Note :
Tulisan mengenai KRAKATAU, superfusionband, di bawah ini adalah kumpulan tulisan saya. Waktu itu, pada beberapa tahun silam (2014, tepatnya), saat KRAKATAU memutuskan untuk bersatu lagi, Kembali Satu, sebenarnya disiapkan sebuah konser. Berlanjut dengan tour-show. Dan catatan saya ini sebetulnya sih disiapin bakal buku.... So, selamat membaca dan bernostalgia
Sebagai sebuah
nama, KRAKATAU adalah nama yang fenomenal dan melegenda. Adalah Gunung
Krakatau, yang pada 26 Agustus 1883, letusannya begitu mencengangkan seluruh
dunia dan menjadikannya sebagai volcano paling sensasional di dunia….
Dan enerji
begitu besar pada nama Krakatau, sebagai volcano, lantas diambil dan dijadikan nama sebuah
kelompok musik. Kenyataannya, sebagai sebuah grup musik, catatan yang telah
dituliskan tak kalah sensasionalnya dibanding Gunung Berapi di kawasan Selat
Sunda tersebut
Krakatau
sebagai band, pada awalnya adalah Messopotamia,
di seputaran 1984.Terdiri dari Prasadja
Budi Dharma (lebih dikenal sebagai Pra Budi Dharma/Pra B.Dharma), yang
belum lama kembali ke tanah air, setelah mengenyam studi di Amerika Serikat. Ia
kembali sekitar Maret 1983, setelah bermukim di Oklahoma setahun dan berikutnya
di Seattle 8 tahun.
Lalu
Dwiki Dharmawan, kibordis muda
berbakat dari Bandung, sebelumnya
dikenal lewat komunitas musik Elfa Secioria. Salah satu bibit muda berbakat, yang masih bersekolah di SMA.
Ada
juga Donny Suhendra, pemuda yang
menjadi gitaris lumayan menonjol saat itu. Donny telah dikenal luas oleh
pencinta musik se-Bandung, antara lain lewat keterlibatannya sebelumnya dalam
beberapa grup terpandang rock dan jazz-rock di kotakembang itu. Sebut saja grup
rock, We. Lalu G’Brill, d’Marszyo, komunitas DKSB Harry Roesli, selain dengan
BOM (Batalyon of Musicians).
Dan
ketiganya di atas bertemu drummer muda yang datang dari Cimahi, dikenal lewat
grup rocknya, JAM. Budhy Haryono,
namanya. Maka Messopotamia pun berganti menjadi Krakatau, pas di sekitar Maret
1985.
Nama
Messopotamia, diambil begitu saja. Dianggap unik dan menarik sebagai nama band.
Sementara mereka sepakat mengganti nama jadi Krakatau, saat melihat foto gunung
Krakatau,di sebuah buku pariwisata, di kediaman Pra. Pertimbangannya hanyalah,
kayaknya nama Krakatau lebih gagah!
Kwartet
ini lalu mengikuti kontes band paling bergengsi di era itu, sering disebut
sebagai kawah candradimukanya musisi-musisi berkelas se Indonesia, Light Music Contest tahun 1985. Dan
mereka menjadi jawara nomer wahid untuk grup, selain mendominasi peraihan Best-Instrumentalist.
Bak
letusan mahsyur Gunung Krakatau di 1983, Krakatau sebagai band, seperti meletus
pula di ajang Light Music Contest itu. Mencengangkan penonton dan tentu saja
membuat para dewan juru terkesima! Penampilan keempat pemuda asal Bandung
itu,langsung mengingatkan orang atas penampilan fusion band ternama asal Jepang, Casiopea. Kwartet dahsyat negeri matahari terbit itu, setahun
sebelumnya mengguncang Jakarta.
Mereka
begitu kampiun saat itu, walau nyatanya tidak seperti Casiopea, musik yang
mereka sajikan. Mereka membawakan ‘Pork Chop’-nya Uzeb dan ‘Sara’s Touch’-nya
Mike Menieri, jazz-rock yang relatif kencang.
Saking
mencengangkannya penampilan mereka, maka pihak penyelenggara LMC, Yamaha,
lantas mengirim mereka ke Jepang. Sebagai bintang tamu khusus, pada ajang
serupa tingkat Jepang.
Ternyata,
saat itu, penampilan mereka dianggap dahsyat, lalu merekapun ikut dinilai. Tak
dinyana, Dwiki Dharmawan dipilih sebagai best-keyboardist!
Awalnya diundang untuk bereksibisi, malah ikut diberikan penilaian. Acara LMC
Jepang itu digelar di Nakano Sun Plaza, Tokyo.
Setelah LMC,
1986
Sukses
di Jepang itu, membuat nama mereka di tanah air, langsung terangkat naik.
Mereka mulai aktif tampil di pelbagai event musik. Mereka meminta bantuan
beberapa nama, sebagai vokalis tamu. Adalah dua nama yang paling sering menjadi
vokalis tamu. Pertama, Ruth Sahanaya,
best vocalist LMC 1985. Lalu rocker Harry Mukti. Sempat pula mereka
didukung penyanyi lain seperti Kemala
Ayu, Minel dan Titi DJ.
Di
pertengahan tahun 1986, formasi Krakatau berubah. Budhy Haryono sang drummer
mengundurkan diri dan digantikan oleh Gilang
Ramadhan. Kemudian formasi Krakatau pun bertambah dengan masuknya
pianist/kibordis muda putra tokoh jazz kenamaan, Jack lesmana, yaitu Indra
Lesmana. Notabene, Indra adalah sahabat dekat Gilang.
Perlu
dicatat,pada saat itu, nama Indra dan Gilang reputasinya tengah menjulang
tinggi. Kedua nama ini baru saja datang bersama-sama dari Amerika.
Gilang
baru menuntaskan studi musiknya, sementara Indra Lesmana baru menyelesaikan
album rekaman dimana ia didukung banyak musisi jazz papan atas dunia. Indra
sendiri, sebelumnya juga menuntaskan studi musiknya di Australia. Saat itu,
mereka sempat membentuk GIF, trio
bersama bintang pop yang tengah naik daun, Fariz
RM.
Selain
itu juga ada kelompok Nebula. Ada
pula kelompok musik lain, sebuah kuintet dengan Yuke Sumeru dan Odink Nasution,
serta “memperkenalkan” gitaris muda berbakat, Dewa Budjana. Grup tersebut
bernama, Exit.
Di
tahun 1986 itu, beberapa recording label,
mulai mengontak mereka untuk membuat album rekaman. Saat itu tawaran demi
tawaran tersebut mereka simpan. Alasan utama, belum cukupnya materi komposisi
orisinal mereka. Tawaran mulai
berdatangan, dikarenakan selepas menjadi “jawara” di LMC, mereka memang lantas
sering tampil di pelbagai acara musik, terutama di kampus-kampus. Apalagi
setelah resmi gabungnya Indra dan Gilang.
Dan
dengan formasi gresnya, sebut sja formasi “Mark-3”
mereka lantas serius mempersiapkan album rekaman pertama. Nama terakhir yang
masuk adalah, Trie Utami. Penyanyi
bertubuh mungil yang biasa dipanggil Iie ini adalah, Best Vocalist LMC di tahun 1986. Saat itu, Trie Utami baru saja
menuntaskan SMAnya di Bandung. Iie adalah vokalis yang juga bisa bermain piano.
Ia dikenal di Bandung, sebagai penyiar sebuah stasiun radio terkemuka bagi kaum
muda Bandung.
Iie
diundang untuk mengikuti audisi. Ia disodorin lagu karya Dwiki, ‘Now is the
Best Time to Start’. Audisi itu, hanya untuk Iie seorang saja. Dwiki dan
manager mereka, Nunus Oetomo menjadi
penilai. Lewat audisi itu, Iie dianggap cocok menjadi vokalis Krakatau.
Suaranya unik, begitu hasil penilaiannya.
Karena
serius untuk masuk rekaman, maka mereka memang membutuhkan seorang vokalis. Hal
tersebut juga atas saran pihak label. Bukan lagi vokalis pendukung, haruslah
seorang vokalis tetap.
Gemilang di
Pasar Seni Ancol
Baru
di tahun 1987, akhirnya Krakatau merilis album perdana dan melejitkan hits "Gemilang". Album perdana,
selftitled album ini terbilang unik.
Dirilis awalnya, dengan cover hitam
putih saja. Track pertama adalah,
‘Kemelut’. Kenyataannya, yang menjadi hits
adalah track ke-4, ‘Gemilang’.
Maka
sekitar 3 bulan kemudian, album ini di “revisi”. Gemilang dijadikan lagu
pertama. Materi lagu lain, tetaplah sama. Pada sisi A, format kaset, terdapat
lagu lain ‘Kemelut’, ‘Imaji’, ‘Haiti’, ‘Dirimu Kasih’ dan ‘Miles’. Di sisi B
terdapat lagu ‘Winter Greys’, ‘Pelican’, ‘Kite to Fly’, Senja’ dan ‘Passport’.
Versi revisi ini, berbeda pula pada sampul muka, dimana tulisan KRAKATAU diberi
warna merah. Selain itu foto mereka berenam menjadi berwarna.
Berlanjut
di album kedua, 1988, mencetak hits "La Samba Primadonna". Ada lagu
lain yang popular pula dari album tersebut, antara lain seperti ‘Sayap-Sayap
Beku’, ‘Cita Pasti’, ‘Tiada Abadi’. Ada lagu instrumental, yang dikenal luas,
‘Ananta’ dan ‘Peter Pan’. Seperti lagu Haiti, Passport, Miles dan Pelican di
album perdana sebelumnya.
Album
perdana, yang dirilis 1987, dengan titel nama Krakatau tercatat terjual 800.000 keping kaset. Album kedua,
dirilis 1988 dengan title Second Album,
terjual 600.000 kaset. Dengan pencapaian angka penjualan demikian, tak heran
mereka melejit, dan kian menjulang namanya. Merekapun dijuluki superfusionband. Mereka dianggap salah
satu “tokoh” utama dibalik berbunyi lebih nyaringnya musik jazz/fusion di tanah
air, di era 1980-an itu.
Pada
sekitar tahun itu, Krakatau menjadi salah satu.pelopor grup.musik (jazz/fusion)
yang melakukan konser tunggal. Mereka memulainya di 1986, waktu itu dengan Pra,
Dwiki, Donny,’ Gilang. Didukung vokalis tamu, Ruth Sahanaya.
Konser
digelar di Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Selanjutnya, management mereka yang dijalankan Nunus Oetomo dan Iwan Pratiwi Setiawan lalu membuat jadwal kontinyu, setahun sekali
menggelar konser Krakatau di tempat yang tetap sama.
Acara
konser tunggal seperti itu, dan juga di tempat yang sama, lantas diikuti oleh
kelompok-kelompok sejenis. Menjadi sebuah ajang pembuktian yang dianggap sangat
penting, teristimewa perihal penegasan eksistensi.
Ada
catatan rekor penting lain, masih seputar pentas. Mereka tampil di acara Friday
Jazz Night, di arena Pasar Seni Ancol. Sebelumnya, ada cerita unik lain tentang
mereka di acara saban Jumat malam itu. Ceritanya, sebelum tampil berjaya di
ajang LMC 1985, mereka pernah “melamar”
untuk bisa tampil di tempat itu.
Acara
tersebut,memang menjadi popular dan bergengsi, terutama bagi anak muda ibukota
dan sekitarnya, di seputaran 1980-an. Banyak grup-grup dan para musisi jazz
terkemuka tampil di arena terbuka Pasar Seni Ancol itu. Maka merekapun berkeinginan
bisa memperoleh kesempatan tampil. Ternyata, lamaran mereka tidak dijawab
positif saat itu. Mereka hanya disuruh menunggu! (Mereka mengartikannya
sebagai, ditolak).
Kenyataannya,
sekitar setahun kemudian, mereka bisa tampil. Dan hasilnya, penonton berjumlah
20.000-an yang antusias menyaksikan penampilan mereka. Itu adalah rekor jumlah penonton
tertinggi di acara tersebut. Menjadi rekor yang belum pernah bisa dilewati
penampilan grup-grup lain, hingga saat ini!
Tour Show,
Poppish dan Gosip
Sekedar
mengingatkan saja, bahwa pada seputaran waktu itu, di Indonesia muncul pula
nama fusion band lain, Karimata dan Bhaskara Band. Selain ada Funk Section dan GoldGuys (yang bernama lain, khusus untuk tampil di penonton
internasional, Wongemas). Dua nama
terakhir, datang dari kalangan kafe atau clubs.
Yang waktu itu menjadi arena hiburan malam popular bagi kalangan muda ibukota,
yaitu Green Pub dan Captain’s Bar.
Karimata
dan Bhaskara, dikenal luas karena dapat kesempatan tampil di ajang North Sea
Jazz Festival, di Den Haag, Belanda. Pada kesempatan berikutnya, juga
berangkat, Wongemas. Dan selanjutnya, setiap tahun pasti ada grup jazz
Indonesia di North Sea Jazz Festival tersebut. Mereka menjadi seperti “wakil”
Indonesia di salah satu festival jazz terbesar di dunia tersebut.
Krakatau,
pada saat itu, belum mendapatkan kesempatan tersebut. Bahkan juga di
tahun-tahun berikutnya. Walaupun mereka ikut diperkenalkan ke khalayak
penggemar jazz, saat peresmian Perhimpunan
Jazz Indonesia (Indonesian Jazz Society), bertempat di Bali Room, Hotel Indonesia.
Saat itu, diperkenalkan Karimata dan Bhaskara, sebagai grup jazz Indonesia yang
akan berangkat ke North Sea Jazz Festival.
Tapi
begitulah, pada perjalanan selanjutnya, justru Krakatau yang malah lebih
dikenal luas. Baik di atas pentas, lewat show-show mereka yang lumayan gencar,
menyinggahi banyak kota-kota di Jawa. Di antaranya, sebuah rangkaian tur show. Disusul
rekaman album-album mereka, dengan bungkusan format musik yang “khusus”. Disebut
khusus, lantaran musik mereka lekat dengan citarasa pop, tapi mengandung unsur
jazz/fusion yang tebal.
Krakatau
memang menjadi unik dan berbeda, karena mereka berpenampilan complicated, terutama pada musiknya,
bila di atas panggung. Musiknya menyala-nyala, bertenaga, kencang, ada selipan kesan
rock yang bersemangat juga. Kaya dengan sound,
skill yang terbilang mumpuni. Tapi bila di rekaman, mereka mampu
“melenturkan diri”, bermusik menjadi lebih pop. Poppish, istilahnya. Berkompromi lumayan baik, dengan selera pasar
musik. Mengikuti anjuran pihak label rekamannya. Hasilnya, kedua album pertama memang
menjadi album “jazz” terlaris saat itu!
Walau
perlu dicermati lebih dalam, sesungguhnya walau bernuansa pop, lagu-lagu mereka
bukanlah lagu-lagu yang mudah dibawakan oleh grup musik lain. Apalagi untuk
dibawakan oleh penyanyi lain!
Inilah
sisi menarik, yang membuat mereka terasa “istimewa”. Musiknya cukup sarat
dengan “atraksi” skill berlebih mereka, pada setiap instrumennya masing-masing.
Bahkan hingga, Iie sang vokalis, yang malah belakangan lebih dilihat sebagai
“instrumentalis” ke-6 nya Krakatau! Artinya, Iie “bermain musik” pula, dengan
suaranya yang menjadi alat musiknya. Kelima personil Krakatau-lah, yang
membentuknya dengan nyaris sempurna…
Tak
heranlah, dimanapun mereka tampil, sebagian penontonnya memang adalah para
musisi atau vokalis. Mereka menjadi semacam sumber inspirasi, bagi para musisi
tersebut. Yang senantiasa antusias menyaksikan penampilan idolanya itu. Unsur
“akrobatik” skill mereka jelas terasa, tapi saktinya mereka tetap popular. Maka
bukan hanya sesama musisi yang mengidolakan mereka, juga khalayak umum pencinta
musik. Musik yang ber-“kwalitas”, tentu saja.
Bukti
sangat konkrit dan nyata, peraihan angka penjualan dari kedua album pertama itu
terbilang sangat baik, menjadi rekor tersendiri untuk musik-musik "segmented". Yang berhasil mendekati
penjualan album-album musik pop.
Haruslah
diakui mereka memang pandai membuat ramuan jitu, menghasilkan lagu-lagu pop
yang tidak begitu gampang, tapi bisa populer. Tak hanya lagu-lagu
bersyair,bahkan juga lagu-lagu instrumental mereka.
Di
tengah nama yang melesat kian tinggi, mereka lantas diterpa badai isu bubar. Lantaran
mereka mulai tercerai-berai, sibuk dengan proyek musiknya masing-masing. Indra
misalnya, menjalankan Indra Lesmana
Vision, Indra Trio lalu Andromeda dengan Bubi Chen dan sang ayah, Jack
Lesmana. Indra tetap selalu bermain dengan Gilang Ramadhan.
Trie
Utami mulai rajin ber solo karir, atau diajak rekaman pop, antara lain dengan Rumpies. Ia juga sempat membawakan lagu
pop yang lumayan dikenal, ‘Keraguan’ dari ajang kontes cipta lagu bergengsi, LCLR. Dwiki begitu pula, sempat
menjalankan, Dwiki’s Quartet.
Begitupun halnya dengan Donny Suhendra.
Kau Datang dan
5 juta Kaset!
Di
tahun 1990, mereka melansir Kembali Satu.
Kalau pada album pertama terasa “semangat” jazz mereka tebal. Lalu pada album
kedua, mereka memasukkan unsur new wave. Maka
album ketiga ini musiknya terasa menjadi lebih ringan dan renyah. Dari album
ini, muncul, ‘Kembali Satu’ dan ‘Kau Datang’. Selain beberapa nomer lain macam,
‘Seraut Wajah’, ‘Suasana’, ‘Perjalanan’, ‘Rain’ dan ‘Feels Like Forever’. Album
ini tak ada materi instrumentalnya.
Yang
menarik, album ini sejatinya dirilis setelah sebuah mini-album yang diberi title,
Top Hits Single. Pengerjaan mini
album ini dilakukan berbarengan dengan Kembali Satu. Mini album dirilis
terlebih dahulu, sebagai “pemanasan” dan tes pasar. Begitu niat label
rekamannya. Berisi 4 lagu saja yaitu ‘Kau Datang’, ‘Feels Like Forever’, ‘Rasa’
dan ‘Treasures’.
Tak
dinyana, mini album ini berjalan amat sangat lancar di pasaran. Bahkan, membuat
rekor fantastis! Bisa jadi, ini adalah mini album tersukses dalam sejarah musik
Indonesia. Menurut kabar, album ini terjual lebih dari 1 juta kaset!
Karena
begitu suksesnya “album terbatas” tersebut, tak heranlah kiranya lantas album
penuh bertajuk Kembali Satu itu, laris manis pula di pasar. Tercatat album ini
terjual 2 juta kaset! Tak pelak, album ini menempatkan Krakatau sebagai grup
jazz/fusion tersukses di pasar musik. Suatu hal yang rada mengejutkan pasar
musik. Jazz, ternyata, laku juga dijual!
Album
ketiga ini, juga seolah menjawab semua gossip dan isu bubarnya mereka. Mereka
tidaklah bubar, tetap solid dan berjalan bersama. Malah, lebih sukses lagi.
Walau, kesuksesan yang mereka raih, sebenarnya juga di luar dugaan mereka
sendiri.
Jadi
lihat saja, mereka merilis 4 album dalam kurun waktu tak sampai 5 tahun, dengan
total angka penjualannya hampir 5.000.000! Sebuah rekor luar biasa, tentu saja.
Sekali lagi, menjadi catatan prestasi yang berlipat nilainya, dikarenakan
mereka adalah grup jazz/fusion. Dengan dasar musik yang sejatinya, tidaklah
mudah dicerna kuping dan hati publik kebanyakan! Paling tidak, anggapan itu
awalnya datang dari pihak label rekaman.
Sekitar Kita
dan World Music
Sayangnya,
memasuki tahun 1992 mereka lantas menjadi Krakatau dengan formasi hanya Dwiki,
Pra, Trie Utami dan masuk lagi drummer, Budhy Haryono. Formasi ini merilis Let There be Life. Dalam album ini,
mereka menyertakan guest musician, Dewa Budjana dan Iwan Wiradz.
Dari
album “terakhir” Krakatau dengan format fusion ini, muncul hits, ‘Sekitar Kita’. Lagu-lagu lain dalam album ini adalah ‘Let
There be Life’, ‘Satu Kembali’, ‘Untuk Semua Kita’. Lalu pada Sisi B, dalam
kasetnya, ada ‘ If Heaven is Like This’, ‘Love Will Stand’, ‘Damai yang Hilang’
dan ‘Ternyata’.
Tidak
ada kabar pasti, yang mereka lansir secara resmi. Ada apa gerangan yang terjadi
pada mereka berenam. Bubarkah mereka? Mengapa di saat justru mereka tengah
berada di puncak popularitas?
Pada
waktu itu, Indra bersama Gilang juga Donny membentuk Indra Lesmana Java Jazz, juga kelompok pop-rock, Adegan. Kedua kelompok tersebut, dengan
personil nyaris sama, namun dengan warna musik yang berbeda, ternyata langsung
dikenal luas.
Maka
sejak saat itulah, mereka berjalan masing-masing. Sementara Krakatau tetap
dijalankan secara aktif oleh Dwiki Dharmawan dan Pra B.Dharma, menjadi grup
yang lebih mengedepankan unsur eksperimentasi perkawinan musik pentatonik dan
diatonik jazz. Antara lain menonjolkan perangkat perkusi tradisi Sunda.
Mereka
memang menjadi lebih kental unsur world
music atau world fusion. Dwiki
dan Pra,merubah total warna musik Krakatau. Formasi dengan tipikal musik ini
merilis Mystical Mist di 1994 lalu Magical Match di 2000. Di 2006,
Krakatau format ini, merilis pula double-album,
Rhythm of Reformation dan Two-World, dibarengi konser di Graha
Bhakti Budaya, TIM.
Trie
Utami menjadi vokalis Krakatau, berjalan dengan Dwiki dan Pra,hingga tahun
2004. Dwiki dan Pra pun mengajak vokalis Nya’
Ina Raseuki, untuk menempati posisi yang ditinggalkan Trie Utami.
Konsep
world music tersebut, sebenarnya terus berjalan hingga saat ini. Pra dan Dwiki,
didukung beberapa musisi yang memainkan perangkat tradisi seperti Ade Rudiana, Yoyon Darsono, Zainal Aripin. Mereka telah kerapkali
tampil di pelbagai ajang festival jazz di mancanegara, Australia, Eropa, Asia
dan bahkan hingga Amerika.
Mereka
Berenam,Hari Ini
Dan
begitulah ceritanya, mereka masing-masing larut dengan segenap kesibukan karir
musiknya. Indra Lesmana misalnya belakangan aktif dengan kelompok LLW-nya dengan telah merilis 2 album
rekaman. Selain menangani banyak album rekaman,baik sebagai player pendukung, produser atau mixing/mastering engineer.
Trie
Utami, kencang berkibar sebagai komentator vokal pada beberapa ajang pencarian
bakat di televisi, selain juga tampil dalam pelbagai acara pop. Ia juga mulai
melangkah kaki lebih jauh di dunia musik, bertindak sebagai produser rekaman.
Donny
Suhendra, tampil aktif dengan blues dan jazz. Ia belakangan ini tampil bersama Big City Blues, Donny Suhendra
Project serta Power Fusion Trio.
Selain menjadi pengajar dari banyak gitaris muda, baik secara privat maupun di
sekolah musik Gladiresik.
Sementara
itu Gilang Ramadhan, aktif juga di dunia pendidikan musik. Ia mendirikan GRSB, yang belakangan aktif melebarkan
sayap ke seluruh Nusantara. Selain menjalankan berbagai proyek musik, salah
satu diantaranya bersama Iwan Fals
dan Iwang Noorsaid. Dan tetap
menjalankan kelompok musiknya, Gilang Ramadhan NERA, yang antara lain juga didukung Donny Suhendra.
Seperti
juga Dwiki Dharmawan dengan sekolah musik Farabi-nya,
dimana ia juga menjadi pemilik sekaligus Direktur Utama. Dwiki ini begitu rajin
dan sangat aktif melanglang buana ke seluruh penjuru Nusantara dan bahkan
keliling menyinggahi banyak negara, antara lain juga tampil di bermacam-macam
festival jazz internasional. Ia fokus pada eksplorasi “perkawinan silang” musik
barat dan timur, modern dan tradisi. Selain dengan Krakatau format world music,
Dwiki juga membentuk World Peace
Orchestra dan World Peace Ensemble.
Pra
Budi Dharma juga tetap aktif. Selain dengan Krakatau format world music, bersama Dwiki Dharmawan. Pra
bertindak sebagai konseptor utama. Ia juga bergabung dengan kelompok trio, Kayon bersama Indra dan Gilang. Selain
itu, ikut menjalankan GRSB bersama Gilang.
Tapi
rupa-rupanya, setelah lumayan panjang tidak lagi berkumpul, mereka ternyata
“dipersatukan kembali oleh alam”.Sebut saja begitu. Bahwa waktu yang terbaik,
akan datang pada saat yang memang tepat. Mereka iseng terlebih dahulu,
kangen-kangenan untuk bertemu dan bercengkrama. Dari situ, mereka berinisiatif
untuk kembali tampil bersama-sama. Berenam, selengkapnya.
Walau
sejatinya, mereka tetap melakukan kontak, meneruskan persahabatan satu sama
lain. Kerapkali juga menggarap proyek musik bareng,aau tampil bareng,pada suatu
acara. Tapi tidak pernah kumpul bareng lagi, berenam lengkap.
Mereka
bertemu lagi, bukan lantas menjadi hanya sekadar reuni belaka. Sekedar
menggelar kangen-kangenan dan bernostalgia, antara mereka dan mereka dengan
para fansnya yang lalu. Karena itulah, disepakati memakai title, Kembali Satu.
Menegaskan,
keinginan tampil kembali dengan pasti, jelas, dipersiapkan sebaik-baiknya.
Dan….harus berarti bagi musik Indonesia! Musik Indonesia hari ini, tentu.
Mereka
tetap saja, berbeda. Bahkan ketika saat ini, bersepakat untuk bermain bareng
lagi. Keenamnya, ada pada level yang
sama. Semua sarat pengalaman. Saat ini, hari ini, keenamnya bisa disebut para master semua!
Rasanya,
tak ada satupun grup musik di Indonesia saat ini, yang seperti mereka ini. Tak
hanya “menonjolkan” vokalis atau 1-2 personilnya saja. Tapi semua personil,
menonjol dengan merata. Tetap aktif berkiprah di musik, pada proyek mereka
masing-masing.
Keenam
Krakatau ini berkeinginan kuat, untuk kembali meramaikan musik Indonesia.
Menebarkan benih enerji positif, lewat karya musik dan lagu mereka yang pernah
begitu dikenal pada lebih dari 25-an tahun silam itu. Memainkannya bersama-sama
kembali, tentu dengan enerji kekinian. Memberikan motivasi bagi lahirnya
ide-ide bermusik yang segar, teristimewa bagi kaum muda, generasi masa kini.
Tentu
saja, mereka sejak dini telah memberi isyarat, tidak tertutup kemungkinan bahwa ide-ide
bermusik mereka berkembang lebar. Bisa saja proses berikutnya, akan menuju ke
arah itu. Dan menghasilkan karya lagu yang baru, tentu saja bukan hal yang
tidak mungkin…
*Trie Utami (vocal
utama), Dwiki Dharmawan (kibor dan synthesizer), Prasadja Budhidharma (bass
elektrik),
Gilang Ramadhan
(drums), Donny Suhendra (gitar elektrik) dan Indra Lesmana (kibor dan
synthesizer)*
Krakatau
sebagai band, pada awalnya adalah Messopotamia,
di seputaran 1984.Terdiri dari Prasadja
Budi Dharma (lebih dikenal sebagai Pra Budi Dharma/Pra B.Dharma), yang
belum lama kembali ke tanah air, setelah mengenyam studi di Amerika Serikat. Ia
kembali sekitar Maret 1983, setelah bermukim di Oklahoma setahun dan berikutnya
di Seattle 8 tahun.
Lalu
Dwiki Dharmawan, kibordis muda
berbakat dari Bandung, sebelumnya
dikenal lewat komunitas musik Elfa Secioria. Salah satu bibit muda berbakat, yang masih bersekolah di SMA.
Ada
juga Donny Suhendra, pemuda yang
menjadi gitaris lumayan menonjol saat itu. Donny telah dikenal luas oleh
pencinta musik se-Bandung, antara lain lewat keterlibatannya sebelumnya dalam
beberapa grup terpandang rock dan jazz-rock di kotakembang itu. Sebut saja grup
rock, We. Lalu G’Brill, d’Marszyo, komunitas DKSB Harry Roesli, selain dengan
BOM (Batalyon of Musicians).
Dan
ketiganya di atas bertemu drummer muda yang datang dari Cimahi, dikenal lewat
grup rocknya, JAM. Budhy Haryono,
namanya. Maka Messopotamia pun berganti menjadi Krakatau, pas di sekitar Maret
1985.
Nama
Messopotamia, diambil begitu saja. Dianggap unik dan menarik sebagai nama band.
Sementara mereka sepakat mengganti nama jadi Krakatau, saat melihat foto gunung
Krakatau,di sebuah buku pariwisata, di kediaman Pra. Pertimbangannya hanyalah,
kayaknya nama Krakatau lebih gagah dan powerful!
Kwartet
ini lalu mengikuti kontes band paling bergengsi di era itu, sering disebut
sebagai kawah candradimukanya musisi-musisi berkelas se Indonesia, Light Music Contest tahun 1985. Dan
mereka menjadi jawara nomer wahid untuk grup, selain mendominasi peraihan Best-Instrumentalist.
Bak
letusan mahsyur Gunung Krakatau di 1983, Krakatau sebagai band, seperti meletus
pula di ajang Light Music Contest itu. Mencengangkan penonton dan tentu saja
membuat para dewan juru terkesima! Penampilan keempat pemuda asal Bandung
itu,langsung mengingatkan orang atas penampilan fusion band ternama asal Jepang, Casiopea. Kwartet dahsyat negeri matahari terbit itu, setahun
sebelumnya mengguncang Jakarta.
Mereka
begitu kampiun saat itu, walau nyatanya tidak seperti musiknya Casiopea yang
mereka sajikan. Mereka membawakan ‘Pork Chop’-nya Uzeb dan ‘Sara’s Touch’-nya
Mike Menieri, jazz-rock yang relatif kencang dan penuh tenaga!
Saking
mencengangkannya penampilan mereka kala itu, maka pihak penyelenggara LMC,
Yamaha, lantas mengirim mereka ke Jepang. Sebagai bintang tamu khusus, pada
ajang serupa tingkat Jepang.
Ternyata,
saat itu, penampilan mereka dianggap dahsyat,membuat penampilan merekapun lalu
ikut dinilai. Tak dinyana, Dwiki Dharmawan dipilih sebagai best-keyboardist! Awalnya diundang untuk bereksibisi, malah ikut
diberikan penilaian. Acara LMC Jepang itu digelar di Nakano Sun Plaza, Tokyo.
Setelah LMC,
1986
Sukses
di Jepang itu, membuat nama mereka di tanah air, langsung terangkat naik.
Mereka mulai aktif tampil di pelbagai event musik. Mereka meminta bantuan
beberapa nama, sebagai vokalis tamu. Adalah dua nama yang paling sering menjadi
vokalis tamu. Pertama, Ruth Sahanaya,
best vocalist LMC 1985. Lalu rocker Harry Mukti. Sempat pula mereka
didukung penyanyi lain seperti Kemala
Ayu, Minel dan Titi DJ.
Di
pertengahan tahun 1986, formasi Krakatau berubah. Budhy Haryono sang drummer
mengundurkan diri dan digantikan oleh Gilang
Ramadhan. Kemudian formasi Krakatau pun bertambah dengan masuknya
pianist/kibordis muda putra tokoh jazz kenamaan, Jack lesmana, yaitu Indra
Lesmana. Notabene, Indra adalah sahabat dekat Gilang.
Perlu
dicatat,pada saat itu, nama Indra dan Gilang reputasinya tengah menjulang
tinggi. Kedua nama ini baru saja datang bersama-sama dari Amerika.
Gilang
baru menuntaskan studi musiknya, sementara Indra Lesmana baru menyelesaikan
album rekaman dimana ia didukung banyak musisi jazz papan atas dunia. Indra
sendiri, sebelumnya juga menuntaskan studi musiknya di Australia. Saat itu,
mereka sempat membentuk GIF, trio
bersama bintang pop yang tengah naik daun, Fariz
RM.
Sayangnya trio yang sungguh “mencuri perhatian” itu, di
saat itu hanya sempat main di panggung. Rencana rekaman, tak pernah bisa
direalisir. Padahal, kalau saja rekaman album terjadi, boleh jadi berpotensi
menjadi album laris-manis.
Selain
itu juga ada kelompok Nebula. Ada
pula kelompok musik lain, sebuah kuintet dengan Yuke Sumeru dan Odink
Nasution, serta “memperkenalkan” gitaris muda berbakat, Dewa Budjana. Grup tersebut bernama, Exit. Exit juga
lumayan sukses, sayangnya belum sempat menghasilkan album rekaman.
Di
tahun 1986 itu, beberapa recording label,
mulai mengontak mereka untuk membuat album rekaman. Saat itu tawaran demi
tawaran tersebut mereka simpan. Alasan utama, belum cukupnya materi komposisi
orisinal mereka. Tawaran mulai
berdatangan, dikarenakan selepas menjadi “jawara” di LMC, mereka memang lantas
sering tampil di pelbagai acara musik, terutama di kampus-kampus. Apalagi
setelah resmi gabungnya Indra danDan
dengan formasi gresnya, sebut saja formasi “Mark-3”
mereka lantas serius mempersiapkan album rekaman pertama. Nama terakhir yang
masuk adalah, Trie Utami. Penyanyi
bertubuh mungil yang biasa dipanggil Iie ini adalah, Best Vocalist LMC di tahun 1986.
Saat
itu, Trie Utami baru saja menuntaskan SMAnya di Bandung. Iie adalah vokalis
yang juga bisa bermain piano. Ia dikenal di Bandung, sebagai penyiar sebuah
stasiun radio terkemuka bagi kaum muda Bandung.
Iie
diundang untuk mengikuti audisi. Ia disodorin lagu karya Dwiki, ‘Now is the
Best Time to Start’. Audisi itu, hanya untuk Iie seorang saja. Dwiki dan
manager mereka, Nunus Oetomo menjadi
penilai. Lewat audisi itu, Iie dianggap cocok menjadi vokalis Krakatau.
Suaranya
unik, begitu hasil penilaiannya. Karakter vokalnya khas. Ambituous suaranya
lebar. Iie diyakini akan mampu beradaptasi dengan baik dengan musik Krakatau.
Karena
serius untuk masuk rekaman, maka mereka memang membutuhkan seorang vokalis. Hal
tersebut juga atas saran pihak label. Bukan lagi vokalis pendukung, haruslah
seorang vokalis tetap.
Sebenarnya,mereka
berkeinginan menjadikan Ruth Sahanaya sebagai vokalis tetap mereka. Sayangnya,
Uthe, begitu panggilan akrabnya, keburu di”samber” salah satu label rekaman. Ia
diikat kontrak untuk membuat solo album. Label rekaman Uthe berbeda dengan
label rekaman yang mengontrak Krakatau.
Seperti
diketahui, bahwa akhirnya memang perjalanan Uthe dalam karir solonya, terbilang
cemerlang. Ia meraih sukses langsung di album pertamanya. Begitulah, cerita
Uthe dengan Krakatau, berakhir.
Gemilang di
Pasar Seni Ancol
Baru
di tahun 1987, akhirnya Krakatau merilis album perdana dan melejitkan hits "Gemilang". Album
perdana, selftitled album ini
terbilang unik. Dirilis awalnya, dengan cover
hitam putih saja. Track pertama
adalah, ‘Kemelut’. Kenyataannya, yang menjadi hits adalah track ke-4, ‘Gemilang’. Lagu itu diputar di banyak
radio. Menjadi Top-Request!
Maka
sekitar 3 bulan kemudian, album ini di “revisi”. Gemilang dijadikan lagu
pertama. Materi lagu lain, tetaplah sama. Pada sisi A, format kaset, terdapat
lagu lain ‘Kemelut’, ‘Imaji’, ‘Haiti’, ‘Dirimu Kasih’ dan ‘Miles’. Di sisi B
terdapat lagu ‘Winter Greys’, ‘Pelican’, ‘Kite to Fly’, Senja’ dan ‘Passport’.
Versi revisi ini, berbeda pula pada sampul muka, dimana tulisan KRAKATAU diberi
warna merah. Selain itu foto mereka berenam menjadi berwarna.
Satu
cerita di balik kesuksesan lagu Gemilang. Lagu
itu ternyata adalah, lagu terakhir yang masuk di album itu. Saat itu, memang
masih ada “space” kosong yang bisa
diisi satu lagu lagi. Maka Dwiki Dharmawan menyodorkan satu lagu, dimana
syairnya ditulis Mira Lesmana, kakak
dari Indra. Itulah lagu Gemilang, yang ternyata memang gemilang di pasaran!
Sedikit intermezzo ya, bahwa kalau memberi judul lagu,
apalagi album, emang sejatinya jangan “negatif”. Kudu optimistik. Dan contoh
konkritnya, ‘Gemilang’ itulah. Positif. Yakin. Hasilnya? Sapa nyana? Tapi, aneh
tapi nyata, bukan? Percaya tak percaya, judul atau nama, memiliki enerji
tertentu....
Berlanjut
di album kedua, 1988, mencetak hits "La Samba Primadonna", ini karya
Dwiki Dharmawan dengan syair dibuat oleh Trie Utami. Ada lagu lain yang populer
pula dari album tersebut, antara lain seperti ‘Sayap-Sayap Beku’, ‘Cita Pasti’,
‘Tiada Abadi’.
Ada
lagu instrumental, yang dikenal luas, ‘Ananta’ dan ‘Peter Pan’. Seperti lagu
instrumental ‘Haiti’, ‘Passport’, ‘Miles’ dan ‘Pelican’ di album perdana
sebelumnya. Ah sebut saja, semacam “pembuktian” akan sisi jazz mereka
yang lumayan tegas. Dengan ke-pede-an menyelipkan lagu-lagu tak bersyair
begitu. Dan mereka mempertontonkan kepiawaian mereka dalam mengolah jazz di
lagu-lagu begitu....
Nama
Mira Lesmana, menjadi kian dekat dengan Krakatau. Ia menulis lirik beberapa
lagu Krakatau. Seperti Gemilang dan Dirimu Kasih, pada
album perdana. Sementara pada album kedua, Mira menulis lirik pada sebagian
besar lagu bersyair.
Album
perdana, yang dirilis 1987, dengan titel nama Krakatau tercatat terjual 800.000 keping kaset. Album kedua,
dirilis 1988 dengan title Second Album,
terjual 600.000 kaset. Dengan pencapaian angka penjualan demikian, tak heran
mereka melejit, dan kian menjulang namanya. Merekapun dijuluki superfusionband. Mereka dianggap salah
satu “tokoh” utama dibalik berbunyi lebih nyaringnya musik jazz/fusion di tanah
air, di era 1980-an itu.
Pada
sekitar tahun itu, Krakatau menjadi salah satu.pelopor grup.musik (jazz/fusion)
yang melakukan konser tunggal. Mereka memulainya di 1986, waktu itu dengan Pra,
Dwiki, Donny,’ Gilang. Didukung vokalis tamu, Ruth Sahanaya.
Konser
digelar di Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Selanjutnya, management mereka yang dijalankan Nunus Oetomo dan Iwan Pratiwi Setiawan lalu membuat jadwal kontinyu, setahun sekali
menggelar konser Krakatau di tempat yang tetap sama.
Acara
konser tunggal seperti itu, dan juga di tempat yang sama, lantas diikuti oleh
kelompok-kelompok sejenis. Menjadi sebuah ajang pembuktian yang dianggap sangat
penting, teristimewa perihal penegasan eksistensi.
Ada
catatan rekor penting lain, masih seputar pentas. Mereka tampil di acara Friday Jazz Night, di arena Pasar Seni
Ancol. Sebelumnya, ada cerita unik lain tentang mereka di acara saban Jumat
malam itu. Ceritanya, sebelum tampil berjaya di ajang LMC 1985, mereka pernah “melamar”
untuk bisa tampil di tempat itu.
Acara
tersebut,memang menjadi popular dan bergengsi, terutama bagi anak muda ibukota
dan sekitarnya, di seputaran 1980-an. Banyak grup-grup dan para musisi jazz
terkemuka tampil di arena terbuka Pasar Seni Ancol itu. Maka merekapun
berkeinginan bisa memperoleh kesempatan tampil. Ternyata, lamaran mereka tidak
dijawab positif saat itu. Mereka hanya disuruh menunggu! (Mereka mengartikannya
sebagai, ditolak).
Kenyataannya,
sekitar setahun kemudian, mereka bisa tampil. Dan hasilnya, penonton berjumlah
20.000-an yang antusias menyaksikan penampilan mereka. Itu adalah rekor jumlah
penonton tertinggi di acara tersebut. Menjadi rekor yang belum pernah bisa
dilewati penampilan grup-grup lain, hingga saat ini!
Dan ledakan penonton Krakatau saat itu, lantas saja
langsung menjulangkan popularitas tempat itu, tentu dengan program khususnya
saban Jumat malam itu. Yes, ke Pasar Seni lihat Friday Jazz Night, jadi menu
wajib bagi “anak-anak nongkrong” saat itu.
Catatan
tak kalah penting, saat itu personil Krakatau bisa dibilang musisi muda. Belum
30 tahun usia mereka. Malah Dwiki dan Iie, belum lagi 20 tahun umurnya, saat
debut album mereka dirilis. Sungguh membuat mereka menjadi musisi muda
berpotensi besar, waktu itu.
Keenam
musisi Krakatau yang muda itu, malah lantas dianggap memainkan “musik masa
depan”. Kreasi musik mereka dianggap “mendahului waktu”! Musisi lain belum kepikiran memainkan “nada-nada begitu rupa”, mereka
sudah setapak lebih maju. Berani bikin, berani rekaman en berani maininnya!
Tour Show,
Poppish dan Gosip
Sekedar
mengingatkan saja, bahwa pada seputaran waktu itu, di Indonesia muncul pula
nama fusion band lain, Karimata dan Bhaskara Band. Selain ada Funk Section dan GoldGuys (yang bernama lain, khusus untuk tampil di penonton internasional,
Wongemas). Dua nama terakhir, datang
dari kalangan kafe atau clubs. Yang
waktu itu menjadi arena hiburan malam popular bagi kalangan muda ibukota, yaitu
Green Pub dan Captain’s Bar.
Karimata
dan Bhaskara, dikenal luas karena dapat kesempatan tampil di ajang North Sea
Jazz Festival, di Den Haag, Belanda. Pada kesempatan berikutnya, juga
berangkat, Wongemas. Dan selanjutnya, setiap tahun pasti ada grup jazz
Indonesia di North Sea Jazz Festival tersebut. Mereka menjadi seperti “wakil”
Indonesia di salah satu festival jazz terbesar di dunia tersebut.
Krakatau,
pada saat itu, belum mendapatkan kesempatan tersebut. Bahkan juga di
tahun-tahun berikutnya. Walaupun mereka ikut diperkenalkan ke khalayak
penggemar jazz, saat peresmian Perhimpunan
Jazz Indonesia (Indonesian Jazz Society), bertempat di Bali Room, Hotel
Indonesia. Saat itu, diperkenalkan Karimata dan Bhaskara, sebagai grup jazz
Indonesia yang akan berangkat ke North Sea Jazz Festival.
Tapi
begitulah, pada perjalanan selanjutnya, justru Krakatau yang malah lebih
dikenal luas. Baik di atas pentas, lewat show-show mereka yang lumayan gencar,
menyinggahi banyak kota-kota di Jawa. Di antaranya, termasuk beberapa rangkaian
tur show. Disusul rekaman album-album mereka, dengan bungkusan format musik yang
“khusus”. Disebut khusus, lantaran musik mereka lekat dengan cita rasa pop,
tapi mengandung unsur jazz/fusion yang tebal.
Krakatau
memang menjadi unik dan berbeda, karena mereka berpenampilan complicated, terutama pada musiknya,
bila di atas panggung. Musiknya menyala-nyala, bertenaga, kencang, ada selipan
kesan rock yang bersemangat juga. Kaya dengan sound, skill yang terbilang mumpuni. Dan
diakui, musik yang mereka racik, olah, campur-mencampur, aduk jadi rata, ya
mengandung unsur “kompleksitas” yang daleeeem.
Susah dimainkan siapapun. Dalam becandaan mereka, bahkan oleh mereka
sendiri....
Tapi
bila di rekaman, mereka mampu “melenturkan diri”, bermusik menjadi lebih pop. Poppish, istilahnya. Berkompromi lumayan
baik, dengan selera pasar musik. Mengikuti anjuran pihak label rekamannya.
Hasilnya, kedua album pertama memang menjadi album “jazz” terlaris saat itu!
Walau
perlu dicermati lebih dalam, sesungguhnya walau bernuansa pop, lagu-lagu mereka
bukanlah lagu-lagu yang mudah dibawakan oleh grup musik lain. Apalagi untuk
dibawakan oleh penyanyi lain! Sungguh sulit mencari penyanyi seperti Iie, yang
mampu dengan “mulus”nya menaklukkan lagu-lagu bersyair Krakatau yang rata-rata
terbilang sulit untuk dinyanyikan itu.
Inilah
sisi menarik, yang membuat mereka terasa “istimewa”. Musiknya cukup sarat
dengan “atraksi” skill berlebih mereka, pada setiap instrumennya masing-masing.
Bahkan hingga, Iie sang vokalis, yang malah belakangan lebih dilihat sebagai
“instrumentalis” ke-6 nya Krakatau! Artinya, Iie “bermain musik” pula, dengan
suaranya yang menjadi alat musiknya. Kelima personil Krakatau-lah, yang
membentuknya dengan nyaris sempurna. Jadi penyanyi beneran…
Tak
heranlah, dimanapun mereka tampil, sebagian penontonnya memang adalah para
musisi atau vokalis. Mereka menjadi semacam sumber inspirasi, bagi para musisi
tersebut. Yang senantiasa antusias menyaksikan penampilan idolanya itu.
Begitulah, Krakatau lantas menjadi semacam trend-setter
saat itu, khususnya untuk musik bernuansa jazz.
Unsur
“akrobatik” skill mereka jelas terasa, tapi saktinya mereka tetap populer. Maka
bukan hanya sesama musisi yang mengidolakan mereka, juga khalayak umum pencinta
musik. Pencinta musik yang ber-“kwalitas”, tentu saja.
Bukti
sangat konkrit dan nyata, peraihan angka penjualan dari kedua album pertama itu
terbilang sangat baik, menjadi rekor tersendiri untuk musik-musik "segmented". Yang berhasil mendekati
penjualan album-album musik pop.
Haruslah
diakui mereka memang pandai membuat ramuan jitu, menghasilkan lagu-lagu pop
yang tidak begitu gampang, tapi bisa populer. Tak hanya lagu-lagu bersyair, bahkan juga lagu-lagu instrumental
mereka.
Di
tengah nama yang melesat kian tinggi, mereka lantas diterpa badai isu bubar.
Lantaran mereka mulai tercerai-berai, sibuk dengan proyek musiknya
masing-masing. Indra misalnya, menjalankan Indra
Lesmana Vision, Indra Trio lalu Andromeda dengan Bubi Chen dan sang ayah, Jack
Lesmana. Indra tetap selalu bermain dengan Gilang Ramadhan.
Trie
Utami mulai rajin ber solo karir, atau diajak rekaman pop, antara lain dengan Rumpies. Ia juga sempat membawakan lagu
pop yang lumayan dikenal, ‘Keraguan’ dari ajang kontes cipta lagu bergengsi, LCLR. (Lomba
Cipta Lagu Remaja, besutan Radio Prambors, Jakarta). Dwiki begitu
pula, sempat menjalankan, Dwiki’s
Quartet. Begitupun halnya dengan Donny Suhendra.
Kau Datang dan
5 juta Kaset!
Di
tahun 1990, mereka melansir Kembali Satu.
Kalau pada album pertama terasa “semangat” jazz mereka tebal. Lalu pada album
kedua, mereka memasukkan unsur new wave. Maka
album ketiga ini musiknya terasa menjadi lebih ringan dan renyah. Dari album
ini, muncul, ‘Kembali Satu’ dan ‘Kau Datang’. Selain beberapa nomer lain macam,
‘Seraut Wajah’, ‘Suasana’, ‘Perjalanan’, ‘Rain’ dan ‘Feels Like Forever’. Album
ini tak ada materi instrumentalnya.
Yang
menarik, album ini sejatinya dirilis setelah sebuah mini-album yang diberi title,
Top Hits Single. Pengerjaan mini
album ini dilakukan berbarengan dengan Kembali Satu. Mini album dirilis
terlebih dahulu, sebagai “pemanasan” dan tes pasar. Begitu niat label
rekamannya. Berisi 4 lagu saja yaitu ‘Kau Datang’, ‘Feels Like Forever’, ‘Rasa’
dan ‘Treasures’.
Tak
dinyana, mini album ini berjalan amat sangat lancar di pasaran. Bahkan, membuat
rekor fantastis! Bisa jadi, ini adalah mini album tersukses dalam sejarah musik
Indonesia. Menurut kabar, album ini terjual lebih dari 1 juta kaset!
Karena
begitu suksesnya mini album tersebut, tak heranlah kiranya lantas album penuh
bertajuk Kembali Satu itu, laris manis pula di pasar. Tercatat album ini
terjual 2 juta kaset! Tak pelak, album ini menempatkan Krakatau sebagai grup
jazz/fusion tersukses di pasar musik. Suatu hal yang rada mengejutkan
sebetulnya. Album ketiga ini, juga seolah menjawab semua gossip dan isu
bubarnya mereka.
Jadi
lihat saja,mereka merilis 4 album dalam kurun waktu tak sampai 5 tahun, dengan
total angka penjualannya hampir 5.000.000! Sebuah rekor luar biasa,tentu saja.
Sekali lagi, menjadi catatan prestasi yang berlipat nilainya, dikarenakan
mereka adalah grup jazz/fusion. Dengan dasar musik yang sejatinya, tidaklah
mudah dicerna kuping dan hati publik kebanyakan! Paling tidak, anggapan itu
awalnya dating dari pihak label rekaman.
Pada
1992 mereka lantas menjadi Krakatau dengan formasi hanya Dwiki, Pra, Trie Utami
dan masuk lagi drummer, Budhy Haryono. Formasi ini merilis Let There be Life. Dalam album ini, mereka menyertakan guest musician, Dewa Budjana dan Iwan Wiradz.
Dari
album “terakhir” Krakatau dengan format fusion ini, muncul hits, ‘Sekitar Kita’. Lagu-lagu lain dalam album ini adalah ‘Let
There be Life’, ‘Satu Kembali’, ‘Untuk Semua Kita’. Lalu pada Sisi B, dalam
kasetnya, ada ‘ If Heaven is Like This’, ‘Love Will Stand’, ‘Damai yang Hilang’
dan ‘Ternyata’.
Pada
waktu itu, Indra bersama Gilang juga Donny membentuk Indra Lesmana Java Jazz, juga kelompok pop-rock, Adegan. Maka sejak saat itulah, mereka
berjalan masing-masing. Sementara Krakatau tetap dijalankan secara aktif oleh
Dwiki Dharmawan dan Pra B.Dharma, menjadi grup yang lebih mengedepankan unsur
eksperimentasi perkawinan musik pentatonic dan diatonic jazz. Antara lain menonjolkan
perangkat perkusi tradisi Sunda.
Mereka
memang menjadi lebih kental unsur world
music atau world fusion. Formasi
dengan tipikal musik ini merilis Mystical
Mist di 1994 lalu Magical Match
di 2000. Di 2006, Krakatau format ini, merilis pula double-album, Rhythm of
Reformation dan 2-World, dibarengi konser di Graha Bhakti Budaya, TIM.
Trie
Utami menjadi vokalis Krakatau, berjalan dengan Dwiki dan Pra,hingga tahun
2004. Dwiki dan Pra pun mengajak vokalis Nya’
Ina Raseuki,untuk menempati posisi yang ditinggalkan Trie Utami.
Konsep
world music tersebut, sebenarnya terus berjalan hingga saat ini. Pra dan Dwiki,
didukung beberapa musisi yang memainkan perangkat tradisi seperti Ade Rudiana, Yoyon Darsono, Zainal Aripin. Mereka telah kerapkali
tampil di pelbagai ajang festival jazz di mancanegara, Australia, Eropa, Asia
dan bahkan hingga Amerika.
Dan
begitulah ceritanya, mereka masing-masing larut dengan segenap kesibukan karir
musiknya. Indra Lesmana misalnya belakangan aktif dengan kelompok LLW-nya dengan telah merilis 2 album
rekaman. Selain menangani banyak album rekaman,baik sebagai player pendukung, produser atau mixing/mastering engineer.
Trie
Utami, kencang berkibar sebagai komentator vokal pada beberapa ajang pencarian
bakat di televisi, selain juga tampil dalam pelbagai acara pop. Ia juga mulai
melangkah kaki lebih jauh di dunia musik, bertindak sebagai produser rekaman.
Donny
Suhendra, tampil aktif dengan blues dan jazz. Ia belakangan ini tampil bersama Big City Blues, Donny Suhendra
Project serta Power Fusion Trio.
Selain menjadi pengajar dari banyak gitaris muda, baik secara privat maupun di
sekolah musik Gladiresik.
Sementara
itu Gilang Ramadhan, aktif juga di dunia pendidikan musik. Ia mendirikan GRSB, yang belakangan aktif melebarkan
sayap ke seluruh Nusantara. Selain menjalankan berbagai proyek musik, salah
satu diantaranya bersam Iwan Fals dan Iwang Noorsaid. Dan tetap menjalankan
kelompokmusiknya, Gilang Ramadhan NERA,
yang antara lain juga didukung Donny Suhendra.
Seperti
juga Dwiki Dharmawan dengan sekolah musik Farabi-nya,
dimana ia juga menjadi pemilik sekaligus Direktur Utama. Dwiki ini begitu rajin
dan sangat aktif melanglang buana ke seluruh penjuru Nusantara dan bahkan
keliling menyinggahi banyak negara, antara lain juga tampil di bermacam-macam
festival jazz internasional. Ia fokus pada eksplorasi “perkawinan silang” musik
barat dan timur, modern dan tradisi. Selain dengan Krakatau format world music,
Dwiki juga membentuk World Peace
Orchestra dan World Peace Ensemble.
Pra
Budi Dharma juga tetap aktif. Selain dengan Krakatau format world music, bersama Dwiki Dharmawan.
Pra bertindak sebagai konseptor utama. Ia juga bergabung dengan kelompok trio, Kayon bersama Indra dan Gilang. Selain
itu, ikut menjalankan GRSB bersama Gilang.
Tapi
rupa-rupanya, setelah lumayan panjang tidak lagi berkumpul, mereka ternyata
“dipersatukan kembali oleh alam”.Sebut saja begitu. Bahwa waktu yang terbaik,
akandatang pada saat yang memang tepat. Mereka iseng terlebih dahulu,
kangen-kangenan untuk bertemu dan bercengkrama.Dari situ, mereka berinisiatif
untuk kembali tampil bersama-sama.Berenam, selengkapnya.
Walau
sejatinya, mereka tetap melakukan kontak, meneruskan persahabatan satu sama
lain. Kerapkali juga menggarap proyek musik bareng,aau tampil bareng,pada suatu
acara. Tapi tidak pernah kumpul bareng lagi, berenam lengkap.
Mereka
bertemu lagi, bukan lantas menjadi hanya sekadar reuni belaka.Sekedar menggelar
kangen-kangenan dan bernostalgia, antara mereka dan mereka dengan para fansnya
yang lalu. Karena itulah, disepakati memakai title,
Kembali Satu.
Menegaskan, keinginan tampil kembali dengan pasti, jelas, dipersiapkan sebaik-baiknya. Dan….harus berarti bagi musik Indonesia!
Menegaskan, keinginan tampil kembali dengan pasti, jelas, dipersiapkan sebaik-baiknya. Dan….harus berarti bagi musik Indonesia!
Keenam
Krakatau ini berkeinginan kuat, untuk kembali meramaikan musik Indonesia.
Menebarkan benih enerji positif, lewat karya musik dan lagu mereka yang pernah
begitu dikenal pada lebih dari 25-an tahun silam itu. Memainkannya bersama-sama
kembali, tentu dengan enerji kekinian. Memberikan motivasi bagi lahirnya
ide-ide bermusik yang segar, teristimewa bagi kaum muda, generasi masa kini.
Tentu
saja, mereka sejak dini telah memberi isyarat, tidak tertutup kemungkinan bahwa
ide-ide bermusik mereka berkembang lebar. Dan menghasilkan karya lagu yang
baru, tentu saja bukan hal yang tidak mungkin…
Pada
malam ini, Krakatau bersepakat dengan yakin, Kembali Satu, berenam berjalan
bersama lagi. Selamat mengalami pengalaman paling mengesankan dalam hidup
anda, dapat menyaksikan mereka kembali mengguncang pentas di hadapan anda!
Sebuah pengalaman sangat berharga,anda menjadii saksi pemunculan kembali
superfusionband kebanggaan Indonesia.....
No comments:
Post a Comment