Debut album mereka Fajar di Atas Awan, diproduseri oleh Radio France Internationale (RFI),
Perancis. Salah satu lagu dalam album tersebut, berjudul sama dengan albumnya,
menjadi salah satu materi album Music of
Indonesia 20 : Indonesian Guitars by the Smithsonian Folkways Recording,
Washington DC. Album itu dirilis tahun 1999.
Album
perdana Suarasama itu lalu dirilis ulang dalam format CD dan LP oleh Dragcity Chicago dan disebarkan di
beberapa negara di dunia. Dan lagu berjudul sama dengan album, kemudian juga di
pblish kembali dalam sebuah album kompilasi sebagai covermonth-CD oleh Uncut
Magazine, London.
Album
yang dirilis oleh Dragcity tersebut, terpilih sebagai salah satu dari 5 album World Music sebagai Album of The Year oleh San
Fransisco Chronicle. Selain itu juga salah satu dari 10 album World Music
Terbaik oleh Uncut Magazine. Juga terpilih sebagai salah satu album terbaik di
bulan Oktober 2008 oleh Global Rhythm
Magazine, Amerika Serikat. Dan catatan lain adalah, album tersebut telah di
review oleh lebih dari 35 majalah,
baik cetak maupun webzine, di Amerika
dan Eropa.
Selepas
album tersebut, yang disebut banyak kritikus musik sebagi warna baru dalam
bentuk world music, Suarasama juga menghasilkan album lain. Yaitu Rites of Passages (dirilis 2002), Lebah (2008) dan Timeline yang belum lama mereka sebarkan resmi di tahun 2013 ini.
Dan album-abum berikutnya itu, juga memperoleh tanggapan positif dari
media-media luar negeri serta para pecinta world music.
Mereka juga telah tampil di
banyak festival-festival musik di mancanegara, teristimewa yang mengetengahkan
world music dan jazz seperti Sufi Soul 2nd
World Music Festival di Pakistan pada tahun 2001, Sharq Taronalari Festival di
Uzbekistan 2001, Bali World Music
Festival 2002, North Sumatra Traditional Music and Dance di Guangzhou, China
2001, North Sumatra Traditional Music
and Dance di Singapore 2002, Asean Composer League and International
Puppet Festival, New Zealand, 2007.
Mereka juga tampil di 2nd
International Rondalla Festival, Philippines, 2007, Riau HitamPutih World Music
Festival 2008 dan pada Asian Music Forum, Thailand, 2009. Selanjutnya, Bandung
Worldjazz Festival 2009, Irwansyah Harahap-Suarasama and Friends in Concert,
Adam Concert Hall, Wellington 2009. Berlanjut dengan penampilan format duo
Suarasama (Irwansyah Harahap and Rithaony Hutajulu) di Minpaku Museum of
Ethnology Osaka Japan pada 2010.
Terakhir, pada 2013 ini saja,
mereka telah tampil antara lain di Jazz Market by the Sea, Taman Bhagawan, Bali
2013. Lalu North Sumatra Jazz Festival di Medan serta Art Summit di Jakarta.
Sebelumnya juga menggelar konser di Bentar Budaya,Jakarta.
Siapa sebenarnya mereka? Adalah Irwansyah Harahap, salah satu tokoh
penting etnomusikologi yang berdomisili di Medan yang menjadi pengagas dan pendiri
kelompok ini. Ia mendirikan grup ini bersama sang istri, Rithaony Hutajulu. Mereka bersepakat membentuk kelompok ini, tak
lama setelah keduanya kembali ke Medan, selepas masa studI di University of
Washington, Seattle, Amerika Serikat.
Irwansyah, berkuliah di fakultas
etnomusikologi di Universitas Sumatera Utara. Selama masa kuliah, ia mendalami
berbagai peralatan musik tradisi yang menarik perhatiannya. Antara lain ada Gambus
, ‘ud (alat petik Arab). Serta berbagai alat
tradisi khas Batak Toba macam Hasapi (alat petik khas 2 senar), Garantung
(berbentuk xylophone) dan peralatan
perkusi drumming dari Mandailing, Gordang Sambilan. Ia lalu mengambil master degree di Amerika Serikat itu.
Suarasama, menyerap pelbagai
elemen musik yang selama ini dipelajari dan dicermati oleh Irawansyah, bersama
Ritha. Yaitu bentuk musik kontemporer bernuansa kontemplatif atau meditatif,
berlandaskan pada ketertarikan Irwansyah atas bentuk musik sufi asal Pakistan.
Musiknya juga mengandung unsur world music, memiliki kesan folk, ethnic
macam-macam serta musik perkusif.
Dalam hal ini Irwansyah meracik
warna musik Afro dengan Timur Tengah baik Arab dan Persia, Eropa Timur, Asia
Tenggara termasuk pula musik tradisi Melayu dan Sumatera Utara. Dengan suara
yang keluar lebih didominasi bebunyian akustik. Seperti apa yang dimainkan oleh
Irwansyah dengan pelbagai bentuk alat musik petik seperti gitar akustik,
gambus, ‘ud termasuk beberapa
peralatan yang didisainnya sendiri.
Dasar dari “hobi” Irwansyah
melakukan re-design adalah dasarnya, ia mengembangkan beberapa peralatan musik
akustik petik, dengan mencari bentuk bunyian tertentu. Demi mencari bentuk
karakteristik idiomatik bunyi yang berbeda-beda untuk memenuhi estetika musik
yang ingin dicapai, begitulah yang ia sampaikan pada profile-sheetnya untuk sebuah acara.
Hal seperti itulah, yang bisa
jadi membuat musik Suarasama terkesan “baru”. NewsMusik lebih suka menyebutnya
sebagai bentuk world music yang menentramkan jiwa dan pikiran. Seringkali musik
mereka terkesan pula ilustratif. Bisa mengundang imajinasi tertentu, saat
mendengarkan bunyian musik yang ditimpali suara Ritha. Sengaja atau tidak,
sesekali NewsMusik menangkap sebersit nuansa magis dalam musik mereka.
Menjadi menarik memang, ketika
hasil dari mengamati dan meresapi musik akustik mereka ini. Lalu menempatkannya
pada “ruang etalase” musik-musik kontemporer yang telah ada selama ini.
Suarasama tak pelak lagi, jelas menambah direktori musik-musik eksotik ke-timur-an,
memiliki identitas khusus yang dihasilkan musisi Indonesia.
Dan saat kita mengagumi pelbagai
corak karya estetika musik kontemporer yang telah dihasilkan beragam musisi,
yang telah diakui bahkan dikagumi pula oleh dunia internasional, kita boleh
berbangga atas kekayaan yang kita miliki ini.
Persoalan kemudian, apakah
Indonesia telah memperlakukan Suarasama begitu pula halnya dengan musisi-musisi
tanah air kita yang berkwalitas internasional lainnya, dengan baik
dan...bijaksana? Mendukung sepenuhnya pergerakan bermusik mereka, karena toh
langsung atau tidak langsung mereka dengan musiknya telah ikut mempromosikan
secara baik Indonesia, ke seluruh dunia.
Itulah persoalan mendasar, yang
lebih penting untuk dicermati dan dipikirkan sebaik-baiknya. Daripada,
memikirkan bagaimana musik-musik kontemporer sejenis Suarasama bisa populer dan
digemari oleh telinga dan hati masyarakat Indonesia dimanapun. Lantaran soal
selera, susah betul untuk diperdebatkan! Belum lagi, industri musik (populer)
selama ini memang lebih suka menjaga jarak dengan bentuk-bentuk musik
eksploratif berbau tradisi begitu. Segmented
dan tidak komersil, paling-paling begitulah stigma yang terlanjur ditempelkan
kaum industri.
NewsMusik memberikan respek
positif akan kemampuan mumpuni para
musisi dengan kreasinya, seperti yang telah dihasilkan Irwansyah Harahap, Ritha
bersama para musisi pendukungnya dalam Suarasama yaitu Syainul Irwan (vokal dan Indian
Sruti Box), Muhamad Amin (“Udu” bronze
drums), Horas Panjaitan (Duf, Djembe)
dan Ernie Zulfan Rangkuti (Percussion, cymbals dan minimalist
drums-set).
Kita berharap, eksplorasi
bermusik mereka akan tiada henti. Dilakukan sepenuh hati. Demi memperkaya
bunyi-bunyian musik yang ada. Simple-nya
sih begini buat NewsMusik, berilah ruang bagi musik-musik lain non-pop, yang
mungkin tidak komersil. Jangan hanya memberi ruang lapang dan lebar bagi
musik-musik pop industri, yang sudah terlalu memenuhi ruang dan waktu kita
selama ini. Misalnya, lewat layar kaca... /dionM
No comments:
Post a Comment