Thursday, February 25, 2016

Diundang untuk chitchat dengan Joey Alexander


Joey, kok kamu sekarang gondrong? Itu pertanyaan saya, waktu saya dapat giliran untuk ngobrol dengan Joey. Lewat skype. Joey di layar, ditemani mamanya, Farra Urbach Sila. Papanya, Denny Sila, katanya sedang sibuk membalas email, jadi tak tampak di layar.
Joey ketawa, saya tanya begitu. Kenapa Joey sekarang rambutnya panjang, saya malah sekarang pendek lho rambutnya. Joey dan mamanya tertawa, dan mereka sesaat sempat tak mengenali saya. Karena saya bertopi, dan ga gondrong lagi. Hihihihi. Begitu mengenali, ketika saya buka topi, ealaaaa Fara, mamanya, berucap, “E do do e.....”.

Sebelumnya, Benny Likumahuwa, senioren jazz Indonesia, yang dipanggil “Opa” oleh Joey setuju bahwa Joey adalah, bakat spesial. “Saya sering kalau jammin’, mengajak Joey coba ikut main, di tengah lagu. Ia hanya mendengarkan sebentar dan saya hanya melihat dan menangkap ekspresinya. Jelas akan terlihat ekspresinya, ia bisa. Dan ya memang bisa. Masuk langsung main saja, padahal lagu itu belum pernah dimainkan dia sebelumnya. Itu menunjukkan kejeniusannya.”
Nita Aartsen, pianis yang juga sering berpartisipasi di pentas festival jazz di luar negeri lalu menambahkan, “Joey waktu belajar dengan saya, perhatiannya itu. Dan cepat sekali belajarnya. Tau ga, waktu belajarnya itu seringkali kurang. Bisa berjam-jam, tapi dia enjoy, ga bosen dan ga capek.”
Sementara Idang Rasjidi sempat mengirim pesan, via whats-app messanger, “Jangan pernah berubah, terusin semua yang kamu inginkan, sukai, yang sudah kamu pelajari dan dapatkan. Sukses buat kalian semua, JDF (Joey – Denny – Farra).”

Joey tak berubah, itu kesan saya ketika melihatnya lagi. Ia ngobrol langsung, lancar, masih tetap ya seperti sekitar 2 tahun lalu saya bertemu dengannya. Tapi terus terang, cara omong makin menunjukkan ia lumayan cepat menjadi “matang”. New York membentuknya lebih dewasa, teristimewa soal musik, soal musikalitas. Bagaimana ia menjawab atau bercerita tentang aktifitasnya, soal perasaan-perasaan, soal pengalamannya  Oh ya, catatan tersendiri, ia makin mantap menyebut terima kasih pada Tuhan atas karir musiknya yang telah ia dapati sejauh ini!

Yak, dari pagi jam 9 sampai sekitar jam 12.30-an, iCanStudioLive menggelar event kecil-kecilan. Selasa 23 Februari kemarin ini. Mengumpulkan beberapa musisi, terutama pianis. Mengundang datang teman-teman musisi yang mengenal dan dikenal baik Joey Alexander dan kedua orang tuanya. Joey tentunya di New York. Dan mereka surprised, karena ternyata cukup banyak yang hadir di acara kecil itu.
Ada guru-guru, teman-teman musisi yang pernah bermain bersama Joey menyempatkan hadir. Selain Benny Likumahuwa, “tante” Nita Aartsen (termasuk guru pertama Joey ketika di Jakarta, ia memang pindah domisili dari Denpasar ke Jakarta). Ada juga guru lain dari Joey, Rio Moreno, kibordis. Indra Aziz, Taufan Goenarso (drummer, yang juga sempat menimba ilmu di negeri Paman Sam). Nial Djoeliarso, pianis, yang sempat pula menimba ilmu musik di sekolah kenamaan, The Julliard School, New York. Setelah sebelumnya menuntaskan study di Berklee College of Music, Boston.
Ada juga lainnya, Elfa Zulham (drummer), Kevin Joshua (bassis), Jundi (bassis). Dewa Budjana menyempatkan datang di pagi hari, tapi harus meninggalkan tempat karena GIGI-nya harus latihan. Ikut hadir, satu-satunya wartawan, Adib Hidayat dari Rolling Stone, karena majalah tersebut juga pada edisi terbarunya, menempatkan Joey sebagai gambar sampul depan.
Acara dipimpin oleh Barry Likumahuwa, bassis yang kerap mendukung penampilan Joey. Salah satu trio Joey, sebelum ia berangkat ke New York adalah dengan Barry Likumahuwa dan Sandy Winarta. Menemani Barry, ada Dira Sugandi, penyanyi yang juga istri dari Elfa Zulham. Dan ikut menjadi host, rapper muda, bolehlah ya dibilang rapper, Joshua Matulessy a.k.a Jflow. Tentu juga hadir juragan pemilik iCanStudioLive, Irsan “Ican” Wallad dan Lucy Willar.
 
Suasana akrab dan cair banget. Semua yang hadir, diberi kesempatan ngobrol dengan Joey. Boleh bertanya dan ngobrolin apapun. Ada momen yang “dramatis”, saat Nita Aartsen terisak penuh haru, dan tak sanggup ngomong apapun, ketika dapat gilirannya untuk berbincang dengan Joey dan mamanya.
Momen chitchat pagi hingga siang kemarin itu asyik. Jadi makin asyik karena tuan rumah juga menghidangkan kopi, teh dan...wuih, Mie Yamin! Asyik-asyik kenyanglah ya.....

Irsan Wallad sempat juga menerangkan mengenai proses bagaimana Joey Alexander bisa ke Amerika Serikat. Bagaimana ceritanya, sampai Joey membuat Wynton Marsalis, mengundangnya secara khusus untuk bermain di pertunjukan gala, Jazz at Lincoln Centre, pada 2014. Itulah starting point yang lantas mengangkat naik nama Joey, karena penampilan impresifnya saat acara tersebut, dimuat oleh The New York Times.
Ican, menjelaskan cukup rinci prosesnya. Dan bagaimana hasil syuting penampilan Joey di studionya di bilangan Senopati, Kebayoran Baru itu, menjadi semacam referensi yang “baik dan benar” akan kemampuan Joey Alexander. Itu juga menjadi salah satu performance Joey yang menjadi semacam arena “perkenalan” Joey, khususnya bagi publik musik jazz di Amerika Serikat. Karena hasil syuting, di upload oleh iCanStudioLive di youtube.
Dimana menurut Ican, ketika syuting akan dilakukan, sebenarnya Joey sudah memegang undangan untuk ke New York tersebut. Keluarga tersebut saat itu tengah berjuang untuk dapat memenuhi undangan spesial itu. Kendala utama memang pada dana. Dan Ican, menceritakan juga, bagaimana keluarga Joey berusaha maksimal untuk mengatasi persoalan tersebut.
Sebelum Ican, Lucy Willar membacakan email khusus dari ayah Joey, Denny Sila. Denny merinci pihak-pihak yang punya peran dalam membentuk Joey, membimbingnya, mengajar, mengarahkan, hingga Joey bisa sampai pada titik hari ini. Denny menyebut adanya 2 guru Joey di Denpasar, Bali. Lalu juga Nita Aartsen, Rio Moreno. Antara lain di sekolah musik Farabi.
Termasuk Indra Lesmana, yang sempat selama sekitar 4 bulan mengajar dan ikut mengarahkan Joey, di Jakarta terutama lewat Red&White Lounge, jazz-cafe yang dikelola Indra dan istrinya, Honhon Lesmana. Salah satunya lewat program master-class.
Oh ya, ada nama Idang Rasjidi juga disebut sebagai salah satu “orang tua” yang ikut membuat Joey seperti sekarang ini, oleh Denny Sila pada emailnya. Idang hanya mengirim message, karena berhalangan datang kemarin itu. Idang kebetulan memang yang memperkenalkan saya pada Joey dan orang tuanya, saat di New Friday Jazz Night di Pasar Seni Ancol, kalau tak salah tahun 2012, belum 10 tahun usianya. Saya sudah tulis di postingan sebelum ini kok.

Well, Joey to the World, lantas seperti disepakati jadi “hashtag”. Joey adalah phenomenon. Anak-anak berbakat mungkin banyak, tambah Benny Likumahuwa. “Tapi berbakat dan memang bertalenta spesial, sangat sedikit. Joey adalah salah satu dari yang sedikit itu. Dari yang saya lihat, rasakan, alami, terutama saat main bersamanya di panggung, saya belum pernah melihat atau menemui anak-anak seperti Joey. Main pianonya itu, dewasa, dan di luar dugaan.”
 
Sudah banyak tulisan tentang Joey Alexander dengan prestasi fenomenalnya di Grammy Awards 2016 kemarin. Ia kan memang menjadi trending-topic, teristimewa atas pemunculannya di malam penganugerahan Grammy Awards tersebut. Yang lantas membuat Joey seolah bukan hanya gifted buat kedua orang tuanya, bahkan bagi bangsa Indonesia. Anugerah luar biasa, yang mengharumkan bangsa. Walau sayang, sejauh ini belum memperoleh perhatian maksimal dari pemerintah Indonesia.
Tapi biar bagaimanapun, Joey dengan diam-diam, toh mencetak prestasi yang membanggakan Indonesia. Tak ada gembar-gembor. Karena, ya seperti saya sudah tuliskan, ia musisi jazz. Musik yang segmented, begitu stigma yng meleka erat. Outside mainstream dari industri musik. Tidak pop. Tiak gemerlap, bukan selebriti. Apalagi Joey memang masih muda belia begitu.

Tapi memang begitulah, karena Joey seperti tetiba “meledak” dan merampas perhatian. Publik kebanyakan dikejutkan dengan pemunculannya di Grammy Awards, yang bahkan membuat banyak orang dibuat terharu karenanya. Maka lantas begitulah, berita-berita bermunculan. Dan pertemuan khusus kemarin, seperti “memberi klarifikasi” atau meluruskan segala sesuatunya. Meluruskan, emang ada yang bengkak-bengkok?
Aha, biasalah. Ekses-ekses saja. Manusiawi dan bisa dipahami. Keberhasilan, apalagi yang fenomenal. Ya bahkan kalau kegagalan juga kan. Menimbulkan dampak “kanan-kiri-atas-bawah” yang suka ga pas. Sudahlah, sebut saja begitu.
Termasuk, media yang salah mendapat info, atawa salah dalam mencari info. Harusnya mencari info pada yang tepat. Selain media sini, ada media besar misal yang lebih suka mengangkat kegagalan Joey memperoleh Grammy Awards. Sementara media-media barat aje, sudah tak lagi ambil pusing, Joey sukses dapat Grammy atau tidak. Penampilan Joey, itu jauh lebih nikmat untuk diangkat dan diberitain.....

Saya mau sedikit nambahin. Kalau dari sisi, musisi kita ke US deh. Terkhusus untuk belajar. Melanjutkan study lebih serius, di musik. Nah memang kalau Joey itu, kasusnya sih beda. Terlalu khusus, dan memang belum pernah terjadi sebelum ini di dunia musik kita.
Ok tunggu dulu, misal soal Grammy Awards dulu deh. Ternyata sebenarnya tak hanya Joey yang diam-diam sukses di Grammy Awards ke 68, 2016 itu. Ada Sari Simorangkir dan Sydney Mohede dengan, ‘(Intro) Kau Rajaku’ yang masuk dalam album Covered : Alive in Asia, kompilasi live album gospel dari Israel & New Breed.
Album yang mendapat respon dan pujian positif dari kalangan musik gospel internasional itu, lantas memperoleh Grammy Awards untuk kategori Best Gospel Album. Lumayan membanggakan juga. Walau, maaf ini bukan mengecilkan kesuksesan Sari Simorangkir dan Sydney Mohede, memang yang menang adalah albumnya. Bukanlah lagu. Jadi pastinya, kurang terekspos. Tentu saja, case-nya beda dengan Joey....

Jadi balik ke yang di atas tadi. Menimba ilmu di Amerika Serikat. Pernah tetiba “booming”, para musisi muda kita satu demi satu memburu ilmu di Berklee College of Music, Boston. Sekolah itu jadi demikian populer dan bergengsinya saat itu, khususnya buat musisi muda kita. Dari sekolah itu, di pertengahan 1980-an, lulus beberapa nama. Mungkin mereka “generasi pertama” alumnus kolese musik ternama itu. Eramono Soekaryo (kibordis, penulis lagu. Saat itu, sekembalinya dari Berklee lumayan sukses dengan Spirit Band-nya).
Termasuk Rezky Ratulangi Ichwan, yang sebelumnya pemain tiup, khususnya klarinet. Memperoleh Bachelor of Music dari Berklee di jurusan Film Scoring. Ia lantas laris sebagai illustrator musik pada banyak film dan belakangan lebih sukses sebagai jingle-maker. Ada juga nama Aminoto Kosin, sepulang dari Berklee, masuk Karimata dan sukses. Amin juga lantas sukses sebagai penata musik banyak album laris di era 1980-an, bersama Erwin Gutawa dan Candra Darusman.
Merekalah yang saya kethui, sebagai generasi paling awal yang bersekolah di Berklee. Dilanjutkan oleh Rita Silalahi, pianis dan arranjer, yang kini aktif di musik gospel. Atau Andy Ayunir, yang lantas dikenal sebagai pelopor utama musik digital atau electronica, bersanding dengan nama Didi AGP, pada masa jelang akhir 1980-an. Sebut juga, alm. Narendra, drummer.
Di 1990-an, termasuk nama Andy Rianto, juga alumnus Berklee. Banyak nama yang beramai-ramai sekolah di sana. Tapi sebagian di antaranya ternyata gagal. Kembali ke tanah air, bawa ijazah Berklee, tapi tak sukses di karir musiknya. Tapi terus berlanjut, musisi muda yang menuntut ilmu di USA. Tak hanya di Berklee, tapi juga di MI, Musician Institute, yang berlokasi di Hollywood, California. Bahkan sampai sekarang.

Yang saya ingat, para alumnus penggenggam ijazah sekolah-sekolah musik ternama di USA itu, meramaikan musik Indonesia. Memberikan kegairahan tersendiri. Seolah menambah keramaian dan memercikkan inspirasi segar, yang membuat musik Indonesia variaif dan kayak “lebih bersemangat”. Positif lah. Ya yang bisa meneruskan karir musiknya, sebagian besar lumayan sukses.
Dan kalau bisa disebut sebagai sebuah “movement” atawa era. Bahwa musisi muda itu memang terlihat keseriusannya. Berani bepergian jauh, yang jauh bener dan tentunya....tak murah! Dollar coy. Apa ya, penuh semangat untuk meningkatkan pengetahuan dan wawasannya? Ya kira-kira begitu. Etapi, bukan lantas berarti, yang tak bersekolah di luar, lantas “kalah kelas” dan susah sukses. Urusan sukses, ga ditentuin sekolahan sih....
Di periode 2000-an, lantas tak hanya Amerika jadi tujuan. Sebagian musisi muda mengarahkan tujuannya ke Eropa, terutama Jerman dan Belanda. Oh ya, di 1990-an, ada juga yang memilih bersekolah di Australia. Dan bagaimana “hasil akhirnya”?
Lihat pada nama-nama muda macam Nial Djoeliarso, Elfa Zulham, Sri Hanuraga, Indrawan Tjhin, untk menyebut sebagian kecil di antaranya. Masih ada Demas Narawangsa, drummer, yang lantas saat ini masih menemani grup bandnya Reza Saleh, bassis, di Los Angeles. Mereka masa depan musik kita sih.

 
Dan tentunya, Joey “prodigy” Alexander. Yang mudah-mudahan akan memberikan kegairahan tersendiri, ya nambahinlah. Jadi bersemangat gitu. Berbuatlah, jalani terus, jangan lupa berdoa. Ga perlu gembar-gembor, yang penting bergerak dan berusaha. Jangan lantas jadi, terlalu semangatnya justru di gembar-gembornya, usahanya malah “nomer dua”.
Mudah-mudahan pemerintah kita bisa lebih peduli lagi, dengan musik Indonesia kita. Itu boleh ya, jadi doa berikutnya?

Dan Joey, kembali ke acara chitchat dengannya di iCanStudioLive itu, mengabarkan sedang mempersiapkan album keduanya. Well, good luck, young man! Sehat-sehatlah dan sukses selalu.... /*

No comments: