Orang-orang
banyak mengenalnya sebagai “si violinist cilik”. Seperti kemarin waktu ia
tampil di Bentara Budaya Jakarta, bersama teman-teman musisinya. Paling tidak
ada dua orang teman saya, yang sempat jumpa, mereka asyik menonton. Eh, ini Didiet
yang kecil itu dulunya kan? Nyaris mirip pertanyaan kedua teman saya itu kepada
saya, tentu tidak bersamaan. Mereka tak saling mengenal kok.
Tentu
saja, saya tak mungkin menjawab dengan, ya iyalah dulu kecil sekarang udah
besar dong. Kan dia makan dan minum, orang tuanya ya membesarkan dia dengan
baiklah. Kasih makananan, minuman, masukkin dia ke sekolah dan mengajarkannya
musik dengan baik....
He
he he, ga begitulah ya. Publik ada yang masih ingat, si pemain biola cilik,
yang bermain di depan presiden di istana, pada suatu waktu sekitar lebih dari
10 tahun lalu Eh lebihlah dari 10
tahunan sih. 15 tahun-an deh kayaknya ya?
Sebenarnya,
sosok pemain biola cilik yang mengesankan penonton televisi tanah air, bahkan
sudah sejak sebelumnya. Pria kelahiran 22 Mei 1986 ini katanya, sudah tampil di
sebuah acara perayaan salah satu stasiun televisi swasta,waktu umurnya baru
menginjak 7 tahun-an!
Nah
memang faktanya, si pemain biola cilik ajaib itu, sudah dewasa sekarang. Kan
sudah menikah, dan beberapa bulan nanti akan mempunyai anak lho. Artinya, saat
ini ia telah menjadi dewasa. Dewasa mudalah. Boleh dong disebut sebagai, pemain
biola muda gitu kan ya?
Noldy Benyamin Pamungkas |
Dion W Subyakto |
Shadu Rasjidi |
Pada
Kamis malam 7 Desember silam, Sigit Arditya, si violinis muda yang dikenal luas
dengan nama Didiet itu tampillah di Bentara Budaya Jakarta itu. Ia mengajak
serta banyak sahabat-sahabatnya sesama musisi.
Dalam
sebuah konser berbentuk semacam intimate
showcase itu, Didiet didukung Eghay
(kibor), Indra Prasetyo (gitar), Zoltan Renaldi (bass) dan Dion Subyakto (drums). Formasi itu
tampil di beberapa lagu. Ada musisi lainnya, Noldy Benyamin Pamungkas (gitar), main di satu lagu. Kemudian juga
ada, Shadu Rasjidi (bass).
Kemudian
pada satu lagu lain, Didiet memboyong kelompok musiknya, Kulkul. Dimana ia tampil dengan Demas Narawangsa (drums), mereka berdualah pendiri dan motor utama
Kulkul. Selain itu dengan RM. Aditya
(kibor) dan Faisar Fazya (gitar).
Yang bermain bass, Zoltan Renaldi juga.
Indro Hardjodikoro |
Yankjay Nugraha |
Tohpati dan Dion Subyakto |
Windy Setiadi |
Masih
ada musisi lain yang mendukungnya. Dimana Indro
Hardjodikoro (bass) dan Yankjay
Nugraha (gitar), kembali ber-reuni dengan Didiet dan kibordis, Eghay. Tinggal
drummernya aja, kalau ada Iqbal ya pas sudah reunian LCLR+ atau BPB+ nya Yockie
Suryoprayogo deh.
Mungkin tepat juga sebenarnya ya, penampilan mereka
kemarin itu, sebagai reunian juga memberikan semangat untuk lekas sembuh Yockie
Suryoprayogo yang telah mempertemukan mereka. Kalau saja mas Yockie sehat
segar, menontonnya, bisa terharu dan....minta ikutan dilibatkan? Waduh!
Selain
itu, eh masih ada musisi lainnya? Iya banyak juga kok. Masih ada Tohpati Ario, ya tentu saja gitaris,
masak Tohpati main drums? Tentu saja Tohpati, tak bernyanyi dong. Satu lainnya
lagi, Windy Setiadi, yang bermain
akordion dan...mixer!
Hah,
mixer apaan? Windy ini double-job.
Windy yang disebut Didiet, suka dipanggil sebagai mbakbro itu, main akordion di satu lagu. Tapi selain itu ia juga
punya tugas, berada di belakang mixer utama sebagai sound engineer! Weleh, weleh, multi fungsi.
Tohpati Ario Hutomo |
Zoltan Renaldi |
Faisar Fayza, Didiet dan Zoltan Renaldi |
Demas Narawangsa |
Ada
7 lagu yang dibawakan Didiet dengan teman-teman musisinya bergantian main,
mendukungnya. Kesemua lagu adalah karya Didiet sendiri. Dan ada di dalam debut
albumnya, yang secara resmi dirilis pada saat penampilan live-nya saat itu.
Setelah
shownya usai, ngebrel-ngobrollah beberapa waktu. Lalu pulang, nah pas di pintu
keluar Didiet pun mencegat saya dan menyerahkan satu keping compact disc albumnya itu. Wah thank you bro ‘diet! Didiet bilang,
dengerin ya oom, semoga suka. Pasti
dong, jawab saya.
Anehnya
Didiet ini, kenapa jadi manggil oom ke saya? Padahal kan kemarin-kemarin juga
manggil saya mas lho. Sejatinya,
bahkan masih boleh manggil dengan kak
lah. Intermezzo dikit lho. Jangan sampai mengernyitkan dahi gitu dong, kenapa
dengan panggilan kak? Ha ha ha
Lalu
begitulah, saya putuskan ya sudahlah saya review
sajalah alumnya Didiet ini. Sudah agak jarang melakukan review terhadap sebuah
album rekaman. Tapi album dari seorang pemain violin muda ini rasanya layak
untuk ditelisik, dicermati, ditelusuri khusus, lagu demi lagu. Spesialnya, tak
banyak album yang mengetengahkan permainan seorang pemain violin di sini kan?
Setuju dong?
Iya
kalau saya sudah menanti-nantikan album ini beberapa waktu ini. Dari saat saya
sering bertemu ataupun bersama-sama Didiet, terutama waktu serial konser Badai
Pasti Berlalu plus atau Lomba Cipta Lagu Remaja plus itu. Yang musiknya
langsung ditangani Yockie Suryoprayogo. Kan shownya jadi kayak tour,
menyinggahi bersambungan di beberapa kota.
Saat
itu, eh bahkan sebelumnya Didiet sudah sempat ngobrol soal album rekamannya.
Saya cuma ngomporin, hayo dong wujudkan. Sudah saatnya Didiet punya album
sendiri. Kerjain dengan bener-bener aja, siapin lagu-lagu terbaikmu, rekaman
dan selesaikan.
Lalu
sebarluaskan ke publik. Soal gimana jualnya, nanti laku apa tidak, bagaimana
respon pasar nanti, ah sudahlah jangan jadi rintangan. Belakanganlah, yang penting
jadiin dulu saja.
Orang
bijak bilangnya kan begini, jangan “nanti bagaimana tapi bagaimana nanti” saja.
Beberapa kali Didiet berucap, iya pengen banget bisa bikin, iya ini lagi
diselesaikan nih oom doain ya.Eh kok oom, mas iya mas kok Didiet bilangnya...
Dan ternyata, ah jadi juga!
Tampilan
sampul album, terkesan sederhana, simple saja. Nah album yang kata Didiet
dikerjakan sekitar 1,5 tahun-an itu dibuka oleh,‘Just a Matter of Time’. Nomer riang,
dan langsung samuk! Sebuah pembukaan
yang kontan merampas perhatian kuping dan hati. Didiet ditemani Indra Prasetyo
(electric guitar), Shadu Rasjidi (bass), Dion Subyakto (drums), Eghay (kibor).
Iya,
langsung oho, gitu deh kata hati saya. Saya sebut,ini nomer yang paling pop. Nenangin hati dan kuping sih. Rame dan
meriah, tapi suasananya itu ceria. Tepat juga ini jadi lagu pembuka. Sebuah introduction yang pas betul! Amaaaan,
untuk khalayak ramai gitu dah.
Berikutnya,
dengerin ‘Midnight Rain’, yang bersuasana
lebih “adem”. Ada sound akordion,
dilatari tabla. Lagu ini mengetengahkan solo gitar akustik oleh Tohpati, yang
diikuti permainan solo bass. Diikuti kemudian solo drums. Sound keyboard melatari,
ditempatkan pada layer sebelah
belakang.
Suasana
yang timbul jadi rada, middle east
gitu. Maroko, Turki, Aljazair? Ah ya kira-kira gitu. Lebih ke suasana Timur
Tengah yang lebih dekat Eropa. Terutama pada pola soloing atau rhythm akustik gitar, tabla termasuk akordion. Didiet
rupanya juga punya perhatian pada world
music.
Tapi
asli nih, lagu ini menyenangkan untuk dinikmati. Kalau lagi macet-macet
berkandara dan mulai bete, ini mungkin bisa jadi obat memanjangkan sabar.... Beneran? Cobain aja deh.
Ada
Tohpati dengan gitar akustik, Dion Subyakto pada drums dan tabla. Lalu bass
oleh Shadu Rasjidi. Eghay, memainkan kibor. Dipermanis akordion yang dimainkan Windy
Setiadi, perempuan yang saat kemarin di Bentara Budaya Jakarta itu, job utamanya menjadi sound engineer.
Pada
‘Adrenalin Rush’, seolah Didiet memperlihatkan pacuan adrenalinnya. Dalam
bermusik? Ya bisa jadi, karena ia banyak mengisi dengan pola permainan yang
cepat. Yang mendominasi di sepanjang lagu. Sementara suasana lagunya sendiri
diambil, lho kayak suasana musik pada party-nya
kaum gypsi ya?
Menunjukkan
adrenalinnya, dalam menerima semacam apa ya, tantangan pribadi? Gimana main
sarat dengan syncope, tutty, rapat,
cepat? Susah lho. Jadi lagu paling susah? Hahahaha. Tapi asyik dengerinnya...
Ini
lagu susah betul sih Saya iseng tanya ke Didiet,kenapa lagu ini terkesan paling
kompleks. Kompleks apa? Eh bukan, bukan itu jawaban Didiet. Tapi Didiet
jawabnya, tertawa lebar. Pengen mencoba main susah ya? Iya, Didiet menjawab
lagi dan tertawa lepas lagi
Ini
enaknya didengerin, kalau tetiba di rumah suasana sore, sepi tak ada
siapa-siapa. So, cukup bebas memutar lagu dengan volume “lewat dari setengah”
gitu. Goyang-goyang sedikit juga boleh, mengikuri irama lagu. Hitung-hitung
refreshing, melepas penat sambil...stretching!
Pada
track selanjutnya, ‘Turning Point’, Didiet “berduet” dengan gitaris, Noldy
Benyamin Pamungkas. Noldy memakai akustik gitar nylon dan steel, lebih
untuk rhythm. Selain electric, yang mengisi solo. Dan lagu dengan tutty ini dibungkus nuansa rada latin
jazz gitu. Tentu saja konotasinya menjadi riang gembira.
Ini
album variatif musiknya. Kalau mau menyimak Didiet secara berbeda, ada track
cukup pendek, ‘Infinity’. Dimana Didiet berkolaborasi dengan musisi muda yang
mengakrabi electronica, atau musik electronic, Ammir Gita Pradhana.
Ammir adalah putra dari tokoh musik electronica Indonesia, Diddi Agephe. Ibunya
Ammir adalah, pianis dan aranjer perempuan terkemuka, Dian Hadipranowo..
Bentuknya
kok ya kayak scoring music untuk
film? Kata Didiet sendiri, ini lagu terakhir yang masuk dalam albumnya.
Awalnya, hanya terpilih 7 lagu saja. Kemudian adik kandungnya kritis di rumah
sakit, itu menginspirasi Didiet jadi tetiba bikin lagu. Akhirnya terciptalah komposisi
pendek ini, untuk mengenang sang adik tercinta.
Adiknya
itu akhirnya memang meninggal dunia. Karena memerlukan perhatian khusus, selama
sang adik dirawat di rumah sakit, teristimewa dalam kondisi kritisnya itulah,
jadi salah satu sebab album ini jadi agak tertunda penyelesaiannya.
Cerita
Didiet lagi, konsentrasinya waktu itu jadi terpecah. Iapun jadi tak fokus
dengan persiapan albumnya. Karena ia memang menyayangi sang adik dan terpukul
betul dengan sakitnya sang adik.
Lantas
track ‘berjudul ‘Kintamani’, bernuansa etnik. Suasana musiknya saja ya Lagu ini dibawakannya bersama kelompoknya, Kulkul, yang memang mengedepankan warna
fusion bernuansa Bali. Mereka, untuk di atas panggung, kerapkali menyertakan
juga instrumentasi perkusi khas Bali.
Kulkul
yang menemani Didiet dalam album ini terdiri dari RM Aditya (kibor), Demas
Narawangsa (drums), Faisar Fazya (gitar), Zoltan Renaldi (bass). Kalau saja ada
tambahan musisi tradisi Bali, dengan instrumennya, mungkin akan jadi lebih
kental lagi suasana etnik ke Bali-Bali annya.
‘Sticky
Puppet’, agak mengingatkan pada Didier Lockwood. Sedikit saja kok. Cuma apa ya,
aksen pada sisi musik dan pilihan nada yang dimainkan Didiet dengan violinnya
itu. Violin Didiet, ditemani rapat oleh sound gitar berdistorsi dari Yankjay
Nugraha.
Bass
dimainkan oleh Indro Hardjodikoro, kibor oleh Eghay. Sementara drums oleh Agung Exo. Eh ini, sebagian kok formasi “BPB/LCLR+”,
proyek musiknya Yockie Suryoprayogo ya? Asyik kok, fusionnya jadi terasa lebih
ngerock. Terutama isian gitar Yankay, apalagi saat soloing.
Musik
fusion cepat beginian, emang makanannya Indro Hardjodikoro. Indro meng-influence kuat Didiet ya? Maklumlah,
karena sering kerja bareng kan? Apalagi ya saat proyek bersama Yockie
Suryoprayogo tersebut, ada sekitar 2 tahunan lho mereka jadi sering
bersama-sama.
Dengerin
ini ke Yockie aja. Sebuah apresiasi jadinya. Doakan supaya mas Yockie, akan
segera kembali pulih seperti sediakala. Saat tulisan ini dibuat, Yockie Suryoprayogo
masih terbaring lemah, belum sepenuhnya kembali kesadarannya, ia masih harus
mendapatkan penanganan medis cukup serius di kediamannya.
Adapun
sebagai nomer penutup, ditempatkan sebuah ballad.
Judulnya, ‘If Only’. Menampilkan duet, Indra Prasetyo dengan gitar akustik dan
Didiet. Dan kemudian juga didukung voicing, sebagai backing oleh Mery LC.
Lagu yang pas juga, sebagai lullaby,
menemani di peraduan malam, untuk memancing kantuk segera datang....
Atau
boleh juga, duduk-duduk di teras, di sebelahnya ada secangkir kopi di atas meja
kecil. Bisa sore hari, bisa malam juga sih. Leyeh-leyeh, bersantai. Rileks
sesaat untuk mengendurkan syaraf yang kaku, karena berpikir keras seharian
gitulah.
Oh
iya, Mery LC itu dulu mantan kekasih tersayangnya Didiet. Dan lelah berpacaran,
Didietpun sepakat bersama Mery, menghadap penghulu. Sah sudah menjadi pasangan
suami istri. Saat tulisan ini dibuat, Mery tengah mengandung anak pertama
mereka.
Lalu
tembang favorit yang mana ya kira-kira? Maksudnya, mau tanya saya, sebagai
referensi? Ok begini saudara-saudara sekalian, sebangsa dan setanah air.
Sejatinya, semua track dalam album ini, recommended!
Ya
suasananya beda-beda, tergantung bagaimana situasi dan kondisi di saat
mendengarkan. Mood buster seperti apa
yang diinginkan? Iya, bisa jadi semacam bebunyian yang menambah semangat,
selain gairah hidup.
Jadi
ketika mood terbangun sempurna, semangat dinyalakan lebih maksimal. Bekerja
jadi lebih fokus, terarah. Membentuk konsentrasi optimal. Hasil kerja, insha
Allah bagus. Dan boss, bisa senyum-senyum saja melihat apa yang sudah kita
kerjakan dan kita hasilkan. Ga percuma dong?
Artinya
jadi begini deh, bahwasanya album didiet
& violin ini, dengan tampilan kebiruan berlatar belakang warna hitam di
sampul depannya, boleh dikoleksi. Lagunya variatif. Nyenengin hati. Apakah bakal menyenangkan pasangan kita? Oh kalau
itu, silahkan saja dicoba. Tak ada salahnya dong, untuk mencoba.
Saya
pribadi pilih, track ‘Adrenalin Rush’, ‘Midnight Rain’ dan ‘Sticky Puppet’.
Tapi memang itu lebih pada sikon, saat butuh dorongan semangat hidup. Hahahaha, maksudnya menambah
kegairahanlah. Ah tapi itu sangat subyektif sih, selera saya ya. Walau sekali
lagi, musik dan lagu-lagu dalam debut album Didiet ini beragam coraknya. Jadi
silahkan dengerin aja dulu semuanya, pilih aja track favoritnya.
Eh
ya lupa. Ya beli dululah CD nya, baru puas-puasin
dengerin dimanapun mau
mendengarkannya. Beli dong, masak minjem
sih, apalagi mengcopy doang.... Hare gene, cuuuy!
Hari
gini senengnya main ngopi file aja?
Ah, apa kata warung sebelah..../*