Monday, January 15, 2018

Sebuah Konser Berbagi dari Sahabat-sahabat untuk Yockie Suryoprayogo



Adalah sebuah acara musik, mengambil judul Pagelaran Sang Bahaduri – Konser Berbagi untuk Yockie Suryoprayogo. Perhelatan tersebut akan mengambil tempat di gedung megah Teater Jakarta, Taman Ismail Marzuki. Pada Rabu malam, tanggal 24 Januari 2018.
Yang memiliki ide dan gagasan atas acara konser tersebut adalah lawyer cum rocker, Kadri Mohamad. Dimana ia lantas mengajak serta sahabat-sahabatnya, yang dalam hal ini juga adalah sahabat—sahabat terdekat dari Yockie Suryoprayogo. Mereka adalah bassis dan produser musik, Indro Hardjodikoro. Kemudian juga, musisi dan sound engineer kawakan yang kini lebih dikenal bergiat aktif dengan perusahaan rental tata suaranya, Donny Hardono. Beserta penulis musik dan fotografer, Dion Momongan.
Mereka bersepakat untuk mengajak serta para penyanyi dan musisi yang pernah bersama-sama terlibat dalam rangkaian konser Lomba Cipta Lagu Remaja plus, yang kemudian berlanjut dengan nama konser Badai Pasti Berlalu plus. Rangkaian konser itu, sempat menyinggahi beberapa kota di Jawa, pada tahun 2015 sampai 2017.
Selain itu, Kadri mengajak serta “komunitas” Swara Gembira, yang adalah event organizer muda, yang belakangan tumbuh menjadi organizer khusus acara-acara untuk generasi milenial. Swara Gembira lalu bersedia bekerjasama dan menjadi pihak pelaksana.
Sekedar mengingatkan bahwa, serial konser tersebut semuanya mengetengahkan karya-karya lagu maupun musik dari Yockie Suryoprayogo. Dimana Yockie sendiri yang langsung menjadi music-director, dan menjadi keyboardistnya serta menyanyi.
Para penyanyi dan musisi yang terlibat tersebut lalu menjadi bagian dari Alumni Konser LCLR+ dan BPB+. Yang terdiri dari Tika Bisono, Once Mekel, Nicky Astria, Mondo Gascaro, Louise Hutauruk, Keenan Nasution, Komunitas Musik-ITB & Bubi Sutomo, Glenn Fedly, Gilang Samsoe, Fryda Lucyana, Fariz RM, Fadly PADI, Dira Sugandi, Dhenok Wahyudi, Che Cupumanik.
Selain itu juga ada BonitaBerlian Hutauruk, Benny Soebardja, Ariyo Wahab, Aning Katamsi dan Andy rif. Serta Kadri Muhamad, yang nantinya juga akan tampil sebagai penyanyi. Glenn Fredly uga menyatakan keinginannya untuk ikut tampil.
Akan tampil pula kelompok musik D Masiv. Serta musisi, Debby Nasution dan Windy Setiadi. Musik akan ditangani oleh Indro Hardjodikoro, dengan melibatkan para musisi muda seperti Eggy-Eghay (kibor), Didiet Ardityo (violin), Muhamad Iqbal (drums) dan Yankjay Nugraha (gitar). Beserta dua backing vocals, Mery LC dan Dewi Faradilla. Sementara, Kadri juga akan tampil menyanyi.
Selain itu, Ingrid Wijanarko akan menjadi host. Dan sahabat-sahabat baik sejak lama dari Yockie Suryoprayogo, juga akan ikut tampil seperti Setiawan Djodi, Erros Djarot dan Sys Ns.
Dan konser tersebut nantinya akan memperoleh dukungan pula dari DSS untuk tata suaranya. Serta LemmonID untuk tata cahaya. Sebagai show director adalah Asthie Wendra. Sementara venue, Teater Jakarta, didapat atas bantuan Anto Hoed dengan Dewan Kesenian Jakarta.

Kondisi terakhir Yockie Suryoprayogolah, yang menggerakkan Kadri dan teman-teman untuk berempati atas perjuangan Yockie mengatasi penyakit yang menyerangnya. Yockie sendiri terkena serangan stroke pada awal November 2017. Ia terkulai tak berdaya di rumahnya, padahal saat itu ia baru beberapa hari pulang setelah menjalani perawatan di rumah sakit.
Jadi sakitnya dimulai pada minggu ketiga Oktober 2017, Yockie dilarikan ke rumah sakit karena mengalami muntah darah, yang menyebabkan kondisi tubuhnya drop. Ditengarai, muntah darah disebabkan oleh penyankit sirosis, yang lama diidapnya. Belum lagi, Yockie pun mengidap penyakit lain, diabetes. Namun setelah dirawat beberapa hari, ia diperbolehkan pulang.
Lantas ia terkena stroke tersebut, ia pun dibawa lagi ke rumah sakit. Di rumah sakit, Yockie sempat mengalami coma, bahkan kritis untuk beberapa hari. Sejak awal Desember silam, tim dokter mengijinkan ia dirawat keluarganya di rumah saja.
Ia kini dirawat di kediamannya, namun tetap dalam penanganan medis. Tubuhnya masih lemah, walau perlahan menampakkan kemajuan. Paling tidak, terlihat tingkat kesadarannya mulai pulih, mulai ada eye contact dan merespon sapaan walau masih sangat terbatas.
Yockie, salah satu legenda musik rock Indonesia, tentunya masih memerlukan rangkaian pengobatan, yang membutuhkan biaya tak sedikit. Untuk itulah, demi membantu meringankan beban keluarga dari Yockie, Kadri dan teman-teman akhirnya memutuskan menggelar sebuah konser amal.






Para artis penyanyi yang tampil serta musisi, telah bersedia untuk mendukung sepenuhnya acara tersebut, secara sukarela. Semuanya berharap, Yockie Suryoprayogo, kelak akan dapat sembuh dan segar kembali. Bahkan juga, mereka merindukan untuk bisa kembali tampil bersamanya di atas panggung.
Yockie Suryoprayogo sendiri adalah kibordis dan salah satu pendiri dari kelompok rock kenamaan, God Bless bersama Achmad Albar dan Donny Fattah, selain nama Ludwig Lemans dan almarhum Fuad Hasan pada 1973.
Sebelum dengan God Bless, Yockie beredar namanya sebagai musisi yng kerapkali meramaikan pesta-pesta rumahan di ibukota. Terutama di kawasan elite, Menteng. Grupnya saat itu antara lain adalah Zonk dan Fancy.
Pada perjalanannya kemudian, iapun keluar-masuk God Bless. Namanya kemudian menjadi populer dan disegani, baik sebagai kibordis, aranjer dan penulis lagu, saat ia berkarir di luar God Bless. Lewat dua buah album fenomenal, Badai Pasti Berlalu dan Lomba Cipta Lagu Remaja dari Radio Prambors.
Keduanya menjadi album, yang beredar di tahun yang sama 1977. Dan kedua album itu dianggap pelopor musik pop yang gagah dan “lebih kompleks”, kemudian ada yang menyebutnya sebagai, pop kreatif.
Dalam Badai Pasti Berlalu, Yockie bekerjasama dengan Erros Djarot, sebagai penulis lagu. Dimana salah satu penyanyinya saat itu, Chrisye. Dan ia juga bertemu lagi dengan Chrisye saat menggarap musik di album Dasa Tembang Tercantik, dari Lomba Cipta Lagu Remaja tersebut.
Kerjasamanya dengan Erros Djarot berlanjut dengan Chrisye, paling tidak pada beberapa solo album terawalnya. Yockie kemudian juga menangani rekaman dari penyanyi-penyanyi lain, sebagian besar berbentuk musik pop, walau ada juga yang rock. Antara lain untuk Dian Pramana Poetra, Andy Meriem Mattalata, Vonny Sumlang, Mel Shandy, Nicky Astria, Ikang Fawzy  dan lain-lainnya.
Ia lantas dicatat sebagai salah satu figur penting di balik kelompok rock, berbalutkan etnik, Kantata Takwa. Perjalanannya yang menyerap dan melakukan eksperimentasi rock dan musik etnik Nusantara berlanjut kemudian dengan kelompok Swami, berlanjut dengan Suket.







Konser terakhirnya, sebelum ia kemudian terhempas karena serangan berbagai penyakitnya adalah konser Menjilat Matahari. Konser yang lebih mengedepankan lagu dan karya musik rocknya, diadakan pada 12 Oktober 2017 di The Pallas, Jakarta. Saat itu, sebetulnya kondisi tubuhnya memang mulai terlihat melemah.
Kadri dan teman-teman, berharap upaya pengumpulan dana lewat acara Pagelaran Sang Bahaduri – Konser Berbagi untuk Yockie Suryoprayogo, akan mencapai hasil maksimal yang dapat membantu Yockie Suryoprayogo menjalani pemulihan atas sakit yang dideritanya tersebut.
Tentunya hasil maksimal dapat tercapai bila saja,para penggemar musik dan publik kebanyakan turut serta menunjukkan kepeduliannya. Dengan datang menyaksikan konser, menikmati lagi kemegahan dan kegagahan lagu-lagu dan musik kreasi Yockie Suryoprayogo, yang telah dikenal luas selama ini  Selain tentu saja ikut mengirimkan doa, agar Yockie dapat melalui masa-masa berat dalam perjuangannya mengatasi penyakit yang menyerangnya.
Musik Indonesia, masih memerlukan ide dan kreatifitasmu mas Yockie. /*





Thursday, January 11, 2018

Selamat Jalan menuju Surga, Mas Yon Koeswoyo

Selamat tinggal kekasihku yang tersayang, sampai nanti kita kan berjumpa lagi, berat nian kini harus kuucapkan, dihatimu ku kan tetap ingat selalu....

Saya kepengen menulis sedikit tentang sosok seorang bernama Koesjono Koeswoyo, yang dikenal sebagai Yon Koeswoyo. Dimana Yon Koeswoyo, berikutnya saya menyebutnya sebagai “Mas Yon” saja, saya kenal cukup baik lewat suaranya sejak saya kecil dulu.
Mas Yon Koeswoyo, telah pergi meninggalkan kita semua pada hari Jumat pagi, 5 Januari 2018. Sebuah “kehilangan” terbesar rasanya, bagi industri musik Indonesia. Walau sejatinya, memang mas Yon dengan lagu, musik dan teristimewa suaranya, tak akan pernah hilang.. Terlanjur hidup dan menghidupkan kita.....
Mana mungkin hilang, warisan lagunya, dalam berbagai albumnya itu, mewarnai kehidupan masyarakat seluruh Indonesia. Terhitung sejak era 1960-an sampai saat ini. Terus menerus menemani, apalagi dengan lagu-lagu karya Koes Bersaudara dan Koes Plus yang dibawakan kembali, oleh para penyanyi dan musisi atau grup band di era-era berikutnya. Bahkan sampai 2 atau 3 dekade kemudian.
Ada catatan jumlah lagu yang telah dihasilkan atau ditulis oleh Koes Plus, dengan sebelumnya Koes Bersaudara, yaitu 953 lagu. Jumlah tersebut detilnya adalah, 203 lagu dalam 17 album, dari Koes Bersaudara. Serta 750 lagu dalam 72 album Koes Plus!
Pernah terjadi ada 22 album dirilis pada 1974, termasuk di dalamnya album kompilasi, the best. Serta album instrumental, dengan musiknya asli Koes Plus, tapi mengetengahkan permainan saxophone, sebagai “penyanyi”nya. Yaitu saxophonist kawakan Albert Sumlang, yang saat itu dikenal sebagai personil kelompok pop, The Mercy’s.
Lalu berlanjut di 1975 ada  6 album, diteruskan pada 1976 ada 10 album yang dihasilkan! Bagaimana mungkin tidak disebut sebagai luar biasa! Bahkan memang bisa jadi, kalau catatan itu dapat dirinci dan dilengkapi bukti-bukti konkrit, layak betul masuk di Guiness Book of World Record. Kategorinya, ya apa lagi kalau bukan, grup band paling produktif di dunia!
Catatan di atas itu saya baca dari wikipedia-nya Koes Plus. Silahkan dibaca saja dan siap tercengang-cengang melihat “cerita” selengkapnya mereka. Eh sebenarnya sih, rasa-rasanya belum lengkap betul. Tapi catatan-catatan yang ada, bolehlah menjadi referensi. Referensi yang ya itu, bikin terkagum-kagum....

Mas Yon, kelahiran Tuban pada 27 September 1943, bahkan hingga akhir hayatnya tetap masih berupaya terus menyanyi. Menyanyi di panggung, dengan grup bandnya! Kabarnya, di Januari ini saja ada kontrak manggung sebetulnya, yang harus dijalaninya. Dan mas Yon tetap muncul dengan Koes Plus.
Betul-betul seorang pejuang musik! Ya ada teman saya menganalogikan, mas Yon di Koes Plus itu kayak John Lennon-nya The Beatles. Sudah masuk kategori “lanjut”, lebih dari seorang legenda. Apa ya, dewa mungkin? Semacam itulah...
Saya memang kenal Koes Plus, diawali Koes Bersaudara, sejak masa kecil. Saya rasa, tak hanya saya saja dong yang begitu. Generasi kelahiran 1960-an, pastinya tak mungkin tak mengenal mereka. Suka tidak suka, itu urusan kemudian.
Tapi kalau saya, ya termasuk jadi fans berat. Gimana ga berat, banyak albumnya yang saya beli. Lewat jalan, minta dibeliin sama orang tua saya tentunya. Sebagian malah sampai merengek-rengek sedikit. Lha, kemarin baru dibeliin, ini minta lagi, Koes Plus yang mana lagi sih?
Album-album baik yang edisi pakai “Volume” misal Volume 2, Volume 3, Volume 7 , Volume 9 dan seterusnya. Seingat saya, sampai Volume 15 eh atau 14 ya? Ditambah album Pop Anak-Anak, Pop Natal ada, Christmas Song ada, lalu Pop Melayu, ada Pop Dangdut. Sampai Pop Jawa, kemudian ada yang bertitel Hard Beat, Folk Song, in Concert sampai album khusus berteks Inggris, Another Song for You.
Ada yang lucu,saya minta dibelikan album Pop Jawa. Orang tua saya heran, ga salah minta album Koes Plus Pop Jawa? Kan kamu itu orang Menado, masak mau dengerin lagu-lagu Jawa? Dalam hati saya, ah ini beda, ini Koes Plus! Emangnya ngerti? Ya ga laaaah....

foto-foto  googling
Kayaknya tak usah heran kenapa saya sampai langsung suka Koes Plus. Sebenarnya, pertama saya berkenalan dulu dengan Koes Bersaudara. Ayah sayalah yang sempat memiliki, kalau tak salah, 2 atau 3 piringan hitamnya. Ya ayah saya itu pendengar musik tulen, ia mengumpulkan sekitar 100-an piringan hitam, sebagian besar sih dari grup dan penyanyi luar.
Karena sering mendengar Koes Bersaudara diputar ayah, dulu bilang ia bukan kolektor tetapi pendengar musik saja yang rajin membeli piringan hitam juga kaset dan catridge. Thanks to daddy, jadinya. Saya mulai menyukai Koes Plus, dengan mendengar via radio, menonton penampilan mereka di TVRI.
Kemudian mulai membeli kaset albumnya. Mulai dari volume keempat kayaknya sih, yang ada lagu, ‘Bunga di Tepi Djalan’ lalu juga, ‘Why Do You Love Me’. Mereka itu mainkan juga keroncong lewat, ‘Kr. Pertemuan.’ Album ini dirilis awal 1970-an.
Dari situ, rajin membeli setiap album Koes Plus. Ga mau ada yang ketinggalanlah. Dan yang membuat saya suka, vokal khas Yon Koeswoyo. Secara pengucapan, masih ada suasana medoknya yang khas, dan itu lantas jadi identitas Koes Plus. Tapi artikulasi jernih, pun ketika menyanyikan teks bahasa Inggris.
Masuk di tahun-tahun berikutnya era 1970-an, seperti diketahui Koes Plus, mendapat saingan dari kelompok-kelompok pop lain. Sebut saja ada The Mercy’s, Favourite’s Group, Panbers sampai ada D’Llyod. Tetapi sejarah membuktikan, Koes Plus tetaplah unggul di depan. Baik dari sisi produktifitas sampai pada kesuksesan popularitas, dalam hal ini tentu saja terkait dengan angka penjualan albumnya.

foto-foto : googling
Di tahun 1970-an tersebut, Koes Plus juga harus dicatat dengan keberanian mereka membawakan karya sendiri. Di tahun itu, banyak grup-grup band lain bermunculan. Termasuk yang nge-rock, sampai termasuk The Rollies atau God Bless misalnya. Tetapi sebagian besar, kalau tidak disebut semuanya, masih lebih suka membawakan karya lagu-lagu luar atau barat.
Pada era tersebut kan, grup-grup band banyak bermain di pesta-pesta ulang tahun, lalu juga klab malam sampai Taman Ria. Koes Plus lumayan sering mengisi acara di Taman Ria, atau di gelanggang remaja  Dan satu ketika, saya sempat “bela-belain” nonton Koes Plus tampil di Gelanggang Remaja Grogol, sekitar tahun 1974 atau 1975.
Setahun berikut, sempat juga Koes Plus tampil di gedung Departemen Pertanian, yang bertetangga dengan kompleks tempat saya tinggal waktu itu. Tentu saja ya nonton lagi. Niat banget ya? Padahal, lucu juga kalau ingat, waktu itu saya masih kecil, masih di sekolah dasar!
“Hubungan” saya dengan Koes Plus “terputus”. Apa ya, lebih tepat disebut sebagai ya sudah “berpaling ke lain band”, sejatinya sejak muncullah Badai Pasti Berlalu. Lomba Cipta Lagu Remaja Prambors, terutama pada album Dasa Tembang Tercantik LCLR di 3 tahun pertama, 1977 sampai 1979. Belum lagi ada album Jurang Pemisah, selain Sabda Alamnya Chrisye.
Sebelumnya, mulai mendengarkan, asli sih sekilas saja, album Titik Api dan Philosophy Gank-nya Harry Roesli. Tapi jujur nih, awalnya dulu, belum suka. Rada pusing. Lhaaa eyalaaaahhh, kan waktu itu masih dipenuhi lagu dan musiknya Koes Plus. Termasuk mendengarkan juga album God Bless pertama, kalau ini milik kakak saya.
Album Koes Plus terakhir yang saya beli, bukan Koes Plus ding, itu album Koes Bersaudara. Yang album Kembali, keluaran 1977. Dimana Koes Bersaudara melakukan reuni, Nomo, Tonny, Yok dan Yon.

foto-foto : googling
Apalagi setelah saya mulai teracuni eh terasuki lagu-lagu bersuasana jazz. Macam misalnya Gino Vanelli atau Return to Forever, termasuk Chick Corea sampai apa lagi Casiopea dan lainnya. Bahkan sampai Dave Brubeck dan Thelonious Monk, yang lebih “serius”. Perhatian kuping, dan hati ini, memang asli bergeserlah.....
Koes Plus sendiri, masih meneruskan produksi albumnya. Misalnya ada albumnya ‘Cubit-cubitan’, lagu mereka yang dangdut itu, dirilis 1978. Masih ada juga album Berjumpa Lagi, dirilis 1979 atau kemudian ada Jeritan Hati, dirilis 1980.
Kalau begitu album Koes Plus, ya tetap versi kaset, yang terakhir saya beli itu adalah Koes Plus in Concert, Hard Beat, Folk Song dan album Volume yang terakhir, ke-14. Mereka tetap merilis album terus, bahkan hingga 2011! Masih menyelip juga, karya-karya baru mereka, tapi ya popularitas mereka sudah meredup.
Walau sejatinya, yang menurun drastis itu sebatas penjualan album. Soal kesempatan manggung, lain ceritanya. Mereka tetap rajin tampil di seluruh penjuru Nusantara. Tentu dengan formasi “baru”. Hanya menyisakan seorang Yon Koeswoyo seorang.
Diawali dengan tertiup kabar, mengenai keretakan hubungan internal mereka. Ada konflik, yang menyebabkan akhirnya tinggallah Yon Koeswoyo seorang yang masih aktif tampil dengan bendera Koes Plus. Yon, masih dengan Murry,walau Murry juga “in-out”, sehubungan dengan kondisi kesehatannya.
Maka Yon didukung berbagai nama musisi, bahkan hingga pernah lantas bermain dengan Jelly Tobing, Abadi Soesman segala. Lalu juga sempat diperkuat dengan musisi kawakan lain, Nadjib Oesman. Sampai pernah dengan Deddy Dorres. Pernah juga putra almarhum Tonny Koeswoyo, Damon Koeswoyo, ikut bermain bersama pamannya itu.
Yon hingga akhir hayatnya memang menjadi seperti single-fughter. Koes Plus tetap saja ada, itu karena perjuangan sekuat tenaga dari seorang Yon Koeswoyo. Seperti diketahui, Kasmuri atau Murry drummer, meninggal dunia pada 1 Februari 2014. Jauh sebelumnya, Koestono Koeswoyo atau Tonny, meninggal dunia terlebih dahulu, karena sakit, pada 27 Maret 1987.


Formasi terakhir dari kelompok Koes Plus, Yon tetap gitaris dan vokalis, ditemani oleh Danang (lead guitaris), Seno (drummer) dan Sony (bassist). Formasi tersebut kabarnya sejak sekitar 2004, hingga terakhir. Sampai tahun 2017, walau kondisi kesehatannya seringkali terganggu, sampai pernah membutuhkan perawatan di rumah sakit, Yon tetap berusaha memenuhi panggilan manggung dengan Koes Plusnya.
Saya terakhir menikmati penampilan Yon bersama Koes Plus-nya di Istora Senayan, pada sebuah acara panggung nostalgia, yang dibuat sebuah stasiun televisi swasta, sekitar 2014. Waktu itu Yok Koeswoyo juga ikit tampil.
Sebelumnya, 2010, saya bertemu dengan Yon. Pada saat pentas drama musikal, DIANA. Dimana Diana tersebut, dihiasi berbagai lagu dari Koes Bersaudara dan Koes Plus, digelar untuk memeriahkan Hari Ulang Tahun Harian Kompas. Ide cerita dan skenario dibuat wartawan senior, Bre Redana. Sutradara cerita oleh Garin Nugroho dan sutradara musiknya adalah Yockie Suryoprayogo.
Pada kesempatan ikut meng-handle pentas kolosal Diana tersebutlah, saya juga jadi mengenal lebih banyak lagi lagu-lagu Koes Plus dan, teristimewa, Koes Bersaudara. Seluruh lagu yang ditampilkan memang semuanya karya keluarga Koeswoyo. Saya yakin, bukan hanya saya saja yang lalu mengetahui lagu-lagu bagus karya mereka, gegara pergelaran tersebut.
Dari DIANA itu pula,ada lagu Koes Bersaudara, ‘Selamat Tinggal Kekasih’ yang sangat menyentuh. Dan saat musiknya lalu diolah kembali oleh tangan dingin Yockie Suryoprayogo, lagu yang dinyanyikan Once Mekel pada acara tersebut, memang sangat mencuri perhatian. Musik megah, dengan orkestrasinya, membuat lagu itu menjadi lebih syahdu.
Buat saya menjadikan penampilan lagu tersebut saat itu, menjadi  salah satu masterpiece karya aransemen dari seorang Yockie Suryoprayogo. Lagu itu sendiri ada di album volume ketiga Koes Plus, ditulis bareng oleh Jon dan Yok Koeswoyo. Dan liriknya simple dan pendek sebetulnya, tapi bermakna...

foto : istimewa
Dan pada Jumat lewat dinihari, 5 Januari Yon Koeswoyo akhirnya menghembuskan nafas terakhirnya, di kediamannya yang terakhir di kawasan Ciputat, Tangerang. Catatan ratusan karya lagunya, bersama Koes Bersaudara dan Koes Plus, adalah warisan tiada ternilai bagi keluarga. Bagi para penggemarnya. Bahkan bagi bangsa Indonesia kita ini.
Yon menyusul pergi keabadiannya, kakaknya, Koestono Koeswoyo, atau dikenal sebagai Tonny.. Kini dari “dinasti” pop terbesar dalam sejarah musik Indonesia itu, Koeswoyo tersisa 3 orang. Kakak tersulung, Koesjono Koeswoyo atau mas Jon. Lalu Koesnomo Koeswoyo, mas Nomo. Serta, Koesrojo Koeswoyo atau dikenal dengan nama Yok.
Dinasti musik yang pada masa jayanya, dikenal juga dengan tempat kediaman mereka bersama, Kompleks Koes Plus di kawasan Haji Nawi, Jakarta Selatan. Dan mereka dicatat sebagai pelopor utama dari musik pop dan bahkan rock n roll di Indonesia.
Musik dan lagu mereka, memang sebagian langsung mengingatkan kita pada The Beatles. Walau pada kenyataannya, kalau menghitung dari produktifitas karya lagu, Koes Bersaudara dan Koes Plus itu jauh melampaui pencapaian kwartet kesohor dan fenomenal dari Liverpool, Inggris itu.
Koeswoyo, termasuk Koes Plus, mengharu biru atau mewarnai begitu indahnya budaya musik pop Indonesia. Mempermanis masa lalu bagi begitu banyak orang. Bahkan kenyataannya, menembus ruang dan waktu, tak “terganggu” sekat waktu. Musik mereka hadir, terus menerus, dan senantiasa berpotensi “mengganggu” telinga dan hati generas-generasi berikutnya.
Potensi itu tetap seperti terpelihara dengan baik. Salah satu bukti konkritnya, kan jelas Koes Plus tetap terus tampil di panggung. Dan senantiasa begitu banyak yang menanti-nanti kesempatan menikmati langsung sajian musik mereka, dari bermacam-macam tingkatan.Baik sosial dan usia.
Mas Yon, selamat jalan menuju keabadianmu. Selamat menempuh perjalanan menuju surganya, setelah mas Yon dengan suara, lagu dan musiknya, menghadirkan seolah surga yang menyenangkan dan menentramkan begitu banyak penggemarnya sepanjang hidupnya.
Sebagai penutup, saya mengambil qoute indah dari budayawan spiritual, Emha Ainun Najib atau Cak Nun, yang diucapkan saat menghantar kepergian Yon Koeswoyo, Sabtu  Januari 2018 pagi di taman pemakaman umum Tanah Kusir.
''Mereka tidak hanya menghibur masyarakat. Mereka adalah orang yang sudah hidup di hati Anda semua. Mereka yang menyanyikan isi hati Anda, bukan mengisi hatimu dengan nyanyian. Kita semua yang hadir di sini, kita tidak bisa mengelak, mereka adalah pahlawan kita sampai ke surga. Lagu-lagu mereka bukan karya, lagu-lagu mereka adalah hati kita sendiri. Amiin.” /*






Wednesday, January 3, 2018

Sheila Permatasaka, She's a Bass Player and a Midnight Superstar


Bassist perempuan yang cantik ini, akhirnya merilis debut mini albumnya. Judulnya cukup mengundang keingin tahuan orang sebenarnya, Midnight Superstar. Who, Why? Well, tapi bukankah yang paling indah, bahwa ia akhirnya memang bisa menyelesaikan albumnya lantas merilisnya?
Iapun mencetak sebuah catatan sejarah yang manis, bahwa ia tercatat menjadi bassist perempuan pertama di Indonesia, yang dapat menghasilkan sebuah album rekaman. Langkah berani, itu so pasti. Tapi lebih dari sekedar catatan sejarah, karena itu bukankah menjadi catatan prestasi tersendiri.
Proses rekamannya terbilang cepat. Ia menyanggah kalau dibilang ngebut. Mungkin lebih tepatnya, memang kesempatan yang ada, terbuka begitu lebar untuknya. Ia padahal tak punya target muluk, yang penting adalah masuk studio lalu rekam. Ternyata hanya hitungan beberapa bulan, sudah klaar!
Dalam album perdananya tersebut, ia didukung para teman-teman baiknya antara lain ada beberapa drummer seperti Echa Sumantri, Dimas Pradipta, Jeane AlsaPhialsa dan Handy Salim. Memperoleh dukungan juga dari gitaris seperti Yonathan Andi Gunawan dan Indra Aryadi.
Ada juga keterlibatan teman lamanya, pianis Rieke Astari selain Michael Yosua. Selain itu ada trumpetist Jordy Waelauruw, saxophonis yang terbilang cukup senior, Devian Zikri. Juga ikut mendukung, saxophonis lain, Damez Nababan. Dan satu-satunya vokalis, Evelyn Hutagalung.
Dalam album tersebut, bertindak sebagai produser adalah Yessi Kristianto, yang juga mengisi kibor. Selain itu gitaris Indra Aryadi. Dan tepatnya, proses rekaman sampai selesai album itu, memakan waktu hanya 3 bulan-an saja.

Memuat  6 tracks yang merupakan original compositions miliknya seperti, ‘Lullaby for Hans’, ‘All is Well’, ‘Be Not Nobody’. Kemudian, ‘Pengantar Lelap’ yang dibikinnya bersama Ruben Nuranata, sang suami tercinta.
Kemudian lagu yang jadi judul album, ‘Midnight Superstar’, digarapnya bareng Yessi Kristianto. Ada satu lagu karya Indra Aryadi, yang dibawakannya juga, ‘The Dawn Has Come’.
Ia membentuk grup bandnya sendiri, yang “tugas pertama” mereka memang mendukung rekaman album pertamanya tersebut. Grup bernama Sheila and the Upmost itu, kemudian juga menjadi grup tetapnya yang dibawanya untuk pentas.
Aduh maaf, keasyikan kasih tahu soal album rekamannya, malah sampai hampir lupa memperkenalkan doi siapa. Nama lengkap, Sheila Permatasaka, kelahiran Jakarta 4 Maret 1984. Putri kedua dari 3 bersaudara, dari pasangan Johan Sulaeman dan Jeane Ratuwalu.
Sheila yang bertinggi badan 165 cm dan beratnya 67 kg itu, dan penyuka warna orange dan grey  ini, adalah istri dari Ruben Nuranata dan ibu dari Hans Joachim Nuranata. Si kecil tersayang, Hans saat ini baru beumur 3 tahun.
Beberapa waktu lalu, di bulan Desember 2017 silam, saya menemui Sheila Permatasaka bersama grupnya, Sheila and the Upmost tersebut. Mereka tampil dalam peresmian rilis albumnya tersebut, di iCanStudioLive.


Kala itu, para musisi yang mendukungnya adalah Yonathan Andi Gunawan (gitar), Michael Yosua (piano), Handy Salim (drums), Devian Zikri (saxophone dan flute), Harley Korompis (trumpet), Yessi Kristianto (kibor). Kemudian Nina Sari Ishak (akordeon) dan Evelyn Hutagalung (vokal).
Setelah menuntaskan permainannya, yang sekaligus juga syuting live tersebut, Sheila saya ajak sejenak ngobrol. Dan kemudian obrolan lebih banyak dilanjutkan via message di whats-app. Selain itu, kamipun lantas sempat bertemu melanjutkan obrolan, sambil ngopi-ngopi kalem nge-jazz-lah di sebuah kedai kopi.
Baca saja obrolan ringan saya dengan Sheila, bassis penuh senyum, yang saya kenal lewat penampilannya bersama Starlite. Ini sebuah trio dengan semua musisinya perempuan, dimana Sheila bermain bersama Rieke Astari dan Alsa. Lalu saya jumpai ia tampil dengan beberapa grup lain, dengan Ina Ladies atau juga mendukung solo projectnya Tiwi Shakuhachi.


Dion Momongan (DM) : Sheila, sejak kapan sih kamu belajar musik? Lalu lanjut ke bass ya...
Sheila Permatasaka (SP) :  Belajar musik dari SMP secara otodidak, kemudian belajar bass yang formal di Farabi dengan guru mas Indro Harjodikoro dan mas Adi Dharmawan pas awal kuliah.
DM  :  Eh tapikenapa pilih bass sih?
SP  :  Kenapa pilih bass? Suka dengan groove dari bass yang mengiringi suatu lagu.
Menurutmu, apa yang seksi sih dari bass?
SP :  Yang seksi dari bass? Low voice nya!
DM  : Eh mungkin ada instrumen lain, yang disukai, selain bass? Yang mungkin bisa kamu mainin juga?
SP  : Instruments kedua yang disukai: drums.  Yang bisa dimainin: keyboard, gitar, drums...

DM  : Bandmu pertama apa, atau grup band pertama yang kamu ikut main?
SP  : Starlite, itu deh yang bisa di highlight ya. Karena itu memang grupku pertama banget, sjak 2004 gitu. Malah sempat kami merilis album, di 2014, judulnya  Our Journey.
DM  : Siapa bassis favoritmu, yang bisa dianggap yang memberi banyak inspirasilah ke kamu...
SP  :  Bassist favorit: Nathan East, itu yang luar. Kalau yang dalam negeri,  Bintang Indrianto dan Indro Harjodikoro, Aku punya album mereka dan menjadikan sebagai referensi dalam bermusikku. Yang paling kena sih waktu awal banget itu, album Jazzy Bass nya mas Bintang, itu album instrumental jazz dalam negeri pertama yang aku punya dan dengerin, dari situ sangat terinspirasi bgt.


Sheila dan Yessi Kristianto

Evelyn Hutagalung dan Nina Sari Ishak

Devian Zikri
Sheila mengenang juga, dia punya album Jazz Bass itu. Sayang dia lupa, belinya dimana. Pokoknya ada, lalu dia dengerin sekali. Eh ternyata menarik hatinya. Dia jadi sering-sering mendengarkannya.
Dari situ timbullah kekagumannya terhadap seorang Bintang Indrianto. Dia sempat mengikuti beberapa album Bintang lain, selain juga nonton pentasnya. Ah ya mas Bintang untuk ide dan mainnya itu, wah susah digambarin dengan kata-katalah.
Ia mengaku, sangat terinspirasi dengan permainan Bintang. Ide-idenya juga ia kagumi. Jadi sekali waktu ia pernah berkiriman pesan dengan Bintang, buat dia itu sesuatu banget. Ia merasa, waduh gimana senengnya, mas Bintang kok ya mau ngobrol sama aku walau hanya lewat hape ya...
Tapi sejatinya, ia juga respek, menghormati dan mengagumi bassis lain. Indro misalnya, karena memang gurunya, begitupun halnya dengan Adi Darmawan. Selain bassis-bassis lain.

Harley Korompis

Handy Salim

Devian Zikri

Yessi Kristianto

Yonathan Andi Gunawan
DM    Eh iya, by the way, pendidikan formalmu ada? Yang non musik gitu.
SP  :  Lulus sarjana dari Unika Atmaja tahun 2007. Jurusan yang diambil akutansi. Begitu lulus kuliah, ya main musik sepenuhnya. Hehehehe....
DM  : Kamu masih ingat, lagu apa yang bisa kamu mainin dengan benar dengan bassmu?
SP  :  Oh, ‘Still Friend of Mine’nya Incognito. Waktu itu diajarin Dipha Barus, yang sekarang malah ngetopnya sebagai DJ, hihihi. Kalau lagu Indonesia nya, dan ini aku belajar sendiri,ngulik-ngulik sendiri, ‘Kamu Harus Cepat Pulang’-ya Slank.
DM  : Menurutmu ya, apa sih kenikmatannya dalam bermusik? Apalagi bermusik secara profesional...
SP  : Nikmatnya adalah bekerja sesuai dengan passion dan itu menjadikan segala sesuatu terasa ringan. Saya bisa mencukupi kehidupan saya secara materi juga dari jalur musik, bahkan dulu waktu jaman kuliah sempat beberapa waktu terakhir saya bayar uang kuliah sendiri dari hasil “main musik” loh...


DM  : Kamu tiap hari dengerin musik? Ada waktu-waktu khusus tertentu?
SP  :  Setiap hari dengerin musik, itu pasti. Tapi ga ada waktu spesialnya, sembarangan aja. Tapi yang pasti ya selalu, setiap hari.
DM  : Lagi seneng dengerin lagu atau album apaan sekarang?
SP  :  Lagi senang lagu-lagu lama nih, nostalgia. The Best of Fourplay, aku masih mengagumi band ini sampai sekarang
DM  : Tiap hari kamu pegang bassmu, bercengkrama, ya latihan gitulah? Berapa jam sehari biasanya?
SP  :  Hahaha..., Gak sih tapi kalau pas latihan di rumah biasanya malam-malam banget, sekitar 1 jam.gitulah.

DM  : Gear yang kamu punyai dan mainin sekarang ini?
SP  : Fender Jazz Bass American Standard (4 strings), Fender Jazz Bass Anniversary Deluxe (5 strings). Aguilar Tone Hammer, Zoom Multieffect.  Kalau soal set up sih simple sesuai kebutuhan lagu dan karakter saya sebagai bassist , hehehe
DM  : Mengenai bassis idolamu, kamu suka ga nonton konser mereka? Apa yang lebih menarik perhatianmu dalam menonton konser idolamu?
SP  : Nathan East, Marcus Miller pernah nonton di Java Jazz, Christian McBride pernah nonton di North Sea Jazz. Kalau yang lokal pastinya banyak lihat mereka di jazz club.
Yang pasti lihat teknik mereka dan bagaimana mereka berkomunikasi dengan audience melalui instrument mereka..

DM  : Album terfavoritmu apaan sih, dan kenapa pilih album itu ?
SP  : Vanessa Carlton. Be Not Nobody. Hahaha inspirasi untuk salah satu judul lagu saya juga DM  : Ok, ini terakhir deh... Apa impian atau cita-cita terbesarmu sebagai pemain bass?
SP  :  Main bass di level international dan juga bisa menginspirasi lebih banyak musisi (terutama wanita) untuk tetap berkarya dengan jujur dan tulus


Cukup ga perkenalan dengan Sheila? Lalu penasaran pengen dengerin albumnya? Kalau penasaran, jangan langsung tidur. Bergeraklah. Semangatlah mencari. Begitu ketemu, beli saja. Sikaaaattt!

Musiknya memberi kegairahan. Iya gairah, bisa gairah berjalan, gairah berolahraga, apalagi gairah untuk bekerja lebih giat dan lebih keras. Memberi gairah juga ga, untuk berbuat dan berpikir lebih baik? Hahaha, kayaknya mending beli aja, dan silahkan nikmati aja...../*