Monday, May 30, 2016

Dan sayapun menulis buku, The Groove


Pada akhirnya, sayapun menulis buku. Unuk teman-teman baik saya. Sebuah kesempatan yang tak terduga sebetulnya. Anak-anak mnta mas untuk menulis buku tentang mereka, begitu ucap Alditama, karena mereka anggap mas cukup mengenal dekat mereka. Dan salah satu wartawan yang banyak menulis jazz, lanjut Alditama.

Oh ya, Alditama Zein itu manajer mereka, sejak 9 tahun silam. Gagasan itu datang dari saya, saya pikir mereka pantas kok dibikinkan buku. Saya kaget juga, bahwa mereka memilih saya.
Ok gini deh, saya kenal dekat mereka, paling tidak mungkin ada kali ya 10-an tahun terakhir. Lebih sedikitlah. Tapi tak sedekat dan seakrab dengan banyak musisi lain, atau grup band, yang saya sudah kenal dan akrab sejak 1990-an. Bahkan ada yang saya kenal sejak 1980-an!

Saya pikirkan dengan cepat, lantas langsung setuju. Dasar utama, saya suka dengan grupnya Alditama itu. Suwer! Grup bagus dan kalau di atas panggung, terasa solid. Salah satu grup yang sukses selalu menggoyang para penontonnya, dimanapun mereka tampil.
Goyang beneran. Joged gitu. Ah ya, jojing lah. Ga sedap kayaknya, denger dan nonton mereka, tapi diem-diem en senyum doang. Musiknya tuh, kalau buat saya, masuk kuping dengan cepat, langsung melemaskan urat dan otot-otot. Sepertinya, melancarkan peredaran darah saja.
Bikin rileks. Bikin nyaman. Bikin asyiklah. Ga keras, tapi rame. Ya gimana ga rame, 8 orang kan yang main? Musiknya acid jazz, kira-kira begitulah. Ada unsur funk, jazz(y), soul dan memang cenderung nge-dance. Remix, electronica gitu? Bukan dong, bukan ke situ.
Saya teringat, di era ketika mereka muncul, tahun 1990-an itu ya, itu era band kafe kan? Maksudnya, entertainer band di kafe-kafe sangat merajai. DJ belum terlalu akrab. Nah band-band kafe itu, sebagian besar memainkan apa yang disebut Top-40. Alias, memainkan lagu-lagu terpopuler, yang ada di charts. Teristimewa lagu-lagu baratlah.
Mereka beda. Karena tidak membawakan Top-40. Tapi ya gitu itu, memilih acid jazz. Musiknya mungkin kurang begitu populer, pada awalnya, tapi ya menggoyang. Belum banyak yang familiar, tapi terkesan, cepat ditangkap dan dicerna kuping publik. Apalagi kuping publik muda, terutama kalangan kampus misal.
Waktu itu,bahkan format mereka, ngeband dengan banyak orang. Ya paling ga dengan 2 keyboard, plus ada perkusi, lantas saja jadi trend tersendiri. Juga tentu dengan menonjolkan dua vokalis, laki dan perempuan itu. Banyak band, tampil dengan format begitu, saat kelompok ini jadi populer. Hebat kan?
Ok then, itu gambaran sekilas di awal. Jadi pembukalah ya. So, balik keformat 8-kepala itu. Begitu ada band yang pakai format itu, apalagi dengan 2 vokalis cowok dan cewek, langsung disebut “kayak The Groove, ya model The Groove” deh. Mereka sudah jadi panutan! Oho, jadi trend tersendiri.
Saya respek dan kagum dengan mereka karena itu. Dalam beberapa tahun saja, mereka menjadi band yang menginspirasi band-band kafe lainnya. Bahkan mereka sudah memulainya, saat album rekaman mereka belum lagi dirilis lho! Apalagi saat Kuingin, dirilis oleh Sony Music ke pasar secara resmi, di tahun 1999.

Well, lalu proses pembuatan buku dimulai. Saya sebelumnya mencoba membaca beberapa buku mengenai perjalanan grup musik. Hanya sebagai referensi. Tapi ah ga sih, itu cuma jadi pemicu motivasi aja. Guidance sesaat iya sih. Tapi ketika sudah jalan, saya malah melupakan buku-buku itu semua.
Saya bersama Aldi, mencoba mengatur jadwal. Jadwal utama adalah menemui satu persatu dari The Groove. Kalau ada kesempatan, bisa bertemu barengan semua boleh saja, tapi saya tetap perlu bertemu dan ngobrol orang per orang dari mereka. Selain itu, juga menemui para sahabat The Groove. Baik fans fanatik, misalnya. Orang label rekaman pertama mereka. Siapapun, yang pernah dekat dan dianggap memiliki pengalaman menarik, dengan mereka berdelapan itu.
Mau tahu, apa yang romantis dari proses pembuatan buku The Groove itu? Ya saya jalan ditemani Alditama Zein itu. Hahaha. Itu romantis lho. Pernah untuk menemui 2 atau 3 The Groove yang tinggal di Bandung, saya dan Aldi terjebak macet parah di tol Cikampek! Mau tahu waktu tempuh, Jakarta ke Bandung, waktu itu? Hampir 8 jam lah! Seru kan?
Seru, bukan romantis dong? Hehehehe, romantis di sini maksudnya, ya penuh kesan. Yang tak mudah dilupakan. Ga selalu saya pasti ditemani Aldi. Ada beberapa kali juga, saya harus jalan sendiri. Maklum, Aldi juga punya kesibukan lain, selain menjadi menejernya The Groove kan?
Ketika berjalan itu, saya sembari mencoba mereka-reka akan gimana buku ini. Saya enaknya menulisnya gimana ya? Bagan untuk isi halaman demi halaman sudah saya susun. Saya, bersama Aldi, targetkan harusnya 2 sampai 3 bulan tahap wawancara keseluruhan selesai.
Lalu saya bisa langsung lanjutkan menulis. Untuk menulisnya, saya pasang target sendiri. Harusnya, maksimal 3 bulan sudah selesai. Selesai keseluruhan. Tinggal masuk tahap edit. Edit selesai ya bisa naik cetak. Yang akan melakukan editing siapa? Sedari awal, itu masih kosong. Saya bilang, perlu editor.
Editor nanti akan bekerjasama dengan pihak layout design. Editor akan bisa menyiapkan bahan-bahan tulisan yang siapmasuk di layout yang sudah digariskan. Tapi sampai tahap akhir, saya mencoba seperti “melakukan editing sendiri” saja. Karena belum bisa ketahuan siapa yang akan menjadi editor buku ini.

Akhirnya ya begitulah, wawancara sudah selesai. Dengan keseluruh personil dari The Groove selengkapnya. Ah, sebenar-benarnyalah, di sisi ini saya merasa ada yang kurang “intens dan detil”. Ini harus jadi sisi paling menarik. Hubungan antar personil.
Bagaimana mereka bergaul di dalam, hari demi hari. Dalam proses bikin lagu misalnya. Lalu rekaman. Saat show, baik sebelum maupun setelah manggung itu. Interaksi dari semua personil. Terbatas di situ saja, ga mau mengembangkannya terlalu jauh. Misal merembet ke cinta-cintaan, menyentuh masalah percintaan para personilnya. Saya dan Aldi sepakat, itu akan jadi terlampau jauh dan tak fokus.
Setelah bertemu dan ngobrol, memang saya sepakat, cerita mereka itu sudah cukup banget. Seru-seru, ada dramanya juga, ada lucu-lucuan. Cukup lengkap dan menarik. Dan saya bisa membaginya ke dalam beberapa bab.
Jadi saya siapkan saja bab berdasarkan tahun, terkait aktifitas rekaman dan show-show mereka. Terbagi dalam 4 bab, antara dari awal banget sampai tahun sekarang. Pas lah bercerita 19 tahun perjalanan mereka itu.
Kemudian ada lagi 1 bab, yang isinya cerita-cerita, komen, kenangan dari ya “orang-orang pilihan” itu. Antara lain ada Abdul Saab (crew setia mereka), Andien Aisyah (fans sejak Andien masih...SMP!), Arie Dagienkz (sahabat lama), Bedi Gunawan (orang terdekat, pernah menjadi menejer mereka), Bhita Harwatri (salah satu MD terdekat mereka, di tahun awal mereka).
Ada juga Cindy Bernadette (pernah mendukung mereka jadi vokalis, “menggantikan” Rieka Roslan). Cindy ini saya ngobrol via email-emailan tanya jawab gitu. Djundi Prakasha dari Bandung, yang juragan kafe yang mempopulerkan The Groove dulu. Goutama Adjie, yang adalah sound engineer mereka sejak awal banget. Dan lainnya, total ada 14 orang. Termasuk Yovie Widianto, yang bertindak sebagai produser untuk debut album mereka, Kuingin, yang dilansir 1999 itu.

Oh ya jadi saya menemui dan mengajak ngobrol semua The Groove. Ya semuanya, jadi ada 9 kepala sebenarnya. Ali Akbar (kibor), Ari Firman (bass), Arie Arief (gitar), Deta Gunima (drums), Reza Hernanza (vokal utama), Reza Josef Patty “Rejoz” (perkusi dan vokal), Tanto Putrandito (kibor), RiekaRoslan (vokal utama).
Dan juga tentunya, ngobrol atawa mewawancarai bassis pertama, sekaligus pendiri The Groove, siapa lagi kalau bukan, Yuke Sampurna..Komplit sudah, sebagai bahan dasar. Cerita perjalananpun sudah terkumpul, makin lengkap.
Hasil akhir, ya seperti yang ada dalam buku itu. Judul Forever You’ll Be Mine. Dan dijual bandling dengan CD album kelima mereka, yang titelnya juga sama. Mau tahu, apa yang paling unik dari buku ini?
Eh iya, tadi ada kan yang romantis. Kalau yang tragis atau dramanya? Ah, baca aja bukunya. Ga surprais lagi kalau saya tulis di sini dong ah. Ok yang paling unik, saya itu ga tahu hasil akhir buku ini. Jujur ya, saya mendengar buku ini akhirnya akan naik cetak juga, dalam waktu mepet.
Soalnya,ya saya buka deh. Buku ini saya tulis dan selesai saya tulis di sekitar 2,5 tahun yang lalu. Waktu itu, buku ini memang disiapkan untuk dirilis barengan juga dengan album terbaru mereka. Tapi dalamrangka 17 tahun usia mereka.
Karena “satu dan lain hal”, jadwal untuk memeriahkan 17 tahun usia mereka itu, akhirnya ya “lolos” deh. Tapi rencan terbitkan buku ini, tetap disimpan, mereka tetap berkeinginan merilis album dan buku ini. Ya gitu, album juga tak selesai-selesai, buku juga belum lengkap penuh dan pastinya, belum jelas kapan bisa naik cetak.
Belum lengkap memang isi buku. Paling tidak ya, dari apa yang sudah saya bagi dalam beberapa bab-nya. Proses pengumpulan data, berhenti. Dan saya tak tahu lagi. Lalu ii buku jadi gimana.Nah tentunya, termasuk soal editing. Ada editornyakah? Loss contact sama sekali

Waktu dikabarkan bahwa buku akan dirilis, sudah rampung seua bahan. Eh ya saya penasaran sebenarnya, pengen aja tanya gimana jadinya isi buku ini? Karena saya hanya menyiapkan tulisan-tulisan, sudah terbagi dalam bab-bab itu. Juga menyertakan foto-foto The Groove, jepretan saya dalam berbagai acara. Tapi foto-foto di tahun-tahun sekarang saja.
Saya sejatinya, rada kawatir soal editing. Well, editing itu penting banget. Tapi editor sebaiknya, eh seharusnya, melakukan edit dengan komunikasi intens dengan penulisnya. Gimana ya, saya “memahami betul”, bahwasaya gaya tulisan saya itu spesifik. Ceileee... Maklumlah, bakat alam.
Aneh kali ye? Hehehehe. Kata orang, saya senang betul berpanjang-panjang, cerita kesana kemari, suka muter-muter aja. Ada yang bilang juga, gaya bahasa saya seenaknya. Tapi katanya, memang “agak aneh”, karena saya memilih cara bertutur dalam menulis, seperti ngobrol dengan pembacanya.
Ini soal The Groove. Tulisan saya ya maunya juga ada dong “groovy”-nya. Groovy nya saya tangkap dari...lagu-lagu mereka, yang saya terus putar selama saya menulis. Enak aja, kayak apa sih ya, soul-nya masuk. Soul dari band-nya.
Lalu saya juga “memutarkan kembali” alias mengingat-ingat dari gaya bicara, becandaan, bercerita dari mereka satu demi satu.Itu yang saya jadi “motivator” dalam saya menulis buku ini. Motivator? Eh salah kali. Inspirasi? Masak sih? Ide-ide dasar gitulah maksudnya.

Itu jadi kayak pijakan saya, dalam mulai mengetik. Menulis isi buku ini. Selembar demi selembar. Berapa bulan sih ya, saya menulis? Ada kali 3 bulanan, saya menulis dengan cukup intens. Sebagian besar, saya tulis jelang “Midnight” sampai mau...subuh! Begadang dong?
Jam-jam kecil lah istilahnya. Jam dimana enerji menulis saya, ide-ide saya, mengalir dengan lancar. Rasanya sih begitu. Kebiasaan dari dulu kali yeeee. Pengennya, tulisan saya jadinya juga bisa nyambung dengan lagu dan musiknya The Groove. Itu saya “kulik” banget.
So, kalau saya rada kawatir akan hasil akhir editing, kalau saya tak berkomunikasi sama sekali dengan editornya. Ya wajarlah ya? Cuma padaakhirnya, itu saya ga lagipersoalkan sama sekali. Kenapa? Karena,yaelaaaa, bisa dicetak dan terbit aje udah bagus keleussss. Bayangin, kalau saya inta harus ketemuan dulu dengan editorya?
Makan banyak waktu nantinya.Bisa telat naek cetaknye dong, bang. Ya sutralah ya. Saya pasrahkan dan ikhlaskan dengan hati terbuka. Maka sampai last minute pun, memang ga pernah ketemu dengan editornya. Kalau penulis buku mengetahui ini,pasti pada kaget banget.

Yoih memang yang pualiiiing penting, buku selesai. Siap cetak. Lantas dicetak dan dirilis. Dan saya memang melihat hasil akhir, bukan dari “mock-up” atau draft-nya. Tapi langsung jack, udah jadi tu buku! Hahahaha. Surprais,surprais.... Ini gokil dan seru. Tapi asyiknya. Sumpriiit, ini asyik. Saya salut aja, lha bisa jadi juga!
Saya ga ada komentar apapun mengenai isi editingnya, bagaimana tulisan saya diedit. Pusing atau gimana ya editornya, ngadepin bahan-bahan tulisan saya. Ngeditnya gimana, apanya yang diedit? Saya sudah lupain.
Sampai saat ini saja, saya juga memang tak pernah bertemu dengan pihak editornya. Hehehehe. Yang penting, sudah sukses dicetak. Aman kok .Aman dan....tetap “baik dan perlu” dibaca publik. Iya nih, ini beneran. Bukan sekedar promosi doang.
Jadinya, Alditama memang menjadi partner saya menulis, pada akhirnya. Aldi menyiapkan data-data seperti Mengenal Mereka Lebih Dekat. Maksudnya profile tiap personil selengkapnya.  Termasuk data-data detil dari tiap album, dalam bab  Discography. Lalu catatan, list nama-nama para additional players dan management-team nya.
Data-data tersebut penting banget dong.Untuk lebih detil lagi mengenal pergerakan dari The Groove. Untuk jadi lebih akrab lagilah dengan semua The Groove. Dan, ini buat saya sangat penting, tak melupakan orang-orang yang pernah mendukung The Groove. Mereka punya peran masing-masing. Harus tercatat dengan baiklah.
Buku beginian.Mau yang modelnya macam otobiografi, biografi, anthology atau apapunlah, tetappenting. Ada sejarah tertulis di situ.Untuk “dibagi-bagikan”. Disebarkan. Bisa jadi pencerahan, menambah wawasan. Sebagai informasi.
Penting dong, buat band-band muda. atau anak-anak sekarang yang misal, baru pengen jadi “anak band”.  Di saat saya menulis, niat saya memang ke situ.Isi tulisan saya, tentang The Groove, jangan hanya untuk para pecinta The Groove.Tapi untuk publik luas.
Semoga ya, ini saya doain waktu mau menulis, yang sudah suka The Groove yamakin cita dan sayang. Buat yang baru tau dikit-dikit tentang The Groove, eh jadi fans deh, mau dengerin lebih banyak lagi lagu-lagu mereka.
Kalau buat yang belum pernah tau The Groove? Mari berkenalanlah dengan mereka, lewat buku ini. Baca buku, lantas dengerin album mereka itu. Atau baca buku, sambil dengerin album terbaru mereka itu? Sak karepmu. Mana-manalah yang ngana suka, ambe jo!
Permisi yeee, saya tak berkeinginan mengulas isi buku. Ah, baca aja deh. Masak sih saya mengulas dari buku yang saya tulis sendiri? Aneh aje. Biarlah, udah aja yang unik itu proses kreatif pembuatan buku ini aja. Itu sudah cukup. Jangan tambah-tambah lagi dengan “keanehan” yang lainnya.... Hihihihi.

The Groove sudah bikin buku.Dan disebarkan. Moga-moga ya bermanfaat dan berfaedah buat publik. Grup-grup band lain, musisi atawa penyanyi, bisa juga mempertimbangkan membuat buku.Sebuah catatan sejarah. Salah satu dokumentasi “penting dan mahal”.
Beberapa band, sudah membuat buku serupa. Jangan menunggu harus 5 tahun, 10 tahun atau 19tahun kayak The Groove. Saya pikir ya, bahkan sebuah grup barupun, bisa saja membuat “dokumentasi buku” seperti ini.
Ceritanya belum banyak? Proses kreatif satu demi satu lagu, sebagai isi album tersebut. Proses terbentuknya band, gimana di studio, gimana di pentas-pentas awal. Itu saja sudah jadi cerita dasar. Pasti menarik. Semua band, pasti punya cerita masing-masing.Iya, hubungan antar personil itu kan, seru lho? Setuju dong?
Bisa saja band baru, yang dapat kesempatan bikin album perdana. Atau band yang sudah 2-3 album.Sampai pada band-band yang panjang sudah karirnya. Eh seru juga pasti, band-band yang reunian, misalnya. Semua band, eh juga musisi dan penyanyi, pasti punya cerita sendiri-sendiri.
Punya masalah masing-masing kan? Kalau band, ini band ya, ga punya masalah, biasanya band itu “ga akan jadi”! Masalah datang, lalu mengutak-atik bareng seband, cari solusi, itu seru. Dan itu, termasuk proses kreatif. Bener ga?
Lalu apalagi? Belum beli buku dan CD The Groove, Forever You’ll Be Mine? Beli dong. Bermanfaat kok. Ya gimana mau tahu apaan manfaatnya, kalau belum beli bray? The Groove, generasi 90-an yang terus hadir, eksis, jalan, sampai hari ini. Ga banyak band yang seperti The Groove.
Oh ya peluncuran resmi bukudan cd The Groove itu, dilakukan pada Rabu 25 Mei 2016. Mengambil tempat di Parc 19, Kemang. Dimulai dengan potong tumpeng, penyerahan simbolis buku dan cd dari pihak distributor, RPM Music kepada The Groove dan saya beserta Alditama. Lalu ada Jumpa Pers dulu. Terakhir, pada malam harinya, The Groove tampil dalam Special Showcase.

Ah yang bener? Ga percaya? Balik lagi, beli dong.... /*

Friday, May 20, 2016

Nostalgia 90-an Ah! Karena Abis Lihat Sound of 90's...


Masuk mesin waktu
Balik ke 90-an
Lantas inget apaan? Saya tetiba inget beberapa nama. Mungkin ini wakil “sah” 90-an. Nirvana, itu so pasti lah! Grunge! Sapa lagi? Post grunge, artinya yang lantas melanjutkan apa yang ditampilkan, disuarakan Nirvana. Foo Fighters lah. Creed juga. Collective Soul juga. Live, termasuk di dalamnya.
Ya Nirvana, Pearl Jam, Soundgarden, Stone Temple Pilot, Alice in Chains. Saya juga ingat pernah kan ya ada, Crash Test Dummies? Tapi saya juga kok teringat, Pulp misalnya. ‘Common People’ nya. ‘Beautiful Ones’ nya Suede. ‘Come Out and Play’ nya Offspring.
Jangan lupain, di “kamar” lain itu ada, Red Hot Chili Peppers. Ga lupa dong dengan Blood Sugar Sex Magik, yang dirilis 1991. Disusul 4 tahun kemudian dengan One Hot Minute. Album mereka, Californication, juga relatif sukses, itu keluaran 1999.
Yang lebih ngegedor ada, Rage Against the Machine. Memang mereka grup 1990-an, karena selftitled albumnya, sebagai debut album, beredar 1991. Disusul Evil Empire, di tahun 1995. Ada juga, Tool, yang relatif lebih kompleks musiknya. Jane’s Addiction boleh dimasukkin. R.E.M juga 90’s.
Termasuk juga Oasis sebetulnya. Sixpence None The Richer. Sonic Youth, rasanya memang 90’s juga lho. Bahkan sampai gerombolan ska-punk model No Doubt dan The Mighty Mighty Bosstones.
Di atas saya sudah mentioned Offspring. Mereka grup 80-an sebenarnya, tapi baru setelah melansir Smash, tahun 1994, mereka sukses besar. Nah yang semodel dengan grup asal Huntington Beach, California itu, ada Weezer. Selain itu ada yang lantas menembus industri, Blink 182 dan Green Day, membawa apa yang digolongkan sebagai  punk rock, jadi lebih populer. Konotasi lebih populer, ya masuk industri....


Masih kurangkah? Era band ya. Faith No More 311 dan Incubus juga bisa masuk. Dengan musik yang berbeda lagi. Nu Metal, begitu sebutannya. Dari rap metal. Ya itu termasuk Limp Bizkit juga, selain Korn, Deftones sampai Slipknot. System of A Down, Papa Roach dan POD, Coal Chambers.
Heavy Metal juga ga mati. Kalau kita inget aja, Metallica aja. The Black Album nya itu kan diterbitkan tahun 1991, yang ada, ‘Enter Sandman’, ‘The Unforgiven’ dan ‘Nothing Else Matters’. Metallica menjebol charts, dan becoming idnstry juga. Masuk jadi musik “mainstream”.
Disusul dengan Megadeth lewat Countdown to Extinction. Berikutnya, beberapa grup metal “berkembanglah” menjadi mainstream, setau saya sih seperti Anthrax, Pantera sampai juga Testament.
Bahan Van Halen, yang sangat 80-an itu juga, masih terbilang sukses mewarnai 90-an. Terutama lewat album FUCK (For Unlawful Carnal Knowledge), dirilis1991. Terus mereka merilis lagi Balance, yang dapat tripleplatinum. Album itu dilepas 1995.
‘Let’s Get Rocked’ nya Def Leppard, itu juga muncul di 1990-an, dari album Adrenalize. Album keluaran 1992 itu menjadi salah satu album mainstream (hard) rock yang mewarnai era 1990-an. Oh ya, album tersebut dikeluarkan paska meninggalnya gitaris mereka, Steve Clark.
Jangan juga lupain yang satu ini. Bon Jovi, dimana salah satu album suksesnya, Keep the Faith dirilis 1992. Inget kan hitsnya, kayak, ‘The the Faith’, ‘Bed of Roses’ dan ‘In These Arms’. Tiga tahun kemudian mereka menyebarkan These Days, yang menghasilkan hits,’This Ain’t Love Song’, ‘These Days’ dan ‘Lie to Me’.

Di sisi lain. Ada pemunculan para cewek nih. Salah satu yang paling fenomenal tentu saja Alanis Morrisette, dengan Jagged Little Pill yang dirilis resmi tahun 1995. Sebut juga lainnya, Sheryl Crow. Jangan lupa ada Pink dan Avril Lavigne. Termasuk Jewel, Kelly Clarkson.
Masuk yang ke pop nih. Michael Jackson, juga mendulang sukses besar lewat Dangerous, dirilis 1991. Disusul berikutnya dengan HIStory, tahun 1995. Total penjualan kedua album Jacko itu, lebih dari 75 juta copies, coy! Ada Michael Jackson, eh ada The Spice Girls.
Kelompok girlband ini disebut-sebut sebagai grup Inggris tersukses kedua, setelah The Beatles, di daratan Amerika. Mereka ditempel ketat oleh Destiny’s Child yang asli Amrik. Sama-sama seksihnya jack. Tapi bukan soal seksi semata, mereka punya hits, yang mendunia. Dan tentu, sangat mewarnai era 1990-an.
Gerombolan penyanyi cewek dalam girlband begitu, disaingi yang cowok. Inget dong ya sama N’Sync, 98 Degrees sampai juga Backstreet Boys. Eh iya ada Hanson juga, dengan ‘Mmmmmbop...’, bukan boyband sih, tapi”packaging”nya kan model boyband, iya ga sih?

Oh ya tapi ada juga “gelombang” lain, yang membuat nostalgia taon 90-an jadi warna-warni. Itu ikutan dari arus pop di atas. Yaitu era cewek-cewek. Britney Spears lah yang paling fenomenal. Diikuti kemudian, jadi rival seriusnya, Christina Aguilera.
Ditambah lagi dengan Tony Braxton nan sexy itu, lewat ‘Unbreak My Heart’. Atau apa lagi ya? ‘I Will Always Love You’-nya Whitney Houston juga kan? Oh ya termasuk, ‘Nothing Compares to You’ nya Sinead O’Connor. Sementara Madonna merilis Erotica, di tahun 1992, yang kontroversial itu.
Ada Mariah Carey, dengan Vision of Love. Lainnya banyak juga lho. Lauren Hill misalnya. En Vogue juga. Selain itu TLC. Termasuk juga Boys to Men, sukses di 1990-an, ingat kan sama, ‘End of the Road’ dan ‘I’ll Make Love to You’.


Ah banyak lainnya lagi. Mau yang agak ngerock atau pop, termasuk RnB gitu. Sebut saja, Bryan Adams, ‘(Everything I Do) I Do itfor You’. Coolio dengan, ‘Gangsta Paradise’. Sampai The Fugees dengan, ‘Killing Me Softly’.
Geser dikit, yang lebih ngebeat, agak dance tapi masih berkonotasi rada downtempo gitu. Inget siapa hayo? Maxwell boleh disebut. D’Angelo, termasuk Lauren Hill. Juga Missy Elliot dan Erykah Badu. Mereka “melahirkan” apa yang lalu disebut sebagai Nu Soul atau Neo-Soul.
Yang lebih dance, bisa disebut sebagai “penerus” lagu disko. Jadi, yang mewarnai diskotik-diskotik di era 90-an. Ada Dr.Dre, Notorius B.I.G, Ludacris, 2Pac, Jay Z, LL Cool J, ya dalam wilayah hiphop ya. Tapi juga termasuk Mc Hammer, Vanilla Ice, sampai Arrested Development.
Kalau yang disko, dalam arti dance music, mungkin masih ingat dengan, Ace of Base. Juga Los Del Rio dengan, ‘Macarena’ nya.  Aqua, ‘Barbie Girl’.  Lainnya, Dee Lite, ‘Groove is in Your Heart’. ‘ShowMe Love’ oleh Robin S. EMF dengan,’Unbelievable’ misalnya, termasuk lho. Atau, ‘Gettin Jiggy With It’ nya Will Smith. Ada juga Right Said Fred, Blackbox, Montell Jordan, Naughty by Nature.
Ya ampuuuun, masih kurang komplit? Saya aja sampai capek juga, inget-inget jaman 90-an itu. Banyak soalnya kan? Soal musik, yang diputerin radio-radio. Termasuk yang didengerin di clubs, cafe sampai diputar di lantai-lantai dansa. Tahun 90-an itu juga, tahunnya musik Top-40 kan, di kafe-kafe?
Nah band-band Top-40 itu ya mainin lagu-lagu populer yang seabrek-abrek di atas itu. Band-band kafe model /rif, the Groove, Caffein, Brown Sugar, utuk menyebut sedikit di antaranya. Dan banyak yang datangnya dari kota Bandung, yang mana mereka lantas mejelajah ke berbagai kota. Sebagian di antaranya sukses melangkah sampai rekaman dan bikin album. Kayak ya /rif dan the Groove itu.
Kalau fashion-nya. Nirvana dengan grunge-nya, jelas adalah pemicu fashion tersendiri. Baju kotak-kotak flanel, agak urakan. Simbol anti “mainstream”, melawan kemapanan, berani melempar kritik sosial, urakan. Agak punk sebetulnya, tapi apa ya, konotasi sekilas, sedikit lebih “rapi” kali ya? Urakan kok rapi sih?
Madonna, TLC, Destiny’s Child sampai Spice Girls, memicu bentuk kostum tersendiri di era90-an, termasuk juga sampai Britney Spears, Christina Aguilera dan Jennifer Lopez. Trend mode “kuliahan”, dari “anak-anak kost”, Beverly Hilss 90210. Lalu juga dandanannya Wynona Ryder, yang rada grunge-style itu.
Termasuk apa yang diperlihatkan oleh Will Smith tuh. Oh ya, belum lagi ada Supermodel  Naomi Campbell, Linda Evangelista, Cindy Crawford, Christy Turlington. Lalu supermodel lain, Kate Moss. Lalu juga dandanannya Drew Barrymore, Jennifer Aniston-nya Friends. Gwen Stefani juga tuh. Juga dianggap menginspirasi dandanan 90-an adalah Liv Tyler nan sexy itu.

Lalu, coba deh sekarang gini. Apa yang anda ingat dari 90-an? Eh kalau 90-an,berarti generasi yang kayaknyalahir di 70-an gitu kan? Jadi pas di era90-an, sudah mau masuk SMA mungkin atau mulai kuliah? Gitu kan ya? Kalau saya?
Ya udah dong, itu saya sudah tulis lumejen penjeng keleusss di atas, apa yang saya inget.
Oh ya, aktifitas di 90-an ya? Menulis dan memotret, so pastilah itu. Ke cafe? Ada Jamz di Panglima Polim, juga beberapa kafe jazz lain, Kafe 45 misalnya. The Harry’s juga ada. Ada gedung konser 21 juga dulu itu. Clubs atau disko, apa ya? Ebony dong, itu 90-anlah. Zanzibar juga ya? Iya belakangan disusul Zanzibar. Selain M Club. Mata Bar, belakangan juga ada.

Kalau soal band, di atas sudah disinggung sedikit kan. Terutama soal /rif, the Groove sampai oh ya, lupa tuh ditulis di atas, Java Jive! Kahitna pun ngehits mulai awal 90-an sebenarnya. Dan Kahitna juga awalnya, banyak main di kafe.
Padi mulai berdiri. Bukannya,mulai menguning ya? He he he, maksudnya ini band Padi. Jamrud juga ada. Oh ya, yang baru mulai muncul juga Sheila on 7. Yang lalu di awal banget 2000-an itu, Padi, Jamrud, Sheilaon 7 dan termasuk Slank, jadi grup band papan atas. Penjualan albumnya sukses-ses, menembus angka penualan sejuta kopi, bray!
Nah di Jakarta itu, ada anak muda bernama Ariyo Wahab. Mahasiswa aja, suka nyanyi-nyanyi, mulai ngeband. Ketemu gitaris, suka musik banget, ide-idenya juga ajaib-ajaib dan penuh semangat aja. EMIL namanya. Belakangan Ariyo bawa Arastio Gutomo dan Djoko Sirat, bassis dan drummer. Eh ada anak mudalain, baru mau kuliah, Chiko.
Jadi deh, kumpul, ngobrol, nge-band lah ujung-ujungnya! State of Groove namanya. Eits udahlah, sejarah mereka, silahkan buka-buka halaman lain di blog saya ini. Sejarahnya EMIL, Ariyo dan SoG, itu singkatan populernya State of Groove, sudah saya tulis panjang kok.
Angle nya gitu dong. Masuk dari 90-an.Ini soalnya band 90-an. Walau albumnya sendiri, dilepas udah di ujung banget 90-an, yaitu di 1999. Dan album itu, menjadi album satu-satunya mereka.
Singkat cerita, SoG berhenti. Mati sih ga. Ya berhenti saja. Udah. Males apa capek? Ribut-ribut ya? Pokoknya, ya mereka selesai sampai sealbum itu aja deh. Berpencaranlah. Udah sibuk degan kerjaan masing-masing.
Nah di tahun 2016 ini, ndilala, mereka ketemuan lagi. Ga jelas kenapa-kenapanya. Kangen? Ya mungkin saja sih. Rindu main musik bareng lagi? Aih kayak, Cinta Lama Bersemi Kembali gitu?
Main lah akhirnya sekali, bulan silam. Kemarin ini, 18 Mei, mereka eh main lai untuk kedua kalinya. Ini temanya memang Sound of 90’s gitu. Penontonnya, sebagian besar ya paham dan meengerti era 90-anlah. Beredarlah gitu yeee, di tahun 90-an itu?
Yoih, semacam itu deh. SoG main deh. Konser kecillah. Seru-seruan sih kayaknya. Penjajakan, untuk bisa lanjut terus, apa gimana? Well, ya bisa saja. Sayang sih, kalau cuma kumpul iseng, main sekali, dua, tiga kali. Lalu berhenti lagi.
Itu mah kayaknya, “terlalu iseng” deh. Bikin album aja lagi kali? Belum tau. Ga harus album sih. Jangan buru-buru ke situ. Mantapkan hati, emosi, jiwa dan pikiran saja dulu. Siap komitmen jalan teruskah? Ya, soalnya mereka dasarnya sih band bagus.Ini suwerrr, jujurlah.
Bukan yang terbaik sih. Ga papa juga dong. Ga haruskeren gimana lah, yang penting....ngenakin! Hihihihi. Apanya yang enak? Band ini ga yang terbaik, tapi emang rasa-rasanya sih, ya buat saya deh, ngangenin dan ngenakin. Lagu-lagu album bagus, mainin lagu-lagu 90-an juga relatif bagus kok.
Apalagi kemarin ikut tampil juga Che Cupumanik, Liek FoS, Rival Himran dan Rama Moektio. Diajakmain juga, jammin’ gitu, Onci Ungu. Sampai Once Mekel. Padahal masih ada beberapamusisi dan penyanyi lain, yang sengaja datang menonton. Merekaya nonton saja. Bukan tontonan gratis, harus bayar first drink charge. Tak ada kompromi!
Seru ga? Suasana 90-annya dapat. Amosfir konser kecilnya juga asyik kok. Ada lightingnya juga, ga sempurna tapi ok lah. Memang juga kan, tak bisa juga, main pasang lampu kanan-kiri, depan-belakang begitu saja. Spotting itu perlu, coloringnya juga. Tapi ah itu masalah kecil, pasti ga terlalu masalah buat sebagian besar penonton.
Sound juga lumayan. Sekali lagi, sound juga belum yang paling sempurna atau paling idealsih, tapi terbilang enak kok untuk didengerin. Pakai ada pembuka tentang SoG via video, ya dibiin minimal sebagai  pengantar saja untuk mengingat lagi mereka. Harusnya, bisa digarap lebih keren lagi, dengan saat ditayanginnya, soundnya lebih bagus.Jadi jelas informasinya.
Tapi itu mah pernak-pernik kecil “pelengkap” doang lah. Yang perlu dipuji kan, semangat untuk mengemas sebuah tontonan kelas “konser kecil”. Di kafe kan, ya kecil-kecilanlah. Tapi digelarnya cukup serius. Ga banyak, grup band yang mau peduli untuk mengemas konser kecil mereka, dengan diupayakan semaksimal mungkin. SoG mau perhatiin itu.
90’s udah lewat. Konsernya SoG juga udah lewat. What’s next, brothers? Terusin aja, lebih serius lagi. Potensi masih ada kok. Masih asyik. Band-band sejenis memang relatif banyak sekarang ini. Artinya, saingan ya ada.
Tapiiiiiii, pertahankan aja. Jadi band yang ngasyikkin, ngangenin dan ngenakin. Kalau terus bisa begitu, kemane elo-elo pada mau main, pasi diikutin publik. Pasti ditonton orang.
Nyambung ga, tulisannya dari atas sampai bawah ini? Era 90-an, bla..bla...bla. Kesana kemari. Ujungnya SoG. Kan sudah saya bilang, karena SoG ya 90-an. Mereka juga nyelipin banyak lagu-lagu 90-an kemarin itu, dari era grunge sampai Oasis segala juga. Cem-macem. Dan itu dia, suasananya lumayan sukses untuk nostalgia-nostalgiaan.
Cuma kan,mereka band beneran, punya album. Lagu-lagu relatif bagus. Pastinya, masih punya juga lagu-lagu bagus lainnya. Please, jangan berhenti hanya jadi sort of cover 90’s band gitu. Lagu-lagu sendiri mereka, yang dibawain kemarin, toh juga disambut meriah. Eh, masih banyak juga yang inget....


Udah ah, segini aja dulu. Sampai ketemu lagi ya, SoG! Tabik!  /*



Tuesday, May 17, 2016

Tentang Seorang Deddy Dorres

Catatan sekilas saya tentang seorang Deddy Dorres. Oh ya, mulai langsung dengan nama ya. Ada info, dulunya, namanya adalah Dedi Dores, begitu saja. Singkatan dari, “Dengan Diiringi Doa Restu”.Info ini didapat dari temen baik saya via whats app, Prasetyohadi.
Ok, Deddy adalah Nike Ardilla. Sejak 1980-an kira-kira segitu, orang lebih mengenalnya sebagai produser musik pop. Ia juga sekalian talent scout gitulah. Twin Sister adalah salah satu produksinya. Si kembar indo yang cantik. Twin Sister itu “ditemukan” Deddy, sebelum ia mendapatkan Nike Ardilla, yang awalnya bernama Nike Astrina.
Nike dipertemukan dengan Deddy oleh talent scouter cum wartawan musik kawakan, Denny Sabri. Kabarnya, kang Denny Sabri yang memberinya nama, Nike Astrina itu. Nike itu sempat masuk formasi tiga cewek rocker cantik, semua bintang muda yang ditemukan alm. Denny Sabri, Denny’s Angels. Dan belakangan, namanya dirubah lagi menjadi, Nike Ardilla.

Nike dalam trio itu bersama Lady Avisha dan Cut Irna. Seinget saya, trio itu ada dalam Bandung Rock Power, yang mana Denny Sabri menjadi Salah satu motor utamanya. Dan adalah kang Denny Sabri, yang pernah memperkenalkan saya dengan Deddy Dorres.
Satu ketika, jelang 1985, di kantor majalah Vista di Cikini. Deddy Dorres sedang bertamu ke kantor majalah musik & film itu. Itu perkenalan pertama saya dengannya. Berikutnya,sempat sekali lagi bertemu di Bandung, kembali lagi bersama Denny Sabri juga. Waktu itu, beberapa tahun dari pertemuan di Vista, kang Denny ngobrolin Bandung Rock Power....
Saya terus terang, tak dekat dengan Deddy Dorres. Saya kenal namanya, antara lain dari majalah musik, Aktuil. Tahu bahwa Deddy Dorres mulai dari Freedom of Rhapsody di awal 1970-an. Hits-nya kan, yang cukup dikenal, ‘Hilangnya Seorang Gadis’. Di status Facebook-nya, Dewa Budjana bilang, lagu itu jadi salah satu lagu dia awal belajar gitar.
Dan ternyata Dewa Budjana juga sempat mendukung rekaman album perdana, Seberkas Sinar nya almarhumah Nike Ardilla. Yang rekamannya digarap Jimmy Manoppo. Ia diajak mengisi gitarnya. Itu di penghujung 1980-an.
Dan begitulah, Nike Ardilla melejit begitu tinggi namanya. Terutama lewat, ‘Bintang Kehidupan’. Itu karya Deddy Dorres. Lantas saja, Deddy jadi berkecimpung lebih jauh dan lebih aktif di pop. .Ia, ditemani adiknya, Yonni Dorres, kemudian memproduksi banyak rekaman pop.
Rata-rata adalah para penyanyi muda cantik. Karena kesuksesan Nike Ardilla, anak-anak perempuan cantik, dibawa langsung sendiri oleh ibunya, menemui Deddy. Berharap bisa dibuatkan album rekaman. Sahabat baik saya, wartawan, ,Nini Sunny yang mengingatkan hal yang pernah ditemuinya saat akan mewawancarainya.
Yang saya tahu, Deddy memang bersama Yonni, terus berkecimpung di musik pop. Sebagai penulis lagu, selain produser. Dan tetap populer dengan selalu berkacamata hitam. Juga penyuka mobil Mercedes Bens. Dia pernah punya Mercedes Mini, suatu ketika, warna kuning.
Kembali ke era awal 1970-an. Deddy Dorres sejatinya adalah rocker yg lumayan populer di era 1970-an. Yang orang ingat adalah bersama trio, Superkid. Trio dahsyat dengan Jelly Tobing dan Deddy Stanzah. Di grup itu Deddy Dorres bermain gitar, juga kibor.
Dia dikenal tampil dengan stage act lumayan liar en heboh jg. Antara lain, beraksi menghancurkan gitar hingga berkeping-keping, ke panggung. Sebelumnya menggesek-gesekkan gitar di amplifier. Terinspirasi Jimi Hendrix agaknya...Tapi permainan gitarnya sih, waktu itu dianggap bergaya Ritchie Blackmore.

Dengan kibor juga begitu. Deddy kerapkali sampai merubuhkan peralatan kibornya, menjungkir balikkan "papan kunci"nya, atau memainkan tuts-tutsnya dengan kaki. Perlu diketahui di era1970-an itu, para rocker memang sebagian besar sangat atraktif, bahkan berbau sensasional. Kalau ga atraktif, rada gila-gilaan, ga bakalan ditonton orang.
Ada lagi yang perlu diingat nih. Deddy Dorres ini adalah kibordis Crazy Wheels. Itu adalah grup musik, yang menjadi cikal bakal God Bless. Dalam Crazy Wheels, Dorres main bersama Ludwig Lemans, Donny Fattah, Fuad Hassan dan Achmad Albar. Mereka bermain di sebuah clubs di Singapura. Tahun 1972an kira-kira.
Nah, Crazy Wheels balik Jakarta, lalu jadilah God Bless. Dengan Deddy Dorres diganti Yockie Suryo Prayogo.
Namun sekitar setahun kemudian, di tahun 1974-an, Deddy Dorres ditarik masuk lagi ke dalam God Bless setelah God Bless tampil di Pasar Minggu, acara Summer 28. Sebuah acara musik yang terinspirasi dengan Woodstock.
Formasi tersebut adalah God Bless "Mark 3". Dg Dorres yang kali ini giliran jadi gitaris, karena Ludwig Lemans habis visanya, jadi kudu balik ke Belanda. Sementara itu Yockie pamit mundur, diganti Soman Lubis. Soman “dicabut” dari kelompok Shark Move, Bandung..
Dorres sempat lantas bertemu Deddy yg satunya lagi, Deddy Stanzah di God Bless. Stanzah masuk menggantikan Soman Lubis, yg pilih balik ke Bandung, untuk nerusin kuliah. Stanzah jd bassis, Donny Fattah jd gitaris.
Sementara itu, Dorres main kibor. Formasi ini hanya sempat main untuk dua kali saja, begitu kabarnya. Stanzah lantas dikeluarin akibat terlalu intim dengan drugs. Ealaaa, Dorres, ikut-ikutan keluar. Dorres kelelahan pergi-pulang Jakarta-Bandung, itu alasannya..Soalnya ia masih berdomisili di Bandung waktu itu.

Jadi begitulah, kedua Deddy di 1976, sekitar tahun itulah ya, kemudian ternyata bersekutu dalam Superkid. Versi majalah musik Aktuil dan Top, trio itu dibilang trio dahsyat yang beneran “super”-nya. Pertamax gan? Hampir lupa, ia juga sebelumnya pernah masuk formasi awal dari Giant Step. Keluar dari Giant Step, ya bikin Superkid.
Sekedar info saja, Superkid memang ternyata dikoordinir atawa di menej langsung juga oleh Denny Sabri. Denny Sabri lah yang menyatukan mereka bertiga sebenarnya,begitu kabarnya.
Superkid sempat merilis album, Trouble Maker dan Dezember Break. Lagu-lagunya rata-rata berbahasa Inggris semua, seperti antara lain,'Trouble Maker', 'Sixty Years On', 'How', 'blue Light City', 'Just Once More' dan lainnya.

Itu sedikit catatan mengenai Deddy Dorres yang sempat saya catat. Sebagian sih sebenarnya dapatnya dari majalah Aktuil. Seperti yang saya tulis di atas itu, tahunya memang dari Aktuil. Saya memang tak dekat, maka aktifitasnya di musik pop tak banyak saya ketahui, selain kesuksesannya bersama Nike Ardilla.

Info terakhir, saya dengar ia sedang rekaman dengan Ratna Listy, teman saya Ipung Poernomo yang menaikkan foto Deddy Dorres dan Ratna Listy, di Facebook, tengah rekaman. Ipung juga mengabarkan soal rekaman album tersebut. Ipung adalah sound engineer, belakangan juga bertindak seagai distributor album. Dengan cara direct-selling.

Deddy Dorres, kelahiran Surabaya, 28 November 1950,  sejatinya memang adalah nama yang fenomenal. Baik di rock maupun pop. Baik saat beraksi sebagai gitaris atau kibordis, maupun sebagai penulis lagu dan produser rekaman, atau ada juga yang lebih suka menyebut sebagai music director.
Dan ia pergi untuk selama-lamanya, kemarin jelang tengah malam. Selasa, 17 Mei lima belas menit sebelum jam 00.00 di Rumah Sakit Premier Bintaro..../*

Foto-foto Istimewa, dapat dari google dan repro Aktuil.


Sunday, May 15, 2016

Musik (ROCK) di TVRI. Perlu di support kayaknya....



Menyaksikan penayangan langsung musik di TVRI. Kayak menerbangkan saya ke tahun-tahun doeloe. Jadi inget, nonton Spirit Band, Krakatau di acara Musik Malam Minggu Live. Dalam studio TVRI Senayan. Dulu itu, masih seputaran 1980-an, acara itu jadi acara andalan TVRI.
Bisa dibilang, acara yang dikoordinir oleh pengarah acara, Syam NM, menjadi acara bergengsi. Soalnya banyak grup-grup band ternama, terutama yang jazz(y), satu persatu diundang tampil. Digarap lumayan bagus. Tata lampu dan tata suara diperhatikan cukup detil.
Karena tayangannya bagus, maka banyak band memang tak akan menolak untuk tampil di acara itu. Saya sempat datang menonton beberapa kali waktu itu, ya gitu antara lain melihat Krakatau, Spirit, Emerald sampai Drive One Band.

Ingat, waktu itu TVRI adalah stasiun televisi tunggal. Plat merah. Tapi hanya satu-satunya. Stasiun televisi swasta belum ada satupun. Ga ada kompetiternya. Tapi di saat dekat itu, TVRI juga punya acara-acara musik yang terbilang bagus.
Sebut saja ada Orkes Chandra Kirana, misalnya. Chandra Kirana dikenal dengan konsep tayangan menggunakan tehnologi chromakey, yang jadi barang baru banget saat itu. Atau Orkes Telerama di bawah pimpinan Iskandar, dilanjutkan dengan Isbandi. Jaman Aneka Ria Safari dan Kamera Ria begitu populernya.
Banyak musisi muda berbakat saat itu, yang kebagian tampil di kedua orkestra tersebut. Misalnya saja, Chandra Kirana yang kerapkali melibatkan Elfa Secioria, dan merupakan cikal bakal munculnya Elfa’s Singers. Di situ, demikian pula halnya dengan Telerama, tempat munculnya nama-nama seperti Erwin Gutawa, Dewa Budjana, AS Mates, Aldi, Uce Haryono, Yance Manusama sampai Embong Rahardjo, Udin Zach hingga Didiek SSS. Dan banyak lainnya.
Nah periode 1985-1990an itu, TVRI memang lumayan jazz(y) juga. Rada ke jazz-jazz an, walau tak jazz banget. Karena banyak musisi muda yang memainkan jazz, memang tampil di acara-acara tersebut.

Tapi tayangan live waktu itu direkam, yang acara Musik Malam Minggu. Jadi Live Recorded. Ditayangkan biasanya 2 atau 3 minggu setelah syuting dilakukan. Syutingnya live, alias memakai sistem perekaman suara langsung. Para performers tampil beneran ya, bukan playback atau minus-one.
Saat itu, yang masih menggunakan analog, hasil perekaman live nya terbilang relatif bagus. Kan memang belum jaman digital, pada equipment suara atau broadcast. Televisi stereo pun memang belum ada, masih mono. Dengan media televisi mono, hasil akhir tayangan program televisi itu, ya terbilang bagus. Baik audio maupun visualnya.
Setelah stasiun televisi swasta bermunculan, perlahan tapi pasti TVRI kayak menyurut. Ya ga mati, mana mungkin mokat jack. Punya pemerintah! Ya tetap ada, sebagai apa tuh, “Stasiun Pemersatu Bangsa”. Itu benar, karena hanya TVRI yang jangkauan siarnya ke seluruh penjuru Nusantara.
Acara-acara di televisi-televisi makin variatif, makin warna warni. Makin, “mengkilap”? Makin kinclong? Sementara TVRI nampaknya seperti mengalami stagnasi. Ya tahun ke tahun, begitu saja. Sejatinya, soal hardware untuk equipment-nya TVRI itu kabarnya ya, malah unggul dari stasiun televisi swasta yang ada!
Belakangan ini TVRI lumayan mulai mencuri perhatian. Ada beberapa konsep tayangan musiknya yang mulai diperhatiin orang lagi. Ada acara jazz lagi. Ada acara Musik Delapanpuluhan. Sampai acara Rock. Selain tetap menghidupkan acara musik lain model Keroncong bahkan Country, dan so pastilah ... Dangdut!
Khusus untuk Rock, diberi titel Taman Buaya Beat Club. Lokasi syutingnya, di awal 2000-an pernah dipakai untuk program reguler Blues Night. Nah, program blues itu juga sebetulnya, sempat mulai dapat perhatian. Banyak musisi blues dan rock ternama, bergantian muncul.
Sistem perekamannya juga kali ini Live on Air. Mengundang penonton segala. Jadi memang suasana seringkali lumayan ramai.  Saya pernah beberapa kali menengok juga, syuting acara blues itu, yang saat itu dikoordinir oleh komunitas blues.
Bagus, dalam hal pemilihan performersnya di awal-awal. Sayang, setting panggung, maksudnya dekor memang terbilang rada out of date. Performers juga pada belakangan, mulai terasa banget terbatas. Susah dihindari deh, yang nongol ya jadi itu ke itu aja.

Stasiun televisi lain, acara musiknya lebih variatif. Performers juga lebih ngetoplah. Artis-artis top tampil. TVRI makin jauhlah. Terasa banget, makin ketinggalan jaman. Belakangan ini, terisitimewa dalam 9-10 tahun terakhir, ini nih kejadiannya. Stasiun-stasiun televisi swasta lalu terjebak, lebih memilih program musik yang ratingnya bagus. Dan kreasi-kreasi inovatif pun makin minim.
Stasiun itu lebih senang, lirik kanan-kiri, “memonitor” pergerakan kreatif stasiun televisi swasta pesaingnya. Kalau ada program tertentu yang sukses, stasiun lain lantas menyusulnya. Tak apa jadi pengekor, yang penting...iklan masuk. Rating menjadi primadona, bray....
Yang terjadi, program-program televisi rata-rata sejenis. Mau dari yang namanya performersnya, temanya sampai pada dekornya. Dan termasuk tata lampunya. Nyaris seragam. Sama-saa terang benderang saja. Dan ya pop jadi unggulan. Musik lain mah, nomer sekian. Pop, dan juga dangdut, itu yang jadi “anak emas”. Musik-musik lain, termasuk rock, ntar dulu.

Tetiba di penghujung 2000-an, ada program televisi yang ngerock. Yang kayak membangkitkan semanagt kaum rock Indonesia. Membangkitkan eforia. Adalah TV One yang menggelar Radioshow. Yang makin lama, lebih memilih lebih sebagai rock show. Macam-macam rock, bahkan heavy metal sekalipun, bisa tampil. Digelar di panggung open air, penonton bejibun. Udah macam konser rock panggung terbuka.
Makin rock saja, bahkan makin metal! Dan akhirnya, usianya ternyata ga panjang. Pihak menejemen televisi bersangkutan dengan tega dan sadar,mencabut nyawa program itu. Ditutup. Yeee apalagi, kalau bukan lantaran kering sponsor. Jarang pengiklan.
Biar kata pake ada petisi segala, dari para musisi rock,untuk meneruskan program itu. Pihak stasiun televisi itu susah merubah keputusannya. Radioshow tamat. Habis cerita. Mau bilang apa lagi? Stasiun lain gimana?

Kembali deh ke TVRI. “Kebetulan” TVRI, ya dengan gaya “tersendiri, unik, agak jadul lucu gimana gitu”, program musik di televisinya sejatinya ga ada yang mati. Ya ok lah, segitu aja terus. Tapi mereka tetap “pertahankan”.
Entah gimana model perjuangan mereka. Yang pasti program musik mereka itu, tetap jalan dan tetap beragam. Ga hanya pop dan pop, dangdut dan dangdut belaka. Bukan nama programnya doang yang berbeda, tapi isinya ya pop dan dangdut saja  Bersyukur juga lah?
Boleh kok bersyukur, bahwa eh masih ada tempat nih buat musik-musik yang outside-mainstream music industry, bisa nafas. Nafas dan hidup. Hidup dan menunjukkan pergerakannya di layar kaca. Pergerakkan yang jadi bukti musik-musik itu ga mati.
Yes, Rock Never Die. Eh Jazz too. Country? Coba deh bayangin, sampai musik Country aja dapat porsinya lho. Stasiun televisi lain, mana mungkin? Jauh panggang dari api, berharap ada jazz bagus, rock keren, apalagi sampai metal, bisa muncul di layar kaca. Itu die, TVRI masih kasih tempat untuk itu.
Jadi program tetap ya mingguan, ya dwi mingguan, atawa sebulan sekali. Ada juga yang selang-seling gitu. Misal Minggu ini jazz, minggu depan rock, minggu depannya blues. Terus digilir begitu.
Lumayanlah.  Ada tontonan beda kan, kalau memang masih doyan menengok siarannya televisi lokal. Memang kan begitu, televisi lokal pelan tapi pasti, banyak ditinggalkan publiknya sendiri. Karena “keseragaman” pada tema, para artis dan grup band yang tampil hingga pada bentuk sajian visualnya. Die lagi, die lagi....
Itu yang dibutuhkan pengiklan. Yang diminta produk-produk atau advertising agency sih. Ratingnya juga kan kelihatan tinggi. Penonton maunya yang begitu. Etapi, penonton yang sebelah mana? Tak terlalu penting tuh.
Yang penting, program musik “seragam”, pop en dangdut begitu ya yang pastinya bisa mendatangkan sponsor atau pengiklan. Lebih aman tentramlah. Bisa menutup biaya produksi kan? Emangnye, bikin program musik, syuting, apalagi live, ga butuh biaya? Biayanya lumayan....

Sampailah ke, ya balik deui ke program yang namanya Taman Buaya Beat Club itu. Tempat rock, masih dikasih porsi untuk tampil. TVRI masih “berbaik hati”? Ah ya, sebutlah saja begitu. Sekali lagi nih, bersyukurlah kita semua?
Saya sempat nonton beberapa episode. Baik yang nonton langsung di Taman Buaya itu. Eh iya, namanya memang begitu itu, “Taman Buaya”. Itu tempat legendaris. Bisa dibilang semua artis penyanyi, musisi, apalagi para pemain sandiwara, sinetron TVRI dulu ya nongkrongnya di situ semua. Buayanya mana?
Masa artis-artis dan musisi itu, dianggap buaya? Ya ga gitu. Tapi namanya memang disebut begitu. Jaman 1970-1980an, Taman Buaya itu populer banget. Setiap wartawan hiburan pasti kenal dan akan tahu banget tempat itu. Janjian wawancara biasa di situ. Atau kalau wartawan pada mencari bintang, ya kesitulah tempatnya.

Sekarang, jadi mencari musisi rock atau jazz, ya di situ saja? Mungkin saja, ya nanti-nantinya bisa begitu. Tapi bagusnya, variasi pengisi acara atau bintang tamunya, lumayan terjaga kok. Jadi, lumayan sebenarnya sebagai “tontonan alternatif”. Bila malas keluar rumah, pengen liat televisi, nonton acara musik bagus yang “ga biasa”, ya liatlah program itu saja.
Kayak kemarin itu, ada Daddy’s Day Out segala main di situ. Band dengan musik se-“meriah” begitu, bisa juga muncul di televisi. Meriah apa ramai? Ramai, bukannya keras? Yoih, kan grup rock yang cenderung rada metal. Rock berbau metal.
Metal juga, tapi suasananya rock. Sebenarnya metal atau rock? Emang beda, rock dan metal? Sudahlah, yang pasti ada Daddy’s Day Out, dipimpin langsung sang kumendan, EMIL, sebagai gitaris dan penyanyi. Doi konseptor utamanya juga kan?
DDO asyiklah, saya aja suka. Masak pada ga suka? Tapi mucnul di televisi, ditonton penduduk Indonesia, dari Sabang sampai Merauke. Seberapa banyak yang suka? Kalau acara itu konsisten, terjaga intensitasnya, bukan mustahillah siapapun yang tampil di acara itu. Sekeras apapun musiknya. Pastinya, akan banyak aja orang yang suka.
Setuju kan? Perkara konsistensi saja. DDO itu apa lagi ga seriusnya? Total mainnya. Ajak bintang tamu segala, Ezra Simanjuntak dan Tyo Wahono dari kelompok Zi Fctor. Walah, musiknya tambah menyala-nyala. Puanasss sudah suasananya.
Panas lah, DDO itu abis-abisan woro-woro kesana-kemari, ngundang banyak penonton. Maka puluhan fansnya datang, asyik menonton, seneng banget. Pake mengangkat spanduk-spanduk segala. Udah kayak nonton konser outdoor beneran! Seru aje.

Yang agak kurang seru, nah ya soal konsistensi itu. Kalau memang ke rock maunya, ya bagusnya yang tampil ya rock semua. Karena kemarin itu, DDO kelewat “keras, galak, liar, panas”, kalau dibanding band pembukanya. Terlalu renyah, kalau disandingkan dengan DDO yang “penuh vitalitas dan tenaga” begitu....
Jangan salah pilih, Inkonsistensi, bisa bingungin penonton tentu saja. Lagipula, kasihan kalau yang datang menonton langsung penonton yang penegn rock, eh ada grup non rock yang main? Apa kata dunia?
Lucu jadinya, kalau saya pikir-pikir nih. Menulis kok ya ngritik TVRI? Mereka udah puluhan tahun di situ, pengalamannya mah udah yang paling panjang. Mereka pasti tahu dan paham banget, apa yang mau mereka sajikan, mau hidangkan ke penontonnya dong.
Emangnya tulisan “iseng” begini dari saya, dianggap gitu atau dibaca orang TVRI? Jangan kata orang TVRI jack & jill,  jangan-jangan band-band utama yang tampil juga ga merasa penting-penting amat ada yang mau menulis mereka? Skeptis amat, coy? Ya ga sih, cuma suka kepikirannya aja.
Kepikiran sih, TVRI bisa dikritik ga? Kalau DDO kan temen-temen baek banget. Udah kayak “saudara seiman”. Biar gitu juga, memangnya mereka sempat membaca catatan saya? Ya baca dong.... Yakin golagokin, pak Musikin yang tukang mesin. Ha ha ha.
Tapi TVRI nya itu. Gimana ya? Sayang kan, mereka aja yang mau peduli lho. Well, perjuangannya pasti berat sebenarnya. Ya kan? Tapi kepedulian mereka, lantas disempurnakan. Kenapa tidak sih?
Biar lebih banyak grup-grup rock lain, juga dapat kesempatan tampil. Coba juga, TVRI rajin dan gencar aja promoin acara itu. Masak sih, penontonnya ga ada. Atau ga bertambah-tambah? Mau liat rock dimana lagi, kalau di televisi? Sapa tahu, rock di TVRI sukses, eh jadi inspirasi buat stasiun-stasiun televisi partikelir biar ga “segitunya” lah sama musik-musik “pinggiran”....

Ya sutralah. Sampai ketemu di episode berikutnya saja. Biar tambah meriah, tambah ramai, tambah seru. Banyak kok yang seru-seru yang lainya, bukan hanya DDO doang. Tinggal TVRI nya mau .... “bergaul” aja sih. Biar lebih paham sikon saat ini.
Boleh kita support juga TVRI lah. Biar lebih baik lagi. Yang saya suka juga, kemarin setting atau design tata lampunya, model tata lampu yang didesain untuk indoor show. Dari spotting sampai pilihan jenis lampu. Kalau lihat langsung sih okeh. Ga tau ya kalau lihat di televisinya. Harusnya sih asik dan enak juga dilihat.

Yok ah.  Salam Rock (dan juga Jazz)! /*