Friday, July 28, 2017

Cerita Cinta Semalamnya Rio Sidik


Nenek, ibu dan tantenya, penyanyi. Kakeknya pemain trumpet, seperti juga yang menurun pada salah satu anaknya, yang berarti adalah oomnya. Adik dan kakaknya juga bermain trumpet. Hasil akhir dari persilangan tersebut, dengan titisan bakat yang mengaliri darah mereka sekeluarga, tak heranlah ada seorang Rio Sidik.
Ia penyanyi, namun lebih dikenal sebagai trumpetist. One of the best trumpetist nowadays. Humble and friendly musician. Sebagai pemain trumpet saja sudah unik. Apalagi trumpetist yang bisa menyanyi! Nilai tambah menjadi double. Macam wartawan foto, tetapi bisa menulis dengan baik saja.
Saya pibadi sedari dulu,mungkin sekitar awal 2000-an mengenal dirinya. Tentu diawali dengan mengenal dulu permainan trumpetnya. Siapa dia sih, tanya saya pada suatu acara musik. Jawab seorang teman musisi yang berdiri sebelah saya, oh dia dari Bali. Dia memang bagus nih, tambah teman saya.
Satu dua lagu menonton, lantas saya setuju dengan penilaian teman itu. Tergerak dong, untuk bisa mengenalnya lebih dekat. Well, saat itu teman musisi lain lantas memperkenalkan saya kepadanya. Senyum lebar dan jabat hangat. And, that’s it.


Beberapa tahun kemudian baru berjumpa dia lagi, pada sebuah festival jazz. Dari jarak agak jauh, dia melihat saya, pas saya juga melihat ke arahnya. Dia melambaikan tangan, mendekati saya. Mas, apa kabar? Kami berjabat tangan dan berangkulan.
Sedikit kaget, eh masih inget rupanya. Tapi tunggu dulu, dia pasti lupa nama saya. Begini ya, waktu beberapa tahun lalu berkenalan itu kan, kayaknya dia tak mendengar nama saya dengan baik. Lagipula saat itu, kita tak sempat ngobrol panjang. Hanyalah sekadar basa-basi singkat.
Eh mas Dion sendirian? Wah, dia ingat nama saya. Itu sangat berarti buat saya. Beberapa tahun lewat, tak pernah bertemu lho. Di antara itu, saya sempat melihat penampilannya yang well stealing moment yang sukses. Muncul menjadi solis di satu lagu, dalam pergelarannya Chrisye. Penonton dibuatnya terkagum-kagum, tentunya sambil bertanya-tanya, siapa sih dia?
Cuma melihat, tak bertemu. Dan baru bertemu kemudian, and he still remember my name. Sesuatu deh. Saya terus terang, dari pertama melihat permainan trumpetnya lantas bilang dalam hati, ini anak bahaya banget.


Lama ga melihat pemain-pemain trumpet, apalagi yang muda. Generasi penerusnya Didit Maruto. Era sebelumnya ada siapa lagi, Karim Tess? Saya mengenal juga Rio, trumpetist lain dari grup Black Fantasy. Saya juga tak akan lupa dengan kakak beradik, Idham dan Iromy Noorsaid dari The Kids yang kemudian menjadi The Big Kids itu.
Untuk menyebut sedikit saja di antaranya ya. Lantas tampil Rio Sidik ini, trumpetist muda, plontos, kelahiran Surabaya. Memang berdarah Jawa Timur-an, tapi menetap di Bali dan menjalani karir musiknya secara profesional di pulau dewata tersebut.
Kemudian ia memilih memelihara rambutnya. Itu salah satu yang bikin saya rada pangling lho! Hahaha. Tapi ia tetap bersahaja, ceria. Dan saat tampil, pede luar biasa. Sahaja, kayak grup bandnya tuh, Saharadja.
Nah menyoal grup bandnya itu, datang dari Bali, Rio dan Saharadja adalah salah satu band yang juga saya nikmati betul penampilan mereka. Enerjinya itu positif, meledak-ledak musiknya, ceria dan optimistik. Menyenangkan melihat penampilan mereka.
Tak pelak lagi, Saharadja menjadi salah satu dari world music band yang terbaik, buat saya. Musik mereka sangat entertaining audience, make everybody dancing and happy. Pas lah, menjadi semacam obat penawar duka lara dan himpitan masalah hidup. Eaaaalaaaaah....
Perjalanan seorang Rio menjelajahi luar negeri, main musik sampai jauh dimulai dengan Saharadja nya itu. Grupnya tersebut sudah merilis dua-tiga album rekaman, dan dijual hanya di saat mereka tampil saja. Kabarnya, album mereka diburu para penonton, begitu mereka usai berpentas.
Memang karena bakat turunan sih, itu yang diakuinya. Makanya dia lantas jadi pemain trumpet. Ia adalah putra dari pasangan Marsidik dan Endang Prihastuti. Ia adalah anak kedua dari 4 putra dan putri orang tuanya tersebut.
Mulai melihat-lihat, pegang-pegang saja. Asli pegang-pegang dan mulai tertarik, sekitar usia 5 tahun. Karena melihat trumpet kakeknya. Mulai bisa main trumpet, pelan tapi pasti, sejak usia 8 tahun. Sekitar usia masih di sekolah dasar waktu itu.
Ia belajar trumpet, dibimbing sang kakek selain pamannya. Langsung juga, mulai belajar musik secara keseluruhan. Karir pertamanya, harus disebut salah satunya saat Bubi Chen, mengajaknya ikut main di sebuah kafe di Surabaya.
Kakeknya, Daryono memang dulunya itu, bermain dengan almarhum Bubi Chen. Usia 13 tahun, ia diajak ikut bermain dalam sebuah bigband di Surabaya. Kakeknya, ia mengingat betul, disiplin mengajari dan membimbingnya. Kakeknya ga suka kalau ia telat datang, saat jam latihan.
Ia ingat, di usia 10 tahun, pernah dimarahin oleh sang kakek. Ya itu tadi, karena telat untuk mengikuti “kelas” belajar trumpet. Ia telat hanya sekitar 15 menit-an saja. Tapi ya begitulah, kakeknya tak mentolerir hal itu.
Di usia belasan itu, ia memang mulai sering bermain trumpet. Salah satunya, akhirnya jadi keterusan banyak bermain dengan almarhum Bubi Chen, dan juga ada almarhum Maryono, di clubs di Surabaya. So ia lantas menyebut, oom Bubi juga adalah salah satu gurunya, yang mengarahkan menjadi musisi seperti sekarang.


Gimana dengan karir solo Rio, kelahiran 13 Juli ini, sendiri? Ia telah merilis solo album Sound of Mystical Vibe di tahun 2014 lalu. Album dimana ia menyanyi, tak hanya memperlihatkan permainan trumpetnya. Yak, ia menyanyi lho! To tell the truth, at the first time hear that he also sing. OMG!
Saya agak-agak gimana ya, well terima atau tidak gitu. “Kesalahan” terbesar saya mungkin, terlalu ngefans dengan tiupan trumpetnya. So ketika ia lantas menyanyi juga di album rekamannya, ah come on!
Tapi saat melihatnya di launching albumnya, apalagi mendengarkan rekaman albumnya tersebut, saya lantas jadi bisa menerimanya. Gini ya, Rio itu enerjik. Penuh semangat. Dan pede luar biasa. Soal trumpet, itu so pasti. Dan juga soal menyanyi!
Suara terbilang bagus, walau tak pernah belajar vokal secara formal. Bagus dalam konteks, ya pas untuk lagu-lagu yang adalah karya-karyanya sendiri juga. Walau urusan menyanyi, bukan barusan ini dia menyanyi sih. Kalau di saat ia reguler di kafe, ia biasa juga menyanyi sebenarnya.
Ia pede dan yakin, well that’s enough! Dan penontonpun suka. Go ahead bro. Ia toh akan lebih menjiwai lagu-lagunya sendiri. Seperti lagu, ‘Cinta Semalam’. Ini adalah lagu terbarunya, lagu dia bikin dan dia produced sendiri.
Cinta Semalam, ia bercerita, adalah tentang perjumpaannya dengan sang kekasih hati. Sumber inspirasi utama adalah seorang perempuan manis, Elizaveta Rozanova. Eliza itu memang lantas menjadi kekasihnya. Bahkan sekarang telah menjadi istrinya.
Musiknya menghentak, enerjik. Upbeat and danceable. Rada bernuansa EDM, Electronic Dance Music, walau proses perekamannya dilakukan secara tracking full band.
Low soundnya tebal, tegas kesannya. Menjadi pengiring beat yang pas. Ada suasana latar strings. Melibatkan backing vocal, dalam hal ini adalah Ade Fabiola, yang kerapkali membantu Rio di pentas maupun rekaman. Ada voice berbahasa Rusia, yang diisi langsung oleh sang istri, Elizaveta.



Cerita cinta sih, terangnya. Tapi memang ingin disampaikan dalam irama yang upbeat. Apa karena memang, belakangan ini sebagian job-nya, banyak menjadi featuring dalam pentas model EDM. Seperti kolaborasi dengan aneka disc-jockey? Ia tak menampik.
Ia memang banyak melakukan kolaborasi dengan DJ, baik DJ-DJ di sini maupun di luar negeri. Jadwalnya, untuk ber-“solo karir”, melanglang buana tetap padat. Setiap tahun, ia mengakui, selalu ada kesempatan touring ke Eropa dan negara-negara lain.
Ia memang aktif kesana kemari, sebagian besar saat ini, menjadi tamu untuk berbagai grup band dan artis penyanyi, selain berduet dengan para DJ. Kesempatan tour ke mancanegara juga seperti itu, sesekali ia tampil jammin’ dengan grup band setempat.
Cinta Semalam, kemarin ini baru dirilis secara resmi ke publik. Baik video klipnya, maupun rekaman digitalnya yang kini sudah bisa didapatkan di situs-situs penjualan digital dunia. Termasuk masih ke situs streaming.
Rio tetap menyatakan ia bukan trumpetist jazz. Artinya, ia tak ingin mengkalim diri sebagai pemain trumpet jazz. Soalnya,ia buru-buru menjelaskan, kan ia juga memainkan semua musik. Ga ada pilih-pilih. Sejauh memang ia bisa masuk dan mendukung, dengan trumpetnya, ia akan masuk dan dilakukannya dengan sukacita.
Kuncinya, tambahnya, kesukacitaan. My music, my genre itu lebih tepat sebut saja, good music. Begitu ia menjelaskan lagi. Good music for everybody. Ya bisa ada jazznya, rocknya, reggaenya dan macam-macam musik lain.



Pesannya sebagai trumpetist, jalani hari dengan sukacita. Enjoy akan hidup, terutama nikmatilah musik. Sebagai pemain trumpet, ia sudah terbiasa selalu pegang trumpetnya setiap hari. Itu penting, karena seperti olahragawan saja, need everyday stretching, gerak badan, biar ga kaku kan. Pemain trumpet juga begitu. Harus pegang trumpet.
Jangan malas saja. Toh itu tidak menjadi hal yang memberatkan, karena kan itu adalah dunianya? Ia secara sadar telah memilih musik sebagai profesinya, bahkan sebagai dunia kesehariannya. Ia menikmati betul bermain trumpet dan bernyanyi.
Saya dimintanya untuk menjadi host pada acara launching singlenya yang terbaru tersebut, pada 26 Juli kemarin. Ia tampil dengan sebuah grup band, yang dikoordinir oleh gitaris Chikoguitarkid”. Ada peran si cantik, Irsa Destiwi pula sebagai pianisnya. Ade Fabiola sebagai backing vocal juga turut tampil.
Mereka membawakan empat buah lagu. Tentu saja ‘Cinta Semalam’, yang dibawakan dalam versi ballad dengan berdua saja Rio dan Irsa. Lalu versi full band. Kemudian dua lagu dari albumnya terdahulu, ‘On My Scooter’ dan ‘Oh Sayang’. Lalu ia mengundang kakaknya, penyanyi Marina Sidik, untuk ikut bernyanyi. Mereka berdua menyanyikan,’I’ll Be There’-nya The Jackson Five..
Versi asli rekamannya, single tersebut didukung Ito Kurdhi (bass), Erik Sondhy (piano), Eddy Siswanto (drums), Alvin Witarsa (strings) dan Affan Latanete (perkusi). Produksi rekaman dilakukan di Bali.
Ia berencana, full albumnya bisa dirilis dalam beberapa bulan mendatang. Kalau bisa sih, di tahun ini juga. Materi lagu sudah siap. Sebagian, terangnya lagi, malah sudah masuk proses rekaman.



Menyoal rekaman, terkait dengan industri musik teristimewa penjualan album, ia mengetahui adanya penurunan angka penjualan. Industrinya sedang drop. Tapi ia menyatakan, ia tetap akan berkarya, karena itulah hidupnya.
Do what I wanna do, just keep it that way. Dia selalu meyakini, kalau dilakukan dengan tulus ikhlas, pada akhirnya tetap akan memperoleh kebaikan. Hasil akhir memang misteri, tapi dia memilih tak mau ambil pusing. Yang penting toh ia positif saja, pasti hasilnya nanti akan baik untuknya.
Rio Sidik memang bak “kutu loncat”. Seusai launching, esok paginya ia harus terbang menuju Manado, akan tampil di sana. Lalu masuk ke minggu kedua Agustus, ia terbang untuk tour ke Eropa. Ia memulainya dari Portugal.
Well my brother, what a days! Enjoy it. And, take care! Sukses selalu ya..../*





Saturday, July 22, 2017

Chester Bennington..., In The End


Chester Bennington, menjadi headline berbagai situs berita di seluruh dunia. Dan menjadi tokoh yang fotonya memenuhi seluruh media sosial yang ada, termasuk Facebook, Path, Instagram, Twitter. Dan adalah kepergiannya yang diratapi banyak penggemar musik seluruh dunia.
Berita bahwa ia meninggal dunia dengan cara menggantung diri, membuat shocked massal. Hanya sekitar sejam setelah grup band yang mengangkat begitu tinggi namanya ke seluruh dunia, Linkin Park, merilis video dari single teranyarnya. Dan itu hanya sekitar 2 minggu setelah penampilan terakhirnya di Birmingham, dalam masa perjalanan tour dunia Linkin Park.
Tragis memang, nama besar, popularitas begitu tinggi ternyata justru menjadi beban teramat berat. Hal itu yang menjadi kesan, bahwa secara mental seorang Chester Charles Bennington sungguh tak siap menghadapinya. Populer, nama terhormat diikuti kaya raya, bukan jadi jaminan akan happy-happy terus...
Saya khusus jadi pengen menulis tentang rocker muda, kelahiran Phoenix, Arizona, pada 20 Maret 1976 ini. Karena berita kematian tragisnya memang mengejutkan saya. Apalagi dengan kenyataan miris, ia meninggal di saat hari ulang tahun sahabat baiknya, Chris Cornell. Dan Chris Cornell tersebut, vokalis Soundgarden dan Audioslave, meninggal juga karena bunuh diri.
Cornell meninggal dunia, hanya sekitar dua bulan sebelum Chester, tepatnya 20 Mei 2017. Sementara ada Scott Weiland, juga bersahabat dengan Chester, sama-sama rockstar. Weiland meninggal, juga gantung diri, pada 3 Desember 2015.


Nama Bennington, especially his band, Linkin Park, saya “kenal baik” lantaran anak saya. Denzel, putra sulung saya, menggilai betul Linkin Park  Di saat ia masih SMP, tiap hari di rumah, Denzel tak pernah tidak memutar lagu-lagu Linkin Park.
Yang seru, kami berdua jadi seringkali rebutan di mobil saat berpergian. Denzel berkeras untuk memutar Linkin Park so pasti. Saya tidak. Satu saat, sampai saya terpaksa berbohong pada anak saya itu, ini dengerin deh band favorit utamanya Linkin Park! Demi saya bisa mendengarkan...Genesis.
Apakah Linkin Park memang mengidolakan Genesis? Kayaknya sih ga. Hihihihi. Atau di lain waktu, saya bilang ini band yang sering didengerin Chester Bonnington dan Mike Shinoda waktu mereka masih SMA dulu. Yang saya putar adalah...Van Halen!
Tapi karena Denzel, saya lama kelamaan jadi mengenal lebih dekat Linkin Park itu. Denzel juga aktif memburu albumnya. Saya ditodong terus untuk beli album-album terbaru LP tersebut. Mulai dari Hybrid Theory, rilis tahun 2000. Lalu Meteora (2003), Minutes to Midnight (2007) sampai A Thousand Suns (2010).
LP sendiri terus lumayan aktif memproduksi album. Karena berikutnya mereka melepas album, Living Things (2012), The Hunting Party (2014). Serta album terakhir adalah, One More Light, dirilis pada 19 Mei 2017.
Single dari their latest album tersebut, ‘Heavy’ mulai ditayangkan pada Februari 2017. Dalam lagu itu, untuk pertama kalinya LP mengundang seorang penyanyi cewek untuk ikut mengisi suara, mendampingi duo Bennington dan Shinoda, namanya Kiiara.

Dan begitulah, LP sedang melakukan tour berkaitan dengan One More Light tersebut. Nama turnya sama dengan nama album tersebut. Rencananya diawali dengan menyusuri belahan selatan Amerika serta Eropa. Penampilan tur terakhir adalah pada  Juli di Barclaycard Arena, Birmingham, Inggris.
Kembali ke soal Denzel dan Linkin Park idolanya, memang ya mau ga mau, tiap hari dengerin jadi kenal musiknya. Dan makin jadi tertarik, saat video-video mereka menayang, seperti menjadi top request, di MTV. Juga tampil di beberapa stasiun televisi lain. Sampai radio-radio yang kebanyakan alergi memutar lagu kelewat keras, ternyata juga memutarkan lagu-lagu Linkin Park tersebut.
Oh ya LP atau Linkin Park itu adalah duo vokalis Chester Bennington dan Mike Shinoda. Chester pada voicing dan song, Shinoda lebih kepada rappin’. DJ Joe Hahn, ya sebagai disc-jockey. Rob Bourdon, drums. Bass oleh Dave Ferrel, yang sempat mundur sesaat di 1998 tapi di 2000 balik lagi. Lalu gitaris, Brad Delson.
Saya akhirnya harus setuju kalau disebutkan bahwa LP adalah grup rock tersukses di era 2000-an. Lihat saja catatan prestasi mereka, yang paling sensasional adalah grup rock pertama yang berhasil mencatat viewers video mereka, melewati angka... 1 Milyar, di situs youtube!
Torehan catatan LP lainnya nyang ah bukan maeeeen adalah penjualan lebih dari 70 juta keping, sampai sejauh ini. Khusus Hybrid Theory, tercatat telah terjual lebih dari 11 juta copies di seluruh Amerika Serikat. Serta 27 juta untuk penjualan ke seluruh dunia.


Dan debut album mereka tersebut, masuk menjadi salah satu album penting, dalam buku berjudul 1001 Albums You Must Hear Before You Died. Isi buku itu adalah catatan Best Album dari era 1950-an sampai 2000-an. Editor buku tersebut adalah Robert Dimery, writer and editor, yang dikenal lewat majalah Time Out dan Vogue. Dijual mulai tahun 2005.
Nempel dah lagu-lagu kayak ‘In The End’, ‘One Step Closer’ atau ‘Crawling’. Tiap hari coy, terpaksa ga terpaksa deh denger..... Lalu, wah apalagi yang ini, ‘Numb; atau ‘Somewhere I Belong’ sampai ‘From the Inside’ dan ‘Breaking the Habit’, yang dari album Meteora.
Apaan sih yang membuat musik mereka sampai disukai banyak anak muda, di seluruh dunia? Catetan pentingnya adalah, anak mudanya itu muda banget! Remaja bahkan sampai yang jelang remaja. Kisaran SD sampai SMA lah kira-kira, itu pangsa terbesarnya.
Musik mereka, dengan ada peran DJ di dalamnya, padahal bukan sesuatu yang baru banget juga. Korn, Limp Bizkit sampai Incubus, juga begitu. Tentu dengan gaya musik mereka masing-masing. That’s the point, gaya masing-masing. LP pun punya gaya “khas”.
Buat saya, ini sok menganalisa aja sih, karakter musik mereka dasarnya...poppish. Rock, apa ya waktu itu disebut sebagai hip-metal atau rap-metal, relatif keras. Tapi tetap mengedepankan unsur melodi yang “kuat”. Cepet deh nempelnya.
Karena terkesan lebih melodius itu, yang sempat membuat LP kurang disukai oleh fans rock, rock yang lebih keras atau metal gitu. Dianggap musik LP terlalu manis, untuk disebut sebagai rock.


Mereka memang tumbuh dengan figur lebih...”anak manis”, good boys. Dibanding Limp Bizkit atau Korn misalnya. Apalagi lirik-lirik lagu mereka, yang sebagian besar ditulis oleh Bennington dan Shinoda, terbilang aman untuk remaja sampai anak-anak. Tak heran mereka bisa dielu-elukan oleh anak-anak, yang lantas menjadi fans setianya. Termasuk anak-anak penonton...Nicklodeon TV misalnya!
Good boys with tattoo, yeah...why not? Tapi yang penting sopan hidupnya kan. Hidup sehat juga. Nah imej itu yang sempat menyembul keluar. Mereka memang rockers yang hidupnya sehat. Harus begitu mungkin, soalnya mereka kadung jadi idola anak-anak juga.
Mungkin itulah “beban mental” yang lantas menjadi bibit-bibit depresi seorang Chester Bennington. Karena toh ia ternyata juga tak lepas dari narkoba. Hidupnya tak sebersih apa yang dikenal luas selama ini? Yah, di satu sisi gimana ya, menyikapi soal itu, dia rocker. Toh juga bergaulnya, dalam kesehariannya, tidak sama anak-anak atau remaja kan?
Apa karena tekanan mental yang makin kuat, menyebabkan ia pendek pikir? Ada yang secara ekstrim menyebutnya, pengecut! Tak bisa lari dari tekanan batin, akhirnya mengakhiri hidupnya dengan menggantung diri. Kenapa harus gantung diri?
Kesendirian? Tak bisa berbagi dengan sekelilingnya? Chester Bennington punya istri, Talinda Ann Bentley. Dari istri keduanya, yang dinikahi tahun 2006 ini, ia mempunyai 3 anak. Tyler Lee Bennington (kini 11 tahun usianya) serta si kembar, Lilly dan Lila (kini  6 tahun).
Adapun istri pertama adalah, Samantha Marie Olit, yang dinikahinya Oktober 1996. Dimana ia mempunyai anak, Draven Sebastian (15 tahun). Dikabarkan ia juga mempunyai anak lain, Jaime (21 tahun), hasil hubungan dengan kekasihnya, Elke Brand. Ia juga mengadopsi putra dari Elke Brand bernama Isaiah, pada tahun 2006.


Ia sebenarnya tak sendiri-sendiri amat, kalau lihat perjalanan hidupnya. Sejauh ini, pernikahannya dengan istri keduanya disebut harmonis dan aman-aman saja. Ia terlihat fine and okay dengan istri dan anak-anaknya itu.
So memang menjadi misteri pada akhirnya, mengapa seorang rock star seperti Chester Bennington, sampai mengakhiri hidupnya dengan tragis. Mengikuti apa yang dilakukan 2 sahabat baiknya, Chris Cornell dan Scott Weiland. Weiland lah juga yang pernah sempat digantikannya sebagai vokalis Stone Temple Pilot di 2013. Sempat menghasilkan EP, High Rise, yang didahului rilisnya single, ‘Out of Time’.
Cornell sendiri sempat menjadi bintang tamu vokalis pada  penampilan Linkin Park di tour konser mereka yang berjudul, Projekt Revolution, di tahun 2008. Tur konser dimana ide datang dari LP, yang lantas menjadi host utama tersebut, berlangsung sejak 2002. Acara tersebut berbentuk music festival, dengan mengundang tampilberbagai penyanyi dan grup band, dari berbagai macam genre.
Tapi di 2015, ia memilih mundur. Untuk kembali fokus hanya pada LP saja, sesuai komitmennya dengan teman-teman bandnya tersebut. Padahal Stone Temple Pilot itu adalah salah satu band terfavoritnya dulu, semasa ia bersekolah, yang tentunya bisa menjadi frontman dari grup idolanya adalah...really dream comes true.
Saya ingat, formasi Stone Temple Pilot dengan Chester Bennington sebenarnya dijadwalkan datang ke Jakarta. Konser mereka lantas mendadak dibatalkan, sayang deh. Nyaris saja Chester Bennington tampil untuk ketiga kalinya di Jakarta.
Oh ya, LP sudah pernah menggelar konser besar di Jakarta. Yaitu di Pantai Karnival, Taman Impian Jaya Ancol, pada 13 Juni 2004. Serta di Stadion Utama Senayan, 21 September 2011. Keduanya adalah konser yang sangat sukses. Masuk kategori sold-out lho di kedua konser itu.
Nah kembali ke Denzel, saat konser di 2004, ia gagal menonton. Karena kejauhan sih sebetulnya, selain...harga tiketnya lumejen bro! Hehehehe. Tapi saat konser kedua, ia menonton dan....sendirian saja! Ia sangat menikmati konser itu, yang dia ingat, “waktu itu aku kayak didadahin dan dikasih senyum langsung oleh Chester deh pa”.


Ia pun sempat membuat band lain, Dead by Sunrise dengan members of Orgy dan Jullien K, Amir Derakh dan Ryan Schuk, pada tahun 2005. Grup ini sempat merilis debut, Out of Ashes, pada Oktober 2009.
Denzel sudah mendengarkan lebih banyak lagi musik, tetap rock terutama, pada saat ini. Tetapi toh ia juga merasa terkejut dan “kehilangan”. Iapun membuat playlist khusus lagu-lagu Linkin Park di sebuah aplikasi streaming favoritnya. Saya juga sama terkejutnya sih. Usia 41 tahun, tentu relatif muda kan?
Sampai tulisan saya ini dibuat, banyak sekali fansnya seolah tak percaya, rocker idolanya itu sampai nekad gantung diri. Bunuh diri? Dengan gantung diri pula? OMG. Sebagian masih bertanya-tanya, penasaran banget, benerkah ia mati bunuh diri Ini sama dengan kasus kematian Scott Weiland dan sebelumnya, Chris Cornell, ada yang meragukan betulkah dia bunuh diri?
Yang miris, sekaigus membuat penasaran, kenapa ketiga rocker tersebut memutuskan mengakhiri hidupnya dengan jalan sama. Yaitu gantung diri! Kebetulan ketiganya dikenal suka atau memang pentolan musik grunge. Chester pernah punya band lain,yang agak grunge pada awal karirnya dan kan memang ia fans grunge juga, notabene mengidolakan Cornell maupun Weiland juga. 
Chester, you’re gone too soon. Rest in Peace and Power there....

I kept everything inside and even though I tried, it all fell apart
What it meant to me will eventually be a memory of a time, when I tried so hard

I tried so hard
and got so far
In the End
it doesn’t even matter

(one of LP’ signature song. Selalu dibawain setiap mereka performance dimanapun. Masuk menjadi salah satu lagu pada, The 500 Greatest Songs Since You were Born, versi majalah Blender, di peringkat 121. Dan dalam versi Billboard, menjadi Most Played Rock Song of the Decade. Tambahan lagi, menjadi salah satu lagu Linkin Park, yang paling banyak dibawain band-band entertainer di kafe-kafe di Indonesia, bahkan seluruh dunia. 'In the End'.).  /*