Monday, March 28, 2016

O M N I, Musiknya Memperlancar Peredaran Darah dan Denyut Jantung

-rewrite-
OMNI, bisa diartikan sebagai semua atau seluruh. “All” atau “Every”. Medulla Oblongata bukan berarti merk kaos oblong, apalagi t-shirt. Tapi artinya adalah, bagian belakang otak yang berhubungan dengan sumsum tulang belakang, mengendalikan pernafasan dan denyut jantung. Musiknya?
Musiknya adalah OMNI. Ya memang nama kelompok ini, Omni. Ada empat kepala di dalam OMNI, Amank Syamsu (vocal), Ryan Bamiftah (drums), Rully Worotikan (gitar elektrik) dan Romy Sophiaan (bass elektrik). Empat saja, sudah pas. Ga perlu nambah. Karena ketika mereka berempat kumpul, lantas ngeband bareng, pendengar musiknya langsung kayak dibawa keliling “toko grosir besar”!
Saya tempo hari eh diundang syukuran dengan potong tumpeng, di kediaman Romy Sophiaan di kawasan Bintaro, siang hari. Tak banyak tamu, hanya ada kerabat terdekat, sahabat dan tim produksi album. Potong tumpeng, nasi kuning yang tidak lantas menggambarkan orientasi politik mereka. Yang penting doa dan nikmati makan siang.
Kemudian bersama-sama mendengarkan ke 12 tracks dalam debut album mereka ini. Prosesnya sudah mulai dikerjakan sejak September tahun silam. Selesainya baru pada 7 Desember 2013. Waktu lumayan panjang. Bukan lumayan lagi kaleee. Tapi memang mereka seperti “menyediakan” kendaraan, lucu juga kalau model golf-car, untuk muter-muter sebuah toko hypermart gede gitu ya.
Analoginya seperti itu. Tapi yang sangat tersembul dengan nyata, tersembul apa terasa sih enaknya ya, ok begitulah. Bahwa enerji mereka berempat ini. Keluar seperti meledak dan…. Menimbulkan ”hujan abu” dimana-mana. Erupsi OMNI yang lantas mengganggu kuping masyarakat. Erupsi setelah enerji mengendap sekian lama, di balik dinding studio rekaman. Atawa, mungkin mengendap dan lantas sedikit diutak-atik di laptop atau personal-computer?
So, OMNI mensyukuri perkenanNYA sehingga album perdana mereka bisa juga dirilis. Mereka sendiri adalah grup yang menurut Romy via whazzapp, sepakat kumpul bareng di 8 April 2012. Awalnya sih bikin “sekedar” a tribute-band, untuk Lenny Kravitz. Band tribute itu awalnya sih drummernya Marcell H.Siahaan, Cuma karena jadwal Marcell lumayan padat, ga bisa ketemu-ketemu juga.
Langsung dengan formasi ini, mereka jalan. Malah akhirnya pada kepengen nerusin band “iseng” ini. Sampai merancang rekaman segala. Mulai bikin lagu, baik sendiri-sendiri, ataupun keroyokan dan memang beneran, ya rekaman! Dari banyak lagu yang mereka sudah kumpulin, terpilihlah 12 lagu.
‘Padamu Negeri’, ‘Generasi Pemenang’, ‘Mono’, ‘Culas, ‘Berhala Layar Kaca’, ‘P.E.N.T.A’, ‘Spektrum’, ‘Lost’, ‘Tuan Anarki’, ‘Rahasia Semesta’, Bebas dari Propaganda’ dan ‘Politik Ini Untukmu Saja’. Melibatkan beberapa teman terdekat untuk kolaborasi. Antara lain ada Marcell, Aria Baron, Indra Qadarsih, John “Sweet Martabak’ Parapat dan Random.

Musiknya asli jack, cem-macem. Alas dasar sebagai fondasi memang rock. Tapi rocknya itu, ya ada sedikit 80-an, banyak rada aroma 90-an, juga terselip yang rada masa sekaranglah gitu. Menyebar merata di semua lagu. Bahkan pada setiap lagu, bisa tertangkap bunyian aroma “lintas jaman”. Entah pada pola tarikan vokal, raungan gitar, dentaman bass dan bebunyian ketukan drums.
Lumayan lengkap memang. Dan rada ngagetin juga. Apalagi kalau sempat perhatiin lirik-lirik lagu mereka. Oho. Kalau untuk NM sih, seru saja. Ini kan semacam angle atau point of interest masyarakat terhadap apapun yang terjadi dewasa ini, ya masalah apapun. Atas nama demokrasi rasanya, sah saja. Jaman sekarang gitu lho, mengungkapkan pendapat, masak sih salah?
Tinggal cara menyampaikannya saja. Itu aja titik utamanya. Kalau dibungkus lagu, rock sekalipun, sindiran ataupun masukan ataupun kritikan terhadap jaman, ditangkapnya bukan semata-mata oleh hati dan pikiran. Tapi justru menggerakkan otot-otot kaki dan tangan! Maksudnya?
Kita akan bergoyang, mungkin melompat-lompat. Berteriak keras, asal jangan lupa lihat jam saja. Well, yang jelas sih OMNI memberikan bentuk music cadas warna-warni yang cukup hangat. Pas bener kalau didengerin pas musim hujan begini. Enerji mereka untuk melampiaskan kreatifitas bermusik mereka, itu yang NM lihat sebagai nilai lebih. Apalagi, waktu mengerjakannya setahun lebih!
Mereka berempat, sejatinya musisi yang cukup menimbun pengalaman bermusik. Menimbun dimana? Paling tidak di tulisan kan? Amank Syamsu, vokalisnya yang berambut gimbal misalnya. Dia menimbun eh maksudnya sebelumnya ia adalah vokalis Mahaya, Tequila. Saat ini ia masih tergabung pula dalam The Rocket, selain backing vocal untuk Dewa 19 dan Triad. Selain itu rapper di Mahadewi, dan duo rapper The Law.
Rully Worotikan, yang sebetulnya lebih sering jadi produser untuk banyak rekaman. Antara lain, Armada, Aura Kasih, Marcell, Konspirasi, Senjakala dan Druva. Hingga saat ini, ia juga masih menjadi gitaris kelompok The Chemistry. Ryan Bamiftah adalah juga drummer Druva, Senjakala. Selain kerapkali menjadi additional-drummer untuk Roxx, Zi Factor dan Marsmellow.
Sementara Romy Sophiaan, sebelumnya menjadi bassis New Haven di Sydney, Australia, tahun 1996. Mendukung Noble, dalam album Peri Mimpi, di tahun 2004. Lalu mendukung Tata & The Blackleaf, untuk mini-album bertajuk Ternyata di tahun 2009. Ikut mendukung pula Mass Romantic, album Indonesia yang Baru, dirilis 2011.
Romy juga dikenal sebagai bassist kelompok Acid Speed-tribute to Rolling Stones, selain Yellow-Sub sebuah tribute band the Beatles. Gruptribute to Beatles lainnya adalah Crabalocker. Ia ikutan kelompok Konspirasi, dalam album Teori Konspirasi, yang diedarkan di tahun silam.
Uniknya, mereka sempat merilis single, ‘P.E.N.T.A’ setahun lalu, juga di tanggal “cantik” yaitu 10.11.2012. Nah lantas mereka tumpengan, karena album telah selesai dan segera disebarluaskan, kemarin juga di tanggal cantik, 11.12.13. Album mereka langsung mereka kirimkan langsung pada pemesan pre-order, dilengkapi tandatangan keempat personil.
Albumnya bernuansa ungu, lalu di dalamnya ungu kehitam-hitaman. Terus terang, pilihan warnanya buat ane seh cukup mengagetkan! Menyengat mata, bro! Tapi memang catchy dan beda. Apalagi penonjolan logo OMNI yang terkesan simple tapi berarti.
Well, inilah a simple introduction about OMNI. Akhirul kata, mari mendoakan kesuksesan mereka dalam memanaskan musik rock tanah air. Makin semangat dong, dengan album di tangan?! Haruslah. Direncanakan mereka akan melakukan show dalam rangka album ini, pada 11 Januari mendatang di Jakarta.
Dan pada perjalanan seterusnya, mereka terhitung lumayan aktif juga, menghangatkan skena musik cadas tanah air. Ini bahasanya, bahasa koran bingits yeee. Saya tertarik dengan konsep mereka, menggelar secara keliling, OMNI Ngamen.
Bikin event relatif kecil, karena di kafe, ajak beberapa temen “seperjuangan” main bareng. Barengan bikin “kerusuhan yang menyenangkan”. Berisik-berisik asyik. Keras tapi nyegerin. Bikin deh, satu, dua, tiga. Di sana, sebelah sana, di sini. Dimana-mana.
Menyebarluaskan dengan aktif dan penuh semangat. Musik keras nan enerjiknya mereka. Tapi mau berbagi juga dengan “rekan-rekan sejawat” sesama rocker atawa rock-band. Biar sama-sama dikenal gitu kan?
Dalam setiap show mereka, Alvin Worotikan, menjadi gitaris kedua mereka. Ini juniornya Rully Worotikan. Jadi, sound gitarnya lebih tebal dan tambah nyaring. Tambah seru pastinya. Saya sih denger dan liatnya begitu.
Ok deh kakaaakkk.... Tambah semangat. Teruskan saja semangat...Padamu Negeri, untuk menghasilkan...Generasi Pemenang! Ditunggu album berikutnya, bray! /*






FUSION STUFF, It's All About Fusion


-rewrite-
Tagline yang tertulis dalam rilis yang diterima adalah Casual, Simple dan Muda dalam Frame Fusion. Inilah Fusion Stuff. Kelompok “baru”, yang menurut rilis, terdiri dari 5 orang “chef” yang mempunyai kapasitas mumpuni dalam menyajikan makanan yang lezat  Dituliskan, ibaratnya dalam sebuah kitchen room, ada 5 chef handal. Tinggal tunggu, nikmatnya sajian dari para chef handal tersebut.
Well, sebentar. saya tertarik lebih dulu untuk mengamati keriaan launching album dari grup 5-kepala ini. Wah! Terus terang, amat sangat jarang melihat sebuah produk rekaman beraroma jazz yang kental, menggelar acara pelepasan resmi ke pasar semewah kemarin ini. Terbilang mewah, lihat pada tata cahaya dan tata panggungnya. Walau terus terang, tidak di setting yang sempurna, terutama pada spotting-nya.

Makin terasa mewah dengan sajian menu makan malam aneka rasa bagi seluruh undangan. Dan, Press conference yang dipandu seorang presenter cantik, yang dikenal sebagai presenter acara olahraga di televisi, Terry Putri. Jarang-jarang lho... Mungkin juga belum pernah, ada selebriti jadi pemandu launching rekaman jazz.
Seingat saya, rasanya ini bisa jadi adalah launching album bernuansa jazz yang termasuk termewah. Lengkap. Cuma sayang tidak ada door-prizes saja, kalau tersedia waduh bakalan jadi sebuah acara yang sangat menyenangkan para awak media. Juga penonton,tentu!
Bolehlah kemudian diharapkan, teman-teman media yang hadir itu lantas bisa menuliskan dengan baik, mengenai grup ini dengan debut albumnya tersebut. Dan penonton akan lebih bersukacita! Ya dong...

Kembali ke soal isi rilisan. Pertanyaannya begini, apakah musik sama dengan makanan? Gini deh, simplenya adalah, 5 orang chef membuat masakan secara bersama-sama? Bisakah jadi satu jenis masakan, dengan kapasitas mumpuni mereka masing-masing lho? Belum tentu sedap bagi semua lidah. Kalaupun kelima chef membuat masakan masing-masing, ada 5 jenis makanan aneka rasa.
Agak bahaya ya, orang-orang bisa kekenyangan. Susah bergerak. Malas berjalan. Perut penuh. Belum lagi, bisa terjadi, “tabrakan” di dalam mulut dan perut rasa masakan yang “bertolak belakang” atau bahkan, beradu! Ujung-ujungnya ga nikmat. Betul ga sih?

Tapi begitulah, membaca baik-baik press-release dulu lalu menyiapkan telinga dan hati untuk menikmati musik mereka. Kelompok bernama Fusion Stuff ini lantas tampil bersemangat dan ramai, membawakan beberapa nomer kreasi mereka sendiri, yang terdapat di debut album bertitle, The Battle. Dan satu demi satu lagu dibawakan lancar. Memang fusion adanya. Fusi dari berbagai unsur musik, ya ada jazz, sedikit rock, dicoba ngepop juga. Seperti itulah.
Ah, saya cukup beruntung, kenal betul dengan para musisi yang mendukung kelompok ini. Mereka memang terhitung ber-jam lumayan tinggi. Mereka lantas berkumpul dalam Fusion Stuff ini. Namun menurut saya, sayangnya mereka tidak menyajikan sesuatu yang baru. Apalagi kalau berbicara dalam konteks jazz di tanah air. Musik yang mereka tampilkan, sudah dimainkan banyak musisi Indonesia sejak 1980-an. Lalu, jaman ke jaman” dimainkan terus yang sejenis itu. So?

Saya pribadi mengagumi kemampuan bassis, Franky Sadikin. Dia termasuk bassis yang sangat enerjik dengan kwalitas bagus! Tapi rasanya, Franky lebih asyik disimak permainannya saat dengan grupnya yang lain, atau pada solo-projectnya. Gitaris, Kadek Rihardhika, mungkin nama paling senior dalam grup ini. Saya mengenal lama sosok gitaris kalem dan bersahabat ini. Tapi lagi-lagi, lebih enak melihat dan menikmati Kadek di Yovie Widianto Fusion misalnya.
Saya juga sempat mengamati Damez Nababan sebelum ini, antara lain dengan grupnya bersama Rafi, drummer muda berbakat itu. Saksofonis muda yang juga enerjik ini, rasanya lebih masuk saat bermain dengan grupnya yang lain. Drummer, cewek dan paling muda, Jeanne Phialsa atau dikenal dengan Alsa. Ia terasa berupaya bersungguh-sunguh melebur dengan warna musik grup barunya ini. Berhasilkah Alsa? Perlu proses beberapa waktu, tapi Alsa sungguh berpotensi besar.

Dan komandan kelompok ini, pendiri dan motor utama, Krisna Siregar, kibordis. Ya, saya juga telah mengenalnya sejak lama. Prosesnya lumayan panjang untuk “menjajal” berbagai warna musik, antara lain lewat menjajaki kolaborasi dengan bermacam-macam musisi dan penyanyi. Mungkin Fusion Stuff ini adalah maksudnya, hasil pencapaian dari  pengembaraannya selama ini. Malang melintang di dunia musik jazz. Tentu berupaya kreatif, melakukan eksplorasi intens.
Apakah memang Krisna, bermaksud menyajikan bentuk fusion bergaya 80-an? Yang sebetulnya, sudah tidak lagi asing bagi telinga penikmat jazz. Tapi mungkin akan dapat menarik hati para penggemar musik lain, yang notabene non-jazz?


Dengan keberanian luar biasa, menghasilkan album rekaman tanpa vokal sama sekali! Selama ini, penggemar musik kebanyakan atau umum, rada sulit menerima musik tanpa suara penyanyi. Coba sebutkan, siapa musisi atau grup lokal yang sukses dengan menjual musik “jazz-jazz”an tanpa penyanyi sama sekali?
Situasi dan kondisi industri musik kita memang runyam nih. Festival jazz boleh bertebaran, menjamur dimana-mana. Tapi sudah sekian waktu terbukti, tidak lantas membuat musik jazz mendapat tempat yang baik di radio-radio, apalagi stasiun televisi!
Padahal, jalur radio masih menjadi salah satu yang bisa diandalkan untuk efektifitas promosi. Memakai suara penyanyi saja, belum jaminan akan lantas mudah masuk playlist harian. Tetap di”curigai” tidak populer, dianggap kategori “adult”, bukan untuk kuping umum. Apalagi, tanpa penyanyi sama sekali! Radio bingung, ga ada jam siaran untuk putar musik begituan...
Saya pikir, yang chef dalam satu grup musik, seharusnya hanyalah satu. Sulit kalau seluruh musisi pendukung, semua menjadi chef. Kalau semua jadi chef, siapa yang menata meja, siapa yang memberi garnish pada masakan yang siap hidang itu. Dan siapa yang akan menghantarkannya ke tamu yang menanti makanan itu? Kira-kira seperti itu ya.
Dan chef dalam Fusion Stuff, boleh jadi adalah Krisna Siregar. Sosok kibordis ini, dengan jam terbang yang sudah cukup tinggi, seharusnya memang layak masuk kategori “chef” handal. Nah kali ini dalam debut album kelompoknya yang baru ini, Krisna terkesan memang belum mau menyajikan kreasi “resep” musiknya yang baru dan unik. Saya yakin-golagokin-pak musikin-tukang mesin sih, ia harusnya bisa menyuguhkan sesuatu yang relatif berbeda, dari “menu-menu makanan” yang sudah ada saat ini.
Tapi tetap ada satu sisi positif dari pemunculan Fusion Stuff lewat debut albumnya, yang diedarkan resmi lewat launching nan mewah dan meriah itu. Menambah semarak dan bergairah musik jazz Indonesia, dengan memberikan lagi alternatif pilihan warna. Pun ketika warna musik yang disajikan bukan yang baru banget.
Musik mereka bisalah disebut casual. Tapi simple, mungkin tidak pada semua materi yang ada di dalam album. Muda, diwakili oleh sosok drummer Alsa, yang “kebetulan” juga cantik. Karena kecantikan, dan keramahannya, Alsa berpotensi menjadi “spot” terpenting grup band ini bila tampil di atas panggung. Dapat menarik atensi penonton deh.
Ditimpali permainan atraktif dari Franky, begitu pula Damez. Kadek yang kalem memberi warna tertentu, lebih pada bentuk bunyian. Seperti juga Krisna, yang memeriahkan suasana dengan racikan suara dari perangkat kibor dan synthesizernya.

Dalam sesi tanya jawab di saat jumpa pers pada Launching di Fourties Cafe,Kemang, Senin malam kemarin itu, Krisna mengatakan,”Musik kami memang fusion. It’s all about fusion. Begitulah materi lagu yang ada dalam album perdana kami.” Dan memang ada pertanyaan, adakah vokal atau penyanyi bintang tamu?
Krisna menjawab, agak hati-hati,”Kali ini kami memang pada semua lagu, tidak menampilkan penyanyi. Tapi kami berencana di album berikutnya akan ada penyanyi, sebagai bintang tamu. Memang begitu, konsep album pertama ini instrumental.”
Seluruh lagu direkam secara live, bertempat di studio milik saksofonis, Devian Z. Ini juga salah satu nilai positif album ini, yaitu direkam live. Seperti kata Krisna, bahwa mood mereka semua jadi terjaga betul bila bermain live dan langsung direkam. Tidak ada dub dalam proses rekaman ini. Biasanya live recording memperdengarkan suasana spontanitas yang menarik. Enerjinya juga akan beda.
Plus dan minus, itu sangatlah manusiawi. Nobody’s perfect. Dan biarlah terjadi, karena merupakan suatu proses. Keberanian Krisna dan kawan-kawan dalam Fusion Stuff untuk rekaman dan menyajikannya kepada publik, perlu diapresiasi dengan baik. Semoga menjadi salah satu pelecut motivasi bagi musisi dan grup lainnya, terutama yang muda-muda.
Maka beri jalan bagi Fusion Stuff untuk hadir, menyemarakkan scene jazz tanah air. Tak perlu dululah mengincar pasar internasional, menarik minat label asing untuk mengedarkan album ini ke manca negara. Mendapat atensi positif publik lokal, saat ini lebih realistis. Dan tetap membanggakan. Apalagi kalau lantas ternyata, album mereka ini laris manis. Tetap semangat ya!
Pasar negeri kita ini, lumayan gede. Menggiurkan buat kaum musik internasional. Ga heran kan, banyak musisi atawa penyanyi luar, berduyun-duyun datang, menggelar konserya di sini. Sampai setuju untuk melakukan tur, ke beberapa kota di Nusantara kita.
Lihat saja, festival jazz juga memberi porsi berlebih pada para musisi, penyanyi, grup luar negeri untuk tampil.  Mereka antusias pastinya dengan kesempatan itu, lantaran pasar yang potensial itu.Sehingga mungkin tak disadari, kita kok memberi kesempatan terlalu besar buat mereka “berjualan” di sini? Aha, serunya ya?

Eits, belok dikit dah. Tapi Fusion Stuff ini, ketauan punya potensi. Saya lantas “menemui” mereka lagi, pada beberapa kesempatan show mereka. Saya sempat membawa mereka tampil di dua festival yang saya tangani juga, di Solo dan Medan. Mereka tampil maksimal dan....menghibur! Yup, instrumental tapi ternyata...lumayan “merangkul” penonton.
Kalau gitu ceritanya, setelah merangkul. Bagusnya ya, jangan lepasin lagi rangkulan itu. Dekap erat, peluk penuh cinta dan...jangan sampai terpisah. Sampai waktu jualah yang memisahkan. Ini kayak roman percintaan 80-an?
Karena FUSION Stuff juga fusion 80-an banget? Pada perjalanan berikutnya kan, mereka mengalami tahap demi tahap. Waktu ke waktu mereka jalani. Kenyataannya, musik mereka juga berproses kok. 80-an tak terlalu jadi masalah, kan juga sering dianggap...80-an itu kagak ade matinye, coy.
Nyang penting, kreatipitas jangan mati aje. Itu udah cukup. Cukup membuat mereka bisa punya prospek bagus di waktu mendatang. Iya dong? Ada kreasi yang menambah kesegaran musik mereka. Itu penting. Biar tak terlalu berjarak, dengan kupig...anak sekarang. Anak?
Iya, maksudnya tentulah “anak-anak muda”. Kalau Fusion Stuff bisa akrab dengan anak-anak muda, waktu karir mereka bakal lebih panjanglah. Kaum muda, tetap pasar terbesar untuk musik. Itu dimana-mana, tak hanya di Indonesia. Ya, bikin anak muda, jangan kelamaan terlena musik-musik pop yang merintih dan mendayu lah ya. Kasih “semangat ekstra” kepada mereka. Taelaaa!
So, overall Fusion Stuff tetap berpotensi untuk lebih sukses. Menarik, bahwa mereka rajin tampil dimana-mana, tak sebatas ibukota, dan ke Solo dan Medan saja. Menyebarluaskan enerji positif musik mereka secara aktif kemana-mana, langsung, bergerak sendiri dan tepat ke sasaran. Asyiklah!
Kita tunggu kiprah lanjutan Krisna dengan Kadek, Alsa, Dames dan Franky. Sukses bro en sis. Jangan cepet capek yeee. Good Luck! /*








 





Saturday, March 26, 2016

KADEK RIHARDHIKA, Gurunya yang pertama adalah Donny Suhendra dan Indra Lesmana


-rewrite-
Ia telah mulai memberanikan diri tampil di atas pentas, pada usia relatif muda. Sejak pertengahan 1980-an. Grup pertamanya antara lain, Mahameru, yang sempat mengikuti ajang Light Music Contest di 1987. Lalu ia juga diajak mendukung grup musik berikutnya, 2GT2, yang kembali mengikuti ajang kontes band paling bergengsi di era 1980-an, Light Music Contest. Namun saat 1988 itu, nama kontes band itu telah berganti menjadi Band Explosion.
Pada Mahameru, saat itu ia bermain dengan Edi Soekaryo, bassis yang adik kandung kibordis, Eramono Soekaryo. Pada kibor ada Agung, drummer ada Benny Carnadi yang kini bekerja di kedubes Republik Indonesia, di Washington DC. Vokalisnya, alm.Ricky Johannes. Sementara di 2GT2, ia main antara lain bersama Lian Panggabean (gitar), Lemmy Ibrahim (drums), Anto Hoed (bass) dan vokalisnya Amiroez.

Penampilannya bersama kedua grup musik itu, memang tak mencapai puncak, mereka tidak berhasil menjuarai kontes band itu. Tapi dia merasakan manfaat besar, dengan terlibat dalam grup band yang mengikutisebuah kompetisi. Suasananya seru dan asyikbanget, kenangnya, walau ga jadi juara tapi band-nya sebenarnya buat dia itu asyik banget!
Nah menjelang pertengahan 1980-n itu, ia masuk Farabi Forum Musik Jack & Indra Lesmana. Iapun bertemu guru musik pertamanya, Indra Lesmana sendiri. Lalu ia belajar dari gitaris senior, yang memang sudah menjadipengajar di sekolah musik yang sama, Donny Suhendra. Ia mengakui, kedua nama kenamaan itu, memberikan dasar bermusik yang sangat berguna untuk ia memantapkan langkahnya. Ia memang memilih berkarir di dunia musik, selepas memperoleh pengetahuan dari guru-guru yang berpengalaman itu.
Awalnya sih, waktu  masih sekolah ia bercita-cita menjadi akuntan. Didukung oleh orang tuanya. Tapi ketika ternyata ia memilih menjadi musisi, kedua orang tuanya juga mendukung saja. “Malah mungkin lebih mendukung sebenarnya, karena biar bagaimanapun ya, bakat bermusik saya itu datangnya ya dari ayah dan ibu saya,” ungkapnya.
Ayahnya, Ketut Pandrika, memang dulunya gitaris. Sementara sang ibu, Yayuk Suryari, dulunya sempat menjadi penyanyi. Ia sendiri adalah putra sulung dan memiliki 3 orang adik. Ia kelahiran Singaraja, pada 6 Maret 1969. Oh ya, namanya adalah, M. Kadek Rihardika.
Ia lantas disebut-sebut sebagai gitaris berdarah Bali yang sukses berkarir di ibukota, selain nama Dewa Budjana. Budjana sendiri memang sahabatnya sejak lama. Kemudian setelah Budjana lalu Kadek, dari Bali muncul pula gitaris lain, Wayan Balawan. Mereka bertiga pernah tampil di Bali, “Iya, seru lho. Asyik, karena kan kita bertiga memang berteman dekat,” ucap Kadek.
Kadek lebih dikenal sebagai seorang session player, selain studio player. Ia mendukung banyak album rekaman, seperti antara lain Memes dalam lagu hitsnya, ‘Terlanjur Sayang’. Lalu, Titi DJ, ‘Aku Masih Muda’. Yuni Shara juga ikut didukung, dalam ‘Belaian Sayang’. Selanjutnya, album pertama Sherina, Andien, Reza Artamevia.
Ia juga mengisi gitar pada beberapa lagu yang dibawakan Afgan, pada semua album Tangga. Ia juga mendukung Glow-nya Melly Goeslaw. Termasuk membantu rekaman Bebi Romeo, Delon Idol, Mikha Tambayong, The Sister, Andity, Andy Ayunir hingga juga Indra Lesmana.

Untuk grup band, ia sempat masuk formasi kelompok musik Spirit Band, dimana ia menggantikan Dewa Budjana. Bermain dalam Indra Lesmana Quartet, dengan Gilang Ramadhan dan Jeffrey Tahalele. Berlanjut dengan Elfa’s Band. Dari situ, ia diajak mendukung berbagai orkestra antara lain dengan Erwin Gutawa, Purwatjaraka, Dian HP dan Andy Rianto.
Gitaris yang kalem bila di atas panggung dan mengagumi Mahatma Gandhi ini, saat ini tergabung dalam Yovie Widianto Fusion, kemudian juga Fusion Stuff. Ia pada beberapa waktu lalu juga membentuk Tricon, sebuah trio baru bersama Budhy Haryono (drums) dan Zoltan Renaldi (bass). Sebelumnya, ia juga mendukung Potret sebagai additional guitarist.
Ia juga sekian lama menjadi instruktur gitar, antara lain di sekolah musik Farabi. Siswa-siswa kelas gitarnya adalah antara lain Abdee Slank, Marshal ADA Band, Irvan Samson, Adit Elemen, Apoy Wali, Moldy Raja lalu juga Soni dan Iman dari J-Rock.
Kadek yang memang lumayan panjang jam terbangnya ini, dan penggemar berat Chick Corea & Electric Band, Tribal Tech, Rush selain semua artis Windham Hill ini memiliki harapan untuk musik di masa depan. “Pengennya ya, musik-musik yang idealis dpat disejajarkanlah dengan musik-musik industri. Soalnya kan kesannya, musik industri lebih diutamakan saat ini. Sementara iu, musisi dari kalangan musik industri juga janganlah menjadi musisi yang instan.”
Ia juga menyebut Steve Lukather, Scott Henderson, Pat Metheny, Michael Landau, Gothrie Goven, Dominic Miller sebagai para musisi atau gitaris yang banyak memberi inspirasibagi permainan gitarnya. “Semua nama-nama itu, memainkan fusion, jazz, rock dan pop yang asyik banget untuk didengerin dan dinikmati. Jadi contoh yang sagat baik buat saya tuh,” terangnya.
Ia sulit melupakan pengalamannya menjalanitur ke 33 kota bareng GIGI. Banyak banget kotanya, melelahkan juga, tapi seru banget dengan kebersamaan yang terjadi sepanjang tur itu. Saat itu, ungkapnya, ia menjadi gitaris pendukung GIGI.
Sebagai gitaris yang juga mengajar, kini ia memilih mengajar secara private saja di rumahnya di kawasan Bintaro Jaya, ayah dari Kaylifa Nurul Alunandika (12 tahun) dan Arpegio Satya Radika (3 tahun) ini mempunyai pesan. “Buat para gitaris muda, terutama anak-anak muda yang kepengen jadi gitaris profesional, yang beneran. Modal penting untuk menjadi gitaris yang baik dan benar itu, jangan pernah lelah untuk berlatih. Kuatin deh basic-basic bermain gitar.”
Lanjutnya, “Memiliki sarana atau alat ya tentu gitar tapi yang sesuai dengan kita, nanti dilengkapi efek dan amplifier yang sesuai dengan kebutuhan kita. Yang terpenting, sebagai gitaris harus mampu mempertanggung jawabkan apa yang kita mainkan. Terus giat latihan, performing juga, lalu biasain sering jammin, bergaul dengan para musisi. Dengan pengalaman-pengalaman itulah, akan membentuk karakter atau style permainan gitar kita nantinya. Upayakan jam terbang terus bertambah, jangan sungkan dan ragu untuk main dan tampil dimana-mana.”
Menurut Kadek, yang juga bermain dalam 4-Strings bersama 3 gitaris lain,  kesempatan bermain itu harus dicari dan kalau perlu dikejar. Tentu saja, sebelumnya terus menyempurnakan permainan gitar dulu, sehingga mampu bermain dengan sebaik-baiknya. Ia menyarankan, bergaul dengan sesama musisi muda itu bagus.
Bisa  juga masuk komunitas-komunitas, bisa sharing satu sama lain. Kadek saat ini tercatat sebagai salah satu anggota aktif dari komunitas GTS, Gitaris Tangerang Selatan. Ini sebuah komunitas para gitaris profesional, yang mulai kumpul sejak awal 2014 ini.
Ia mengakui, “Banyak bermunculan gitaris-gitaris muda berbakat. Banyak diantaranya bersemangat dan mau bergaul luas. Wawasannya jadi akan lebih melebar dan berkembang dengan baik. Itu jelas modal bagus untuk karirnya ke depan nantinya”.
Ia melanjutkan,“Asyik melihat bermunculannya gitaris-gitaris muda yang kreatif dan bagus-bagus permainannya, sarana mereka belajar kan terbuka luas ya. Jadi motivasi juga buat kita, untuk juga berkembang terus dan tetap mengikuti perkembangan musik yang ada.”
Adapun kegiatan terakhirnya, ia menjalankan program jazz reguler mingguan, Fusion Jungle. Mengambil tempat di sebuah kafe di kawasan Kemang. Menampilkan band-band muda dari khasanah “jazz dan sekitarnya” Sebuah arena bagus, buat nama-nama muda, untuk menambah jam terbang, sekaligus juga ajang kumpul-kumpul para jazzer.
Ia juga belum lama ini, menangani musik untuk mini-concert The Great Composer Oddie Agam-James F.Sundah di Jakarta.Ia menangani musiknya, bersama grup bandnya. Dan kayaknya gawean begituan akan berlanjut lagi. Via whats-app messenger, ia memberi info, bulan depan akan menangani pula mini-concert B3.
Kemudian ia juga berniat lebih serius untuk “menghidupkan” trio-nya. Kini ia mengajak Adi Darmawan, bassis. Dengan drummernya, Eddy Syakroni. Kepengennya kali ini bisa rekaman juga. Untuk itu ia sudah menyiapkan setidaknya tujuh lagu, untuk debut albumnya tersebut. Semua adalah karyanya sendiri.
Ia malah buka kartu, beberapa lagunya antara lain,’Stick It’, ‘Move On’, ‘My New Half’, ‘Crazy Hybrid’. Ia mulai mencoba memainkannya saat ia dapat kesempatan tampil. Mudah-mudahan deh tahun ini juga bisa diedarin, begitu harap bassis yang suka dipanggil “Menteri Kelautan” (juga, logistik?) oleh teman-teman dekatnya ini. Karena apaan sih, bisa berenang? /*








INDRO HARDJODIKORO, Hei, Feel Free to Travelling!


-rewrite-
Sebenarnya ada apa, apakah gerangan nan terjadi, bahwasanya kedua sahabat teramat sangat dekat itu, seperti pecah kongsi? Dan merekapun tidak lagi bersama. Dan, inilah sebuah pembukaan tulisan yang...agak-agak iseng gimana gituuu...
Ini perkara menyangkut akan bassis “papan atas”, Indro Hardjodikoro dan gitaris yang juga “papan atas” Tohpati Ario Hutomo. Sama-sama papan atas, karena kan sahabatan sejak lama. Sewajarnyalah kalau posisi keduanya sama. Kalau saja, yang satu di atas dan yang di bawah, mungkin tidak bersahabat namanya.
Jadi, orang-orang musik tahu sejak lama bahwa yang namanya Tohpati dan Indro sudah seperti seiya sekata. Adapun awal mulanya, dari formasi Halmahera Band, kontestan ajang kompetisi band paling bergengsi era 1980-an, Light Music Contest (lantas berubah nama menjadi, Band Explosion). Tapi masih ada cerita sesungguhnya, sebelum Halmahera.
Mereka berdua bertemu di sebuah kursus musik, khusus band. Tohpati di grupnya. Indro juga di grupnya, dan ini menariknya bahwa Indro saat itu pemain perkusi. Tohpati perhatikan Indro, dan menurutnya ya, ah biasa saja sih. Tentu saja, ini becanda. Karena kemudian, kenalan lanjut ngobrol. Tau-taunya, Indro diajak ngeband bareng dan Indro lalu menjadi pemain bass.

Dari Halmahera, lanjutlah kemana-mana. Kedua nama ini terus lengket. Agaknya, ini persoalan feeling saja. Tohpati sudah nge-klik dengan Indro, begitupun sebaliknya. Paling tidak, mereka berdua terus masuk formasi Erwin Gutawa Band (inilah cikal bakal Erwin Gutawa Orchestra), untuk mengiringi Ruth Sahanaya dalam konser solonya.
Masih berlanjut ketika Erwin memang membentuk orkestra, Indro dan Tohpati kembali disertakan dalam combo bandnya. Mereka juga ke Twilite Orchestra. Lalu ke Magenta Orchestra-nya Andi Rianto. Jadi begitulah, jalan bareng terus. Termasuk mengerjakan musik untuk album-album rekaman. Pasangan ini seolah enggan terpisahkan.
Tapi benarkah, duniaku tiada arti tanpamu, buat Indro ke Tohpati dan juga sebaliknya? Ahay, ya tidaklah sampai segitunya sih. Pada akhirnya, solah...waktu jualah yang meisahkan kita. Walau tak sepenuhnya itu benar. Tohpati membentuk Supersonic, tanpa menyertakan Indro. Sementar Indro membentuk trio sendiri, awalnya dengan kibordis, Lal Intje Makkah dan drummer, Inang Noorsaid.
Indro kemudian juga terus, dengan trionya itu. Walau terpaksa juga sempat gonta-ganti personil. Karena Lal sibuk banget di “pasukan” pengiring Agnezmo. Inang diganti tenaga yang lebih mudaan, kayak Demas Narawangsa. Tapi Demas sekarang sedang studi dan memilih mencoba stay di Los Angeles. Maka muncul nama muda lain, Yandi Andaputra atau Iqbal. Sampailah, Feel Free meluncur sebagai debut solo album Indro Hardjodikoro.
Sementara Supersonic dengan mengandalkan pada vokalis, Glenn Waas dan bassis muda, Kristian Dharma, juga mengeluarkan debut album. Musiknya berwarna rock yang nge-pop. Tohpati pun juga sebelumnya sempat sering bermain duo saja dengan Dewa Budjana. Belakangan malah ikutan formasi Six Strings dengan lima gitaris lain seperti Dewa Budjana, Aria Baron, Andre Dinuth, Eross Chandra, Baim. Walau lantas digantikan Fajar Adi Nugroho.
Indro meneruskan solo projectnya. Ia banyak menjajal musisi-musisi muda. Mereka memang berpotensi dan kelihatannya kemudian bahwa terkesan cocok dengan Indro. Dan Indro kemudian juga mencoba meneruskan konsep trio-bassisnya. Awalnya, di awal 2000-an, Indro sempat bergabung dalam B3-Bass Players. Ini kelompok musik “khusus” bassis ternama lho, dimana Indro bermain dengan Bintang Indrianto dan AS.Mates, muncul atas ide Bintang.
Oh ya mundur sedikit ke belakang, Indro senantiasa mengakui bahwa Bintang Indrianto adalah salah satu guru bassnya yang pertama. Nah kalau ditanyakan ke Bintang, selalu juga jawabnya ah Indro bisa aja, emang aku pernah ngajarin dia? Indro kemudian belajar memperdalam musik terutama jazz dengan Indra Lesmana, alm. Maryono dan Erwin Gutawa.
Dan Indro memang makin dikenal luas, karena Halmahera dan karena kedekatannya dengan Tohpati. Mungkin bisa disamakan dengan betapa lekatnya Inra Lesmana dengan Gilang Ramadhan, atau Erwin Gutawa dengan Aminoto Kossin misalnya ya. Atau siapa lagi ya, boleh kali ya disebut juga, Ireng Maulana dan alm.Hendra Wijaya? Yance Manusama dengan alm.Christ Kayhatu? Ya seperti itulah.
Kembali ke proyek-proyek musik Indro, ia lantas meneruskan konsep trio bassis dengan mengajak Arya Setiadi dan Nissa Hamzah. Dari situ, ia kemudian mengajak bassis lain, Fajar Adi Nugroho dan Shadu Rasjidi. Konsep tersebut sempat dinamai, Three-Fingers. Lalu sekarang ini menjadi The Fingers, dimana mengetengahkan duo bass, Indro dan Fajar Adi Nugroho.
The Fingers di tahun silam sudah menghasilkan album bertitle, Travelling. Dan grup ini bahkan sudah melanglang jauh ke Rusia dan beberapa negara Eropa Timur. Akhir September 2014 kemarin, juga bermain di Washington DC. The Fingers itu, didukung pula oleh para musisi muda seperti Andy Gomez (kibor), Echa Sumantri atau Demas Narawangsa (drums) dan belakangan juga Yandi Andaputra. Sementara itu, Indro tetap memiliki trio-nya yang kali ini ia sering bermain, antara lain dengan Aditya Bayu dan Iqbal.
Ia saat ini masih mempunyai waktu pula untuk mengajar di IMI (Institut Musik Indonesia). Sebelumnya, mengajar pula di Farabi. Indro selain sebagai bassis papan atas, juga dikenal luas sebagai pengajar bass yang berhasil “mencetak” bassis-bassis muda, berbakat besar. Agaknya mengajar itu seperti “sebagian dari iman” buatnya.
Menurut Indro, mengajar itu adalah seperti pengabdian. Ia peduli dengan musisi muda yang pengen bisa main musik dengan benar. Ia mempunyai panggilan jiwa, untuk bisa mencoba mengarahkan calon-calon musisi itu untuk menjadi musisi yang baik di “jalan yang benar”. “Mudah-mudahan sih begitu ya...,”ucapnya sambil tertawa lebar.
Sepanjang karirnya, Indro yang kelahiran Jakarta 14 Desember 1968 ini, juga sempat mengecap pengalaman bermain dengan banyak musisi terkemuka asing. Seperti misalnya, Eric Marienthal. Juga dengan Kenny Garret, Michael Lington, Dave Koz sampai Michael Colina. Ia juga pernah melakukan perjalanan tur ke Amerika Serikat dan Beijing. bersama Dwiki Dharmawan & World Peace Ensemble, dimana mereka melakukan kolaborasi dengan Howard Levy, Frank Gambale, Earnie Adams dan lainnya.
Ia juga ikut dalam penggarapan album rekaman penyanyi internasional Malaysia, Sheila Madjid. Selain itu mendukung rekaman solo album penyanyi Dira Sugandi, yang diproduseri oleh Bluey, petolan utama kelompok Incognito.


Indro juga dikenal lewat kelompok yang dimotori oleh Riza Arshad dan Tohpati, simakDialog. Tapi di grup itu ia lantas digantikan Aditya Pratama. Terutama juga setelah drummer simakDialog, Arie Ayunir, berpindah ke Amerika Serikat.
Selain itu, kiprahnya yang lain adalah bersama Bass Heroes, ini kelompok kumpulan para bassis. Kumpul di 2006, untuk langsung bikin album rekaman dan menggelar konser di Graha Bhakti Budaya, dipromotori Pos-Entertainment. Berisikan antara lain, Thomas Ramdhan, Iwan Xaverius, Nissa Hamzah, Barry Likumahuwa, Adam Sheila on7, Bondan Prakoso, Bongky Marcel, Arya Setiadi, Arie Firman, Rindra Risyanto, Ronny Coklat-Band dan Bintang Indrianto.
Dhani Pette dengan Pos Entertainment lantas berinisiatif menyelenggarakan lagi konser Bass Heroes yang kedua, di tahun 2016. Tapi dengan formasi bassis berbeda, yang “hanya” menyisakan Indro, Barry Likumahuwa, Nissa Hamzah, Arya Setiadi dari Bass Heroes 2006. Dan memanggil bassis lainnya, termasuk bassis muda dan menambah pula bassis perempuan lainnya.
Kembalil agi ke seorang Indro Hardjodikoro, memang saat ini telah menjadi salah satu bassis terdepan. Dari generasi 80-an akhir, ia terbilang yang paling maju dan menonjol. Salah satu indikasinya, saat ia melakukan konser dimanapun, penampilannya menjadi salah satu acara “wajib ditonton” oleh para musisi muda. Bahkan tak hanya semata-mata bagi bassis saja.
Padahal suami dari Muna Bunayati dan ayah dari Annissa Ghina Kamila (12 tahun) dan Jihan Nadin Amirah (10 tahun) ini, serunya ya awalnya itu main harmonika dan lalu perkusi. Iapun sempat beberapa tahun lalu, mencoba belajar saxophone segala! Kenapa tidak mencoba belajar vokal juga, ‘ndro? “Hahaha, memang bagus ya, kalau aku jadi penyanyi juga?”Tanyanya becanda.


Saat ini Indro juga “berduet” dengan istrinya, Naya, begitu panggilannya. Oh, bikin album rekaman? Ga sih. Mereka berpartner kerja, menjalankan program Jazz Spot program jazz reguler, setiap seminggu sekali di hari Senin malam. Sudah 4 tahun-an terakhir ini dan sudah berpindah tempat tiga kali. Saat ini venuenya adalah Naches, pride&joy, masih di kawasan Kemang juga.
Menurut Naya, ia membantu Indro yang kepengen jazz itu terus aktif bergerak. Mengimbangi akan arus musik-musik pop yang terdengar dimana-mana, ya jazz juga harus ada. Soalnya kan banyak musisi muda berbakat saat ini, mereka butuh wadah untuk tampil. Begitupun halnya dengan musik rock, sebetulnya.
Indro sendiri mengatakan, ini program berbentuk komunitas. “Aku bekerjasama dengan kafe-kafe itu, membuka program reguler jazz. Mudah-mudahan juga bisa merangsang muncul lebih banyaknya musisi muda berbakat. Setiap kali, kita bikin jam session. Dan teman-teman musisi muda yang datang, biasanya sudah siap bawa alat mereka sendiri. Asyik, jam sessionnya jadi ramai,”tambah Indro.

Oh ya, menyoal perkongsiannya dengan Tohpati, sejatinya tak pernah berakhir. Karena Indro tetap mendukung kelompok Tohpati Ethnomission, yang sudah merilis album secara internasional. Tohpati juga melibatkan Indro dalam trio jazz-rock, Tohpati-BERTIGA bersama drummer, Aditya Wibowo yang juga drummer Gugun Blues Shelter. Selain itu, Indro juga mendukung kelompok Tohpati bersama Wayan Balawan dan Dewa Budjana, Trisum.
Saat tulisan ini dibuat, melalui media whatsapp-messenger, Naya mengungkapkan pula kesibukan Indro. Solo album kedua serta album kedua The Fingers segera masuk tahapan mastering. Sementara itu, Indro juga membentuk sebuah kelompok rock baru, The One namanya. Dimana Indro mengajak para musisi muda yaitu Iqbal (drums), Fawdy Irianto (gitar), Eggy (kibor) dan Rendra pada vokal. The One ini juga akan masuk studio rekaman.


Pada akhirnya, grup ini menjadi Hei Band. Dengan para personilnya adalah Eggy (kibor), Yankjay Nugraha (gitar) dan Iqbal (gitar). Selain Indro tentunya. Dengan vokalisnya, Gilang “Idol” Syamsu. Hei-Band ini kemudian “terpilih” menjadi band yang melengkapi ikon rock Indonesia, Yockie Suryo Prayogo, dalam pementasan konser Lomba Cipta Lagu Remaja+.
Konser LCLR+ memainkan karya-karya terbaik (dan populer) dari Lomba Cipta Lagu Remaja yang digelar oleh stasiun Radio Prambors sejak 1977. Selain juga lagu karya-karya dari Yockie Suryo Prayogo, sejak akhir 1970-an. Konser itu sejauh ini sudah menyingahi 3 kota yaitu Jakarta, Bandung dan Surabaya. Direncanakan, kota berikutnya adalah Malang.

Catatan khusus adalah, konser LCLR+ menampilkan banyak karya-karya “emas” 1970-1980an, yang sebagian besar cenderung ke bentuk prog-rock. Indro bertindak sebagai musisi yang membantu sepenuhnya Yockie Suryo Prayogo, dalam mengemas musik atas semua lagu yang dimainkan. Betul-betulsebuah tantangan lumayan beratbuat Indro dan band-nya itu. Dimana merekaharus mengiringi banyak sekali penyanyi, yang berganti-ganti di setiap kotanya.

Indro bersama trio-nya juga dua kali sempat berpentas di Manado, Sulawesi Utara. Mereka melakukan kolaborasi pula dengan musisi tradisi setempat. Karena dua kali, dalam waktu agak berdekatan ke Menado, Indro dan Naya mulai mencoba berbahasa Manado. Mungkin kalau sudah 4-5 kali pasiar pi sana, mereka boleh dapa faam Kawanua stow. Hehehehe...
Cukup dulu ya, mengenai Indro nan Hardjodikoro? Nanti saja, kalau ada lagi kabar-kabar terbaru dari bassis murah senyum dan sering becanda ini, kita tulis lagi. Untuk Indro, salam hormat dan salam...Pakatuan Wo Pakalawiren! /*