Sunday, February 7, 2016

Catatan Sejarah KRAKATAU, Setelah Hampir 25 Tahun




Note :
Tulisan mengenai KRAKATAU, superfusionband, di bawah ini adalah kumpulan tulisan saya. Waktu itu, pada beberapa tahun silam (2014, tepatnya), saat KRAKATAU memutuskan untuk bersatu lagi, Kembali Satu, sebenarnya disiapkan sebuah konser. Berlanjut dengan tour-show. Dan catatan saya ini sebetulnya sih disiapin bakal buku.... So, selamat membaca dan bernostalgia


Sebagai sebuah nama, KRAKATAU adalah nama yang fenomenal dan melegenda. Adalah Gunung Krakatau, yang pada 26 Agustus 1883, letusannya begitu mencengangkan seluruh dunia dan menjadikannya sebagai volcano paling sensasional di dunia….
Dan enerji begitu besar pada nama Krakatau, sebagai volcano, lantas diambil dan dijadikan nama sebuah kelompok musik. Kenyataannya, sebagai sebuah grup musik, catatan yang telah dituliskan tak kalah sensasionalnya dibanding Gunung Berapi di kawasan Selat Sunda tersebut

Krakatau sebagai band, pada awalnya adalah Messopotamia, di seputaran 1984.Terdiri dari Prasadja Budi Dharma (lebih dikenal sebagai Pra Budi Dharma/Pra B.Dharma), yang belum lama kembali ke tanah air, setelah mengenyam studi di Amerika Serikat. Ia kembali sekitar Maret 1983, setelah bermukim di Oklahoma setahun dan berikutnya di Seattle 8 tahun.
Lalu Dwiki Dharmawan, kibordis muda berbakat dari Bandung, sebelumnya dikenal lewat komunitas musik Elfa SecioriaSalah satu bibit muda berbakat, yang masih bersekolah di SMA.
Ada juga Donny Suhendra, pemuda yang menjadi gitaris lumayan menonjol saat itu. Donny telah dikenal luas oleh pencinta musik se-Bandung, antara lain lewat keterlibatannya sebelumnya dalam beberapa grup terpandang rock dan jazz-rock di kotakembang itu. Sebut saja grup rock, We. Lalu G’Brill, d’Marszyo, komunitas DKSB Harry Roesli, selain dengan BOM (Batalyon of Musicians).
Dan ketiganya di atas bertemu drummer muda yang datang dari Cimahi, dikenal lewat grup rocknya, JAM. Budhy Haryono, namanya. Maka Messopotamia pun berganti menjadi Krakatau, pas di sekitar Maret 1985.
Nama Messopotamia, diambil begitu saja. Dianggap unik dan menarik sebagai nama band. Sementara mereka sepakat mengganti nama jadi Krakatau, saat melihat foto gunung Krakatau,di sebuah buku pariwisata, di kediaman Pra. Pertimbangannya hanyalah, kayaknya nama Krakatau lebih gagah!
Kwartet ini lalu mengikuti kontes band paling bergengsi di era itu, sering disebut sebagai kawah candradimukanya musisi-musisi berkelas se Indonesia, Light Music Contest tahun 1985. Dan mereka menjadi jawara nomer wahid untuk grup, selain mendominasi peraihan Best-Instrumentalist.
Bak letusan mahsyur Gunung Krakatau di 1983, Krakatau sebagai band, seperti meletus pula di ajang Light Music Contest itu. Mencengangkan penonton dan tentu saja membuat para dewan juru terkesima! Penampilan keempat pemuda asal Bandung itu,langsung mengingatkan orang atas penampilan fusion band ternama asal Jepang, Casiopea. Kwartet dahsyat negeri matahari terbit itu, setahun sebelumnya mengguncang Jakarta.
Mereka begitu kampiun saat itu, walau nyatanya tidak seperti Casiopea, musik yang mereka sajikan. Mereka membawakan ‘Pork Chop’-nya Uzeb dan ‘Sara’s Touch’-nya Mike Menieri, jazz-rock yang relatif kencang.
Saking mencengangkannya penampilan mereka, maka pihak penyelenggara LMC, Yamaha, lantas mengirim mereka ke Jepang. Sebagai bintang tamu khusus, pada ajang serupa tingkat Jepang.
Ternyata, saat itu, penampilan mereka dianggap dahsyat, lalu merekapun ikut dinilai. Tak dinyana, Dwiki Dharmawan dipilih sebagai best-keyboardist! Awalnya diundang untuk bereksibisi, malah ikut diberikan penilaian. Acara LMC Jepang itu digelar di Nakano Sun Plaza, Tokyo.

Setelah LMC, 1986
Sukses di Jepang itu, membuat nama mereka di tanah air, langsung terangkat naik. Mereka mulai aktif tampil di pelbagai event musik. Mereka meminta bantuan beberapa nama, sebagai vokalis tamu. Adalah dua nama yang paling sering menjadi vokalis tamu. Pertama, Ruth Sahanaya, best vocalist LMC 1985. Lalu rocker Harry Mukti. Sempat pula mereka didukung penyanyi lain seperti Kemala Ayu, Minel dan Titi DJ.
Di pertengahan tahun 1986, formasi Krakatau berubah. Budhy Haryono sang drummer mengundurkan diri dan digantikan oleh Gilang Ramadhan. Kemudian formasi Krakatau pun bertambah dengan masuknya pianist/kibordis muda putra tokoh jazz kenamaan, Jack lesmana, yaitu Indra Lesmana. Notabene, Indra adalah sahabat dekat Gilang.
Perlu dicatat,pada saat itu, nama Indra dan Gilang reputasinya tengah menjulang tinggi. Kedua nama ini baru saja datang bersama-sama dari Amerika.
Gilang baru menuntaskan studi musiknya, sementara Indra Lesmana baru menyelesaikan album rekaman dimana ia didukung banyak musisi jazz papan atas dunia. Indra sendiri, sebelumnya juga menuntaskan studi musiknya di Australia. Saat itu, mereka sempat membentuk GIF, trio bersama bintang pop yang tengah naik daun, Fariz RM.
Selain itu juga ada kelompok Nebula. Ada pula kelompok musik lain, sebuah kuintet dengan Yuke Sumeru dan Odink Nasution, serta “memperkenalkan” gitaris muda berbakat, Dewa Budjana. Grup tersebut bernama, Exit.
Di tahun 1986 itu, beberapa recording label, mulai mengontak mereka untuk membuat album rekaman. Saat itu tawaran demi tawaran tersebut mereka simpan. Alasan utama, belum cukupnya materi komposisi orisinal  mereka. Tawaran mulai berdatangan, dikarenakan selepas menjadi “jawara” di LMC, mereka memang lantas sering tampil di pelbagai acara musik, terutama di kampus-kampus. Apalagi setelah resmi gabungnya Indra dan Gilang.
Dan dengan formasi gresnya, sebut sja formasi “Mark-3” mereka lantas serius mempersiapkan album rekaman pertama. Nama terakhir yang masuk adalah, Trie Utami. Penyanyi bertubuh mungil yang biasa dipanggil Iie ini adalah, Best Vocalist LMC di tahun 1986. Saat itu, Trie Utami baru saja menuntaskan SMAnya di Bandung. Iie adalah vokalis yang juga bisa bermain piano. Ia dikenal di Bandung, sebagai penyiar sebuah stasiun radio terkemuka bagi kaum muda Bandung.
Iie diundang untuk mengikuti audisi. Ia disodorin lagu karya Dwiki, ‘Now is the Best Time to Start’. Audisi itu, hanya untuk Iie seorang saja. Dwiki dan manager mereka, Nunus Oetomo menjadi penilai. Lewat audisi itu, Iie dianggap cocok menjadi vokalis Krakatau. Suaranya unik, begitu hasil penilaiannya.
Karena serius untuk masuk rekaman, maka mereka memang membutuhkan seorang vokalis. Hal tersebut juga atas saran pihak label. Bukan lagi vokalis pendukung, haruslah seorang vokalis tetap.

Gemilang di Pasar Seni Ancol
Baru di tahun 1987, akhirnya Krakatau merilis album perdana dan melejitkan hits "Gemilang". Album perdana, selftitled album ini terbilang unik. Dirilis awalnya, dengan cover hitam putih saja. Track pertama adalah, ‘Kemelut’. Kenyataannya, yang menjadi hits adalah track ke-4, ‘Gemilang’.
Maka sekitar 3 bulan kemudian, album ini di “revisi”. Gemilang dijadikan lagu pertama. Materi lagu lain, tetaplah sama. Pada sisi A, format kaset, terdapat lagu lain ‘Kemelut’, ‘Imaji’, ‘Haiti’, ‘Dirimu Kasih’ dan ‘Miles’. Di sisi B terdapat lagu ‘Winter Greys’, ‘Pelican’, ‘Kite to Fly’, Senja’ dan ‘Passport’. Versi revisi ini, berbeda pula pada sampul muka, dimana tulisan KRAKATAU diberi warna merah. Selain itu foto mereka berenam menjadi berwarna.
Berlanjut di album kedua, 1988, mencetak hits "La Samba Primadonna". Ada lagu lain yang popular pula dari album tersebut, antara lain seperti ‘Sayap-Sayap Beku’, ‘Cita Pasti’, ‘Tiada Abadi’. Ada lagu instrumental, yang dikenal luas, ‘Ananta’ dan ‘Peter Pan’. Seperti lagu Haiti, Passport, Miles dan Pelican di album perdana sebelumnya.
Album perdana, yang dirilis 1987, dengan titel nama Krakatau tercatat terjual 800.000 keping kaset. Album kedua, dirilis 1988 dengan title Second Album, terjual 600.000 kaset. Dengan pencapaian angka penjualan demikian, tak heran mereka melejit, dan kian menjulang namanya. Merekapun dijuluki superfusionband. Mereka dianggap salah satu “tokoh” utama dibalik berbunyi lebih nyaringnya musik jazz/fusion di tanah air, di era 1980-an itu.
Pada sekitar tahun itu, Krakatau menjadi salah satu.pelopor grup.musik (jazz/fusion) yang melakukan konser tunggal. Mereka memulainya di 1986, waktu itu dengan Pra, Dwiki, Donny,’ Gilang. Didukung vokalis tamu, Ruth Sahanaya.
Konser digelar di Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Selanjutnya, management mereka yang dijalankan Nunus Oetomo dan Iwan Pratiwi Setiawan lalu membuat jadwal kontinyu, setahun sekali menggelar konser Krakatau di tempat yang tetap sama.
Acara konser tunggal seperti itu, dan juga di tempat yang sama, lantas diikuti oleh kelompok-kelompok sejenis. Menjadi sebuah ajang pembuktian yang dianggap sangat penting, teristimewa perihal penegasan eksistensi.
Ada catatan rekor penting lain, masih seputar pentas. Mereka tampil di acara Friday Jazz Night, di arena Pasar Seni Ancol. Sebelumnya, ada cerita unik lain tentang mereka di acara saban Jumat malam itu. Ceritanya, sebelum tampil berjaya di ajang LMC 1985, mereka pernah “melamar” untuk bisa tampil di tempat itu.
Acara tersebut,memang menjadi popular dan bergengsi, terutama bagi anak muda ibukota dan sekitarnya, di seputaran 1980-an. Banyak grup-grup dan para musisi jazz terkemuka tampil di arena terbuka Pasar Seni Ancol itu. Maka merekapun berkeinginan bisa memperoleh kesempatan tampil. Ternyata, lamaran mereka tidak dijawab positif saat itu. Mereka hanya disuruh menunggu! (Mereka mengartikannya sebagai, ditolak).
Kenyataannya, sekitar setahun kemudian, mereka bisa tampil. Dan hasilnya, penonton berjumlah 20.000-an yang antusias menyaksikan penampilan mereka. Itu adalah rekor jumlah penonton tertinggi di acara tersebut. Menjadi rekor yang belum pernah bisa dilewati penampilan grup-grup lain, hingga saat ini!

Tour Show, Poppish dan Gosip
Sekedar mengingatkan saja, bahwa pada seputaran waktu itu, di Indonesia muncul pula nama fusion band lain, Karimata dan Bhaskara Band. Selain ada Funk Section dan GoldGuys (yang bernama lain, khusus untuk tampil di penonton internasional, Wongemas). Dua nama terakhir, datang dari kalangan kafe atau clubs. Yang waktu itu menjadi arena hiburan malam popular bagi kalangan muda ibukota, yaitu Green Pub dan Captain’s Bar.
Karimata dan Bhaskara, dikenal luas karena dapat kesempatan tampil di ajang North Sea Jazz Festival, di Den Haag, Belanda. Pada kesempatan berikutnya, juga berangkat, Wongemas. Dan selanjutnya, setiap tahun pasti ada grup jazz Indonesia di North Sea Jazz Festival tersebut. Mereka menjadi seperti “wakil” Indonesia di salah satu festival jazz terbesar di dunia tersebut.
Krakatau, pada saat itu, belum mendapatkan kesempatan tersebut. Bahkan juga di tahun-tahun berikutnya. Walaupun mereka ikut diperkenalkan ke khalayak penggemar jazz, saat peresmian Perhimpunan Jazz Indonesia (Indonesian Jazz Society), bertempat di Bali Room, Hotel Indonesia. Saat itu, diperkenalkan Karimata dan Bhaskara, sebagai grup jazz Indonesia yang akan berangkat ke North Sea Jazz Festival.
Tapi begitulah, pada perjalanan selanjutnya, justru Krakatau yang malah lebih dikenal luas. Baik di atas pentas, lewat show-show mereka yang lumayan gencar, menyinggahi banyak kota-kota di Jawa. Di antaranya, sebuah rangkaian tur show. Disusul rekaman album-album mereka, dengan bungkusan format musik yang “khusus”. Disebut khusus, lantaran musik mereka lekat dengan citarasa pop, tapi mengandung unsur jazz/fusion yang tebal.
Krakatau memang menjadi unik dan berbeda, karena mereka berpenampilan complicated, terutama pada musiknya, bila di atas panggung. Musiknya menyala-nyala, bertenaga, kencang, ada selipan kesan rock yang bersemangat juga. Kaya dengan sound, skill yang terbilang mumpuni. Tapi bila di rekaman, mereka mampu “melenturkan diri”, bermusik menjadi lebih pop. Poppish, istilahnya. Berkompromi lumayan baik, dengan selera pasar musik. Mengikuti anjuran pihak label rekamannya. Hasilnya, kedua album pertama memang menjadi album “jazz” terlaris saat itu!

Walau perlu dicermati lebih dalam, sesungguhnya walau bernuansa pop, lagu-lagu mereka bukanlah lagu-lagu yang mudah dibawakan oleh grup musik lain. Apalagi untuk dibawakan oleh penyanyi lain!
Inilah sisi menarik, yang membuat mereka terasa “istimewa”. Musiknya cukup sarat dengan “atraksi” skill berlebih mereka, pada setiap instrumennya masing-masing. Bahkan hingga, Iie sang vokalis, yang malah belakangan lebih dilihat sebagai “instrumentalis” ke-6 nya Krakatau! Artinya, Iie “bermain musik” pula, dengan suaranya yang menjadi alat musiknya. Kelima personil Krakatau-lah, yang membentuknya dengan nyaris sempurna…
Tak heranlah, dimanapun mereka tampil, sebagian penontonnya memang adalah para musisi atau vokalis. Mereka menjadi semacam sumber inspirasi, bagi para musisi tersebut. Yang senantiasa antusias menyaksikan penampilan idolanya itu. Unsur “akrobatik” skill mereka jelas terasa, tapi saktinya mereka tetap popular. Maka bukan hanya sesama musisi yang mengidolakan mereka, juga khalayak umum pencinta musik. Musik yang ber-“kwalitas”, tentu saja.
Bukti sangat konkrit dan nyata, peraihan angka penjualan dari kedua album pertama itu terbilang sangat baik, menjadi rekor tersendiri untuk musik-musik "segmented". Yang berhasil mendekati penjualan album-album musik pop.
Haruslah diakui mereka memang pandai membuat ramuan jitu, menghasilkan lagu-lagu pop yang tidak begitu gampang, tapi bisa populer. Tak hanya lagu-lagu bersyair,bahkan juga lagu-lagu instrumental mereka.
Di tengah nama yang melesat kian tinggi, mereka lantas diterpa badai isu bubar. Lantaran mereka mulai tercerai-berai, sibuk dengan proyek musiknya masing-masing. Indra misalnya, menjalankan Indra Lesmana Vision, Indra Trio lalu Andromeda dengan Bubi Chen dan sang ayah, Jack Lesmana. Indra tetap selalu bermain dengan Gilang Ramadhan.
Trie Utami mulai rajin ber solo karir, atau diajak rekaman pop, antara lain dengan Rumpies. Ia juga sempat membawakan lagu pop yang lumayan dikenal, ‘Keraguan’ dari ajang kontes cipta lagu bergengsi, LCLR. Dwiki begitu pula, sempat menjalankan, Dwiki’s Quartet. Begitupun halnya dengan Donny Suhendra.

Kau Datang dan 5 juta Kaset!
Di tahun 1990, mereka melansir Kembali Satu. Kalau pada album pertama terasa “semangat” jazz mereka tebal. Lalu pada album kedua, mereka memasukkan unsur new wave. Maka album ketiga ini musiknya terasa menjadi lebih ringan dan renyah. Dari album ini, muncul, ‘Kembali Satu’ dan ‘Kau Datang’. Selain beberapa nomer lain macam, ‘Seraut Wajah’, ‘Suasana’, ‘Perjalanan’, ‘Rain’ dan ‘Feels Like Forever’. Album ini tak ada materi instrumentalnya.
Yang menarik, album ini sejatinya dirilis setelah sebuah mini-album yang diberi title, Top Hits Single. Pengerjaan mini album ini dilakukan berbarengan dengan Kembali Satu. Mini album dirilis terlebih dahulu, sebagai “pemanasan” dan tes pasar. Begitu niat label rekamannya. Berisi 4 lagu saja yaitu ‘Kau Datang’, ‘Feels Like Forever’, ‘Rasa’ dan ‘Treasures’.
Tak dinyana, mini album ini berjalan amat sangat lancar di pasaran. Bahkan, membuat rekor fantastis! Bisa jadi, ini adalah mini album tersukses dalam sejarah musik Indonesia. Menurut kabar, album ini terjual lebih dari 1 juta kaset!
Karena begitu suksesnya “album terbatas” tersebut, tak heranlah kiranya lantas album penuh bertajuk Kembali Satu itu, laris manis pula di pasar. Tercatat album ini terjual 2 juta kaset! Tak pelak, album ini menempatkan Krakatau sebagai grup jazz/fusion tersukses di pasar musik. Suatu hal yang rada mengejutkan pasar musik. Jazz, ternyata, laku juga dijual!
Album ketiga ini, juga seolah menjawab semua gossip dan isu bubarnya mereka. Mereka tidaklah bubar, tetap solid dan berjalan bersama. Malah, lebih sukses lagi. Walau, kesuksesan yang mereka raih, sebenarnya juga di luar dugaan mereka sendiri.
Jadi lihat saja, mereka merilis 4 album dalam kurun waktu tak sampai 5 tahun, dengan total angka penjualannya hampir 5.000.000! Sebuah rekor luar biasa, tentu saja. Sekali lagi, menjadi catatan prestasi yang berlipat nilainya, dikarenakan mereka adalah grup jazz/fusion. Dengan dasar musik yang sejatinya, tidaklah mudah dicerna kuping dan hati publik kebanyakan! Paling tidak, anggapan itu awalnya datang dari pihak label rekaman.

Sekitar Kita dan World Music
Sayangnya, memasuki tahun 1992 mereka lantas menjadi Krakatau dengan formasi hanya Dwiki, Pra, Trie Utami dan masuk lagi drummer, Budhy Haryono. Formasi ini merilis Let There be Life. Dalam album ini, mereka menyertakan guest musician, Dewa Budjana dan Iwan Wiradz.
Dari album “terakhir” Krakatau dengan format fusion ini, muncul hits, ‘Sekitar Kita’. Lagu-lagu lain dalam album ini adalah ‘Let There be Life’, ‘Satu Kembali’, ‘Untuk Semua Kita’. Lalu pada Sisi B, dalam kasetnya, ada ‘ If Heaven is Like This’, ‘Love Will Stand’, ‘Damai yang Hilang’ dan ‘Ternyata’.
Tidak ada kabar pasti, yang mereka lansir secara resmi. Ada apa gerangan yang terjadi pada mereka berenam. Bubarkah mereka? Mengapa di saat justru mereka tengah berada di puncak popularitas?
Pada waktu itu, Indra bersama Gilang juga Donny membentuk Indra Lesmana Java Jazz, juga kelompok pop-rock, Adegan. Kedua kelompok tersebut, dengan personil nyaris sama, namun dengan warna musik yang berbeda, ternyata langsung dikenal luas.  
Maka sejak saat itulah, mereka berjalan masing-masing. Sementara Krakatau tetap dijalankan secara aktif oleh Dwiki Dharmawan dan Pra B.Dharma, menjadi grup yang lebih mengedepankan unsur eksperimentasi perkawinan musik pentatonik dan diatonik jazz. Antara lain menonjolkan perangkat perkusi tradisi Sunda.
Mereka memang menjadi lebih kental unsur world music atau world fusion. Dwiki dan Pra,merubah total warna musik Krakatau. Formasi dengan tipikal musik ini merilis Mystical Mist di 1994 lalu Magical Match di 2000. Di 2006, Krakatau format ini, merilis pula double-album, Rhythm of Reformation dan Two-World, dibarengi konser di Graha Bhakti Budaya, TIM.
Trie Utami menjadi vokalis Krakatau, berjalan dengan Dwiki dan Pra,hingga tahun 2004. Dwiki dan Pra pun mengajak vokalis Nya’ Ina Raseuki, untuk menempati posisi yang ditinggalkan Trie Utami.
Konsep world music tersebut, sebenarnya terus berjalan hingga saat ini. Pra dan Dwiki, didukung beberapa musisi yang memainkan perangkat tradisi seperti Ade Rudiana, Yoyon Darsono, Zainal Aripin. Mereka telah kerapkali tampil di pelbagai ajang festival jazz di mancanegara, Australia, Eropa, Asia dan bahkan hingga Amerika.

Mereka Berenam,Hari Ini
Dan begitulah ceritanya, mereka masing-masing larut dengan segenap kesibukan karir musiknya. Indra Lesmana misalnya belakangan aktif dengan kelompok LLW-nya dengan telah merilis 2 album rekaman. Selain menangani banyak album rekaman,baik sebagai player pendukung, produser atau mixing/mastering engineer.
Trie Utami, kencang berkibar sebagai komentator vokal pada beberapa ajang pencarian bakat di televisi, selain juga tampil dalam pelbagai acara pop. Ia juga mulai melangkah kaki lebih jauh di dunia musik, bertindak sebagai produser rekaman.
Donny Suhendra, tampil aktif dengan blues dan jazz. Ia belakangan ini tampil bersama Big City Blues, Donny Suhendra Project serta Power Fusion Trio. Selain menjadi pengajar dari banyak gitaris muda, baik secara privat maupun di sekolah musik Gladiresik.
Sementara itu Gilang Ramadhan, aktif juga di dunia pendidikan musik. Ia mendirikan GRSB, yang belakangan aktif melebarkan sayap ke seluruh Nusantara. Selain menjalankan berbagai proyek musik, salah satu diantaranya bersama Iwan Fals dan Iwang Noorsaid. Dan tetap menjalankan kelompok musiknya, Gilang Ramadhan NERA, yang antara lain juga didukung Donny Suhendra.
Seperti juga Dwiki Dharmawan dengan sekolah musik Farabi-nya, dimana ia juga menjadi pemilik sekaligus Direktur Utama. Dwiki ini begitu rajin dan sangat aktif melanglang buana ke seluruh penjuru Nusantara dan bahkan keliling menyinggahi banyak negara, antara lain juga tampil di bermacam-macam festival jazz internasional. Ia fokus pada eksplorasi “perkawinan silang” musik barat dan timur, modern dan tradisi. Selain dengan Krakatau format world music, Dwiki juga membentuk World Peace Orchestra dan World Peace Ensemble.
Pra Budi Dharma juga tetap aktif. Selain dengan Krakatau format world music, bersama Dwiki Dharmawan. Pra bertindak sebagai konseptor utama. Ia juga bergabung dengan kelompok trio, Kayon bersama Indra dan Gilang. Selain itu, ikut menjalankan GRSB bersama Gilang.

Tapi rupa-rupanya, setelah lumayan panjang tidak lagi berkumpul, mereka ternyata “dipersatukan kembali oleh alam”.Sebut saja begitu. Bahwa waktu yang terbaik, akan datang pada saat yang memang tepat. Mereka iseng terlebih dahulu, kangen-kangenan untuk bertemu dan bercengkrama. Dari situ, mereka berinisiatif untuk kembali tampil bersama-sama. Berenam, selengkapnya.
Walau sejatinya, mereka tetap melakukan kontak, meneruskan persahabatan satu sama lain. Kerapkali juga menggarap proyek musik bareng,aau tampil bareng,pada suatu acara. Tapi tidak pernah kumpul bareng lagi, berenam lengkap.
Mereka bertemu lagi, bukan lantas menjadi hanya sekadar reuni belaka. Sekedar menggelar kangen-kangenan dan bernostalgia, antara mereka dan mereka dengan para fansnya yang lalu. Karena itulah, disepakati memakai title, Kembali Satu.

Menegaskan, keinginan tampil kembali dengan pasti, jelas, dipersiapkan sebaik-baiknya. Dan….harus berarti bagi musik Indonesia! Musik Indonesia hari ini, tentu.
Mereka tetap saja, berbeda. Bahkan ketika saat ini, bersepakat untuk bermain bareng lagi. Keenamnya, ada pada level yang sama. Semua sarat pengalaman. Saat ini, hari ini, keenamnya bisa disebut para master semua!
Rasanya, tak ada satupun grup musik di Indonesia saat ini, yang seperti mereka ini. Tak hanya “menonjolkan” vokalis atau 1-2 personilnya saja. Tapi semua personil, menonjol dengan merata. Tetap aktif berkiprah di musik, pada proyek mereka masing-masing.
Keenam Krakatau ini berkeinginan kuat, untuk kembali meramaikan musik Indonesia. Menebarkan benih enerji positif, lewat karya musik dan lagu mereka yang pernah begitu dikenal pada lebih dari 25-an tahun silam itu. Memainkannya bersama-sama kembali, tentu dengan enerji kekinian. Memberikan motivasi bagi lahirnya ide-ide bermusik yang segar, teristimewa bagi kaum muda, generasi masa kini.
Tentu saja, mereka sejak dini telah memberi isyarat,  tidak tertutup kemungkinan bahwa ide-ide bermusik mereka berkembang lebar. Bisa saja proses berikutnya, akan menuju ke arah itu. Dan menghasilkan karya lagu yang baru, tentu saja bukan hal yang tidak mungkin…

*Trie Utami (vocal utama), Dwiki Dharmawan (kibor dan synthesizer), Prasadja Budhidharma (bass elektrik),
Gilang Ramadhan (drums), Donny Suhendra (gitar elektrik) dan Indra Lesmana (kibor dan synthesizer)*




Krakatau sebagai band, pada awalnya adalah Messopotamia, di seputaran 1984.Terdiri dari Prasadja Budi Dharma (lebih dikenal sebagai Pra Budi Dharma/Pra B.Dharma), yang belum lama kembali ke tanah air, setelah mengenyam studi di Amerika Serikat. Ia kembali sekitar Maret 1983, setelah bermukim di Oklahoma setahun dan berikutnya di Seattle 8 tahun.
Lalu Dwiki Dharmawan, kibordis muda berbakat dari Bandung, sebelumnya dikenal lewat komunitas musik Elfa SecioriaSalah satu bibit muda berbakat, yang masih bersekolah di SMA.
Ada juga Donny Suhendra, pemuda yang menjadi gitaris lumayan menonjol saat itu. Donny telah dikenal luas oleh pencinta musik se-Bandung, antara lain lewat keterlibatannya sebelumnya dalam beberapa grup terpandang rock dan jazz-rock di kotakembang itu. Sebut saja grup rock, We. Lalu G’Brill, d’Marszyo, komunitas DKSB Harry Roesli, selain dengan BOM (Batalyon of Musicians).

Dan ketiganya di atas bertemu drummer muda yang datang dari Cimahi, dikenal lewat grup rocknya, JAM. Budhy Haryono, namanya. Maka Messopotamia pun berganti menjadi Krakatau, pas di sekitar Maret 1985.
Nama Messopotamia, diambil begitu saja. Dianggap unik dan menarik sebagai nama band. Sementara mereka sepakat mengganti nama jadi Krakatau, saat melihat foto gunung Krakatau,di sebuah buku pariwisata, di kediaman Pra. Pertimbangannya hanyalah, kayaknya nama Krakatau lebih gagah dan powerful!
Kwartet ini lalu mengikuti kontes band paling bergengsi di era itu, sering disebut sebagai kawah candradimukanya musisi-musisi berkelas se Indonesia, Light Music Contest tahun 1985. Dan mereka menjadi jawara nomer wahid untuk grup, selain mendominasi peraihan Best-Instrumentalist.

Bak letusan mahsyur Gunung Krakatau di 1983, Krakatau sebagai band, seperti meletus pula di ajang Light Music Contest itu. Mencengangkan penonton dan tentu saja membuat para dewan juru terkesima! Penampilan keempat pemuda asal Bandung itu,langsung mengingatkan orang atas penampilan fusion band ternama asal Jepang, Casiopea. Kwartet dahsyat negeri matahari terbit itu, setahun sebelumnya mengguncang Jakarta.
Mereka begitu kampiun saat itu, walau nyatanya tidak seperti musiknya Casiopea yang mereka sajikan. Mereka membawakan ‘Pork Chop’-nya Uzeb dan ‘Sara’s Touch’-nya Mike Menieri, jazz-rock yang relatif kencang dan penuh tenaga!
Saking mencengangkannya penampilan mereka kala itu, maka pihak penyelenggara LMC, Yamaha, lantas mengirim mereka ke Jepang. Sebagai bintang tamu khusus, pada ajang serupa tingkat Jepang.
Ternyata, saat itu, penampilan mereka dianggap dahsyat,membuat penampilan merekapun lalu ikut dinilai. Tak dinyana, Dwiki Dharmawan dipilih sebagai best-keyboardist! Awalnya diundang untuk bereksibisi, malah ikut diberikan penilaian. Acara LMC Jepang itu digelar di Nakano Sun Plaza, Tokyo.

Setelah LMC, 1986
Sukses di Jepang itu, membuat nama mereka di tanah air, langsung terangkat naik. Mereka mulai aktif tampil di pelbagai event musik. Mereka meminta bantuan beberapa nama, sebagai vokalis tamu. Adalah dua nama yang paling sering menjadi vokalis tamu. Pertama, Ruth Sahanaya, best vocalist LMC 1985. Lalu rocker Harry Mukti. Sempat pula mereka didukung penyanyi lain seperti Kemala Ayu, Minel dan Titi DJ.
Di pertengahan tahun 1986, formasi Krakatau berubah. Budhy Haryono sang drummer mengundurkan diri dan digantikan oleh Gilang Ramadhan. Kemudian formasi Krakatau pun bertambah dengan masuknya pianist/kibordis muda putra tokoh jazz kenamaan, Jack lesmana, yaitu Indra Lesmana. Notabene, Indra adalah sahabat dekat Gilang.
Perlu dicatat,pada saat itu, nama Indra dan Gilang reputasinya tengah menjulang tinggi. Kedua nama ini baru saja datang bersama-sama dari Amerika.
Gilang baru menuntaskan studi musiknya, sementara Indra Lesmana baru menyelesaikan album rekaman dimana ia didukung banyak musisi jazz papan atas dunia. Indra sendiri, sebelumnya juga menuntaskan studi musiknya di Australia. Saat itu, mereka sempat membentuk GIF, trio bersama bintang pop yang tengah naik daun, Fariz RM.
Sayangnya trio yang sungguh “mencuri perhatian” itu, di saat itu hanya sempat main di panggung. Rencana rekaman, tak pernah bisa direalisir. Padahal, kalau saja rekaman album terjadi, boleh jadi berpotensi menjadi album laris-manis.
Selain itu juga ada kelompok Nebula. Ada pula kelompok musik lain, sebuah kuintet dengan Yuke Sumeru dan Odink Nasution, serta “memperkenalkan” gitaris muda berbakat, Dewa Budjana. Grup tersebut bernama, Exit. Exit juga lumayan sukses, sayangnya belum sempat menghasilkan album rekaman.
Di tahun 1986 itu, beberapa recording label, mulai mengontak mereka untuk membuat album rekaman. Saat itu tawaran demi tawaran tersebut mereka simpan. Alasan utama, belum cukupnya materi komposisi orisinal  mereka. Tawaran mulai berdatangan, dikarenakan selepas menjadi “jawara” di LMC, mereka memang lantas sering tampil di pelbagai acara musik, terutama di kampus-kampus. Apalagi setelah resmi gabungnya Indra danDan dengan formasi gresnya, sebut saja formasi “Mark-3” mereka lantas serius mempersiapkan album rekaman pertama. Nama terakhir yang masuk adalah, Trie Utami. Penyanyi bertubuh mungil yang biasa dipanggil Iie ini adalah, Best Vocalist LMC di tahun 1986.
Saat itu, Trie Utami baru saja menuntaskan SMAnya di Bandung. Iie adalah vokalis yang juga bisa bermain piano. Ia dikenal di Bandung, sebagai penyiar sebuah stasiun radio terkemuka bagi kaum muda Bandung.
Iie diundang untuk mengikuti audisi. Ia disodorin lagu karya Dwiki, ‘Now is the Best Time to Start’. Audisi itu, hanya untuk Iie seorang saja. Dwiki dan manager mereka, Nunus Oetomo menjadi penilai. Lewat audisi itu, Iie dianggap cocok menjadi vokalis Krakatau.
Suaranya unik, begitu hasil penilaiannya. Karakter vokalnya khas. Ambituous suaranya lebar. Iie diyakini akan mampu beradaptasi dengan baik dengan musik Krakatau.
Karena serius untuk masuk rekaman, maka mereka memang membutuhkan seorang vokalis. Hal tersebut juga atas saran pihak label. Bukan lagi vokalis pendukung, haruslah seorang vokalis tetap.
Sebenarnya,mereka berkeinginan menjadikan Ruth Sahanaya sebagai vokalis tetap mereka. Sayangnya, Uthe, begitu panggilan akrabnya, keburu di”samber” salah satu label rekaman. Ia diikat kontrak untuk membuat solo album. Label rekaman Uthe berbeda dengan label rekaman yang mengontrak Krakatau.
Seperti diketahui, bahwa akhirnya memang perjalanan Uthe dalam karir solonya, terbilang cemerlang. Ia meraih sukses langsung di album pertamanya. Begitulah, cerita Uthe dengan Krakatau, berakhir.


Gemilang di Pasar Seni Ancol
Baru di tahun 1987, akhirnya Krakatau merilis album perdana dan melejitkan hits "Gemilang". Album perdana, selftitled album ini terbilang unik. Dirilis awalnya, dengan cover hitam putih saja. Track pertama adalah, ‘Kemelut’. Kenyataannya, yang menjadi hits adalah track ke-4, ‘Gemilang’. Lagu itu diputar di banyak radio. Menjadi Top-Request!
Maka sekitar 3 bulan kemudian, album ini di “revisi”. Gemilang dijadikan lagu pertama. Materi lagu lain, tetaplah sama. Pada sisi A, format kaset, terdapat lagu lain ‘Kemelut’, ‘Imaji’, ‘Haiti’, ‘Dirimu Kasih’ dan ‘Miles’. Di sisi B terdapat lagu ‘Winter Greys’, ‘Pelican’, ‘Kite to Fly’, Senja’ dan ‘Passport’. Versi revisi ini, berbeda pula pada sampul muka, dimana tulisan KRAKATAU diberi warna merah. Selain itu foto mereka berenam menjadi berwarna.
Satu cerita di balik kesuksesan lagu Gemilang. Lagu itu ternyata adalah, lagu terakhir yang masuk di album itu. Saat itu, memang masih ada “space” kosong yang bisa diisi satu lagu lagi. Maka Dwiki Dharmawan menyodorkan satu lagu, dimana syairnya ditulis Mira Lesmana, kakak dari Indra. Itulah lagu Gemilang, yang ternyata memang gemilang di pasaran!
Sedikit intermezzo ya, bahwa kalau memberi judul lagu, apalagi album, emang sejatinya jangan “negatif”. Kudu optimistik. Dan contoh konkritnya, ‘Gemilang’ itulah. Positif. Yakin. Hasilnya? Sapa nyana? Tapi, aneh tapi nyata, bukan? Percaya tak percaya, judul atau nama, memiliki enerji tertentu....

Berlanjut di album kedua, 1988, mencetak hits "La Samba Primadonna", ini karya Dwiki Dharmawan dengan syair dibuat oleh Trie Utami. Ada lagu lain yang populer pula dari album tersebut, antara lain seperti ‘Sayap-Sayap Beku’, ‘Cita Pasti’, ‘Tiada Abadi’.
Ada lagu instrumental, yang dikenal luas, ‘Ananta’ dan ‘Peter Pan’. Seperti lagu instrumental ‘Haiti’, ‘Passport’, ‘Miles’ dan ‘Pelican’ di album perdana sebelumnya. Ah sebut saja, semacam “pembuktian” akan sisi jazz mereka yang lumayan tegas. Dengan ke-pede-an menyelipkan lagu-lagu tak bersyair begitu. Dan mereka mempertontonkan kepiawaian mereka dalam mengolah jazz di lagu-lagu begitu....
Nama Mira Lesmana, menjadi kian dekat dengan Krakatau. Ia menulis lirik beberapa lagu Krakatau. Seperti Gemilang dan Dirimu Kasih, pada album perdana. Sementara pada album kedua, Mira menulis lirik pada sebagian besar lagu bersyair.

Album perdana, yang dirilis 1987, dengan titel nama Krakatau tercatat terjual 800.000 keping kaset. Album kedua, dirilis 1988 dengan title Second Album, terjual 600.000 kaset. Dengan pencapaian angka penjualan demikian, tak heran mereka melejit, dan kian menjulang namanya. Merekapun dijuluki superfusionband. Mereka dianggap salah satu “tokoh” utama dibalik berbunyi lebih nyaringnya musik jazz/fusion di tanah air, di era 1980-an itu.
Pada sekitar tahun itu, Krakatau menjadi salah satu.pelopor grup.musik (jazz/fusion) yang melakukan konser tunggal. Mereka memulainya di 1986, waktu itu dengan Pra, Dwiki, Donny,’ Gilang. Didukung vokalis tamu, Ruth Sahanaya.
Konser digelar di Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Selanjutnya, management mereka yang dijalankan Nunus Oetomo dan Iwan Pratiwi Setiawan lalu membuat jadwal kontinyu, setahun sekali menggelar konser Krakatau di tempat yang tetap sama.

Acara konser tunggal seperti itu, dan juga di tempat yang sama, lantas diikuti oleh kelompok-kelompok sejenis. Menjadi sebuah ajang pembuktian yang dianggap sangat penting, teristimewa perihal penegasan eksistensi.
Ada catatan rekor penting lain, masih seputar pentas. Mereka tampil di acara Friday Jazz Night, di arena Pasar Seni Ancol. Sebelumnya, ada cerita unik lain tentang mereka di acara saban Jumat malam itu. Ceritanya, sebelum tampil berjaya di ajang LMC 1985, mereka pernah “melamar” untuk bisa tampil di tempat itu.
Acara tersebut,memang menjadi popular dan bergengsi, terutama bagi anak muda ibukota dan sekitarnya, di seputaran 1980-an. Banyak grup-grup dan para musisi jazz terkemuka tampil di arena terbuka Pasar Seni Ancol itu. Maka merekapun berkeinginan bisa memperoleh kesempatan tampil. Ternyata, lamaran mereka tidak dijawab positif saat itu. Mereka hanya disuruh menunggu! (Mereka mengartikannya sebagai, ditolak).

Kenyataannya, sekitar setahun kemudian, mereka bisa tampil. Dan hasilnya, penonton berjumlah 20.000-an yang antusias menyaksikan penampilan mereka. Itu adalah rekor jumlah penonton tertinggi di acara tersebut. Menjadi rekor yang belum pernah bisa dilewati penampilan grup-grup lain, hingga saat ini!
Dan ledakan penonton Krakatau saat itu, lantas saja langsung menjulangkan popularitas tempat itu, tentu dengan program khususnya saban Jumat malam itu. Yes, ke Pasar Seni lihat Friday Jazz Night, jadi menu wajib bagi “anak-anak nongkrong” saat itu.
Catatan tak kalah penting, saat itu personil Krakatau bisa dibilang musisi muda. Belum 30 tahun usia mereka. Malah Dwiki dan Iie, belum lagi 20 tahun umurnya, saat debut album mereka dirilis. Sungguh membuat mereka menjadi musisi muda berpotensi besar, waktu itu.
Keenam musisi Krakatau yang muda itu, malah lantas dianggap memainkan “musik masa depan”. Kreasi musik mereka dianggap “mendahului waktu”! Musisi lain belum kepikiran memainkan “nada-nada begitu rupa”, mereka sudah setapak lebih maju. Berani bikin, berani rekaman en berani maininnya!


Tour Show, Poppish dan Gosip
Sekedar mengingatkan saja, bahwa pada seputaran waktu itu, di Indonesia muncul pula nama fusion band lain, Karimata dan Bhaskara Band. Selain ada Funk Section dan GoldGuys (yang bernama lain, khusus untuk tampil di penonton internasional, Wongemas). Dua nama terakhir, datang dari kalangan kafe atau clubs. Yang waktu itu menjadi arena hiburan malam popular bagi kalangan muda ibukota, yaitu Green Pub dan Captain’s Bar.
Karimata dan Bhaskara, dikenal luas karena dapat kesempatan tampil di ajang North Sea Jazz Festival, di Den Haag, Belanda. Pada kesempatan berikutnya, juga berangkat, Wongemas. Dan selanjutnya, setiap tahun pasti ada grup jazz Indonesia di North Sea Jazz Festival tersebut. Mereka menjadi seperti “wakil” Indonesia di salah satu festival jazz terbesar di dunia tersebut.
Krakatau, pada saat itu, belum mendapatkan kesempatan tersebut. Bahkan juga di tahun-tahun berikutnya. Walaupun mereka ikut diperkenalkan ke khalayak penggemar jazz, saat peresmian Perhimpunan Jazz Indonesia (Indonesian Jazz Society), bertempat di Bali Room, Hotel Indonesia. Saat itu, diperkenalkan Karimata dan Bhaskara, sebagai grup jazz Indonesia yang akan berangkat ke North Sea Jazz Festival.

Tapi begitulah, pada perjalanan selanjutnya, justru Krakatau yang malah lebih dikenal luas. Baik di atas pentas, lewat show-show mereka yang lumayan gencar, menyinggahi banyak kota-kota di Jawa. Di antaranya, termasuk beberapa rangkaian tur show. Disusul rekaman album-album mereka, dengan bungkusan format musik yang “khusus”. Disebut khusus, lantaran musik mereka lekat dengan cita rasa pop, tapi mengandung unsur jazz/fusion yang tebal.
Krakatau memang menjadi unik dan berbeda, karena mereka berpenampilan complicated, terutama pada musiknya, bila di atas panggung. Musiknya menyala-nyala, bertenaga, kencang, ada selipan kesan rock yang bersemangat juga. Kaya dengan sound, skill yang terbilang mumpuni. Dan diakui, musik yang mereka racik, olah, campur-mencampur, aduk jadi rata, ya mengandung unsur “kompleksitas” yang daleeeem. Susah dimainkan siapapun. Dalam becandaan mereka, bahkan oleh mereka sendiri....

Tapi bila di rekaman, mereka mampu “melenturkan diri”, bermusik menjadi lebih pop. Poppish, istilahnya. Berkompromi lumayan baik, dengan selera pasar musik. Mengikuti anjuran pihak label rekamannya. Hasilnya, kedua album pertama memang menjadi album “jazz” terlaris saat itu!
Walau perlu dicermati lebih dalam, sesungguhnya walau bernuansa pop, lagu-lagu mereka bukanlah lagu-lagu yang mudah dibawakan oleh grup musik lain. Apalagi untuk dibawakan oleh penyanyi lain! Sungguh sulit mencari penyanyi seperti Iie, yang mampu dengan “mulus”nya menaklukkan lagu-lagu bersyair Krakatau yang rata-rata terbilang sulit untuk dinyanyikan itu.

Inilah sisi menarik, yang membuat mereka terasa “istimewa”. Musiknya cukup sarat dengan “atraksi” skill berlebih mereka, pada setiap instrumennya masing-masing. Bahkan hingga, Iie sang vokalis, yang malah belakangan lebih dilihat sebagai “instrumentalis” ke-6 nya Krakatau! Artinya, Iie “bermain musik” pula, dengan suaranya yang menjadi alat musiknya. Kelima personil Krakatau-lah, yang membentuknya dengan nyaris sempurna. Jadi penyanyi beneran

Tak heranlah, dimanapun mereka tampil, sebagian penontonnya memang adalah para musisi atau vokalis. Mereka menjadi semacam sumber inspirasi, bagi para musisi tersebut. Yang senantiasa antusias menyaksikan penampilan idolanya itu. Begitulah, Krakatau lantas menjadi semacam trend-setter saat itu, khususnya untuk musik bernuansa jazz.
Unsur “akrobatik” skill mereka jelas terasa, tapi saktinya mereka tetap populer. Maka bukan hanya sesama musisi yang mengidolakan mereka, juga khalayak umum pencinta musik. Pencinta musik yang ber-“kwalitas”, tentu saja.
Bukti sangat konkrit dan nyata, peraihan angka penjualan dari kedua album pertama itu terbilang sangat baik, menjadi rekor tersendiri untuk musik-musik "segmented". Yang berhasil mendekati penjualan album-album musik pop.
Haruslah diakui mereka memang pandai membuat ramuan jitu, menghasilkan lagu-lagu pop yang tidak begitu gampang, tapi bisa populer. Tak hanya lagu-lagu bersyair, bahkan juga lagu-lagu instrumental mereka.
Di tengah nama yang melesat kian tinggi, mereka lantas diterpa badai isu bubar. Lantaran mereka mulai tercerai-berai, sibuk dengan proyek musiknya masing-masing. Indra misalnya, menjalankan Indra Lesmana Vision, Indra Trio lalu Andromeda dengan Bubi Chen dan sang ayah, Jack Lesmana. Indra tetap selalu bermain dengan Gilang Ramadhan.
Trie Utami mulai rajin ber solo karir, atau diajak rekaman pop, antara lain dengan Rumpies. Ia juga sempat membawakan lagu pop yang lumayan dikenal, ‘Keraguan’ dari ajang kontes cipta lagu bergengsi, LCLR. (Lomba Cipta Lagu Remaja, besutan Radio Prambors, Jakarta). Dwiki begitu pula, sempat menjalankan, Dwiki’s Quartet. Begitupun halnya dengan Donny Suhendra.

Kau Datang dan 5 juta Kaset!
Di tahun 1990, mereka melansir Kembali Satu. Kalau pada album pertama terasa “semangat” jazz mereka tebal. Lalu pada album kedua, mereka memasukkan unsur new wave. Maka album ketiga ini musiknya terasa menjadi lebih ringan dan renyah. Dari album ini, muncul, ‘Kembali Satu’ dan ‘Kau Datang’. Selain beberapa nomer lain macam, ‘Seraut Wajah’, ‘Suasana’, ‘Perjalanan’, ‘Rain’ dan ‘Feels Like Forever’. Album ini tak ada materi instrumentalnya.
Yang menarik, album ini sejatinya dirilis setelah sebuah mini-album yang diberi title, Top Hits Single. Pengerjaan mini album ini dilakukan berbarengan dengan Kembali Satu. Mini album dirilis terlebih dahulu, sebagai “pemanasan” dan tes pasar. Begitu niat label rekamannya. Berisi 4 lagu saja yaitu ‘Kau Datang’, ‘Feels Like Forever’, ‘Rasa’ dan ‘Treasures’.

Tak dinyana, mini album ini berjalan amat sangat lancar di pasaran. Bahkan, membuat rekor fantastis! Bisa jadi, ini adalah mini album tersukses dalam sejarah musik Indonesia. Menurut kabar, album ini terjual lebih dari 1 juta kaset!
Karena begitu suksesnya mini album tersebut, tak heranlah kiranya lantas album penuh bertajuk Kembali Satu itu, laris manis pula di pasar. Tercatat album ini terjual 2 juta kaset! Tak pelak, album ini menempatkan Krakatau sebagai grup jazz/fusion tersukses di pasar musik. Suatu hal yang rada mengejutkan sebetulnya. Album ketiga ini, juga seolah menjawab semua gossip dan isu bubarnya mereka.
Jadi lihat saja,mereka merilis 4 album dalam kurun waktu tak sampai 5 tahun, dengan total angka penjualannya hampir 5.000.000! Sebuah rekor luar biasa,tentu saja. Sekali lagi, menjadi catatan prestasi yang berlipat nilainya, dikarenakan mereka adalah grup jazz/fusion. Dengan dasar musik yang sejatinya, tidaklah mudah dicerna kuping dan hati publik kebanyakan! Paling tidak, anggapan itu awalnya dating dari pihak label rekaman.

Pada 1992 mereka lantas menjadi Krakatau dengan formasi hanya Dwiki, Pra, Trie Utami dan masuk lagi drummer, Budhy Haryono. Formasi ini merilis Let There be Life. Dalam album ini, mereka menyertakan guest musician, Dewa Budjana dan Iwan Wiradz.
Dari album “terakhir” Krakatau dengan format fusion ini, muncul hits, ‘Sekitar Kita’. Lagu-lagu lain dalam album ini adalah ‘Let There be Life’, ‘Satu Kembali’, ‘Untuk Semua Kita’. Lalu pada Sisi B, dalam kasetnya, ada ‘ If Heaven is Like This’, ‘Love Will Stand’, ‘Damai yang Hilang’ dan ‘Ternyata’.
Pada waktu itu, Indra bersama Gilang juga Donny membentuk Indra Lesmana Java Jazz, juga kelompok pop-rock, Adegan. Maka sejak saat itulah, mereka berjalan masing-masing. Sementara Krakatau tetap dijalankan secara aktif oleh Dwiki Dharmawan dan Pra B.Dharma, menjadi grup yang lebih mengedepankan unsur eksperimentasi perkawinan musik pentatonic dan diatonic jazz. Antara lain menonjolkan perangkat perkusi tradisi Sunda.

Mereka memang menjadi lebih kental unsur world music atau world fusion. Formasi dengan tipikal musik ini merilis Mystical Mist di 1994 lalu Magical Match di 2000. Di 2006, Krakatau format ini, merilis pula double-album, Rhythm of Reformation dan 2-World, dibarengi konser di Graha Bhakti Budaya, TIM.
Trie Utami menjadi vokalis Krakatau, berjalan dengan Dwiki dan Pra,hingga tahun 2004. Dwiki dan Pra pun mengajak vokalis Nya’ Ina Raseuki,untuk menempati posisi yang ditinggalkan Trie Utami.
Konsep world music tersebut, sebenarnya terus berjalan hingga saat ini. Pra dan Dwiki, didukung beberapa musisi yang memainkan perangkat tradisi seperti Ade Rudiana, Yoyon Darsono, Zainal Aripin. Mereka telah kerapkali tampil di pelbagai ajang festival jazz di mancanegara, Australia, Eropa, Asia dan bahkan hingga Amerika.

Dan begitulah ceritanya, mereka masing-masing larut dengan segenap kesibukan karir musiknya. Indra Lesmana misalnya belakangan aktif dengan kelompok LLW-nya dengan telah merilis 2 album rekaman. Selain menangani banyak album rekaman,baik sebagai player pendukung, produser atau mixing/mastering engineer.
Trie Utami, kencang berkibar sebagai komentator vokal pada beberapa ajang pencarian bakat di televisi, selain juga tampil dalam pelbagai acara pop. Ia juga mulai melangkah kaki lebih jauh di dunia musik, bertindak sebagai produser rekaman.

Donny Suhendra, tampil aktif dengan blues dan jazz. Ia belakangan ini tampil bersama Big City Blues, Donny Suhendra Project serta Power Fusion Trio. Selain menjadi pengajar dari banyak gitaris muda, baik secara privat maupun di sekolah musik Gladiresik.
Sementara itu Gilang Ramadhan, aktif juga di dunia pendidikan musik. Ia mendirikan GRSB, yang belakangan aktif melebarkan sayap ke seluruh Nusantara. Selain menjalankan berbagai proyek musik, salah satu diantaranya bersam Iwan Fals dan Iwang Noorsaid. Dan tetap menjalankan kelompokmusiknya, Gilang Ramadhan NERA, yang antara lain juga didukung Donny Suhendra.

Seperti juga Dwiki Dharmawan dengan sekolah musik Farabi-nya, dimana ia juga menjadi pemilik sekaligus Direktur Utama. Dwiki ini begitu rajin dan sangat aktif melanglang buana ke seluruh penjuru Nusantara dan bahkan keliling menyinggahi banyak negara, antara lain juga tampil di bermacam-macam festival jazz internasional. Ia fokus pada eksplorasi “perkawinan silang” musik barat dan timur, modern dan tradisi. Selain dengan Krakatau format world music, Dwiki juga membentuk World Peace Orchestra dan World Peace Ensemble.
Pra Budi Dharma juga tetap aktif. Selain dengan Krakatau format world music, bersama Dwiki Dharmawan. Pra bertindak sebagai konseptor utama. Ia juga bergabung dengan kelompok trio, Kayon bersama Indra dan Gilang. Selain itu, ikut menjalankan GRSB bersama Gilang.


Tapi rupa-rupanya, setelah lumayan panjang tidak lagi berkumpul, mereka ternyata “dipersatukan kembali oleh alam”.Sebut saja begitu. Bahwa waktu yang terbaik, akandatang pada saat yang memang tepat. Mereka iseng terlebih dahulu, kangen-kangenan untuk bertemu dan bercengkrama.Dari situ, mereka berinisiatif untuk kembali tampil bersama-sama.Berenam, selengkapnya.
Walau sejatinya, mereka tetap melakukan kontak, meneruskan persahabatan satu sama lain. Kerapkali juga menggarap proyek musik bareng,aau tampil bareng,pada suatu acara. Tapi tidak pernah kumpul bareng lagi, berenam lengkap.

Mereka bertemu lagi, bukan lantas menjadi hanya sekadar reuni belaka.Sekedar menggelar kangen-kangenan dan bernostalgia, antara mereka dan mereka dengan para fansnya yang lalu. Karena itulah, disepakati memakai title, Kembali Satu.
Menegaskan, keinginan tampil kembali dengan pasti, jelas, dipersiapkan sebaik-baiknya. Dan….harus berarti bagi musik Indonesia!
Keenam Krakatau ini berkeinginan kuat, untuk kembali meramaikan musik Indonesia. Menebarkan benih enerji positif, lewat karya musik dan lagu mereka yang pernah begitu dikenal pada lebih dari 25-an tahun silam itu. Memainkannya bersama-sama kembali, tentu dengan enerji kekinian. Memberikan motivasi bagi lahirnya ide-ide bermusik yang segar, teristimewa bagi kaum muda, generasi masa kini.
Tentu saja, mereka sejak dini telah memberi isyarat, tidak tertutup kemungkinan bahwa ide-ide bermusik mereka berkembang lebar. Dan menghasilkan karya lagu yang baru, tentu saja bukan hal yang tidak mungkin…
Pada malam ini, Krakatau bersepakat dengan yakin, Kembali Satu, berenam berjalan bersama lagi. Selamat mengalami pengalaman paling mengesankan dalam hidup anda, dapat menyaksikan mereka kembali mengguncang pentas di hadapan anda! Sebuah pengalaman sangat berharga,anda menjadii saksi pemunculan kembali superfusionband kebanggaan Indonesia.....




Trims spesial untuk mas Donny Hardono. Dan tulisan ini saya dedikasikan pula untuk 2 orang sahabat saya, 2 orang terpenting di balik perjalanan Krakatau versi "superfusionband" 1980-an, alm. Iwan Pratiwi Setyawan dan alm. Nunus Oetomo.



No comments: