Thursday, December 19, 2019

Blues itu Hard to Feel. Dari Jakarta Blues International Festival 2019

Paul Gilbert


Audience and The Calling

Ale Band, The Calling


If you don’t know the blues...There’s no point in picking up the guitar and playing rock and roll or any other form of popular music – Keith Richards






Apakah dengan line-up “lintas usia”, sekaligus juga “lintas genre”, sebuah festival blues akan dapat memancing animo publik untuk datang dan nikmatin? Intinya emang, udu pinter-pinter “ngacak” line up, apalagi untuk nama-nama beken internasional.
Alex Band of The Calling, Ken Hensley from Uriah Heep, Paul Gilbert dan Ron Bumbleefoot ex Guns n Roses misalnya. Itu nama-nama yang diandalkan ajang bertajuk Jakarta Blues International Festival 2019, digelar di Tennis Indoor Senayan, akhir pekan pertama di bulan terakhir 2019 kemarin.
Ditambah nama-nama lokal, antara lain seperti the legendary, The Rollies. Lalu juga tokoh-tokoh blues macam Gugun Blues Shelter, Adrian Adioetomo lalu ada juga Edwin Marshall Syarif “Cokelat” dalam solo-project nya. Kongko Blues dengan Electric Cadillac, atau nama muda, Satria  & The Monsters. Ditambah rombongan blues dari Bandung, Blues Libre, dipimpin sang legenda, Hari Pochang.
Digelar dua hari, pas Sabtu dan Minggu, harga tiket daily lebih dari gopek-ceng. Dengan “kelengkapan” stand-stand makanan, minuman, kopi, snacks and so on. Dimeriahkan tiga stage, Iconic Stage, Crossroad Stage dan Vintage Stage.



Edwin Marshal Syarif


Gugun, GBS

Ginda Bestari, Blues Libre
Saya menyempatkan datang hanya sehari, yaitu di hari Minggu. Menurut ukuran mata dan rasa saya, jumlah penonton terlihat lumayanlah. Memang tak sampai berdesak-desakkan, tidak sampai penuh-nuh gimana gitu.
Tapi jumlah penonton begitu, cukup bikin nyaman kan? Bisa nonton sambil leyeh-leyeh santai, dari sudut manapun yang disuka. Enak aja menikmati dan mengapresiasi para performers yang beraksi di atas panggung.
Di seputaran kawasan Senayan, pada Sabtu dan Minggu juga ada berbagai event lain. Relatif besar. Bahkan juga ada festival lain. Maka event-event tersebut lantas “bersaing” untuk mendatangkan para penonton dong.
Di luar sebuah perayaan Natal ya, yang ini malah yang mungkin paling besar. Maklum perayaan Natalnya diadakan di Stadion Utama Gelora Bung Karno cuy. Pastinya umat Kristiani yang hadir, jumlahnya puluhan ribulah, datang dari mana-mana.
Bagaimana dengan festival blues yang diadakan oleh Boart Indonesia, di bawah pimpinan Triadi Noor itu? Yang pasti, festival blues ini kembali dapat dihidupkan, setelah pernah berlangsung beberapa kali sebagai agenda tetap setahun sekali. Lalu vakum, seperti juga berhenti beraktifitasnya komunitas blues Indonesia, yang waktu itu menjadi penyelenggara. Ina-Blues namanya.
Gugun, gitaris GBS yang kini memotong endek rambutnya, sempat berucap dari atas panggung,”Kayaknya penggemar blues di Indonesia kan banyak ya....?” Penonton tersenyum, ada juga yang menimpali, iya iya. Tapi di depan GBS trio malam itu, penonton memang tidaklah padat, tidak berjubelan.
Gugun, GBS

Fajar Adi Nugroho, GBS


GBS on Stgae, foto  Tyas Yahya



Blues Libre

Blues kan segmented. Model jazz lah. Tetapi jazz itu lebih “populer”. Iya dong, lebih punya magnetlah, lihat saja berbagai kota, berbagai daerah rame-rame bikin festival jazz! Dipicu oleh Jakjazz International Jazz Festival, sejak 1988. Kemudian lebih dipopulerkan lagi oleh Java Jazz Festival, sejak 2005.
Tetapi begini bray, lihat ya festival jazz, termasuk Java Jazz Festival yang terbesar itu, harus mengedepankan nama-nama populer sebagai pemikat publik, biar datang menonton. Yoih, walaupun nama-nama populer itu, bukanlah jazz performer ya, teristimewa deretan penyanyi-penyanyinya.
Bukan jazz, tetapi hadir dan ngeramein festival jazz. Dan, lumayan juga menjadi magnet. Maka resep itupun ditiru beberapa festival jazz lain di Indonesia ini. Menjadi festival jazz yang ga harus jazz-jazz amatlah. Kalau perlu, banyakin yang popnya, asal dikenal, biar tiketnya laku kan? Biar penontonnya banyak dong....
Tapi kan namanya jazz? Apakah blues di Indonesia, kudu ngikutin resep jitu festival jazz? Yah gimanalah ya. Pro kontra sih, untuk jazz. Tetapi satu hal pasti, toh upaya itu terbukti manjur, paling tidak untuk menjamin keberlangsungan festival jazz tersebut.
Yoiqball a.k.a Muhamad Iqbal, additional drummer GBS

Gugun, GBS, foto  Tyas Yahya

Hari Pochang, Blues Libre




Nanti hasil akhirnya, bukan blues-blues amat gimana? Kalau heavy metal atau hard-rock gitu ya, festival-festivalnya ga perlu “gincu-gincu” pemantes untuk jadi magnet sih. Apakah karena metal-fans jauh lebih banyak dan loyal dan...fanatik? Jazz ga segitu fanatiknyakah?
Satu hal yang jelas sih, keberadaan festival blues ini mempunyai nilai positif. Sebagai salah satu alternatif tontonan yang sehat dan segar. Sebut saja, yang “baik dan perlu” untuk penikmat musik Indonesia. Setuju ga?
Artinya, kudu didukung. Mungkin harus lebih kreatif lagi,dalam “memasak konsep”nya, kemudian menjualnya? Pakai “bumbu-bumbu penyedap” nama-nama non-blues? Baek-baek cuy, nama-nama populer kan berarti....cost production berpotensi membengkak lho. Repot juga. Ga repot, kalau dokatnya ada sih sebenarnya.
Tetapi biar gimanapun, terima kasih karena sudah menghidangkan tontonan bergizi yang agak berbeda. Rasa atau gaya bluesnya masih terasa dan terlihat, lumayan kentallah. Dan, itu saya suka!
Kan akhirnya, sayapun bisa santai dan leluasa dan enak untuk memotret toh? Kalau penonton jauh lebih padat, bisa penuh perjuangan nantinya. Eh ada juga sisi positifnya ya kan?
Untuk kesempatan berikutnya, didoakan bisa dapat kontinyu terselenggara. Kembali menjadi agenda tetap, mungkin ga perlu setahun sekali. 2 tahun sekali juga, ga terlalu masyalalah. Asal saja, dipertahankan ke-blues-annya, biar tetap kental.
Usul dan doa dan pengharapan itu, semoga dapat diterima dengan baik oleh penyelenggara. Termasuk oleh semesta raya. Sampai jumpa di perhelatan berikutnya, di tahun-tahun mendatang.







Blues is easy to play, but hard to feel – Jimi Hendri /*
Foto-foto  Gideon Momongan





Paul Gilbert, foto  Tyas Yahya

Foto  Tyas Yahya

Foto  Tyas Yahya





Tuesday, December 17, 2019

Mana lebih gagah, musisi, penyanyi atau penontonnya? Yang pasti lagu-lagunya, Gagah!

Raden Agung


Yaya Moektio

Fariz RM dan Keenan Nasution

Andy /rif

Welly Siahaan

Kalau orang-orang gagah, dengan profesi sama berkumpul. Hasilnya kegagahan? Karena musisi yang berkumpul, maka jadinya adalah musik gagah? Apa arti gagah dalam hal ini? Seperti apa musik yang tidak gagah sebenarnya, kalau ada ya?
Maka yang menonton itu, juga orang-orang gagah, atau mungkin yang merasa diri gagah? Atau yang kepengen dilihat gagah? Tetapi begitulah ceritanya yang terjadi, ada konser Musik Gagah, yang telah berhasil digelar dua kali di ibukota, di penghujung Oktober dan November 2019 silam.
Gagah rupawan, gagah berani kan bagus-bagus saja ya? Yang tidak baik itu tentu menggagahi. Kagak ada gagah-gagahnya itu mah.... Gagah itu baik. Menggagahi itu yang ga boleh dong.


Vedy Ideo

Reynold Silalahi


Egy Eghay

F a i s a l

Ecky Lamoh
Musik Gagah dapat digelar atas inisiatif “iseng” saja dari komunitas Indonesia Maharddhika. Dimana “komunitas” yang sejatinya tidak resmi itu, telah pernah melansir album rekaman di tahun 2014. Diawali album berformat CD, disusul dengan format mewah boxset.
Adalah Yeninots Production, terdiri dari 3-sekawan Yeni Fatmawati, HendronotoNinotSoebroto dan Kadri Mohamad, yang menjadi motor utama yang menginisiasi rilisnya album CD dan boxset tersebut.

Indonesia Maharddhika versi album terdiri dari beberapa musisi, selain beberapa grup band. Antara lain ada Atmosfera, The Miracle, In Memoriam, Imanissimo, Cockpit, The KadriJimmo, Discus, Vantasma dan Van Java. Selain sebuah grup kolaborasi lintas negara, lintas genre, yang khusus membawakan lagu “fenomenal”, ‘Indonesia Maharddhika’ yang berasal dari kelompok legendaris, Guruh Gypsi.
Kolaborasi itu lead by music director, Iwan Hasan. Melibatkan sampai original member Guruh Gypsi, Keenan Nasution. Kemudian Indra Lesmana juga ada Marcell. Bahkan menyertakan pula salah satu ikon rock progresif dunia, Rick Wakeman, yang dikenal sebagai salah satu tokoh grup kenamaan, Yes.
Saya pernah menulis detil mengenai movement bernama Indonesia Maharddhika ini, yang mengedepankan warna musik progressive rock tanah air. Silahkan ditelusuri saja deh website saya ini.


Iman Ismar

Eric Martoyo

Arry Syaff

Iwan "Cumi" a.k.a Wancum

Noldy Benyamin Pamungkas

Benny Soebardja dan Naftali Angelina
Nah dalam perjalanan waktunya, Kadri Mohamad, si singing-lawyer yang kerapkali terlihat rada hyper-active itu, menggulirkan ide untuk Indonesia Maharddhika dapat berkumpul dan berjalan bareng lagi. Bukan untuk menghasilkan album rekaman lanjutan. Tetapi kali ini untuk panggung, bersatu dalam konser.
Kan bukannya, bersatu kita teguh, bercerai kita...bukan dong, bukan kawin lagi. Bercerai kita, kita apa ya? Nelangsa? Bisa aja sih. Bercerai ya, jadi sendiri dong. Tapi ya begitulah, Indonesia Maharddhika kemudian menjadi komunitas yang berkelanjutan.

Nah diikuti dengan bungkusan, yaitu membawakan karya-karya musik dari para legenda musik cadas tanah air. Eh “kebetulan” ya, rata-rata lagu yang telah dikurasi itu, mayoritas adalah yang musiknya bertema progressive rock itu.
Nama-nama besar seperti kisal Harry Roesli dan Yockie Suryo Prayogo. Selain itu ada juga Debby Nasution. Lalu Andy Julias. Kemudian juga Iwan Madjid. Kelima nama di atas, telah tiada. Mereka menghasilkan karya-karya bernas, sepanjang masa hidupnya.






Naftali Angelina



Fariz RM

Karya-karya mereka memang terkesan gagah, berwibawa. Dan merupakan repertoar-repertoar lagu rock Indonesia penting, yang menginspirasi akan lahirnya karya-karya lagu dari para penulislagu dan musisi pada era berikutnya. Lagu dan musik penting, yang seperti ikut “membentuk” musik rock tanah air.
Karena mereka telah hadir, dengan karya-karya gagahnya itu diikuti penampilan mereka di atas panggung, sejak awal 1970-an. Seperti almarhum Harry Roesli, dengan album Philosophy Gang-nya. Album itu keluar, di saat musik rock Indonesia sebenarnya dipenuhi cover-version grup-grup rock ternama barat.

Tetiba saja ada kelompok Gang of Harry Roesli dari Bandung, yang berani-beraninya merilis album berisikan lagu-lagu karya sendiri. Disusul berikutnya juga Yockie Suryo Prayogo, dimana almarhum Yockie bersama kelompok God Bless merilis album perdana, dengan lagu-lagu karya sendiri.
Harry masih terus aktif meneruskan ide-ide “gokil”nya di musik, antara lain lewat Rock Opera Ken Arok misalnya. Atau juga Titik Api. Dan pelbagai album lain, sebagian dengan Depot Kreasi Seni Bandung, yang disingkat DKSB.

Yockie meneruskan pengembaraan kreaitifitas musiknya di album Dasa Tembang Tercantik, Lomba Cipta Lagu Remaja Prambors,sebelumnya lewat album Badai Pasti Berlalu. Juga album Jurang Pemisah dan Musik Saya adalah Saya, untuk menyebut sedikit dari karya-karya beliau yang dirilis diera 1970-an.
Sementara Debby Nasution juga lewat Badai Pasti Berlalu selain Guruh Gypsi tentu saja. Dan persekutuan berikutnya dengan Keenan Nasution, saudara kandungnya. Andy Julias lewat kelompok Makara Band. Sementara Iwan Madjid memunculkan kelompok Wow bersama Fariz RM, Darwin Rachman dan Moesya Joenoes.


Keenan Nasution dengan Faisal dan Iman Ismar

Bangkit Sanjaya

Kadri Mohamad





Ide-ide bermusik mereka memang menghasilkan karya-karya musik yang pernah melintas di era sekitar 1970-1980an. Sebagian merupakan karya-karya yang dianggap, wakil dari fenomena yang terjadi pada era tersebut. Artinya, lagu-lagu yang kental gitu deh, aroma nostalgianya. Tentunya, kalau didengarkan lagi di masa sekarang.
Kembali pada Indonesia Maharddhika. Maka bertolak dari ya sebut saja, memberi respek dan apresiasi tinggi pada tokoh-tokoh penting musik rock Indonesia tersebutlah, tentu lewat karya-karya mumpni mereka, Indonesia Maharddhika kemudian dijalankan. Ya barengan, kan bentuknya komunitas. Ada musisinya, ada penyanyinya, dan beberapa kalangan yang terkait erat di dalam perjuangan musik tersebut.

Nah ada saya juga di dalamnya. Kebetulan saya sudah memulai lewat keterlibatan dalam pengerjaan pemasaran dan promosi boxset Indonesia Maharddhika tersebut. Waktu itu urusannya di produksi untuk show launching, selain promosi. Bahkan ikutan di marketing sekalian.

Kini saya diajak serta lagi, yang mengajak lagi-lagi Kadri Mohamad. Tapi bukan urusan produksi-produksian lagi. Sekarang jadi host, berpasangan dengan Keith Rustam! Tugas saya ya nge-host alias ngemsi lah kira-kira gitu deh. Dengan fokus, lebih mengangkat karya-karya para legenda rock tersebut di atas. Dengan ceritain sejarahnyalah gitu.
Oh ya, Indonesia Maharddhika versi panggung ini, juga gegara WAG alias whats app group. Dimana WAG itu dibikin sejak masa rilis boset, dan tak pernah di delete. Selama ini isinya jadi ngorbol-ngebrel ngalor-ngidul, utara-selatan, atas-bawah ya kek gitulah. Lalu kan, ide manggung bareng digulirkanlah di situ.



Keenan Nasution


Naftali Angelina



Tony Wenas

Arry Syaff



Foto-foto  Tyas Yahya
Dan sampai nama pementasan juga didiskusikan di WAG tersebut. Ketemu Musik Gagah, jadinya memang dicari nama “khusus” yang barulah gitu. Karena kan memang musiknya rock, rock itu konotasinya....”gagah”. Jadi “lebih gagah” lagi, karena musiknya mayoritas adalah progressive rock!
Progrock kan apa ya, sulit gitu. Sulit atawa complicated gitulah.  Kencang, bertenaga tapi rada ribet. Penggemarnya relatif lebih “kecil” lagi, secara jumlah, dari rock fans ya? Ya memang kenyataannya begitu. Dan, hari ini sih milenial ga akrablah dengan prog-rock itu.

Milenial, kenapa disebut ya karena itu menjadi salah satu target. Gimana musik-musik rock “berkwalitas”, yang sekaligus juga masuk dalam catatan sejarah musik rock tanah air itu, bisa tetap lestari.
Bisa dipahami, dikenal dan syukur-syukur kemudian bisa disukai kaum milenial. Itu artinya kan, menjadikan prog-rock tetap bisa bernafas dengan lumayan “lapang”lah. Menarik nafasnya enak gitu, oksigen cukup, aliran darah jadinya lancar kan. Ujung-ujungnya apaan lagi kalau bukan....umur panjang dong!


J i m m o


Fariz RM






Soebroto Harry

Egy Eghay
Biar anak-anak muda sekarang, memahami juga sejarah musik. Bisa mengenal karya-karya bagus yang ditulis oleh tokoh-tokoh penting musik rock Indonesia. Yang telah menginspirasi karya-karya lagu masa kini, yang disukai para milenial. Kira-kira begitu.
Selain tetap memberi ruang nostalgia, tetap saja kaum “generasi lawas” bisa memperoleh kesempatan menikmati lagu-lagu yang pernah disukainya itu. Eh bukan hanya pernah sih, tapi sejatinya kan ya selalu mereka sukai.
Kini dibawakan lagi, bisa dinikmati lagi. Musiknya “bener”, Yang main juga musisi yang “bener”, dengan penyanyi-penyanyi yang bagus-bagus. Menyoal musisi, dipertemukanlah musisi lintas usia juga, dari yang sudah berkelana dari era 1970-an sampai yang era 2010an gitulah.


Tersebutlah nama-nama musisi seperti Yaya Moektio, Welly Siahaan, Reynold Silalahi, Hayunaji, Eghay, Faisal, IwanCumi” a.k.a Wancum, Peter Lumingkewas, Raden Agung, Iman Ismar, Noldy Benyamin Pamungkas, Vedy Ideo, Johannes Jordan, Soebroto Harry, Fadhil Indra, Biondi Noya dan Windy Setiadi.

Dengan para penyanyinya adalah, Benny Soebardja, Bangkit Sanjaya, Fariz RM, Eric Martoyo, Andy /rif, Ecky Lamoh, Jimmo, Arry Syaff, Keenan Nasution dan tentu saja dong, KadriMohamad. Ditambah backing vocal, yang merupakan anggota termuda, Naftali Angelina.
Dan pentas Musik Gagah pun digelarlah untuk kali pertama di Titan Centre, Bintaro Jaya sektor 7. Bertindak sebagai sutradara adalah Jimmo, yang merupakan debut Jimmo sebagai seorang show director sebuah konser.

Acara digelar pada 26 Oktober 2019 dan terbilang relatif lumayanlah. Dengan mengingat dan melihat dari pelbagai sudut pandang dan pertimbangan tuh ya. Yang jelas sih, ingat ini musik yang relatif “segmented”, soalnya yang dikedepankan itu prog-rocknya bukan semata-mata rock. Harapan utama, waktu itu, para penggemar prog rock juga akan datang menonton kan? Emangnya banyak ya, secara jumlah, para fans prog rock itu? Semoga saja....


Iman Isar

F a i s a l




Johannes Jordan

Vedy Ideo



Bangkit Sanjaya
Kemudian, eh ternyata dapat kesempatan lagi, untuk bisa digelar lagi pada 26 November 2019, kali ini di Sallo Inyan Resto di Tebet Timur.Jadi persis sebulan setelah konser pertama, digelarlah konser Musik Gagah kedua.
Repertoar yang dibawakan itu hampir sama. Ada 18 lagu yang dibawakan pada konser pertama. Dan di konser kedua ada 17 lagu. Dan dengan ada pergantian penyanyi. Ecky Lamoh tak tampil lagi di konser kedua, tapi muncul nama Tony Wenas dan Doddy Katamsi.

Sementara untuk musisi tidak ada pergantian, malah bertambah satu orang. Musisi yang juga relatif muda, ini muda banget malah, Aufa Kantadiredja. Selain itu, ada very special guest, Adi Adrian. Yang kini di KLa, mantan kibordis Makara.
Dan venue yang resto bebas alkohol itu, malam itu relatif penuh juga. Malah muncullah beberapa nama yang dikenal sebagai penggemar prog-rock, yang tidak sempat hadir pada konser pertama.
Mengenai finansial, acara konser ini sebenarnya didanai sendiri. Dimana dimanfaatkan sisa pemasukan atau profit dari pergerakan album CD dan Boxset. Ditambah urunan dari beberapa principle yaitu Bangkit Sanjaya, Eric Martoyo, Keith Rustam dan Kadri Mohamad. Lantas masuk juga, Tony Wenas.




Adi "KLa" Adrian






Doddy Katamsi


Jadi begitulah, Indonesia Maharddhika akhirnya bisa beraksi lagi. Malah sampai 2 kali, dalam jangka waktu sebulan.
Dan yang seru, dengan rada ribet juga urusan traffic pemain atau musisinya. Karena bisa dibilang, di hampir setiap pergantian lagu, terjadi pula pergantian musisi. Lumayan jadi “”pekerjaan rumah” juga untuk sisi tehnis. Maksudnya soal produksi di atas panggung, tentu terkait peralatannya.
Well, kan based on komunitas, datangnya dari semacam paguyuban gitu. So, semua memang terlibat dan diupayakan mempunyai porsi “keterlibatan” yang sama.  Prosesnya memang asyik banget tuh.

Ya mulai dari pemilihan lagu kemudian siapa musisi yang akan tampil di lagu-lagu tersebut. Bagaimana juga bentuk aransemennya. Lalu ga kalah serunya adalah, menentukan jadwal latihannya! Oho. Asyik-asyik, seru tapi pusing juga sih.... Hehehe.

Pusing sih pusing tapi toh kejadian juga akhirnya kn? Iya sih, alhamdulillah bisa berjalan dengan lumayan lancar. Kalau ada sedikit gangguan, itu kecil sih dan bisa ditanggulangi dengan seoptimal mungkin.

Konser model kroyokan gini, menyenangkan sebetulnya. Ajang silaturahmi, menjaga pertemanan. Dan kan kemudian ya dihadapi dengan...”gotong royong”lah. Kalau ada masalah, dipikirkanlah bareng. Misal seperti soal aransemen, ada Welly Siahaan yang bertanggung jawab, tapi toh dibantu juga oleh teman-teman musisi lainnya.
Pada akhirnya memang IndonesiaMaharddhika, menyodorkan alternatif bunyi musik, yang ikut memperkaya khasanah musik Indonesia. Ceileeee, bahasanya itu lho...”khasanah”! Hehehe....
Kadri Mohamad

Benny Soebardja

Tony Wenas

Doddy Katamsi


Yaya Moektio

Iwan "Wancum" dan Doddy Katamsi

Arry Syaff

Adi Adrian, Arry Syaff



Biondi Noya
Ada rock yang juga kenceng lho, tapi rada dikit ribet yang nama “gagah”nya ya prog-rock, yang ikut menyemarakkan musik Indonesia. Semoga dapat mencuri perhatian, lalu mengundang generasi kemudian atawa yang sekarang ini, untuk mau menyaksikan dan mengapresiasinya.
Di rencanakan pada kesempatan berikutnya, Musik Gagah lengkap dengan “rombongan sirkus”nya akan menggelar konsernya di luar Jakarta. Misalnya di kota Surabaya dan Malang, mudah-mudahan juga kota-kota lainnya. Semoga semesta memberkati rencana  di 2020 itu.
Mudah-mudahan saja semesta akan memberi jalan, bagi “kaum gagah” ini bisa mempertunjukkan kegagagahannya ke publik di kota-kota lain di luar Jakarta. Kaum gagah berani yang bersemangat untuk terus menyebar virus.....
Eh virus musik lho, virus yang positif. Karena juga kan lagu-lagu prog-rock itu mayoritas muatan liriknya positif kok. Ada kritik sosial, selain itu juga cinta tanah air./*








Foto - foto  Gideon Momongan-Musik Gagah