Sunday, April 30, 2017

Deddy Permanasakti, Friends will be Friends, dude....


(diambil dari tulisan saya sendiri, diupload September 2013, www.newsmusik.co/profile/groupband)
Kami berdiri di Balikpapan, Kalimantan Timur, pada tahun 1989. Kami bertiga dulu, bermain untuk sebuah clubs di sana. Lalu jalanlah, sebagai trio. Kemudian kami lantas mencari satu orang vokalis. Itu berdirinya, lalu duduknya, kapan? Tapi yang pasti, Deddy Isman, kibordisnya dan yang pertama kali berinisiatif membentuk kelompok ini, lebih sering bermain sambil duduk. Teman-teman lain, lebih capek dong?
Tapi bagusnya, ternyata mereka tetap seia-sekata. Tak terasa sampai sekarang jalan terus bersama. Bergandengan mesra! Mesra? Kok kelihatannya, yang paling mesra itu, Rudiansyah sang gitaris dan Deddy Permanasakti si vokalis? Ada apa sih? Ini joke segar mereka, yang terus berbunyi sampai sekarang. Ok, tapi ada apa sebenarnya?
Yang jelas, mereka hanya sempat mengganti gitaris. Gitaris baru 3 kali berganti. Pertama adalah, gitaris kawakan, Agam Hamzah. Sementara para personil lain tetap saja. Betah luar dalam. “Kami ini bukan lagi band, tapi keluarga. Ada yang mau solo karir, kita support rame-rame,” terang Oppie Danzo, vokalis.
Raymond Patti, drummer, mengiyakan. “Ini jadi bukan semata-mata band. Sekian puluhan tahun bersama. Jadi kayak keluarga dan kerabat dekat. Ada yang ditimpa musibah, ya kita bantu bareng-bareng. Kan kita juga menyimpan tabungan sebagai kas. Bahkan kita juga membiasakan diri, membagikan THR di antara kita lho…” Jelas Oppie Danzo menambahkan.
Nama mereka adalah 2nd Born (Second Born). Artinya, menurut Deddy Isman, Born itu diambil dari Borneo sebenarnya. “Kan kami berasal dari Kalimantan tuh.”terang Deddy Isman lagi. Lalu kata-kata “2nd” di depannya, lebih sebagai pemanis. “Jadi jangan tanyakan, 1st Born nya siapa dan dimana ya? Dipilih nama 2nd Born biar lebih enak aja dilihatnya dan diucapkan,” lanjut Raymond Patti.
Pada awalnya dulu, mereka bertiga memang mampu menyanyi, sambil main musik. Walau sejatinya, drummer Raymond Patti itu adalah penyanyi asli, bukan drummer! “Yang kami cari itu, penyanyi tapi bisa main drums. Paling tidak ya mau belajar bisa main drums. Kita kepengen memang semuanya bisa menyanyi. Raymond kita tarik, dan dia bersedia untuk belajar drums…”jelas Deddy Isman, sambil senyum.
Bertiga Deddy Isman, Raymond Patti dan bassis, Abdul Kadir, lalu mencari vokalis utama dari band. Berjumpa dengan Ayib Bahasyim, yang ternyata berminat untuk bergabung. Itulah formasi paling awal.
Pada perkembangannya, di 1991, mereka memenuhi ajakan alm.Harry Bharata dan Jelly Tobing, untuk pindah ke Jakarta. Mereka bertemulah dengan Agam Hamzah, yang bersedia menjadi gitaris. Masuk Jakarta, tahun 1991. Beberapa bulan kemudian, mereka kembali, dan bermain di clubs di sana kembali.
Di 1992, mereka lantas berangkat lagi ke Jakarta. Nekad untuk mengadu nasib. Dan buat mereka, kalau ingin maju dalam bermusik, harus ke Jakarta! Berikutnya, masuklah penyanyi, Deddy Permanasakti, di tahun 1992-an. Terakhir, barulah Oppie Danzo. Dan dari sebelumnya, mereka sudah mulai terbiasa untuk dominan menjadi cover-band dari Queen!
Paling menarik, mengamati perjalanan kelompok ini memang pada formasinya yang tak berubah. Terus bermain. Hingga kini mereka juga sudah berkeliling berbagai kota di seluruh Indonesia, bahkan juga luar negeri. Tambah menarik mendengar cerita mereka, tidak pernah main di Bali. Lama juga mereka mengidamkan bisa main di Bali.
Tapi, ini cerita Oppie, ketika sekalinya mereka memperoleh job ke Bali maka lantas berturutan job mengalir untuk ke Bali. Bahkan, pernah terjadi dalam seminggu kami main di Bali dua kali, tambah Deddy. Begitupun halnya dengan kota Medan. Tidak pernah ada job di Medan, tapi begitu dapat, berturutanlah job berdatangan dari ibukota Sumatera Utara itu.
2nd Born, untuk seluruh members-nya, telah memberi banyak hal. Sebagian besar, hal-hal indah, kata mereka. Dari kesukacitaan, fans-fans yang bertambah terus dan baik hati serta…aha, rajin memberikan cinderamata macam-macam. Hidup merekapun menjadi lebih nyaman dan lumayan terjamin.
Sssst, ealaaaa bahkan sampai…istri! Salah satunya Oppie Danzo, yang menikah walau istrinya ternyata bukan fans 2nd Born. Bahkan istrinya tidak tahu sebelumnya, bahwa Oppie itu penyanyi.
Oh ya, perkara karir di luar grup, Oppie dan Deddy selama ini memang sempat punya grup atau mendukung grup lain. Oppie misalnya, dengan Voodoo dan Opera. Tapi, jelas Oppie, saya mengutamakan 2nd Born. Karena ya, saya diijinkan dengan grup lain, dengan baik-baik oleh semua personil kan? “Saya malah didukung penuh oleh teman-teman 2nd Born. Ini memperlihatkan bahwa kami memang bukan lagi band, tapi sudah menjadi keluarga,” terang Oppie.

Yang saya ingat betul, tulisan bisa dibuat seperti di atas, setelah mereka bersedia memenuhi undangan saya, menjadi guest-star di sebuah program radio. Itu program saya sih, di salah satu stasiun radio swasta terkemuka ibukota, yang masuk di tahun 2017 ini kabarnya telah beralih kepemilikannya.
Saya sih sudah tidak lagi meneruskan program wawancanda, wawancara tetapi banyak becanda-becindinya gitu, sejak beberapa tahun lalu. Sudahlah, cukup kiranya 5 tahun menjalankan program itu. Pihak radio itu juga jangan-jangan, saat itu ya, mulai bosen kali sama program saya. Hihihihihi....

Eh ini lagi omongin Second Born, kenapa jadi omongin saya. Curcol? Curhat ngocol? Ok, ok maaf intermezzo. Balik deui ke 2nd Born.Ini nulisnya apa sih enaknya. Udahlah terserah ya, yang penting ngucapinnya benar kan ya?
Sampai tulisan ini dibuat (lagi), grup ini masih ada. Masih eksis. Walau mereka harus kehilangan Deddy Permanasakti. Deddy telah berpulang pada 23 Oktober 2016, karena sebuah kecelakaan lalu lintas di tengah malam.
Deddy kelahiran 19 Januari 1968, karir musiknya lumayan panjang. Seinget saya, sejak 1980-anlah. Ia malang melintang dengan keluar masuk berbagai grup band. Yang saya ingat hanya ada Second Smile misalnya. Ini malah grup rock, hard rock. Antara lain dengan Andy Ayunir, Bintang Indrianto, Faisal “Wow” Indraputra.
Nah saat ia mendukung Spirit Band, namanya lantas mulai dikenal lebih luas. Karena ia menjadi vokalis Spirit Band, dalam album kedua mereka bertajuk Mentari. Deddy menggantikan posisi vokalis, Komala Ayu. Dimana Komala Ayu,menjadi special guest star di album kedua kelompok asal Jakarta itu.
Dalam album itu, Deddy bermain bersama Eramono Soekaryo (kibordis, leader). Lalu Rita Agustina Silalahi (kibor), Bintang Indrianto (bassis), Dewa Budjana (gitaris), Didiek SSS (saxophonis) dan drummer, Uce Haryono.
Saya kenal Deddy juga sudah lumayan lama, ya seputaran 1980-anlah. Pergaulan musik Deddy memang lumayan lebar dan luas waktu itu. Ia rajin datang menjumpai teman-teman musisi, baik di studio-studio latihan atau kafe-kafe.
Yang menarik, dulu memang sudah sering becandaan ya. Tapi imagenya di atas panggung itu, apa ya, penyanyi yang “serius”lah. Bisa nge-rock. Tapi eh kemudian bisa rada-rada nge-jazz juga.
Nah seinget Ophie, sesuai keterangan teman-teman Second Born lainnya, Deddy masuk pertama kali saat mereka tampil di News Cafe, Kemang  Itu di sekitar tahun 2004. Setelah itu Deddy kerasan menjadi frontline nya Second Born.
Ketika dengan Second Born lah, becandaan-becandaan sehari-harinya dibawalah ke atas panggung. Ia lantas berkembang menjadi salah seorang entertainer yang komplit. Menyanyi dan...melawak! Seiring dengan itu, Second Born lalu dikenal juga sebagai grup band yang “sangat ngocol” di atas panggung. Bikin penonton mereka terhibur secara lebih lengkaplah!
Nah kalau mau diseut keunggulan dari Second Born ini adalah terutama pada sisi musiknya. Saya pikir, perjalanan mereka yang lumayan panjang itu, jadi penyebab. Membuat sisi musik mereka terasa lebih rapi jali. Enak dan “lengkap” kalau didengerin. Sedap kan, kalau bumbu-bumbunya lengkap gitu.
Soal musik, teristimewa karena mereka juga dianggap salah satu cover band dari Queen, saingan mereka memang paling tidak hanya ada Solid 80. Kelompok yang dipimpin kibordis yang penyanyi yang bisa bergitar itu, Tony Wenas, umurnya memang sedikit lamaan dari Second Born.
Walau ada bedanya juga sih. Kalau Solid 80 itu fully Queen. Kalau Second Born, lebih lebar dari hanya membawakan lagi lagu-lagu kelompok Queen. Mereka lebih sebagai entertainer band, apa yang suka disebut sebagai band Top-40. Walau memang, didominasi lagu-lagu Queen.
Kalau sisi komedinya, kejahilan mereka di atas panggung itu ya, saingan mereka itu ada Wong Pitoe. Yang belakangan Wong Pitoe, masih ada kok, tetapi ada juga band lain yang didukung sebagian eks personal Wong Pitoe, Chaplin Band namanya.

Kemarin ini, Sabtu 29 April 2017, Second Born tampil dalam acara Friends will be Friends. Acara yang bertemasentral, Tribute to Deddy Permanasakti. Dalam acara itu hadir juga, sahabat-sahabat baik dari almarhum Deddy Permanasakti dan Second Born, yang lantas tampil memeriahkan acara. Dipandu pembawa acara yang manis, Tessa Kaunang.
Acara tersebut dibuka oleh Soul Rhythm, sebuah entertainer band juga, yang tak kalah panjang juga usianya. Kelompok ini ditokohi Nyong Anggoman, kibor. Dan drummer, Cendi “Cenlung” Luntungan. Belakangan mereka juga didukung gitaris, Pepe dari Wong Pitoe.
Soul Rhythm sebagai pembuka acara, lantas juga mengiringi bintang tamu, seorang penyanyi cantik bersuara menawan, Eka Deli. Eka Deli memilih membawakan lagu-lagu hits dari mendiang Whitney Houston.


Lalu berikutnya baru naiklah tuan rumah, 2nd Born itu. Mereka saat ini tampil tetap dengan formasi terakhir mereka, Ophie Danzo dan Ayib Bahasyim (vokalis). Dengan tetap didukung Abdul Kadir (bassis), Rudiansyah (gitaris), Raymond Patty (drums) dan Deddy Isman (kibordis).
Diceritakan oleh Ophie, bahwa kelompoknya ini sebenarnya berdiri pada 25 September 1989. Mereka hanya sempat mengalami pergantian gitaris. Dari awalnya adalah sempat Agam Hamzah, digantikan Lilik. Dari Lilik, baru kemudian masuklah Rudiansyah Djamdjam. Rudy bertahan hingga sekarang.
Perihal Deddy Permanasakti, ia sempat masuk di tahun 1992-an. Tetapi hanya gabung sebentar. Lalu keluar. Setahun kemudian, jadi ya di 1993-an, Ophie gabung dengan Second Born. Di awal 2000-an, sempat masuk vokalis lain, Herson Harsya, membuat mereka tampil dengan format 3 vokalis.
Tetapi pada sekitar 2004-2005, Herson ternyata pamit mundur. Deddy pun kembali bergabung. Dan seterusnya itulah formasi lengkap mereka. Sampai kepergian untuk selama-lamanya Deddy itu.
Pada acara kemarin, Deddy tetap “dimunculkan”. Antara lain lewat tayangan foto-foto dari aktifitas Deddy selama masa hidupnya. Kemudian juga lewat gaya-gaya khasnya, yang ditiru habis oleh duet Ophie dan Ayib.


Selain Second Born, dipanggil naik juga beberapa bintang tamu. Maka terjadilah pertemuan kolaborasi seru, antara Second Born dan Solid 80. Solid 80 diwakili trio vokalisnya yang adalah Tony Wenas, kemudian Jodie Wenas dan Kadri Mohamad.
Beberapa lagu Queen pun dibawakan, dengan vokal yang lebih sebagai koor jadinya. Ya iyalah, koor atawa paduan suara. Yang nyanyiin kan jadi 9 orang. Yes, Second Born itu keempat musisinya ya ikut menyanyi juga lho. Ya emang begitu sih sedari dulunya kan?
Sebelum memanggil naik, para seniornya dari Solid 80, begitu memang Ophie memanggilnya. Sempat didaulat untuk menyanyi, pengusaha yang juga vokalis dan bisa disebut tokoh musik. Khususnya musik-musik era 60-70an. Siapa lagi kalau bukan Dali Taher.


Dali Taher lantas mengajak serta drummer senior banget, yang kini lebih suka menjadi penyanyi saja, Jelly Tobing. Jelly sempat juga menyanyi sendiri, setelah Dali Taher, dimana Jelly secara khusus meminta anaknya ikut bermain. Anaknya itu, Ikmal Tobing, yang drummer muda berbakat itu lhooo.
Oh ya acara kemarin itu dimaksudkan untuk mengenang almarhum Deddy Permanasakti. Selain itu juga menjadi charity night, dimana hasil yang didapat, baik dari hasil pendapatan tiket masuk dan lelang lagu, sebagian akan disumbangkan kepada keluarga Deddy Permanasakti.
Begitulah cerita tentang sahabat-sahabat Second Born. Juga mengenai sahabat banyak orang, almarhum Deddy Permanasakti. Dan kemeriahan acara yang khusus didedikasikan untuk almarhum dan keluarganya.
Deddy sudah pergi, tetapi ia tak akan pernah terlupakan. Suaranya, musiknya, dan kelucuan-kelucuannya. Istirahat dengan tenang ya, brother Deddy di sana..../*









Friday, April 21, 2017

Tohpati-Bertiga, Memang Penambah Darah, Tenaga dan Semangat Hidup



Begitu dengerin track pertama, ‘Conviction’, alamak! Kenapa saya jadi tersengat, hingga lubuk hati yang terdalam. Ahay, lebaynyooo! Kalau aja saja, saya ga tahu ini cd albumnya siapa, saya mungkin pikir ini album trio bule nih.
Yes, saya tersengar. Seperti langsung memancing naik adrenalinlah. Ngerock. Steve Vai, Jeff Beck, Steve Morse? Or who else, Eric Johnson? Oh no! No, no, no. Rubben Fordlah atau Mike Stern? Mungkin almarhum Allan Holdsworth? Ini lebih ngerock sih. Lebih, hot. Eddie Van Halen dong? Astaga!
Well gini, deskripsi saya pasti lebih ke “orang awam. Please guys, maklumilah awak ni bukan pemain gitar. Jadi lebih pada rasa aja. Taste atawa selera ya? Saya pastinya tak mungkin membahas album baru ini ke sisi tehnikal, apalagi gitarnya. Sok teu amat elo, bro! Bisa gitu orang-orang nanti bilangnya....

Tapi lagu kedua, mungkin intensitas rada menurun. Tapi tetap punya daya sengat. Funky gitu deh. Lagu kedua adalah, ‘Faces’. Lagu itu yang judulnya lantas diambil jadi judul album ini. Ini album gitar memang sih. Di depan gitar, ber-effects macam-macam kayaknya. Bass dan drums terus dengan rapat mendampingi.
Dengan sound yang relatif beda, ya pada gitarnya, masuk ke lagu ketiga, ‘Extraordinary’. Lagu ini datangnya dari inspirasi atas kepergian sahabat baiknya, musisi jazz, Riza Arshad. Ini semacam cara dia memberi semacam respek dan apresiasi terhadap sang sahabat itu.
Nah lagu keempat, Bright Side’, sound gitarnya oho. Tebal, gurih, lezat, enak dilidah, masuk tenggorokan lancar euy. Bikin peruttak terlalu lama, berasa kenyang. Nikmatnya! Saya kasih tahu ya, ini sound gitarnya emang...bisa bikin “rada menipu”. Ke bule-bule anlah ya.

Pada lagu ini, terasa lebih tebal nuansa fusion. Agak 80’s sedikit. Paling tidak, itu yang saya tangkap ya. Bisa saja saya salah, lha wong namanya juga bukan pemain gitar. Hehehe. Tapi saya suka juga lagu ini. Lagi-lagi sound-nya merampas perhatian saya.
Berikutnya,’Absolute’. Sebuah piece jazz rock yang bener-bener mengandalkan kekuatan trio. Gitar di depan, didukung, dijagain, didampingi bass dan drums. Ketat penjagaannya. Nempel lah gitu.
Ada soloing bass mendapat porsi, termasuk dengan slappin’. Bass memang mendapat kesempatan maju ke depan sesaat, seperti yang terjadi juga di lagu pertama. Lagu ini terasa colorful, ada naik turunnya. Dinamis.
‘Bluesphoria’memang bluesy. Tapi dalam tempo lebih cepat. Sound gitar agak beda lagi. Lagu yang suasananya, macam menemani kita berkendara menyusuri padang rumput luas, di kanan kiri ilalang. Pemandangan hijau, dengan sapi-sapi tengah merumput....


Jadi kayak apa sih ya. Masak kayak Gugun Bluesshelter? Beda suasana musiknya sih. Overall. Kalau lantas teringat ke Gugun itu, mungkin karena bluesnya? Tapi ini, buat saya lho ya, lebih tight. Musiknya blues rock, tapi soloingnya tetap bernuansa jazz rock bangets.
Sebagai lagu ketujuh, ada ‘Sweet Talk’. Manis sih, cuma berasa ada juga sedikit asem-asemnya gitu. Asin juga kali ya. Tapi memang relatif lebih kalem. Tapi gini ya, jangan lantas membayangkan kalem sebagai .... ballad! Ya ampun, jangan berpikir sampai ke situlah ya.
Sebagai lagu penutup, ditempatkanlah lagu berjudul, ‘Intense’. Intensitas lantas seperti langsung menanjak naiklah. Kontak meninggi lagi. Ngerock juga ya? Kira-kira sih begitu dah. Kok ya kira-kira, kalau review album jangan mengira-ngira dong. Kan sudah saya bilang, saya bukan gitaris.



Udah ah. Segitu aja. Lha iya, lagunya juga udah habis. Emang hanya ada 8 tracks saja dibikinnya. Ini adalah second album dari kelompok yang bernama TOHPATI Bertiga. Hanya bertigaan. Tohpati Ario Hutomo, gitaris. Indro Hardjodikoro sebagai bassis. Dan drummernya adalah Adityo Bowie Wibowo.
Memang ini saya menyebutnya “sisi liar” lanjutan dari Tohpati. Dimulai dari Riot, sebagai album perdananya. Ini kelompok tetap. Sebuah eksplorasi berbeda dari seorang Tohpati, yang dikenal dengan panggilan sayangnya, Bontot.
Suasana ataupun nuansa musik, lebih rock, sound gitar tebal, tight. Bikin semangat menyala-nyala. Baik Riot maupun Faces terasa “senada”. Intensitas tinggi, bro! Buat yang senang album-album gitar bersuasana rock instrumental, nah ni album kudu dibeli.
Yes, jangan cuma didengerin. Haruslah dibeli. Nikmati saja, kala lagi butuh tambahan semangat. Misal, lagi mau kerja gitu ya. Lagu-lagunya bisa menimbulkan inspirasi.
Ga percaya? Makanya beli deh. Itu saran saya ya.  Sebuah sajian album bergenre apa sih ini ya, progressive jazzrock? Bisa saja begitu disebutnya. Tapi memang ya, Tohpati asli melakukan eksplorasi yang terkesan “liar” dengan kelompok trionya ini.
Ia sadari betul, lagu-lagu dalam albumnya ini tak pop. Penggemar terbatas. Tapi ini juga soalnya ada bagian dari ide dan kreasi bermusiknya. So,begitu ada kesempatan dan dia bisa yadoski bikin. Dan, jadi deh!


Saya tak hendak berbicara, musik beginian apa memang segmented pasarnya. Relatif sih. Kalau saya pribadi, itu tak lagi penting. Toh saya suka. Maksudnya begini, kalau saya suka, kan ga harus banyak orang yang suka?
Kalau banyak orang yang tahu, apalagi suka, ya bagus-bagus saja. Buat saya mah, it’s ok, bro. Mungkin kan soal laku atau tidaknya, ya itu hal yang dipikirin musisinya tentu. Tapi saya yakin, kalau Tohpati kelewat mikir, ada yang beli atau ga musiknya yang outside mainstream begini, ia pasti ga akan bikin album ini. Apalagi lantas menjualnya ke publik.
Saya baru kemarin ini, pas Kamis malam sehari setelah pilkada DKI Jaya selesai. Yoih, 20 April malam. Malam itu saya menonton live kelompok trio Tohpati Bertiga ini. Tempatnya di Lefty Suites, di gedung Foodism, Taman Kemang.
Kalau tak salah, ini penampilan kedua mereka, dalam menyajikan sebagian besar lagu-lagu yang ada di album Faces. Yang pertama, saat kesempatan mereka tampil di Java Jazz Festival 2017, di bulan Maret silam, dimana mereka memperkenalkan repertoar-repertoar baru mereka untuk kali pertama.
Dalam konser kecilnya mereka kemarin itu, penonton lumayan juga jumlahnya. Konsernya kecil, soalnya memang venuenya juga kan bukan sebuah hall besar. Tapi lantas menimbulkan kesan lebih intim dan akrab sih. Seolah, penonton tak berjarak deh, dengan ketiga musisi yang tampil di atas panggung.
Tohpati, Indro dan Bowie membawakan lagu-lagu dari album keduanya. Selain menyelipkan beberapa repertoar dari album pertamanya. Selain itu, eh “usil”nya, Tohpati Bertiga menyelipkan lagu Michael Jackson lho. Beberapa hits Jacko dibawakan mereka, dirangkai menjadi satu. Yang nyanyi siapa? Ya ga ada, masak Bontot nyanyi juga?
Mereka bermain rapat bertenaga, penuh vitalitas. Penambah darah dan tenaga. Udah kayak multi vitamin dan suplemen penambah keperkasaan aja sih? Hahahaha, ga gitu. Tapi memang swear, bertenaga ya. Kayak ga membiarkan pendengarnya untuk menarik nafas saja! Wuiiiih!


Saya memang suka dengan jenis-jenis musik yang jazz rock bertenaga, solid, ramai, relatif  kencang. Seperti ga akan membiarkan saya....tertidur!
Jadi kita tuh dibuatnya, pasang telinga terus dan menatap terus tak berkedip ke atas pnggung. Ok, mereka tak terlalu liar dalam aksi panggung sih. Malah, memang terlalu kalem untuk musik keras mereka.
Ga ada tuh, kaki Bontot misalnya, satu kakinya dinaikkan ke speaker monitor. Atau Indro, berlari-larian ke sana kemari di atas paggung. Palingan hanya ekspresi dan teriakan-teriakan kecil Bowie, yang sedikit memberi aksen kerasnya musik mereka.
Saya pikir, seru juga kalau mereka melengkapi penampilan mereka dengan “sedikit” stage-act. Bikinlah kejutan gitu lho. Penonton pasti terkesima! Asli! Aha, pasti Bontot kalau disodorin ide itu bakalan tertawa terbahak-bahak. Gilani!
Kalau misal Indro yang dikasih ide itu? Indro mungkin juga tertawa lebar juga. Tapi abis tertawa, dia akan bilang, nih gw ada cerita.... Cerita apa? Kemarin itu, Tohpati atau Bontot mempersilahkan Indro cuap-cuap juga, khusus untuk bercerita. Stand up comedy?
Segini saja dulu catatan saya tentang Tohpati Bertiga. Kalau mereka manggung lagi, nanti saya fotolagi dan mudah-mudahan bisa saya tuliskan lagi. Nanti di acara lain, semoga tustel saya ga “ngadat” lagi. Hahahaha, saya ketawa membaca komen Tohpati atau Bontot di akun fanpage di Facebook saya.
Tohpati dengan usilnya tanya, tustel elo lagi rusak kok fotonya ga ada warnanya? Ada-ada saja, Bontot ini.... Ah, udah ya./*









Wednesday, April 19, 2017

Acid Speed Band, Sudah 35 tahun dan Still Live!

Lose your dreams and you will lose your mind (‘Ruby Tuesday’, Between the Button-American Release, 1967)


The Rolling Stones adalah sebuah iconic rock band, yang berdiri tahun 1962. Formasi terawal mereka adalah terdiri dari Brian Jones (rhythm guitar dan harmonika), Mick Jagger (lead vocal), Keith Richards (lead guitar and vocal), Bill Wyman (bass), Charlie Watts (drums) dan Ian Stewart (piano).
Stewart lantas dicoret jadi member, tapi malah menjadi tour manager. Sementara Brian Jones meninggal dunia di 1969, dimana sebulan sebelumnya mundur dari Stones. Posisi Jones digantikan oleh Mick Taylor. Taylor menjadi gitaris sampai 1974, lalu digantkan oleh Ronnie Wood.
Pada 1993, Wyman pamit mundur dari Stones. Yang membuat posisi bassis kosong, dan lantas diajaklah Darryl Jones, sebagai touring player. Stones juga mengajak kibordis, sebagai touring player. Bisa juga disebut sebagai additional player. Antara lain ada Nicky Hopkins. Pernah juga Billy Preston. Saat ini ada Chuck Leavell, yang mulai mendukung sejak1982.
Ok, Jagger dan Richards itu temenan baek banget di Dartford, Kent. Pertemanan sejak masa kecil mereka berdua “bubaran” setelah Jagger pindah ke Wilmington. Dan ya begitulah batu-batuan itu teruslah bergelindingan, bahkan hingga kini. Kok lompat sih? Jagger dan Richards, kapan bakudapa ulang no?
Kita sudahi sampai sini saja cerita ini. Lha, lantas apa yang mau dibaca? Eits, maksudku, sudah ya tentang The Rolling Stones nya. Kan bisa baca-baca aja, by googling deh, banyak kok. Karena yang jelas saya pengennya menuliskan tentang the Indonesian Rolling Stones band sekarang....
So, here they are, folks!


They are, Acid Speed Band. Artinya apa? Apalah arti sebuah nama, kata salah satu penggagas dan yang kasih nama bandnya. Iapun mengirimkan emoticon smiley gitu. Yup, nanya-nanyanya via whats app aja sih. Hah? Kenapa, masalah buat elo, sob?
Hahahaha. Waktu jaman gini, jaman milenial bro en sis. Yang bisa dibikin gampang, ya gampanginlah. Kenapa harus jadi susah? Jangan keterusan kena virus pilkada lah, yang mudah jadi susah. Yang susah jadi mudah! Apa-apaan neh... Pilkada udah kelar ah!
The Rollling Stones memang betul-betul telah merasuk ke dalam jiwa dan sanubari. Membungkus rapat dan ketat hati dan pikiran mereka. Maka yang terjadi adalah, mereka begitu menggilai The RollingStones, yang biasa kok kalau disebut aja Stones.
Pake “s” yeeee. Biar dingin, biar seger? Bukan, harus ada “s” nya, supaya bedain dong dengan majalah yang bernama sangat mirip. Majalah itu, tanpa “s” nya. Paham? Hubungannya, majalah dan grup bandnya? Ah sudahlah, nanti-nanti aja saya cerita.
Acid Speed Band itu, bermula dari pertemanan bertiga yaitu Holdun dengan Rico dan Toto. Jaman mereka bersekolah di satu sekolah menengah atas, SMAN 6, di Bulungan. Iseng main bertigaan gitu. Ngeband kecil-kecilan.
Tapi pada perjalanan berikut, Toto sudah tidak lagi ikutan. Akhirnya formasi bandnya, yang terawal adalah menjadi Holdun dan Rico bersama, Ipank (gitar), Danang (bass), Tonny Bonham (drums). Waktu itu menejer mereka adalah almarhum Michael Korompis, saudara kandung Rico.


Oh iya, menurut Holdun dan juga Rico, di kelas 3 SMAN 6 itu, mereka berdua memang berkawan akrab. Mereka bukan hanya temen satu sekolah, tapi juga sekelas. Bahkan duduknyapun satu meja! Akrabnya!
Pada Juli 1982, menurut Rico seinget dia itu tanggal 20 deh, formasi pertama itu tampil di acara Rock in the Air. Acara itu dibikin oleh radio Prambors Rasisonia. Jadi mereka main live, dan masuk radio langsung.
Seingat Holdun, setelah itu mereka tampil di acara 17 tahun The Rolling Stones. Acara tersebut digelar di Teater Terbuka, Taman Ismail Marzuki (sekarang teater legendaris itu, sudah tak ada lagi, digantikan gedung megah Teater Jakarta). Acara yang diadakan oleh Sys Ns itu, diadakan pada Desember tahun yang sama.
Dan acara itu sempat heboh, dikarenakan harus distop sebelum waktunya. Acid Speed Band ditempatkan sebagai pengisi acara ketiga pada rundown acara. Pengisinya ada beberapa band. Ini cerita Rico, sebelum mereka main penonton mulai rame dan ribut. Lagu pertama mereka main, makin rame dan terlihat lepas kendali. Masuk lagu kedua, acara langsung distop keamanan, karena sebagian besar penonton sudah out of control.
Acara itupun memang disudahi sampai di situ saja. Karena suasana sudah rusuh. Rico menyambung lagi, dulu ada beberapa acara yang mereka main juga rada rusuh. Ada saja sebagian penonton tak bisa menahan diri. Tapi seringkali, show dihentikan sementara, penonton ditenangin. Begitu sudah tenang, ya mereka lanjutin performance mereka.
Dari acara itulah, mereka muncul namanya. Apalagi mereka juga tampil di acara Brewer Rock di Balai Sidang Senayan. Eh iya, di saat itu sebetulnya saya mengenal mereka. Itu tahun 1985 atau 1986 gitu deh.
Ya jelas mereka mangkinan langsung memperoleh sambutan hangat, tentu saja oleh anak-anak muda. Karena di saat akhir 1970an sampai 1980-an Stones lagi populer di sini. Populer, pake banget! 


Sekedar mengenang masa muda, eh jaman itu. Stones dikenal misalnya lewat album Emotional Rescue, yang dirilis 1980. Ada ‘She’s So Cold’, ‘Emotional Rescue’ atau ‘Indian Girl’ misalnya. Atau misalnya, album sebelumnya, Black and Blue, yang dirilis 1976. Dalam album ketiga belas dari mereka itu ada lagu, ‘Memory Motel’ dan ‘Hot Stuff’.
Atau juga album yang lumayan dikenal di sini, Tattoo You. Yang ada lagu kayak, ‘LittleT&A’, ‘Start Me Up’, ‘Hang Fire’ dan ‘Waiting for a Friend’. Berikutnya, album Undercover yang dirilis 2 tahun setelah Black and Blue, yaitu di tahun 1983. Ada lagu, ‘Undercover of the Night’ atau ‘She was Hot’ dan apa lagi ya, ‘Too Much Blood’.
Ada juga album Dirty Work yang dirilis di tahun 1986, sebagai studio album ke 18nya. Ada lagu, ‘Dirty Work’, ‘Harlem Shuffle’ atau ‘Hold Back’. Di waktu itu, lantas beberapa alum mereka di 1970-an, juga mulai dicari fans mereka di sini.
Seperti, It’s Only Rock n Roll yang dirilis 1976. Sementara fans mereka di sini yang mengenal mereka sejak 1970-an, pastinya menyukai Sticky Fingers, album yang dirilis tahun 1971.
Sebagai catatan saja, Sticky Fingers memang menjadi salah satu album tersukses Stones. Album yang dimana Jagger tercatat juga bermain gitar itu, merenggut 3 platinum di Amerika Serikat. Dengan mempopulerkan lagu-lagu bluesy seperti, ‘Brown Sugar’, ‘Wild Horses’, ‘I Got the Blues, ‘Dead Flowers’ dan ‘Sister Morphine’.
Sticky Fingers disusul album Exile on Main Street, dirilis 1972. Setahun berikutnya disusul album, Goats Head Soup. Tapi mungkin bisa dianggap bahwa album Let It Bleed, rilis Desember 1969, yang memperkenalkan Stones di sini. Album itu menghasilkan hits, ‘Gimme Shelter’ dan ballad yang menjelma menjadi semacam anthem sepanjang masa, ‘You Can’t Always Ge What You Want’.
Nah di tahun 1980-an itulah, Acid Speed lantas melejit naik namanya. Tentu karena kebisaan mereka, memenuhi keinginan para fansnya, untuk membawakan segenap hits Stones dari album-album 1970an sampai awal 1980-an di atas itu.
Di saat itu, Acid Speed menyaingi serius kesuksesan grup-grup”fotocopy”-an sejenis. Misalnya Solid 80 yang menjadi copy-an Queen, atau Bharata Band yang memilih Beatles. Ada juga Cockpit yang membawakan lagu-lagu hitsnya Genesis.


Stones itu menjadi fenomena tersendiri di panggung musik dunia. Tak hanya di Indonesia saja sebenarnya. Ya sebut saja, publik penggemar musik di sini asli ketularan demam Stoneslah ya.
Ada Cikini Stone Complex di masa itu, yang juga banyak membawakan lagu-lagu Stones. Tentunya menjadi saingan Acid Speed. Tapi Cikini Stone Complex itu lantas dibubarin oleh drummernya, Bimbim. Yang lalu membentuk Slank!
Stones memang menebar virus dengan sukses. Aura pemberontakannya, anti kemapanan, hidup rada cuek. Apa yang dulu disebut sebagai slebor atawa slenge’-an. Yaaaah termasuk yang “lebih ekstrim”, drugs! Well, that’s more “heavier” than bottles of whiskey, you know what I am sayin’....
Ingat kan dengan "slogan", Sex, Drugs and Rock n Roll? Nah Stones, menjadi salah satu rock band yang dianggap konkrit mengenai slogan itu. Perempuan-perempuan molek nan seksi di seputaran mereka, kegemaran mereka akan narkoba dan musiknya.
Personifikasi sebagai “Stones-nya Indonesia” sukses direbut Acid Speed Band, di masa itu. Tak heran mereka langsung merebut simpati. Apalagi formasi mereka, “sangat Stones”. Dengan menokohkan Holdun dan Rico. Kebetulan emang mereka temen baek banget sejak masa sekolah, so udah kayak Richards dan Jagger lah.
Stones juga menjadi fenomenal di sini, karena memang disukai anak-anak muda. Dari yang gedongan, borju, muter lagu dari hifi stereo set canggih dalam mobil-mobil keren. Sampai puterin kaset Stones dari radio tape "seadanya", buat didengerin rame-rame di kamar, di teras rumah sampai di pos hansip atau di tempat-tempat tongkrongan lain.
Di era-era 1970-1980an itu, kayaknya sih sampai sekarang juga sebetulnya walau tak semeriah dulu, lagu-lagu Stones itu jadi lagu-lagu utama buat dibawain dengan gitaran aja. Kumpul-kumpul dimanapun, mau dipantai, di gunung, di pengkolan, pasti banyak lagu Stones dibawain dan dinyanyiin bareng.
Itulah "nilai tambah" sikon, yang sangat mendorong naik nama Acid Speed Band. Nah di saat mereka makin menjulang namanya sebagai, apalah sebutannya fotocopyan, cover-band, impersonator ataupun epigon, lantas mereka ditawari masuk studio rekaman. Adalah Harpa Records, lewat bossnya, Handoko, yang mengajak mereka.
Hasilnya adalah Julia, dirilis 1989. Album itu, isinya lagu sendiri, tapi sangat The Rolling Stones banget musiknya. Hasilnya, ketika dilepas ke pasar, gagal! Publik, teristimewa fans mereka tak menerima dengan baik lagu-lagu karya mereka itu.
Tetap saja, fans mereka lebih menyukai mereka tak bergeser sebagai Stones-nya Indonesia. Publik rada ogah dengerin lagu-lagu dari album Julia itu. Album itu sendiri memuat 10-tracks. antara lain adalah, ‘Gapai’, ‘Lelyana’, ‘Senorita’. Juga ada lagu yang judulnya diambil jadi judul abum, ‘Julia’.
Nasib kurang mujur, dalam merilis album sendiri itu, juga dialami grup-grup saingannya. Macam Bharata atau Solid 80. Fans, lebih memilih mereka sebagai cover-band, yang memuaskan dahaga akan lagu-lagu hits idolanya.

Masuk 2000-an, mereka masing-masing ada punya kesibukan  Maksudnya kesibukan diluar musik gitulah. Ga heran, akhirnya, mereka kejangkitan penyakit, gonta-ganti personil. Rico keluar. Masuklah Boy. Boy didapat dari sebuah acara audisi khusus, Audisi Vokalis Nyentrik, cerita Holdun.
Saya sempat tanyakan ke Boyke Achmad Yusuf, yang lebih populer sebagai Boy Jagger, soal audisi itu. Dia memang ikutan audisi atas info dari sahabatnya, Dikky Lennon, bahwa Acid Speed sedang mencari vokalis baru. Audisi dilakukan di rumah Ading drummer. Boy langsung diterima saat itu.
Jadi menurut Holdun, masuk di 2003, mereka lantas sempat istirahat. Vakumlah istilah populernya. Setahun berikut, mereka mencoba mau main lagi, Rico masih terlalu sibuk. Sehingga sulit untuk latihan.
Maka dibuatlah audisi itu. Boy pun mulai menjadi vokalis Acid Speed Band di sekitar 2004 itu. Tapi beberapa tahun kemudian, Rico ternyata menyanyi lagi. Iapun membentuk Acid Speed Experience. Sempat tuh, beberapa waktu memang jadi ada 2 Acid Speed Band itu.
Pada 2006, Acid Speed dengan vokalis Boy Jagger merilis album kedua, Bebas. Yang diproduseri Ade Irawan. Menurut Boy, album Bebas dikerjakan di Bison Studio, dan makan waktu pengerjaan sekitar 3 bulanan lamanya.
Lalu merekapun merilis lagi album, Namanya Juga Rock N Roll, yang dirilis sekitar 2 tahun kemudian. Menurut Boy lagi, album itu dikerjakan di Mochenk Studio, lalu mixing diselesaikan di Singapura. Lama pengerjan sekitar 5 bulanan. Produsernya adalah seorang perempuan bule, Natalie Stewart, fans mereka awalnya.
Yang saya ketahui, Natalie Stewart ini memang menyukai musik-musik rock dari band-band Indonesia. Hingga sekarang ia masih tinggal di Indonesia dan bertindak sebagai manager atau agency, dari beberapa entertainer rock band di sini.

Foto-foto Boy Jagger : Koleksi Pribadi
Pada album Namanya Juga Rock n Roll itu, ada saham besar Boy ternyata. Dimana ia menuliskan hampir 80% lagu yang dibawakan di album tersebut. Antara lain ada lagu, ‘Gerimis’ yang jadi single hits. Dimana klip lagu itu dibikin oleh Tio Paksadewo. Lagu lainnya ada, ‘Cold Cold Night’, ‘Just 17’, ‘To be Free’ ‘Turn On Turn In and Drop’, dan lainnya. Total, kata Boy lagi, ada 11 lagu.
Cuma memang, lagi-lagi mereka menghadapi kenyataan bahwa kedua album itu tak berhasil dalam penjualannya. Tetap saja, fans mereka sangat sulit untuk mau menyantap lagu-lagu yang merka tuliskan sendiri.
Menurut Boy, Acid Speed saat dia menjadi vokalis, menaik lagi jadwal manggungnya di sekitar tahun 2008-2010. Sayangnya di 2011, ia mengalami kecelakaan, lantas berlanjut harus operasi besar. Hal itu membuatnya harus bedrest total sepanjang setahunan. Karena ia tak bisa manggung lagi, maka pada beberapa waktu setelah itu, Rico pun gabung lagi dengan Acid Speed Band.
Kalau menurut Holdun, Rico kembali ke Acid Speed Band, mulai sekitar tahun 2014. Merekapun kembali main bareng, bersatu lagi. Sementara Boy sendiri, memang masih menyanyi. Tapi lantas berjalan dengan grupnya sendiri.
Kita kembali pada 2 sosok sebagai pentolan utama Acid Speed Band. Ya sapa lagi kalau bukan, Rico Korompis, yang kelahiran 15 September 1963. Rico mengingat-ingat ia kenal Stones pada saat masih sekolah. Jaman SMP, di kota New York. Jadi karena orang tuanya bertugas di sana, iapun sempat tinggal di negeri Paman Sam sejak 1972 hingga 1979.
Ia menyukai lagu-lagu seperti, ‘Ruby Tuesday’, ‘Jumpin’ Jack Flash’, ‘She’s a Rainbow’. Dan tentu saja, ‘Honky Tonk Woman’. Itu lagu-lagu yang juga selalu asyik kalau dibawain di atas panggung. Semangat kalau menyanyikan lagu-lagu favorit itu, karena dikenal akrab sama fans, kata Rico.
Lagu-lagu itu juga yang sebenarnya yang pertama kali membuatnya suka dengan Stones. Ada di album Through The Past Darkly, Best of Rolling Stones 1966-1969. Album kaset itu dibelinya saat ia di New York, ia masih di bangku SMP waktu itu.
Ia suka Stones karena merasa mewakili jiwa mudanya. Lirik-lirik lagunya pas banget dengan emosi anak muda masih remaja seumurnya waktu itu. Ya gitu, ga mau diatur-atur, cuek, anti kemapanan, kayak begitulah kesan liriknya, jelas Rico. Ricojuga bilang, iakenal itu sejak sekitar 1977-1978.


Dia kenal karena teman-temannya mulai banyak yang menyukai Stones. Saat itu, Stones memang sudah populer di Amerika Serikat kan. Awalnya sih dia menyebut sebagai Beatlemania. Tapi lalu suka Stones, ya kan dekat jadi ga papa, ucapnya.
Sebagai penyanyi, yang dianggap mirip banget Michael Phillip Jagger itu, ia mengaku ga banyak menonton Stones. Ia hanya sempat menonton waktu di USA, kalau tak salah tahun 1978.
Berikutnya, ia sempat menonton konser Mick Jagger yang rusuh di Stadion Utama Senayan itu, di tahun 1988. Setelah itu, ia sempat menyaksikan lagi konser The Rolling Stones di Singapore Indoor Stadium, tahun 2003. Waktu di Singapura itu, kayaknya saya memang ketemu Rico deh. Iya ga sih? Dan Rico ternyata lupa! Eh saya juga. Lho gimana sih?
Buat Rico, Stones itu saat ini berarti, legendary and iconic. Mereka juga lebih sebagai entertainer. Yang perlu dicontoh, konsistensinya dalam memberikan hasil karya terbaik sampai saat ini. And, they never grow old...!
Eits, tapi walaupun idola nomer wahid, memberi banyak inspirasi. Rico bilang, tetap saja ada hal-hal yang tak bisa ia ikuti. Tentunya soal kelakuan-kelakuan minus Jagger dan Richards dan kawan-kawannya itu. Yang begituan jangan dicontoh, katanya.
Saat ini musik Stones, bisa juga menjadi semacam obat awet muda, bagi penikmatnya atau fans setianya. Ga terlalu banyak yang berubah dari mereka, sejak dulu sampai sekarang. Mereka tetap saja terkesan chic, dengan kostum panggung yang bisa dibilang keren dan “manyala”.
Betul sih itu, menurut saya ya lihat terutama pada sosok dan penampilan Jagger dan Richards, mereka rocker yang juga menjelma menjadi trend setter untuk kostum panggungnya. Dari kostum, kemudian juga diamati penampilan sisi visual panggungnya, saat mereka melakukan konser yang megah, warna-warni dan mengagumkan.
Konsep tata panggung, aksi panggung serta kostum mereka itu lantas menjadi khas Stones. Yang juga menjadi sumber inspirasi utama Acid Speed Band. Walau satu ketika Rico juga mengakui, susah juga sebenarnya mengikuti total abis-abisan konsep tampilan mereka, karena ga murah lho! Emberrrr bro, kostum mereka oho too expensive...


Sementara itu untuk Choldun Hanafiah, gitaris. Holdun, begitu nama populernya,kelahiran Jakarta pada 1 Desember 1961. Nah kalau Holdun,menyebut albumnya ‘She’s So Cold’ yang pertama dia dengerin. Bikin dia jadi tahu Stones. Lalu, jadi suka!
Selain album Emotional Rescue itu, ia juga menyebutkan Still Live, sebagai album Stones yang paling disukainya. Tapi dia juga menyebut kemudian, sebenarnya album terfavorit dari The Rolling Stones buat dia adalah, Tattoo You. Sedari awal udah suka.
Lagu-lagu di dalam album itu pulalah, yang selain disukai untuk didengerin, juga asyik dan bikin semangat untuk dimainin di atas panggung. Seperti juga kata Rico di atas, karena publik seperti fans mereka itu, kebanyakan memang juga kenal betul dengan album-album itu, termasuk lagu-lagu yang ada di dalamnya.
Ia menyebutkan,pokoknya lagu-lagu Stones yang hits banget itu semua asyik buat dimainin. Terutama lagu-lagunya yang lebih rock, lebih keras. Karena penonton juga jadi kayak disetrum supaya merespon seru ya, bro?
Memang begitulah. Seru aja lihat merekamanggung, dari dulu lho. Penoton bisa sing a long, dengan didahului berteriak-teriak untuk minta mereka membawakan lagu-lagu yang mereka kenal dan tahu liriknya. Asyik kan, jadi bisa nyanyi bareng grup kesukaanlah gitu.
Holdun mengenang, waktu itu memang Rico satu sekolah dengannya di SMAN 6. Rico masuk saat kelas 2 SMA, dia baru pindah lagi ke Jakarta dari USA. Di kelas 3 mereka malah langsung semeja di kelas yang sama. Karena kan, kegemarannya sama. Sama-sama suka ngeband, dan sama-sama doyan berat Stones.
Mereka berduaan juga sama-sama senang main gitar. Tapi saat mereka mulai coba-coba latihan band, waktu itu dengan Toto, teman atu sekolahnya, Rico sempat memilih menjadi drummer.


Menurut Holdun, anggota Acid Speed Band yang lama juga, selain dirinya dan Rico adalah Adil Prakoso. Ading, begitu panggilannya, adalah drummer yang masuk saat mereka akan tampil di acara Brewer Rock, di tahun 1985 atau 1986 itu.
Ketika ditanya, siapa-siapa saja sih personil Acid Speed selama ini. Dengan santainya, Holdun menuliskan, ada kali kira-kira 30-an orang yang pernah menjadi personil Acid Speed. Itu selama kurun waktu ya dari 1982 sampai hari ini.
Dan arti The Rolling Stones pada hari ini untuknya adalah, ia menulis pendek saja, INSPIRASI. Ya, maksudnya adalah, Stones memang mengisi sebagian hari-hari hidupnya sekian lama. Memberi inspirasi bagi kehidupan ayah dari 2 putri dan 1 putra, dan suami dari seorang istri ini. Sama lho seperti Rico, suami seorang istri dan ayah dari 3 anak.
Begitulah The Rolling Stones, yang sekian lama begitu lamanya sering dianggap sebagai barisan band “bad boys”. Tetapi kenyataannya, mereka toh tetap terus bertahan hingga kini. Jadwal tur panjangnya juga terus saja ada nyaris di setiap tahun. Apakah betul, mereka benar-benar real really fuckin' badboys dan pecandu berat?
Stamina mereka untuk sebuah konser sekitar 2 jam-an, masih bolehlah. Usia sudah lumayan tinggi, semua sudah lewat kepala 6! Kalau mereka benar masih mencandu serius, kayaknya mustahil saja sih. Ya ga mungkin lewat 60-an tahun, bahkan sudah kepala 7, dengan stamina tetap lumayan ok. Ah come on! Unbelievable!
It’s sort of a kind of promotion strategy. Stigma, atawa brand-image “anak-anak” bengal, badung dan pemadat itu, kayaknya sengaja dipelihara dengan baik. Karena image itu yang membuat mereka begitu populer, terus populer sampai sekarang. Ngerti kan ya maksud saya?


Okay, kemarin pada Senin 17 April, Acid Speed mengisi acara Tribute To The Rolling Stones di program mingguan I Like Monday. Bertempat di Hard Rock Cafe, Jakarta. Dan dengan formasi mereka saat ini, selain Rico, Holdun dan Ading adalah Fabianus Poedyanto atau Anto, sebagai kibordis.
Selain itu ada, Agus Supriadi atau dikenal sebagai Agus Phil, yang menjadi bassisnya. Sementara di sisi gitaris kedua, adalah Herry Nurrachman, biasa dikenal saja cukup sebagai Herry. Itulah formasi mereka saat ini.
Penonton sebagian besar memang fans mereka, yang sudah kenal lumayan lama mereka. Artinya, penggemar loyal tetaplah. Secara kisaran umur, memang sih seumuran dengan mereka juga adanya. Lumayan rame dan seru-seru semua.
Tentu saja ada koor bareng, sampai sebagian berani maju ke depan untuk bergoyang, mengikuti lagu-lagu yang dibawain Rico dan Holdun dan kawan-kawan. Satu hal yang asyiknya adalah, mereka menguasai cukup banyak repertoar Stones. Sehingga bisa dibilang selalu siap membawakan lagu-lagu yang dirikues penonton.
Nah mengamati fans-fans grup "lawas" model Acid Speed Band itu, menariknya bahwa fans mereka sekarang mungkin benar sebagian ada yang fans "seumur hidup". Dari dulu banget, mereka juga sudah doyan banget Acid Speed Band dengan kefasihannya membawakan lagu-lagunya Jagger and Richards and the band.
Tapi sebagian ada yang menyelip, fans yang dulu sebetulnya ga terlalu tahu Stones atau Acid Speed Band. Yah tahu sih tahu, palingan karena dengerin kaset di kamar atau dari radio. Dulunya anak rumahan, rajin belajar demi mengejar cita-citanya. Juga rajin menabung, makanya ga kepikiran nonton konser-konser.
Sekarang, mereka "teramat dewasa banget", posisi sudah ada. Punya duit sendiri yang cukupan alias dompet tebal, jack! Barulah mereka berkesempatan sering hang-out, nonton-nonton show di clubs atau kafe-kafe. Nonton dan...buka botol! 
Dulunya, paling jauh minum green spot atau seven up. Green sands deh. Sekarang, duit ada, ya belinya alkohol! Status bray. Dari bir 2 atau 3 gelaslah, atau order pitchers dan tower. sampai jenis wiski dengan botolnya! On the rocks
Kalangan yuppies milenial itu, mungkin juga sebagian "setengah yuppies" lah ya, menjadi salah satu pendukung dan tim hore potensial, yang membuat show-show berbalut nostalgianya Acid Speed Band jadi rame. Termasuk juga ke band-band lain sejenis Rico-Holdun dan kawan-kawan itu.
Khususnya pada Acid Speed Band ini ada "titik penting". Menguasai dengan baik, banyak repertoar dari band yang mereka copy itu. Karena gini ya, sebagian besar band-band entertainer saat ini, yang juga menjadi grup-grup cover seperti Acid Speed, kabarnya tak lagi sempat latihan bareng! 
Itu dengan berbagai-bagai alasannya ya. So yang terjadi, repertoar mereka terbatas, itu ke itu saja. Kalau sudah begitu, harusnya memang mereka kawatir, fans mereka jenuh dengan sajian lagu yang terbatas itu. Yoih dong?
Acid Speed Band, mau tak mau harus memperhatikan sisi itu. Terutama, meladeni permintaan fans-fans fanatik dari The Rolling Stones, yang mengetahui lantas pastinya merikues dengan semangat lagu-lagu yang mereka pengen dengerin. Maklum sajalah, ada sekitar 25 album studio, yang dirilis The Rolling Stones kan? Banyak tuh lagunya. Bukan banyak lagi, bejibun coy! Hahahaha.




Tantangan seru dong, yekaaaaan? Apalagi saingan grup-grup cover Stones sejenis, selalu saja ada. Kalau hanya terbatas, ‘Honky Tonk Woman’, ‘Jumpin’ Jack Flash’, ‘Paint It Black’, ‘Start Me Up’, ‘Angie’, ‘Dead Flowers’, ‘Brown Sugar’ atau ‘Wild Horses’ kayaknya banyak band juga yang “bisa” memainkannya.
Tapi kan tergantung juga dong, suasana lagunya gimana? Betul itu, tetapi kalau misal ya, nonton terus tetapi lagu-lagu dihidangkan terasa terbatas, tentu dong penonton bisa jenuh. Walau fans fanatik sekalipun.
Bagusnya, kelihatannya Acid Speed Band memperhatikan betul soal itu. So, memang jadinya mereka tetap bisa menjadi The Indonesian Rolling Stones Band yang terunggul terus. Aaaah! Semangat bro semua di Acid Speed Band. Sampai ketemu di show selanjutnya nanti!

You’ve got the Sun, You’ve got the Moon. And, yo’ve got The Rolling Stones – Keith Richards.
Lose your dreams and you will lose your mind (Ruby Tuesday) *


Acid Speed Band bersama saya dan teman-teman baik