulah, saya putuskan ya sudahlah saya review sajalah alumnya Didiet ini. Sudah agak jarang melakukan review terhadap sebuah album rekaman. Tapi album dari seorang pemain violin muda ini rasanya layak untuk ditelisik, dicermati, ditelusuri khusus, lagu demi lagu. Spesialnya, tak banyak album yang mengetengahkan permainan seorang pemain violin di sini kan? Setuju dong?



Iya kalau saya sudah menanti-nantikan album ini beberapa waktu ini. Dari saat saya sering bertemu ataupun bersama-sama Didiet, terutama waktu serial konser Badai Pasti Berlalu plus atau Lomba Cipta Lagu Remaja plus itu. Yang musiknya langsung ditangani Yockie Suryoprayogo. Kan shownya jadi kayak tour, menyinggahi bersambungan di beberapa kota.
Saat itu, eh bahkan sebelumnya Didiet sudah sempat ngobrol soal album rekamannya. Saya cuma ngomporin, hayo dong wujudkan. Sudah saatnya Didiet punya album sendiri. Kerjain dengan bener-bener aja, siapin lagu-lagu terbaikmu, rekaman dan selesaikan.
Lalu sebarluaskan ke publik. Soal gimana jualnya, nanti laku apa tidak, bagaimana respon pasar nanti, ah sudahlah jangan jadi rintangan. Belakanganlah, yang penting jadiin dulu saja.
Orang bijak bilangnya kan begini, jangan “nanti bagaimana tapi bagaimana nanti” saja. Beberapa kali Didiet berucap, iya pengen banget bisa bikin, iya ini lagi diselesaikan nih oom doain ya.Eh kok oom, mas iya mas kok Didiet bilangnya... Dan ternyata, ah jadi juga!



Tampilan sampul album, terkesan sederhana, simple saja. Nah album yang kata Didiet dikerjakan sekitar 1,5 tahun-an itu dibuka oleh,‘Just a Matter of Time’. Nomer riang, dan langsung samuk! Sebuah pembukaan yang kontan merampas perhatian kuping dan hati. Didiet ditemani Indra Prasetyo (electric guitar), Shadu Rasjidi (bass), Dion Subyakto (drums), Eghay (kibor).
Iya, langsung oho, gitu deh kata hati saya. Saya sebut,ini nomer yang paling pop. Nenangin hati dan kuping sih. Rame dan meriah, tapi suasananya itu ceria. Tepat juga ini jadi lagu pembuka. Sebuah introduction yang pas betul! Amaaaan, untuk khalayak ramai gitu dah.
Berikutnya, dengerin ‘Midnight Rain’, yang bersuasana lebih “adem”. Ada sound akordion, dilatari tabla. Lagu ini mengetengahkan solo gitar akustik oleh Tohpati, yang diikuti permainan solo bass. Diikuti kemudian solo drums. Sound keyboard melatari, ditempatkan pada layer sebelah belakang.


Suasana yang timbul jadi rada, middle east gitu. Maroko, Turki, Aljazair? Ah ya kira-kira gitu. Lebih ke suasana Timur Tengah yang lebih dekat Eropa. Terutama pada pola soloing atau rhythm akustik gitar, tabla termasuk akordion. Didiet rupanya juga punya perhatian pada world music.
Tapi asli nih, lagu ini menyenangkan untuk dinikmati. Kalau lagi macet-macet berkandara dan mulai bete, ini mungkin bisa jadi obat memanjangkan sabar.... Beneran? Cobain aja deh.
Ada Tohpati dengan gitar akustik, Dion Subyakto pada drums dan tabla. Lalu bass oleh Shadu Rasjidi. Eghay, memainkan kibor. Dipermanis akordion yang dimainkan Windy Setiadi, perempuan yang saat kemarin di Bentara Budaya Jakarta itu, job utamanya menjadi sound engineer.


Pada ‘Adrenalin Rush’, seolah Didiet memperlihatkan pacuan adrenalinnya. Dalam bermusik? Ya bisa jadi, karena ia banyak mengisi dengan pola permainan yang cepat. Yang mendominasi di sepanjang lagu. Sementara suasana lagunya sendiri diambil, lho kayak suasana musik pada party-nya kaum gypsi ya?
Menunjukkan adrenalinnya, dalam menerima semacam apa ya, tantangan pribadi? Gimana main sarat dengan syncope, tutty, rapat, cepat? Susah lho. Jadi lagu paling susah? Hahahaha. Tapi asyik dengerinnya...
Ini lagu susah betul sih Saya iseng tanya ke Didiet,kenapa lagu ini terkesan paling kompleks. Kompleks apa? Eh bukan, bukan itu jawaban Didiet. Tapi Didiet jawabnya, tertawa lebar. Pengen mencoba main susah ya? Iya, Didiet menjawab lagi dan tertawa lepas lagi
Ini enaknya didengerin, kalau tetiba di rumah suasana sore, sepi tak ada siapa-siapa. So, cukup bebas memutar lagu dengan volume “lewat dari setengah” gitu. Goyang-goyang sedikit juga boleh, mengikuri irama lagu. Hitung-hitung refreshing, melepas penat sambil...stretching!
Pada track selanjutnya, ‘Turning Point’, Didiet “berduet” dengan gitaris, Noldy Benyamin Pamungkas. Noldy memakai akustik gitar nylon dan steel, lebih untuk rhythm. Selain electric, yang mengisi solo. Dan lagu dengan tutty ini dibungkus nuansa rada latin jazz gitu. Tentu saja konotasinya menjadi riang gembira.





Ini album variatif musiknya. Kalau mau menyimak Didiet secara berbeda, ada track cukup pendek, ‘Infinity’. Dimana Didiet berkolaborasi dengan musisi muda yang mengakrabi electronica, atau musik electronic, Ammir Gita Pradhana. Ammir adalah putra dari tokoh musik electronica Indonesia, Diddi Agephe. Ibunya Ammir adalah, pianis dan aranjer perempuan terkemuka, Dian Hadipranowo..
Bentuknya kok ya kayak scoring music untuk film? Kata Didiet sendiri, ini lagu terakhir yang masuk dalam albumnya. Awalnya, hanya terpilih 7 lagu saja. Kemudian adik kandungnya kritis di rumah sakit, itu menginspirasi Didiet jadi tetiba bikin lagu. Akhirnya terciptalah komposisi pendek ini, untuk mengenang sang adik tercinta.
Adiknya itu akhirnya memang meninggal dunia. Karena memerlukan perhatian khusus, selama sang adik dirawat di rumah sakit, teristimewa dalam kondisi kritisnya itulah, jadi salah satu sebab album ini jadi agak tertunda penyelesaiannya.
Cerita Didiet lagi, konsentrasinya waktu itu jadi terpecah. Iapun jadi tak fokus dengan persiapan albumnya. Karena ia memang menyayangi sang adik dan terpukul betul dengan sakitnya sang adik.
Lantas track ‘berjudul ‘Kintamani’, bernuansa etnik. Suasana musiknya saja ya  Lagu ini dibawakannya bersama kelompoknya, Kulkul, yang memang mengedepankan warna fusion bernuansa Bali. Mereka, untuk di atas panggung, kerapkali menyertakan juga instrumentasi perkusi khas Bali.



Kulkul yang menemani Didiet dalam album ini terdiri dari RM Aditya (kibor), Demas Narawangsa (drums), Faisar Fazya (gitar), Zoltan Renaldi (bass). Kalau saja ada tambahan musisi tradisi Bali, dengan instrumennya, mungkin akan jadi lebih kental lagi suasana etnik ke Bali-Bali annya.
‘Sticky Puppet’, agak mengingatkan pada Didier Lockwood. Sedikit saja kok. Cuma apa ya, aksen pada sisi musik dan pilihan nada yang dimainkan Didiet dengan violinnya itu. Violin Didiet, ditemani rapat oleh sound gitar berdistorsi dari Yankjay Nugraha.
Bass dimainkan oleh Indro Hardjodikoro, kibor oleh Eghay. Sementara drums oleh Agung Exo.  Eh ini, sebagian kok formasi “BPB/LCLR+”, proyek musiknya Yockie Suryoprayogo ya? Asyik kok, fusionnya jadi terasa lebih ngerock. Terutama isian gitar Yankay, apalagi saat soloing.
Musik fusion cepat beginian, emang makanannya Indro Hardjodikoro. Indro meng-influence kuat Didiet ya? Maklumlah, karena sering kerja bareng kan? Apalagi ya saat proyek bersama Yockie Suryoprayogo tersebut, ada sekitar 2 tahunan lho mereka jadi sering bersama-sama.
Dengerin ini ke Yockie aja. Sebuah apresiasi jadinya. Doakan supaya mas Yockie, akan segera kembali pulih seperti sediakala. Saat tulisan ini dibuat, Yockie Suryoprayogo masih terbaring lemah, belum sepenuhnya kembali kesadarannya, ia masih harus mendapatkan penanganan medis cukup serius di kediamannya.
Adapun sebagai nomer penutup, ditempatkan sebuah ballad. Judulnya, ‘If Only’. Menampilkan duet, Indra Prasetyo dengan gitar akustik dan Didiet.  Dan kemudian juga didukung voicing, sebagai backing oleh Mery LC. Lagu yang pas juga, sebagai lullaby, menemani di peraduan malam, untuk memancing kantuk segera datang....
Atau boleh juga, duduk-duduk di teras, di sebelahnya ada secangkir kopi di atas meja kecil. Bisa sore hari, bisa malam juga sih. Leyeh-leyeh, bersantai. Rileks sesaat untuk mengendurkan syaraf yang kaku, karena berpikir keras seharian gitulah.
Oh iya, Mery LC itu dulu mantan kekasih tersayangnya Didiet. Dan lelah berpacaran, Didietpun sepakat bersama Mery, menghadap penghulu. Sah sudah menjadi pasangan suami istri. Saat tulisan ini dibuat, Mery tengah mengandung anak pertama mereka.


Lalu tembang favorit yang mana ya kira-kira? Maksudnya, mau tanya saya, sebagai referensi? Ok begini saudara-saudara sekalian, sebangsa dan setanah air. Sejatinya, semua track dalam album ini, recommended!
Ya suasananya beda-beda, tergantung bagaimana situasi dan kondisi di saat mendengarkan. Mood buster seperti apa yang diinginkan? Iya, bisa jadi semacam bebunyian yang menambah semangat, selain gairah hidup.
Jadi ketika mood terbangun sempurna, semangat dinyalakan lebih maksimal. Bekerja jadi lebih fokus, terarah. Membentuk konsentrasi optimal. Hasil kerja, insha Allah bagus. Dan boss, bisa senyum-senyum saja melihat apa yang sudah kita kerjakan dan kita hasilkan. Ga percuma dong?
Artinya jadi begini deh, bahwasanya album didiet & violin ini, dengan tampilan kebiruan berlatar belakang warna hitam di sampul depannya, boleh dikoleksi. Lagunya variatif. Nyenengin hati. Apakah bakal menyenangkan pasangan kita? Oh kalau itu, silahkan saja dicoba. Tak ada salahnya dong, untuk mencoba.
Saya pribadi pilih, track ‘Adrenalin Rush’, ‘Midnight Rain’ dan ‘Sticky Puppet’. Tapi memang itu lebih pada sikon, saat butuh dorongan semangat hidup. Hahahaha, maksudnya menambah kegairahanlah. Ah tapi itu sangat subyektif sih, selera saya ya. Walau sekali lagi, musik dan lagu-lagu dalam debut album Didiet ini beragam coraknya. Jadi silahkan dengerin aja dulu semuanya, pilih aja track favoritnya.
Eh ya lupa. Ya beli dululah CD nya, baru puas-puasin dengerin dimanapun mau mendengarkannya. Beli dong, masak minjem sih, apalagi mengcopy doang.... Hare gene, cuuuy!

Hari gini senengnya main ngopi file aja? Ah, apa kata warung sebelah..../*


Tuesday, December 12, 2017

Bre Redana, Old Journalist Never Die, Not even Fade Away...


Mas Bre pun pangsiun!
Kenal sih cukup lama. Tapi lebih "searah" saja. Saya membaca tulisan-tulisannya, sejak 1980-an. Maklum, saya dibiasakan ayah untuk setiap pagi, sarapan penting itu adalah membaca koran. Dan dari saya balita, keluarga kami maksudnya ayah, adalah pelanggan setia Kompas.
Maka saya seperti "dibesarkan" juga oleh Kompas. Dengan segala berita-beritanya. Saya sangat menikmati Kompas, terutama artikel-artikel tentang olahraga dan musik/budaya.
Iya saya seringkali sebelum sarapan, mengambil koran dulu dan yang pertama saya cari, memang kolom olahraga. Saya menikmati berita-berita sepakbola dan bulutangkis, terutama.Tapi juga mengenai balapan Formula 1 dan bola basket misalnya.
Ga berhenti sampai di situ saja, sebetulnya semua berita tentang berbagai-bagai cabang olahraga, saya baca habis. Apalagi berita-berita saat Olimpiade, Asian Games, Sea Games sampai Piala Dunia sepakbola dan bola basket.
Iya lucu juga, saya tuh dulu pelahap banget berita-berita olahraga! Musik serta budaya itu, nomer dua.... Ternyata saya tak otomatis jadi wartawan olahraga ya?
Hidup ini aneh juga... Hahahaha.


Tulisan seorang Bre Redana terekam dengan baik dalam pikiran dan jiwa saya, itu bahasa "keren"nyalah. Selain tulisan beberapa wartawan Kompas lain, teristimewa yang beredar di era 1970-1980an. Langsung tak langsung, saya "diajari" menulis. Menjadi wartawan, pada akhirnya. Padahal dulu masa sekolah, pelajaran mengarang saya, nilainya cukupan saja sebenarnya sih.
Modal nekad saja, akhirnya bisa jadi wartawan. Ya karena saya otodidak kan, tak pernah belajar formal di dunia jurnalistik. Dan eh saya lantas jadi wartawan musik pula. Dan mana pula, jazz. Gegara, saya memang suka dan penikmat jazz, sejak masa sekolah.
Banyak tulisan-tulisan Bre Redana saya baca, tak sekedar liputan musik dan budaya, juga tulisan berbentuk essay, masih seputar musik dan budaya. Atau, gaya hidup. Bahkan juga saya melahap karya cerita pendeknya.
Bre tentu saja tak sadar, ia memberi inspirasi bagi penulisan yang kaya kata-kata, suasana, sering bermain dalam setting tertentu, suasana sampai pilihan kata yang rada-rada "old-school". Tapi tak terkesan ketinggalan jaman, karena mengalir lancar. Enak saja dibacanya, dinikmatinya.
Cara bertutur lewat tulisannya terkesan lugas, menyapa hangat pembacanya. Dan mempunyai kedalaman. Artinya begini, tulisan panjang, tapi memberi sesuatu pada pembacanya. Tak sekadar hiburan, atau informasi. Mencerdaskan? Boleh disebut begitu, kalau saja tidak dianggap berlebihan.
Gaya penyajian tulisan mendalam begitu, mulai tak biasa di era sekarang. Jaman dimana lebih dipentingkan kehangatan berita, maksudnya waktu peristiwa dan saat membaca yang sedekat mungkin. Seketika.  Kecepatannya. Tak begitu mementingkan kedalaman.
Membuat pembaca saat ini, lebih dimanjakan dengan sajian berita dalam tulisan yang ringkas, padat tapi asli hangat. Fresh from the oven? Karena berita, bersaing serius dengan jurnalisme jalanan, via media sosial!
Maaf, itu sekedar curhat saya saja. Mengalami yang namanya, jurnalisme ringkas dan “seperlunya”, jamanNOW! Well, ya makanya lucu  juga kan, kok ya bisa, saya lantas jadi wartawan musik. Eh malah “sok-sokan” pake motret juga. Motret juga, saya lebih suka menyebut sebagai otodidak juga. Aneh juga sebenarnya sih. Aneh ga hidup ini?
Mas Bre itu aseli 70's. Pernah saya perhatiin lalu pikir-pikir ya, figur khasnya, gondrong ikal betul, kok ya seolah "personifikasi" jurnalis 60-70an, Woodstock, Flower Generation, The Beatles, Procol Harum, sampai Pink Floyd...Andy Warhol?
Dan kemudian bisa mengenalnya, sejak sekitar 1990-an, saat peliputan musik bareng. Eh tunggu dulu, antara 1990an, atau mungkin sudah sejak sekitar akhir 1980-an. Baru mulai mengenal saja saat itu.
Namun saat itu, hanya ber-hai hai saja. Tak terlalu banyak ngobrol. Tidak panjang lebar mendiskusikan apa gitu ya. Tidak juga soal musik,misal mengenai artis ataupun acara yang akan kita liput bareng di saat itu.
Lalu masuklah di 2000-an, ketika saya beruntung dilibatkan dalam tim kerja, tim inti utama pelaksana dari konser besar, Megalitikum-Kuantum. Tontonan kolosal yang mengedepankan etnomusikolog, Rizaldi Siagian,sebagai sebut saja penggagas dan  sutradara eksekutif.
Diadakan di Jakarta Convention Centre, lalu berlanjut dibawa ke Bali. Untuk dipentaskan di Garuda Wisnu Kencana, Jimbaran. Dibuat dalam rangka HUT 40 Tahun Kompas.
Dari situlah jadi seringkali bertemu, paling tidak dalam rangkaian meeting persiapan acara kolosal, yang melibatkan banyak seniman musik dan tari kenamaan Indonesia tersebut.
Lantas lima tahun berselang, 2010, jadi tambah dekat karena pementasan musikal DIANA. Karena DIANA, jadi sering nongkrong bareng, diskusi. Seringkali terlalu kemana-mana, tetapi lantas balik ke soal... "romantika"nya persiapan DIANA itu. Memang penuh cerita, drama, suka dan duka.

Mas Bre adalah teman diskusi yang asyik, seringkali sambil menyeruput kopi atau meneguk  wine atau beer. Bisa di Jakarta, bisa di Solo. Diana itu memang rangkaian latihannya diadakan di Solo dan Jakarta.
Mas Bre sering mengajak saya diskusi soal gimana baiknya DIANA itu... Kayaknya diskusi serupa juga dilakukannya sih dengan pihak-pihak yang "lebih berkepentingan" tentunya, di lain kesempatan. Yaitu Garin Nugroho, sebagai sutradara peran dan Yockie Suryoprayogo sebagai sutradara musik. Juga dengan Eko Supriyanto, sebagai sutradara "olah gerak".
Hal mana kemudian, membuat saya kalau bertemu atau melihat Bre, ya langsung teringat DIANA. DIANA itu memang sarat perjuangan penuh romantika. Yang setelah berakhir, saya cuma bisa bersyukur, pernah mempunyai pengalaman terlibat dalam sebuah konser besar seperti itu. Konser yang merupakan perayaan HUT Kompas, tentunya untuk yang ke 45 tahun.
Salah satu konser musikal terbesar yang pernah ada, sarat "pernak pernik". Lihat Bre, jadi teringat sahabat baik saya juga, teramat baik, kakak saya, teh Erliani Eni. Teh Eni lah yang mengajak saya terlibat dalam konser itu. Teh Eni sebagai produser pelaksana, pimpinan utama pelaksana acara. Saya?
Ah kalau saya mah, seperti biasalah, prajurit "di segala lini, di banyak sektor". Main-job saya sebenarnya adalah Talent Coordinator, persis sama posisinya dengan saat Megalitikum-Kuantum. Tapi lantas cukup melebar. Yang saya nikmati saja dengan penuh semangat!
Oh ya Bre Redana adalah penggagas, lalu penulis cerita dan pembuat skenario dasar pergelaran musikal Diana tersebut. Kami intens bertemu sejak awal, terlebih saat pemilihan talent-talent yang akan memerankan tokoh-tokoh dalam cerita Diana tersebut. Membuat saya jadi sering berdiskusi dengan Bre, juga Garin Nugroho dan Yockie Suryoprayogo.

Saya cuma melakukan apa yang bisa saya lakukan : mengerjakan apa yang bisa saya kerjakan. Seperti penjahit : asal kaki bergoyang lhir jahitan. Begitupun menulis. Asal corat coret jadi tulisan. Begitu tulis Bre Redana.

Dan sampailah di Rabu, 28 November silam. 3 minggu sebelumnya, mas Bre mengirimkan Undangannya, via ... SMS! Saya langsung jadwalkan, request khusus ke istri saya, tolong ingatkan ada undangan dari Bre Redana nanti di akhir bulan.
Saya via SMS begitu menerima, langsung menjawab singkat, siap hadir mas. Dan memang saya hadir. Ditemani istri saya dong, pastinya. Perayaan itu diadakan di aula tertutup, Bentara Budaya Jakarta, Palmerah Selatan.
Pensiunnya Bre setelah 30-an tahun menjadi "prajurit" Harian Umum terbesar, KOMPAS, dirayakan dengan sebuah "pesta". Yang isinya macam pergelaran fragmen, ,ah memang... “Bre banget”, suasananya itu sangat 60-70an. Ia juga merilis buku baru, KORAN KAMI With LUCY IN THE SKY
.



Memang aslilah, 60-70annya sudah merasuk banget dalam jiwanya. Lihat pilihan Bre itu, 'Lucy in the Sky', yang kental nuansa psychedelic dari The Beatles, diambil dari album yang memang bersuasana psychedelic, Sgt. Peppers Lonely Hearts Club Band. Salah satu album fenomenal dari The Beatles. Bebungaan, warna-warni, keliaran tapi khas betul The Beatles sih.
Lagu ‘Lucy in the Sky with Diamond’, ditulis bareng John Lennon n Paul Mc Cartney, diedarkan di tahun 1967 dengan albumnya tersebut di atas. Yang sempat jadi kontroversi soal...lagu ini dengan judul "unik"nya itu. Disebut unik dan malah misterius, karena kalau disingkat menjadi kok ya... LSD.
Isi bukunya tersebut mengenai seorang wartawan senior, yang menjelang masuk masa purna tugasnya, menerima tawaran dari sahabat baiknya, untuk membuat koran baru. Meskipun dianggap musykil, membuat koran cetak di jaman digital begini, tapi tawaran tersebut diterimanya.
Sang wartawan, San Santiana. Lalu menamai koran itu sebagai KORAN KAMI. Lalu kenapa ada judul lagu The Beatles segala? Bukan berarti koran baru itu adalah sebuah koran musik. Gila aja! Koran musik jaman modern begini? Hehehe


Ceritanya, kebetulan album yang kental suasana flower generationnya itu, masuk di usia 50 tahun peredarannya. Ada lagu, ‘Lucy in the Sky’ tersebut di dalamnya. Lalu dalam buku, serta merta sosok Lucy menjelma menjadi cewek muda, cantik, cerdas, makmur, fashionable.
Digambarkanlah ia berada di tengah para veteran yang dibesarkan oleh zaman yang dulunya, melahirkan generasi yang mengira hidup cukup hanya dengan cinta saja! Waow...absurd? Kan itu soal generasi “pencinta bunga-bungaan”? Termasuk bunga ganja? Kan ganja dan opium juga menjadi simbol perlawanan terhadap arus globalisme, yang dipaksakan negara kapitalis terhadap negara-negara berkembang?
Absurditas tak penting lagi, rasanya. Karena hal ini lebih pada konteks sejarah peradaban.Di satu masa itulah, betapa cinta menjadi hal dijunjung tinggi. Menjadi sakral? Paling tidak, dipuja-puji....


Kok jadi teringat lirik sebuah lagu dangdut... Hidup tanpa cinta, bagai taman tak berbunga, begitulah kata pujangga.... Kalau sudah begitu, maka bisa tersenyujm, sambil menggoyang-goyangkan badan? Atau boleh juga, sekedar dua jempol tangan saja yang digoyang-goyangkan sih.
Eh tapi ini tak menyenggal-nyenggol dangdut. KORAN KAMI, lebih sebagai potret suasana sebuah penerbitan. Dan dengan jaman yang mana koran tersebut tumbuh, atau dilahirkan. Sekaligus, diwarnai....
Pada acara party kemarin itu, ada fragmen berisi pembacaan sebagian isi buku Bre Redana tersebut. Yang dibacakan para wartawan Kompas secara bergantian, yang adalah sahabat-sahabat Bre Redana juga adanya. Selain ada cuplikan olah gerak, suasana teatrikal, yang mendukung suasana pembacaan buku.
Selain itu juga ada musik. Dibunyikan, atau ditampilkan oleh duo yang “tak lazim”. Eh sebut saja, “tak biasa”lah. Gitaris Aria Baron,yang tetap menjadi gitaris salah satunya dalam kelompok gitaris, Six Strings.Namun kini ia juga menjadi manager dari kelompok pop rock, GIGI.
Aria Baron, disandingkanlah dengan seorang filsuf muda, gondrong. Rada 70’s juga sih. Bergaul luas juga, macam Bre Redana lah. Tommy Awuy namanya. Tommy memang kerapkali tampil bernyanyi selain bermain alat musik. Kali ini ia bermain kibor.
Sajian duo yang lumayan memberi warna tersendiri. Kan memang duet yang tak biasa. Tak biasa, buat saya sebenarnya, yang cukupterpana melihat mereka! Mereka sempat membawakan juga, ya so pasti, ‘Lucy in the Sky’. Lengkap dengan mengajak penonton semua bernyanyi, dengan big screen menayangkan lirik lagu tersebut.
Begitulah sedikit cerita tentang saya dan Bre Redana, juga mengenai acara pelepasannya. Masuk masa purna bakti. Emang bakalan pangsiun beneran? Wartawan kok ya pensiun toh?



Selamat berkarya terus mas Bre, di dunia yang mungkin "berbeda". Ah,berbeda? Seberapa bedanya.... /*