1980-an katanya adalah era dimana musik industri
lebih menguasai pasar. Sementara 1970-an adalah era idealisme terpacu,
termotivasi untuk lahir terus menerus dari mana-mana. Era industri, bahwa unsur
musik itu bunyiannya harus mempunyai porsi kompromistis, dengan selera lebih
banyak orang. Sementara era idealisme itu, bebas menjejejali publik dengan
aneka macam kreatifitas musik, berangkat dari apa yang murni ingin dimainkan para
grup band, penyanyi atau musisi.
Di tanah air juga terasa adanya pengaruh dari
pandangan kritikus musik barat. Jadi di 1980-an, memang kaum industrialis musik
mulai punya suara yang lebih, mereka mulai merasa dapat lebih mengenal selera
pasar. Itu untuk materi album rekaman ya. Kalau di panggung, suasana agak
berbeda.
Banyak bermunculan grup-grup musik, termasuk
penyanyi dan musisinya, yang sangat berkiblat dengan barat. Muncullah satu demi
satu grup band,yang seolah menjadi foto-copy
an dengan sadar, grup-grup tenar luar negeri. Misal Solid 80 yang menjadi
Queen-nya Indonesia. Cockpit, yang memilih Genesis menjadi kiblat utama. Ada
lainnya, Makara misalnya. Yang agak lebih bebas, tapi membatasi diri pada aroma
kental bener art rock, yang
belakangan lebih dikenal sebagai progressive
rock.
Selain nama di atas, ada banyak lainnya. Bharata
Band harus disebut. Second Smile, Jet Liar, Power Metal, Seedz, Punk Modern
Band, Cikini Stone Complex, Mat Bitel ataupun termasuk Acid Speed Band. Itu
hanya sebagian kecil kelompok rock era 1980-an di sekitar ibukota dan Bandung,
yang muncul sebagai “plagiator” kelompok rock luar negeri.
Bahkan termasuk God Bless, grup yang sebenarnya
sudah muncul dan tampil garang di sebelum pertengahan 70-an. God Bless saja,
masuk di 1980-an, era mereka seperti lahir kembali, sempat menjadi band pembawa
lagu-lagu hits yang rock, dari
kelompok rock ternama barat. Trend itu juga menjangkiti sikon rock di kota-kota
lainnya.
Pada era itulah muncullah Tony Wenas misalnya. Lewat grup sekolahannya, SMA, dimana tampil
dengan tiga keyboardist sekaligus!
Dari grup SMA Kanisus, kampiun di sebuah festival rock antar SMA se Jakarta di
awal 1980-an, Tony lalu membentuk Solid
80 bersama teman-temannya sekampus di Universitas Indonesia. Seorang Kadri Mohamad juga begitu adanya. Ia
lantas lebih dikenal sebagai tandemnya, jadi berduet sebagai frontline dari
grup rck, Makara.
Sebelumnya Kadri, seperti juga Tony Wenas, sempat
mengenyam permainan musik lain. Jazz rock misalnya. Lalu seorang Arry Syarif, dia ilang, dia penonton
dan fansnya Solid 80 dan Makara sebenarnya. Oh era Arry agak sedikit “lebih
mudaan”. Tapi Arry sudah bermusik juga, sebagai vokalis tentunya, memainkan
juga musik rock.
Pada perjalanan kemudian, Tony terbilang yang
paling aktif. Luar biasa aktif malah. Banyak grup band didukungnya, ataupun
dibentuknya. Antara lain,saat Fariz RM mengajaknya masuk formasi Symphony. Lalu
membentuk Shagy, NoDaddy’s Gank kemudian apa lagi ya, Nuclear Band. Belum lagi,
proyek solonya. Kadri, sempat cabut, hilang dari tanah air. Ia melanjutkan
studi kuliah hukumnya di negeri Paman Sam.
Arry Syaff sempat menjadi vokalis dari grup
bentukannya gitaris, Aria Baron.
Lalu Arry lantas menjadi dikenal luas ketika menjadi vokalis Cockpit Band.Ia
mengisi posisi vokal, yang sebelumnya diisi Freddy Tamaela. Freddy sayang,meninggal dunia pada 1990.
Peran mereka yang menurut saya menrik itu, yang
membuat saya mengundang mereka menjadi tamu saya. Paling menarik adalah, mereka
bertiga berangkat dari sekolahan, SMA.Kemudian kuliah. Semua sambil tetapterus
bermusik. Dan hingga sekarang nih, ketiganya tetap bermusik terus.Padahal
mereka juga punya karir penting lain. Ketiga sarjana hukum ini, karirnya
masing-masing. Lalu, mana yang mereka pilih?
Ketiganya hanya tertawa lebar. Pilih mana Ton, jadi
kibordis dan penyanyi macam-macam musik 80-an atau berkarir sebagai salah satu
petinggi penting di perusahaan terkemuka, Riau Andalan Pulp & Paper, di
Pekanbaru? Edan pertanyaan itu. Pusinglah kepala Tony untuk mejawab secara
jelas dan pasti. Atau begitupun halnya dengan Kadri Mohamad. Pilih mana, jadi
lawyer dengan firma hukumnya sendiri, atau menyanyi? Pertanyaan yang lantas
jadi kayak, aduh standar amat sih...
Sama juga dengan apa yang dijalani seorang Arry
Syarif saat ini. Ya lawyer ya penyanyi. Ketiganya sukup sibuk di karirnya, di
kantornya masing-masing. Tapi toh, hingga saat ini, semuanya bisa menjalankan
dua dunianya dengan relatif baik.
Tony, malah ikut mendukung event organizer, atau
sering bertindak pula sebagai promotor musik. Menggelar acara-acara konser rock
di kafe-kafe. Kadri, menjadi produser atau produser eksekutif beberapa album
rekaman, selain memiliki grup band sendiri yang tengah berjalan saat ini.
Sementara Arry, ya setali tiga uang. Tidaklah beda
jauh. Konsultan, advisor setelah
sebelumnya sempat mengecap karir di sebuah stasiun televisi swasta nasional.
Perjalanannya menjadi penasehat hukum, barengan dengan karir musiknya. Ia
antara lain juga sempat berkongsi dengan gitaris dan produser sekalian penulis
lagu, Viky Sianipar, dalam memproduksi beberapa album rekaman. Selain itu,
mendukung pula, beberapa pementasan rock, terutama di kafe-kafe.
Kagak ade matinye dah! Mana ada capeknya mereka
bertiga. Tapi kan jadi penasaran pengen tahu dong. Gimana bagi
waktunya? Apa sih pendapat mereka terhadap kenyataan, mereka hidup macam di dua
dunia sekian waktu?
Boleh ga
nanya, prospek penegakan hukum di Indonesia kita, paska pilpres yang terpanas,
tahun silam? Ah sudahlah, jangan kelewat berat pertanyaannya. Kan presiden
terpilih nya sudah ada, dan tengah bekerja keras dengan didukung kabinet
pilihannya? Lebih asyik masyuk, kalau ngobrol seru, soal musik ya?
Mereka bertiga datang memenuhi undangan saya,
dengan semangat betul. Datang masing-masing, di waktu yang telah disepakati
kita bareng. Dan spontan juga, ketiganya “iseng” bermusik bareng. Tony nyanyi
dan main piano. Kadri dan Arry menimpali suara Tony. Koor spontan mereka, kalau
saja dikasih waktu luang lebih lebar, bisa-bisa kayak udah muter dan dengerin cd
kompilasi 80’s Rock Hits!
Keceriaan sambil mengingat-ingat masa lalu, menjadi
suasana yang sungguh meramaikan obrolan kita bertiga itu. Mereka udah
kemana-mana lho. Dan obrolan itu, seperti juga memutar ulang, film-film bertema
musik yang populer di era 1980-an. Atawa, seperti membuka lagi album-album foto
lawas, majalah-majalah musik masa lalu.
Dan saya ingat juga, waktu Tony menang dengan grup
SMA Kanisius nya, sayaada di antara penonton final festival itu di Balai Sidang
Senayan! Ya, time flies, peoples! Tapi mereka toh tetap saja eksis. Tetap
berdiri cukup tegak, di dunia musik. Ada banyak cerita lain, semua beraroma
nostalgia. Silahkan simak dan tonton aja video obrolannya.
Dan last but not least, trims bro karena sudah
menyediakan waktu untuk menjadi tamu program video interview saya. Sukses
selalu semua, di dunianya masing-masing!
*/DM
Check out the video on Youtube
No comments:
Post a Comment