Lupakan
semua yang lalu (indahkanlah kenangan)…
Sambutlah hari di muka yang cerah ciptakan suasana semangat manusia jiwa
muda… ‘Semangat
Jiwa Muda’, Chaseiro – Vol. 3, rilis 1981
Semangat jiwa muda merekalah
yang kayaknya membuat mereka tetap eksis. Bisa dibilang, ga lekang dimakan
jaman! Walau sekilas, mereka hanya menghadirkan 4 album rekaman, dalam kurun
waktu 1979 sampai 1982. Tapi toh, mereka tetap hadir terus, bahkan sampai hari
ini.
Album rekaman “asli”, memang
tercatat hanya ada 4 album. Tapi mereka kemudian merilis lagi album, Persembahan di tahun 2001. Dilanjutkan
dengan Retro, di tahun 2011. Kini,
mereka sudah merampungkan album baru mereka, yang rekamannya dibantu sepenuhnya
oleh mantan drummer Halmahera, Ari
Darmawan. Ari Darmawan, belakangan memang seringkali menjadi produser
rekaman, selain seorang jingle-maker.
Mereka telah mulai berdiri
sejak 1978. So, sebelumnya…duduk-duduk atau rebahan? Maksudnya, mereka mulai
kumpul bareng gitu looh! Lama juga yaaa, dan berarti usia mereka sudah pantas
disebut…banyak juga lhooow!
Hitung deh, 36 tahun! Dan catet
baik-baik, mereka bisa dibilang boyband
generasi terawal, salah satu pelopor terdepan boyband Indonesia!
Boyband,
ah c’mon!
Mereka tak bisa lenggak-lenggok kan? Bukan menyanyi, buka-buka mulut, gerak
badan sepanjang konser. Ya, ga tau menyanyi beneran
apa…minus one! Mereka ini beneran
menyanyi, bagi-bagi suara yang kemudian memang jadinya jelas, bagi-bagi duit.
Kompak juga!
Kalau ga kompak, mana
mungkin lewat sampai 30-an tahun gini! Dan kalau ga kompak, gimana mungkin
mereka mau cerita banyak juga, soal perjalanan awal mereka ke saya? Eh iya ini, catetan “sedikit”
perjalanan mereka, yang lantas sempat saya muat di NewsMusik, tahun 2015.
Inilah mereka, Chasiero, eh .. CHASEIRO!
Saya biasa memanggil mereka,
kakak-kakak Nchas. Kakak, sumpeee looo?
Lha iyalah, mereka bayangin udah ngeband mulai 1970-an kaleee. Tahun segitu,
saya belom lahir. Masak? Ah sudahlah, pokoknya, hitungan tahun, mereka sudah
cari-cari cewek, saya mah masih sibuk belajar….aljabar!
Eh boyband? Ga tepat begitu,
sebenarnya mereka itu lahir pada jaman folksong.
Iya di saat itu dikenal namanya folksong itu, vocal group gitulah membawakan folksong. Tau ga, bahkan di jaman
itu sampai ada album-album kompilasi folksong. Iya namanya folksong! Padahal,
harusnya bukan pakai istilah itu. Folksong, sebenarnya bukan semata-mata,
sekelompok orang menyanyi, dengan iringan gitaran….
Ok,
forget it!
Kita bahas itu nanti deh. Mereka tampil di sebuah festival vocal group, yang digelar oleh Radio Amigos, Jakarta Selatan. Acara
digelar di Bulungan, begitu ceritanya. Menurut Rizali, salah satu dari mereka,
yang ikut festival itu ada 105 grup! Edan!!! Banyak banget. Kan lagi mewabah
soalnya saat itu.
105 grup kita simpan bentar
boleh? Chaseiro itu apa? Sebenarnya gini, nanti kita akan buka. Ikuti aja dulu
cerita ini. Memang harus sabar, ikuti dengan seksama dan telitilah sebelum
membeli…
Well, ketika mendaftar
itulah cerita mereka, bingung juga apa namanya? Helmie Indrakesuma lantas kayak
“nge-cak” nama di selembar kertas.
Ketemulah dengan berbagai nama, lalu berujung pada menciptakan sebuah nama dari
nama-nama mereka. Kan waktu itu, Candra
Darusman, Helmie
Indrakesuma, Aswin Sastrowardoyo,
Edwin Hudioro, Rizali Indrakesuma dan Omen
Norman Sonisontani. Ketemu Chasero.
Itulah cerita terawal, ini
versi…hmmm, saya lupa. Bentar, lihat catatan dulu. Ini cerita Irwan, sama
Candra, juga Rizali. Omen nyampur juga, Edi juga turun tangan, Aswin ga mau
kalah. Lha, semuanya dong? Pan kumpak?
Bukan kompak lagi, “tingkatan”nya kumpak, selevel lebih tinggi dari “kompak”.
Kata siapa?
Kata Edwin Hudioro, biasa
dipanggil Edi, belakangan pada setahun kemudian baru masuklah Irwan Indrakesuma. Jadilah Chaseiro itu. Jelas dong. Simple but perfect! Enak pula ya
diomonginnya kan? Mereka emang begitu, dari awalnya adalah kelompok folksong,
yang menurut Irwan istilah itu berkembanglah menjadi vocal group.
So, kata kak Irwan lagi. Maafkeun, saya sampai lupa memanggil
mereka dengan sebutan, “kak”. Maaf. Takut pamali, itu suami bumali, bumali
galak dan cerewet! Jiaaah! Ya terus,
kak Irwan bilang bahwa, kak Rizali, kak Omen, Kak Aswin dan kak Helmie beserta
dirinya, sudah berteman baik sejak masa SMA. Mereka itu pelajar SMA Negeri XI
di Bulungan.
Jangan coba-coba cari
sekolah itu lagi di kawasan Bulungan, Jakarta Selatan sono! SMAN XI sudah difusi dengan SMAN IX menjadi SMAN 70. Emang cuma
parpol aja yang bisa di-fusi-kan? Nah mereka pada masa SMA tersebut, dari 1974,
dan Irwan awalnya masih SMP, sudah acapkali mengikuti perlombaan grup vokal
tersebut.
Bersama teman-teman yang
lain, grup vokal mereka seringkali jadi juara juga.
Lomba tersebut biasanya
diadakan di Gelanggang Remaja Bulungan, diikuti sekolahan SMP atau SMA dan
remaja umum, seluruh kota DKI Jaya ini. Pada lomba tersebut, biasanya mereka
juga diharuskan membawakan lagu-lagu daerah, yang diaransemen kembali.
Menurut kak Omen, pada
dasarnya begitulah cerita terawal. Bahwasanya, yang namanya Rizali, Helmie dan
Irwan, sudah bernyanyi bersama sejak…masa kecil! Lha, mereka kan memang
bersaudara, so itu faam mereka kan sama
kwak. Hehehe, nyelip bahasa Manado, karena ibu mereka memang dari sono. Dari Kawanua, do e.
Rizali, “kakak tertua”, lulus
tahun 1975 dari SMAN XI itu. Tapi tetap kumpul nge-grup dengan mereka terus.
Mereka pada waktu itu, mulai “jahil” dengan mengaransemen lagu-lagu daerah
dengan nuansa ke-jazz-an. Menurut Irwan lagi, dan didukung kak Candra, salah
satu grup vokal mereka namanya, Trenggiling!
Ini kelompok vokal lumayan fenomenal di jaman itu, begitu cerita Irwan lagi.
Ya iyaaaalah kak, namenye aje udah ekstrim geto! Trenggiling! Ga ada nama lain yang lebih imut dan lebih manis? Tapi walau cukup
dikenal luas saat itu, menurut Irwan lagi, sejatinya sih Trenggiling ga pernah
jadi juara di lomba-lomba. Jangan-jangan, karena keberatan nama?
Kita kembali ke Lomba Vokal
Group Amigos. Kak Rizali ingat, yang ikut itu, grup-grup yang “dahsyat dan
sangar”. Antara lain ada, Kobos Group,
ini grup yang jadi cikal bakal Swara
Mahardhika dimana ada Trio Bebek
segala, dan Hafil
Perdanakusuma.
Yang mimpin Kobos itu, Roni Harahap.
Lalu ada Bourest Vocal Group, ini
salah satu langganan juara juga pada masa itu. Lalu Rainbow, yang dipimpin pemain tiup perempuan kawakan, Yuyun, waktu itu sudah sering dengan Pretty Sisters juga.
Ada juga kelompok FYR, dari Four Young Rumit, yang sangat terinspirasi oleh musiknya Harry Roesli. Kelompok vokal itu, kata
kak Candra emang rumit lho di sisi vokalnya. Ada juga Balagadonna, ini kelompok anak-anak Kebayoran dan dimotori oleh Yaya Moektio.
Jurinya waktu itu adalah Benny Mustafa, Elbert Missy dari TVRI, Ajie
Bandi, Jopie Item dan wartawan
Aktuil, Bens Leo serta Marusya
Nainggolan. Dan Chaseiro bisa menang, menurut kak
Rizali, kemungkinan karena aransemen
musik dan vokal yang harmonis, yang tidaklah terlalu njelimet tapi tetap unik. Apa bukan karena kakak-kakak semua,
imut-imut dulunya? Who knows?
Irwan ingat banget, Chaseiro
membawakan lagu, ‘Bolejaro’ yang adalah lagu daerah. Kemudian juga sudah berani
membawakan karya sendiri lho! Mereka bawain
lagu, ‘Mari Wong’ ciptaan Candra serta ‘Sapa Pra Bencana’ ciptaan bersama,
Candra dan Joeliardi.
Tapi maaf lagi, kayaknya
kurang seru ya mbacanya, kalau pakai
“kak”. Sebenarnyalah, saya kawatir dianggap tak sopan, bila saja tak
menggunakan panggilan kak tersebut. Tapi demi kenikmatan membaca, maka saya
pikir-pikir sebaiknya tak perlulah memakai kak lagi.
Tanpa mengurangi rasa
hormat, maka walau tanpa kak, tulisan ini diteruskan. Permisi ya mas, eh kak....
Candra Darusman bercerita,
ia dan Helmie lalu masuk Fakultas
Ekonomi Universitas Indonesia, di tahun 1976. Mulailah mereka berkenalan di
saat itu. Cerita Irwan, mulailah Helmie dan Candra lebih intens mengaransemen
lagu-lagu daerah dalam musik bernuansa jazzy.
Pada 1977, Edi Hudioro masuk
FE-UI bersama Omen, yang masuk Fakultas Ilmu Sosial di Universitas Indonesia
juga. Bersamaan dengan masuknya pula Aswin Sastrowardoyo di FK-UI. Rizali
sendiri, “kakak tertua”, sudah masuk FE-UI tahun 1975, selanjutnya ia tetap
rajin melatih vokal grup almamater-nya, SMAN XI.
Nah di tahun 1977 itu pula,
Candra, Edi, Aswin, Omen, Helmie dan Rizali mulai berteman, dan makin dekat.
Merekapun mulai iseng bikin kelompok vokal sendiri, menurut Irwan namanya kalau
ga salah adalah, FE-FIS-FK. Yang lantas oleh Helmie, dirubah menjadi Chasero.
Setahun berikutnya, 1978, menyusul masuk “si bungsu”, Irwan yang juga memilih
FE-UI.
Bermusik menjadi pilihan
“terfavorit” mereka sebagai kegiatan ekstra kurikuler di kampus mereka itu.
Kebetulan, terlihat bahwa selera mereka cukup nyambung. Mereka mendengar,
mencoba memainkan lagu-lagu pop, tapi juga menyimak rekaman-rekaman jazz. Mereka
memfokuskan diri, sengaja atau tidak, pada harmonisasi vokal. Musiknya, mereka
coba memilih nuansa jazzy, sejak awal.
Di tahun 1977 pula, Candra
juga sudah mulai semangat untuk memperkenalkan kemampuannya bermain gitar, lalu
juga kibor dan menciptakan lagu. Cerita Irwan lagi, di tahun itu pula, “Indrakesuma
Brothers Trio” yaitu Irwan-Helmie-Rizali menyanyikan sebuah nomer karya
Candra berjudul, ‘Hari Yang Indah’. Lagu tersebut masuk 10 Besar pada Festival
Lagu Pop Nasional tahun tersebut.
Chaseiro sendiri lalu dekat
dengan para juri lomba yang mereka menangkan. Atas jasa baik Benny Mustafa,
mereka dibawa ke Musica Studio di jalan Perdatam, Pancoran. Diperkenalkanlah
kepada Bapak Amin Widjaja, sang
pemilik. Pertemuan itu berakhir dengan kesepakatan Musica untuk 2 album
rekaman! Langsung makan-makan dong ya, pulang dari Perdatam? Sayang, mereka
belum bercerita soal itu…
Oh ya sebelumnya, mereka
muncul pertama kali untuk masyarakat luas lho. Pada acara Terminal Musikal di TVRI pada Malam Tahun Baru 1977 ke 1978. Rizali
ingat, mereka membawakan, ‘Balada Gertapnya Kritik’ (lalu judul lagu ini
diganti menjadi ‘Sapa Pra Bencana’, sambung Rizali), ‘Ohio’ dan ‘Burung
Kutilang’. Kayaknya, peran Elbert Missy nih, yang memungkinkan mereka mendapat
kesempatan muncul di TVRI itu.
Kalau tak salah, ya
kalau salah mohon maap aje.Terminal Musikal itu dulu sukses-ses. Karena
menampilkan pula, Warung Kopi Prambors, format terawal. Antara lain, ada
penampilan mereka seolah pembaca berita TVRI.Wuah, hacep jack, kata anak sekarang.
Nah makanya, seperti cerita Rizali lagi, merekapun
pada sekitar September 1978 kembali tampil di TVRI. Kali ini mereka diundang
untuk tampil di acara Wisata Nada.
Mereka membawakan, ‘Urang Talu’, ‘Cente Manis’, ‘Sigulempong’, ‘Apuse’,
‘Bolelebo’ dan ‘Bole Jaro’.
Yang lucu, pengakuan Edi
bahwa waktu tampil di Terminal Musikal, dirinya tidak ikut. Karena ia tengah
jalan-jalan ke Bali dan Bandung. Kaget juga ternyata Chaseiro dapat kesempatan
tampil di TVRI. Rada mendadak kali ya? Ia tahunya, pas lihat televisi abis
bangun tidur di rumah temannya di Bandung. Ealaaa!
Rizali yang masih aktif
melatih kelompok vokal SMAN XI, kemudian “menemukan” pemain bongo dan perkusi
bernama, Uce Haryono. Uce ini adalah
adik dari Edi Hudioro. Menurut Rizali, ia tahu saat itu, bahwa Uce sudah cukup
berpengalaman. Antara lain membantu Roni Harahap, pada pembuatan beberapa
proyek illustrasi film.
Uce memang saat itu juga
sudah lumayan dikenal luas, malah juga sebagai pemain drums. Ia gabung dengan
berbagai grup rock setelah itu. Dan begitulah, ketika rekaman Chaseiro album
pertama dilakukan Januari 1979, Uce diajak serta.
Pada album tersebut, juga
diselipkan lagu instrumental karya Candra, ‘Gemilang’, dimana ikut bermain
khusus pada lagu itu dua bintang tamu musisi. Pada drums, Benny Mustafa. Dan
pada bass, Ananda Soetrisno Mates. Dan
ada 12 lagu yang menjadi isi debut album mereka, Pemuda.
Seluruh 12 tracks adalah karya Candra. Dimana
dibantu penulisan liriknya oleh beberapa sahabat dekat mereka. Antara lain ada Joeliardi Soenendar untuk lagu, ‘Dara’
dan ‘Sapa Pra Bencana’. Lalu Harry Sabar,
untuk lagu, ‘Sendu’. Serta pada lagu, ‘Awal dan Akhir Hari’ ada bantuan Irvan N.
Lagu-lagu lain ada ‘Irama
Hidup’, ‘Hanya Membekas Kini’, ‘Hari yang Indah’, ‘Rasa Bimbang’, ‘Masa Ke
Masa’ dan ditutup lagu yang mereka ikut bawakan, saat menjuarai festival vokal
group yaitu, ‘Mari Wong’.
Dan tentu saja, lagu jagoan
dari waktu doeloe hingga sekarang dan kemudian, apalagi kalau bukan…
Bersatulah
semua seperti dahulu, Lihatlah kemuka, Keinginan luhur kan terjangkau semua….
Pemuda
mengapa wajahmu tersirat,
dengan
pena yang bertinta belang,
cerminan
akan tindakan perpecahan,
bersihkanlah
nodamu semua….
Masa depan yang akan tiba
Menuntut bukannya nuansa
Yang selalu menabirimu pemuda
Sebuah anthem “kepemudaan” yang lahir pada masa mahasiswa di masa 1970-an
tersebut, tengah bergejolak. Dengan adanya pelarangan para mahasiswa untuk
menceburkan diri secara aktif pada kegiatan-kegiatan politik. Lewat “program”
Normalisasi Kehidupan Kampus.
Lagu yang sebetulnya,
terkesan simple, dengan musik yang
juga “tak neko-neko”. Tapi justru karena kesederhanaan tersebutlah, lagu
tersebut mencuat, apalagi dengan tulisan lirik nan menggugah semangat itu. Maka
tak heran, lagu dan tentu saja album tersebut, seperti dirilis pada “saat yang
tepat”. Alhasil, lumayan laris manis lah jadinya!
Tampilan ke 7 pemuda dari
Universitas Indonesia tersebut, pada sampul muka berwarna dasar biru adalah
khas 1970-an. Rambutnya agak panjang, sebenarnya ga gondrong-gondrong amat kok,
dan ini die…celana cutbray, mek!
Lagu tersebut, ‘Pemuda’,
masuk menjadi nomer satu di berbagai charts
stasiun radio Nusantara. Antara lain juga menembus tangga pertama, di Tangga
Lagu harian Kompas yang disusun wartawan, Efix
Mulyadi. Pemuda itupun menjadi berita lumayan besar.
Pada waktu berikutnya, masih
di 1979 pula, mereka kemudian menghasilkan lagi album rekaman berikutnya. Album
kedua tersebut, berjudul, Bila.
Kalau Pemuda dirilis Maret 1979, maka Bila dirilis November 1979. Dan seperti
pada album perdana, Chaseiro didukung beberapa musisi selain Uce Haryono juga
perkusionis, Iwang Gumiwang. Selain
itu ada anak muda, dari SMAN XI pula, pemain klarinet, Rezky Ichwan.
Berisikan 12 tracks pula.
Yaitu ‘Ku Lama Menanti’ (Candra/Omen), ‘Pengungkapan’ (Candra/Harry Sabar), ‘Sendiri
(Candra), ‘Seandainya Sederhana’ (Candra/Helmie), ‘Kemanusiaan’ (Taufik Darusman,
Candra, Aswin) lalu, ‘Di Balik Senyum’ (Omen). Selanjutnya adalah, ‘Akhir
Tujuan’ (Rizali), ‘Tempat Berpijak’ (Candra), ‘Wangi’ (Candra) sebuah lagu instrumental.
Lantas ada, ‘Tumpuan’ (Candra/Denny Prasetyo/Omen), ‘Nada-Nada Gembira
(Candra/Rizali/Helmie/Omen) dan ‘Sampai Jumpa Lagi’ (Candra/Rizali/Helmie).
Cover albumnya, dengan font khusus nih, terutama untuk nama
Chaseiro-nya. Yang lantas menjadi trademark
mereka. Tampilan foto, nah kalau yang ini, anak-anak kuliahan banget. Segar,
sehat dan…masih slim lho! Eh iya,
pada album pertama juga tampilannya anak-anak kuliahan juga sih…
Pada masa itu, di saat masih
ramainya lomba-lomba grup vokal, lagu-lagu Chaseiro lantas menjadi lagu-lagu
favorit untuk dibawakan peserta. Mereka memang kian popular pada jelang 1980-an
tersebut.
Terusin yeeeee.... Jadi CHASEIRO itu kan
“kakak-kakak terkasih”, Candra N. Darusman, Helmie Indrakesuma, Aswin Sastrowardoyo, Edi Hudioro, Irwan Indrakesuma, Rizali
Indrakesuma dan Omen Norman
Sonisontani. Tujuh orang pas. Vokal, tapi ada juga yang bermain piano atau
kibor, gitar dan juga flute.
Nah kita kembali mendengarkan cerita mereka saat mereka
menjalani proses rekaman pertama dulu. Yak betul, saat proses produksi album
pertama mereka itu lho, yang ‘Pemuda’ itu. Yang diingat oleh Irwan, kalau tak
salah rekaman dilakukan Januari sampai Februari 1979.
Pemuda, kemana langkahmu menuju
Apa yang membuat engkau
ragu
Tujuan sejati menunggumu
sudah
Tetaplah pada pendirian
semula
Dimana artinya berjuang
Tanpa sesuatu pengorbanan
Kemana arti rasa satu itu.....
Yang Candra ingat adalah, mungkin karena “anak baru”,
maka pihak Musica “berbaik hati” menempatkan jam rekaman mereka di...”jam
kecil”. Alias, tengah malam sampai pagi! Cakep dong? Abis rekaman mereka
langsung bergegas kuliah. Kuliah jangan sampai mengganggu musik kan?
Eh kebolak dong. Musik jalan, kuliah ga boleh terganggu.
Rasanya sebaiknya pakailah “ter” daripada “me”. Setuju, kakak-kakak semua? Dan
menurut Candra, kalau sudah begitu, mereka di kelasnya masing-masing mencari
bangku paling belakang. Dengan style
duduk khas, “silau matahari”! Telapak tangan di jidat, jadi duduk di kelas
sambil...tidur.
Urusan ransum, nah biasanya, kenang Candra, kalau tidak
dia atau Omen atau Helmie. Mereka bergantian bertugas membeli martabak telur,
agar pada jam 3-an ketika mereka break
rekaman, bisa disantap bareng. Nikmatnya! Menunya itu terus? Kata mereka sih,
mau cari makanan apa jam segitu?
Atau sesekali, pihak Musica berbaik hati dengan
menyediakan jeruk sekeranjang, yang sudah dipotong-potong. Biasanya sudah
diletakkan di dekat pintu masuk ke dalam studio, pas di bawah foto Guru Baba
Nanak, seorang tokoh dari sebuah aliran kepercayaan di India. Kita yang mudaan,
toh masih kuat dan bersemangat, ya mengalah dengan yang senior-seniorlah,
menerima jam rekaman terakhir itu, terang Candra.
Kalau yang Irwan ingat, jadwal rekaman mereka berdekatan
dengan The Rollies saat itu. Terutama saat album pertama. Sehingga mereka jadi
sering nongkrong bareng, biasalah becanda-becindi gitulah. “Dan Candra waktu
itu lagi seneng juga main-mainin harpischord,
clavinet dan yang sejenisnya,” lanjut
Irwan.
Yang diingat juga oleh Irwan dan Rizali, mereka berdua
sering rada terganggu saat rekaman suara, karena sering mendapat telephone dari
rumah. “Orang tua minta buruan pulang, rumah di Bintaro lagi kebanjiran,”
cerita Irwan. Repot juga ya? Kebayang dah....
Sementara itu, ini cerita dari Irwan, sesekali Oom Amin Wijaya Musica menengok mereka
rekaman. Dan anak-anak Chaseiro biasanya jadi pusing kalau dengar oom Amin complain karena mereka membuat musik
yang “ga gitu laku”. Aaaah ini mah musik
jazz iniiii....ay bingung nih...gimana bisa lakuuuu?
Kalau sudah begitu, tambah Aswin, kita semua biasanya
cuma mesem-mesem. Mungkin, mereka sebenarnya juga sama-sama pusing seperti
almarhum oom Amin itu. Cuma beda-beda tipis kali pusingnya. Mereka emang maunya
bikin musik kayak gitu.
Ajaibnya, walaupun pada akhirnya memang sedikit terasa
bahwa Chaseiro ternyata mahasiswa-mahasiswa nan bijaksana, mungkin juga peramah dan
sopan. Selikidi eh selidiki dikit aja musik mereka, bahwa terasa kok mereka
kompromistis pada musik. Terutama di album kedua dan ketiga.
Mereka ternyata mendengar dan memahami akan kemauan big-boss mereka. Namun, memang karakter
musik mereka sudah cukup menempel lekat. Artinya, dengan musik yang katanya,
“ga gitu laku”, toh mereka tetap mendapatkan respon positif.
Dikarenakan, memang pada masa itu, mereka “pemain
tunggal”. Dalam bentuk tampilan dan termasuk musiknya. Memang mulai muncul
nama-nama lain sekitar mereka, yang juga direspon positif oleh sebagian
fans-nya Chaseiro. Musiknya masih pada satu “kawasan”lah di era itu.
Chris Kayhatu dan kawan-kawan, yang disusul dengan
pemunculan Utha Likumahuwa dan Jopie Latul misalnya, termasuk Jackie. Lalu juga sebut satu nama
fenomenal pada jaman itu, Fariz RM!
Tapi mereka kan bentuknya band atau solo
performer. Chaseiro itu, rombongan mek!
Grup vokal.
Termasuk kemudian nama Dian Pramana Poetra. Ini sebenarnya mantan anggota Bourest VG, yang
kalau baca dari atas tulisan ini ya, pasti tahu siapa Bourest itu. Itu nama
vocal-group anak-anak Tebet. Nama grup mereka. Eh eh bukan, bukan Burespang, beda dong!!! Burespang apaan?
Di awal 1980-an, mereka mulai disaingi beberapa kelompok
vokal lain, salah satunya adalah Golden
Singers. Tapi Golden Singers berkiprah lewat layar kaca, antara lain muncul
di tayangan program Orkes Chandra Kirana.
Chaseiro tetap meluncur “sendiri”, dengan bentuk kelompok vokal pria pada saat
itu. Oh ya Golden Singers itu dari Bandung, cikalbakalnya Elfa’s Singers.
Hasil kesuksesan dua album pertama, menurut Omen adalah,
mereka mulai terbiasa menghadapi datangnya surat dalam karung. Surat-surat dan
kartu pos dari para penggemar mereka dari seluruh Nusantara! Kata Omen, rada
berat membalasnya. Rata-rata minta tanda tangan dan foto.
Merekapun rajin mencetak foto banyak-banyak, lalu rajin
membalas surat-surat dan kartu pos tersebut. Maklumlah path, instagram, facebook, twitter bahkan friendster
sekalipun kan belum ada saat itu. Kata Edi,
berkarung-karung surat dan kartu pos itu datang 90% untuk Candra dan Omen. Nah
sisa 5%-nya baru untuk kita berlima!
Memang, Omen dan Candra paling menonjol kayaknya. Tanpa
dirancang, tidak pakai setting-an.
Kan belum ada juga infotainment waktu
itu. Omen, dikenal paling muda dan Candra dikenal paling “imut”. Omen, kalau
ingat, pernah populer saat tampil dengan OM
PSP, dimana disitu ada juga Rizali. Sesama teman-teman di UI juga adanya.
Cuma musiknya rada ekstrim aje,
dangdut euy! Omen disebut, paling
kecil, masih sekolah tapi sudah nonton Private Teacher 3 kali, dalam
penampilan mereka di acara perayaan Tahun Baru-an di TVRI. Inget ga?
Intermezzo nih, Private Teacher itu kan film rada
fenomenal pada masa itu, film esek-esek
70-an. Jadul lah, pastinya. Bintangnya yang kesohor adalah aktris super-hot, pada masa itu, Edwige Fenech. Lupa? Yang cowok pasti
ga lupa dong. Sama ingetnya kan dengan Nick Carter dan yang lebih hardcore,
Valentino atau Idrus.....
Oh ya, kembali ke album pertama dulu deh. Ini cerita
Irwan, bahwa Candra mencoba bereksperimen dengan memainkan dawai-dawai piano
lho, pada lagu, ‘Sendu’. Dipikirnye
Harpa kaleee? Dan pada lagu itu,
Candra bawainnya hanya 99,5% karena kata dan nada terakhir lagu itu,
“dakuuu...senduuuu” khusus dinyanyiin Omen. Soalnya falsetto Candra ga bisa nyampe!
Kemudian, Rizali sebenarnya juga ikut mengisi kibor pada
beberapa part,
di lagu, ‘Awal dan Akhir
Hari’ serta ‘Dara’. Saat Candra kayaknya rada jenuh mengisi synthesizer saat itu. Dan dengar pula riff bass Rizali, di lagu ‘Pemuda’.
“Waktu itu tuh, isian bass Rizali di akhir lagu Pemuda
itu suka diketawain kita semua. Aneh aja. Tapi eh ga papa deh, ternyata malah
jadi kayak signature tune kan. Khas
gitu. Rizali punye gaye... Hahahaha,” sambung Irwan.
Dan mentang-mentang juga Rizali itu main dengan PSP juga,
eh dia juga main mandolin segala, denger
aja lagu, ‘Hanya Membekas Kini’. Masih cerita Irwan lagi. Tapi untung,
anak-anak sih setuja-setuju saja.... Mungkin kalau ga, Rizali pilih hanya main
di PSP aja gitu? Sayang, belum ada jawaban konkrit dari Rizali untuk pertanyaan
itu.
Dan ini masih tambahan dari Irwan, iya nih Irwan
ingetannya boljug ya. Siul di lagu, ‘Irama Hidup’ suara siulan Rizali.
Alhamdulillah lancar, padahal waktu itu, Rizali kata Irwan lagi kumat bengeknya
lho! Hebat juga!
Katakanlah kemana hilangnya rasa bahagia
yang pernah menggelora dalam
hayatku
kusayangi lembutnya
sentuhan semesra senyuman
pancaran ronanya
hanya membekas kini
(‘Hanya
Membekas Kini’, Candra Darusman dan Aswin Sastrowardoyo)
Oh ya perihal logo khas Chaseiro, yang mulai dimunculkan
di sampul album kedua, dan seterusnya dipakai, menurut Candra Darusman adalah
karya dari Ir. Iman Sudjudi, jebolan
disain grafis ITB. Kang Cecep,
begitu dia biasa dipanggil, sekarang sudah jadi guru besar.
Candra ingat, saat itu juga Chaseiro ada yang menyebutnya
sebagai grup pop yang bisa diterima kalangan jazz, tapi juga dianggap grup jazz
yang diterima oleh kalangan pop. Masalahnya, Candra lupa, siapa yang pernah
menyebut hal itu.... Faktor “u” dah itu...
Hehehehe.
Ditambahkan oleh Aswin, kembali ke masa awal dari
Chaseiro. Kerjasama antara Chaseiro dan Bens
Leo berlanjut kemudian. Mereka pernah punya program siaran bareng yang
diberi nama BBSO alias Becanda Bisa Seriuspun Ok. Kalau tak
salah, program itu memang sempat populer juga di kalangan anak muda Jakarta di
akhir 1970-an.
Selanjutnya, dari cerita “boyband” 1970-an akhir ini,
adalah masuk di era berikutnya. Selepas mereka merilis album pertama dan kedua mereka.
Setelah itu, bagaimanakah mereka? Etapi gini, album ketiga sama keempatnya gimana?
Nyelip dulu deh ini. Album ketiga mereka, judulnya, 3. Rilis 1981. Isinya ada 11 lagu.
Dengan musik dibantu, nah ini banyak nih yang bantuin. Antara lain ada Tito Soemarsono, bassis, yang main
nyaris di semua lagu. Dokter Iwang teteup
di perkusi. Selain barisan tiup, ini semua pemain langganan yang mengisi horn-section di banyak rekaman diera
itu.
Didit
Maruto, Wahid, Marwan (trumpet),
Lunggo dan Narso (trombone), juga Benny
Likumahuwa (solo trombone di lagu, ‘Perangai Diri’). Selain itu, dilibatkan
juga barisan strings, yang juga
langganan banyak album rekaman di masa itu. Dengan Yap Che Kian, Suryati
Supilin, Cho Su Yin, Edo Braseros (violin). Sunardi Suwandi (viola), Zulkifli (cello).
Ada nama Harry
Sabar juga lagi, kali ini menulis lirik, ‘Untukmu’. Eddy D. Iskandar,novelis ngetop di jaman itu, yang menulis lirik
lagu, ‘Lautan Kenangan’. Totok Soebroto
membantu lirik untuk, ‘Perangai Diri’ dan ‘Suram’. Serta Guruh Soekarno Putra yang menuliskan lirik lagu, ‘Rio de Janeiro’
Lagu-lagu selengkapnya adalah, ‘Rio de Janeiro’, sebagai pembuka.
‘Perangai Diri’, ‘Untukmu’, ‘Lautan Kenangan’, ‘Calypso’. Lainnya ada, ‘Dunia
Di Batas Senja’, ‘Daffy’, ‘Suram’, ‘Di Balik Senyuman’, ‘Cita Cita Pemuda’ dan ‘Semangat
Jiwa Muda’.
Lalu diikuti album berikutnya, yang keempat. Ceria, judulnya. ‘Ceria’, ‘Pesan, ‘Karmen’,
‘Sesaat Berdua’, Siapa Dia’, Rosemarie’, adalah isi dari album yang covernya
mereka berseragam olahraga! Album dalam rangka Pekan Olahraga Nasional atau
PON? Atau Chaseiro ikut di PON itu?
Lagu lainnya ada, ‘Sentuhan’, ‘Sebuah Ciptaan’, ‘Suasana’
(instrumental), ‘Shy’ dan ‘Waktu Kan Berganti’. Oh ya, di album ini, ada nama Pancasilawan yang menulis lirik untuk
lagu, ‘Pesan’. Serta Emma Madjid,
yang membantu penulisan lirik lagu, ‘Rosemarie’. Kok ga ada lagu yang bertema sport?
Dari Kami,
Berawal dari keinginan yang
tak pernah terwujud yakni menerbitkan kembali lagu-lagu kami tahun 1978-1982
maka album ini akhirnya diterbitkan atas desakan para 'kawan-kawan setia'.
Sebagai cinderamata, tak lupa kami selipkan sebuah lagu baru sebagai ungkapan
kami atas keadaan negeri saat ini. Kami percaya masih banyak manusia yang baik
di bumi tercinta kita. Seni (Selamatkan Negeri Ini) niscaya turut menyelamatkan
keadaan ini.
Teriring pula ucapan terima
kasih kepada Pendulum Musik yang mendorong kami untuk mewujudkan project album
kompilasi ini dan ucapan bangga kepada arranger berbakat Andi Rianto sebagai
pertanda terjadinya regenerasi dalam dunia permusikan Indonesia. Terima kasih
juga kami ucapkan kepada mitra kami Musica Studio's.
Chaseiro (sejak 1978)
Chaseiro (sejak 1978)
Maret 2001
Begitu
bunyi kalimat pembuka di sampul album Persembahan. Album tersebut dirilis pada
Maret 2001. Berisi 22 lagu, yang kesemuanya dari keempat album mereka.
Ok sepanjang perjalanan mereka, ada beberapa hal yang
sangat khas di dalam “tubuh” mereka. Ini
kita bukain, sisi-sisi lainnya Chaseiro ya....
Ini diungkapkan oleh Candra, dan diiyakan pula oleh Aswin.
Bahwa, mereka itu setiap bertemu pasti ada saja kelucuan. Semua tertawa lebar.
Ngakak bahkan. Semua Chaseiro suka ngelawak, terutama Omen dan Helmie, begitu
cerita Candra.
Tapi begini, lanjut Candra, “Kelucuan-kelucuan itu hanya
untuk kami saja ya, belum tentu orang-orang lain paham. Mereka pasti bingung,
kita-kita ini lagi ketawain apa sih. Bertujuh ini becanda melulu, dan mereka
akan bingung sendiri ga mengerti apa yang kita sedang bicarakan. Dan yang
paling ekspresif kalau ngelawak itu Omen, dia punya bahasa tubuh tersendiri.”
Soal ngelawak, Helmie emang lumayan kondang di kalangan
pemusik lain, bahkan di luar Chaseiro. Ya kan, terutama saat ia berkarir di
Hydro dan lingkungan café. Celetukan dan jokes
segar, kadang konyol dengan ekspresi muka khas, seringkali membuat teman-teman
terpingkal-pingkal. Itu dilakukan, bukan hanya di belakang panggung, sesekali
“kelepasan” juga di atas panggung. Dan penonton geeerrr dibuatnya!
Satu hal lain, ini juga ciri khas mereka bertujuh. Omen,
Edi, Rizali dan Helmie itu memiliki vocabulary
bahasa tersendiri. Yang lantas akhirnya mereka semua pahami dan mengerti, tapi
“penciptanya” ya mereka berempat itu. Nyambung saja mereka bicara, dan asli
bakal membuat orang-orang lain bakal bingung, mereka lagi omong apaan. Jangan-jangan malah, ini orang
lagi ngobrol pake bahasa apaan sih?
Awalnya, bahasa prokem atau bahasa gaul, dulu kan sempat
dikenal luas sebagai bahasa pergaulan “kawula muda Ibukota” tuh. Yah seputaran
era akhir 1970-an lah gitu. Nah bahasa preman yang lantas disebut prokem itu,
yang dasarnya kayak membalik-balikkan bahasa itu, lantas dibalik-balikkin lagi
oleh Chaseiro. Bingung? Pegangan buru-buru, sebelum bisnya ngebut…!
Ya pasti bingung, bahasa prokem dibalik-balikkin lagi
pasti bingung. Kata Candra, ada rumusnya tersendiri, nah silahkan Tanya Rizali
deh soal rumus bahasa gaul Chaseiro itu. Malah belakangan, sampai bahasa
Inggris segala juga, mereka “prokemin”! Apa ga bikin orang makin bingung
jadinya? Buat apaan sih? Mereka semua tertawa, biar mereka bisa ngomongin
orang-orang di depan orangnya sendiri? Jelas, mereka bakalan tambah ngakak!
Kubri wemri, ini artinya “bukan main”. Welengangak artinya, ngelawak. Ya model
begitulah bahasa gaul internal atawa bahasa sandi khas Chaseiro. Yang hebatnya,
seringkali itu bisa berubah lagi, misalnya ya “dibelokkin” lagi. Hadeuh, nyang kemaren aje kagak kita ngatri,
apelagi nyang baruan? Mungkin baik dan berguna untuk dipikirkan, membuatkan
semacam buku mengenal lebih jauh Chaseiro dan Welengangak, Tata Bahasa Dunia
Khas Chaseiro, ditulis oleh Rizali Indrakesuma….
Siapa tahu laku
dan lantas menjadi bahasa gaul “baru” buat masyarakat luas kan? Apalagi bisa
dipakai abege-abege masa kini? Ahay,
boleh dong. Tapi mungkin mereka jadi kesulitan, susah buat berbahasa sandi
antar mereka sendiri dong? Tapi ga ah, mereka pasti bisa “menciptakan” lagi
bahasa-bahasa yang lebih “kebolak” lagi!
Kemudian ini “curhat”an meneer Rizali Indrakesuma. Yang mengaku, bahwa ketujuh mereka itu
lama-kelamaan musti bisa menerima dengan tangan terbuka. Kalau nama mereka
sering banget salah diucapkan, misal Chesairo,
Chaisero atau Caserio. Ya yang sebangsa begitulah. Pada awalnya, menurut Rizali,
mereka sering jadi gatal-gatal dalam kupingnya, mendengar mispronunciation orang menyebut mereka.
Memangnya susah ya melafalkan dengan benar dan mulus, Chaseiro?
Rizali heran. Mungkin banyak fansnya pasti ga merasakan keheranan yang sama.
Bisa jadi malah, penggemar fanatik mereka akan heran, kenapa Rizali heran untuk
hal itu lalu merekapun heran kenapa teman-teman-teman Chaseiro lain juga ikut
heran? Tapi kalaupun ada anggota Chaseiro yang tidak merasa heran? Masak masih
membuat orang lain, heran?
Ya begitu deh, mungkin memang sejatinya penyebutan
Chaseiro itu adalah “tantangan” unik buat orang-orang yang baru “mengenal”
mereka. Semisal MC atau pembawa acara, ataupun apalagi, announcer radio. Tantangannya kalau terburu-buru menyebut, bisa
jadi slip of tongue. Karena slip, ya
jadi salah terdengar. Harus kenal betul dengan mereka, jadi akan aman menyebut
nama mereka dengan benar!
Buat Aswin, begitulah adanya Chaseiro. Karena humor,
musik dan persahabatan itulah, membuat mereka tetap bertahan sampai 35 tahun-an
usia mereka sebagai grup musik. Bahkan mereka tak sekadar bersahabat, mereka
karena perkawinan malah hubungannya menjadi lebih dekat, menjadi keluarga. Proses
itu berlangsung pelan dan seringkali tak terduga, cerita Aswin lagi.
Dan kembali ke pentas. Selepas merilis album kembali di
2001 tersebut, mereka mulai sering bersama-sama lagi. Walau tak lengkap utuh
bertujuh. Tapi mayoritas, bisa hadir dan menemui para penggemarnya. Mereka
tampil di Hore-Hore Café Kemang, Goethe Haus, Barcode Café Kemang, Highscope
Blackbox Theatre.
Secara berkala, mereka menggelar konser yang formatnya
lebih menjadi gathering para
penggemar setia mereka. Mengumpulkan lagi, menyapa lagi para
penggemar-penggemar lama mereka yang sebagian malah sudah menjadi sangat dekat
dengan mereka.
Selain itu, mereka juga termasuk rajin tampil di beberapa
jazz festival seperti Java Jazz Festival lalu sampai Ngayogjazz di Jogja.
Festival di Bandung dan tampil di kota-kota lain. Mereka juga tetap intens
bertemu dan menyempatkan diri untuk berlatih musik di studio.
Pada akhir April 2011, Chaseiro merilis album Retro. Pada sebuah situs berita online,
Candra mengatakan, “Retro bukan sekadar menjadi judul album Chaseiro semata,
karena sentuhan ala retro juga ikut sampai ke segala hal luar dalam yang
sajikan. "Kalau tidak salah, dalam dunia fashion itu retro bisa diartikan
sebagai gaya lama yang muncul kembali. Jadi kami bawakan lagu lama dengan
tekstur baru.”
Menurut Candra lagi, dalam album Retro itu juga
terkandung nilai-nilai lama yang perlu digali kembali. Diingatkan untuk menjadi
hal yang diperhatikan lagi, begitulah kira-kira. Sehingga, lanjut Candra, tak
hanya retro pada musiknya semata. Album itu memuat 9 lagu dan mereka
memperkenalkan, ‘Salah Cinta’ sebagai lagu mereka yang baru.
Kurasa tiada lagi harapan
Bila waktu
terbuang
Hanya dengan bernostalgi ...
‘Ceria’.
Di sela-sela aktifitas manggung mereka, Chaseiro musti
mengalami musibah besar. Drummer mereka, bernama lengkap Gusti Udwin Haryono, pergi untuk selama-lamanya. Uce Haryono, yang awalnya adalah additional musician namun belakangan
menjadi drummer tetap yang selalu bermain bersama mereka, meninggal dunia pada
Rabu, 4 Mei 2011 malam.
Uce pergi sebagai seorang musisi sejati. Ia meninggal
saat tengah tampil bersama grup Alligator, di sebuah kafe di kawasan Kemang.
Sebuah kehilangan yang besar tentu saja bagi Chaseiro, yang sudah menganggap
Uce adalah bagian dari mereka juga. Karena keterlibatan Uce yang telah sejak
awal mereka rekaman.
Kepergian adik dari Edi Hudioro ini membuat Chaseiro
akhirnya mencari-cari drummer pengganti. Belakangan, Chaseiro kerapkali dibantu
drummer muda perempuan, Aisyah.
Selain itu, Chaseiro juga pernah didukung pula oleh drummer kawakan lainnya, Budhy Haryono. Belakangan, diajak serta
pula, kibordis, Krisna Prameswara. Serta
Ilyas
Muhadji (bass) dan Noldy Benyamin (gitar).
Lalu pada setahun kemudian, tepatnya pada Minggu 8 Juli
2012, bassis pendukung mereka, Ade
Hamzah meninggal dunia. Ade meninggal, setelah malam sebelumnya mendukung
Chaseiro di sebuah pentas musik di Bandung. Kembali Chaseiro kehilangan seorang
musisi yang menjadi sahabat dekat mereka, terutama sejak pemunculan kembali
mereka di era 2000-an.
Ade Hamzah, yang adalah bassis Hydro, grup dimana Helmie
Indrakesuma juga ikut terlibat di dalamnya, rajin membantu Chaseiro. Peran
bassis ini lumayan besar, terutama ikut sibuk menyiapkan setiap pentas
Chaseiro. Mulai dari latihan, aransemen sampai mencarikan musisi pendukung bila
diperlukan.
Selain adanya Aisyah, muncul juga pemain perkusi, Disto yang kerapkali mendukung
pemunculan Chaseiro. Disto disertakan, karena kesibukan perkusionis mereka, dr.Iwang Gumiwang yang seringkali sibuk
sebagai dokter ahli jantung.
Dan pada Minggu 10 Februari 2013, Helmie Elzar
Indrakesuma pergi untuk selama-lamanya. Helmie, seperti juga almarhum Uce dan
almarhum Ade, meninggal karena serangan jantung. Tentu saja, ini merupakan
kehilangan terbesar bagi kelompok Chaseiro.
Apalagi selama ini, Helmie bertindak sebagai salah satu
penyanyi terdepan mereka. Suara khas Helmie memang lantas menjadi salah satu
identitas khas Chaseiro. Sebuah kehilangan yang sangat berarti, apalagi tawa
dan canda Helmie yang selalu hadir di antara mereka. Dan tak hanya bagi
Chaseiro saja, penggemar dekat merekapun ikut merasakan kehilangan.
Dan saat itu terlihat, banyak penggemar mereka, masih
setia menggemari penampilan, suara dan lagu-lagu dari ketujuh Chaseiro itu. Dan
kolaborasi Chaseiro dengan para penyanyi yang relatif muda, seperti memberikan
kesegaran baru bagi penampilan mereka. Keren, suasananya asyik dan menyenangkan
sebagai tontonan.
Saat ini, keenam Chaseiro tengah menyiapkan album terbaru
mereka. Album tersebut, juga menampilkan beberapa kolaborasi dengan para
penyanyi dan grup muda. Sebuah upaya untuk menghidupkan Chaseiro, ke generasi
“lebih muda-an” yang perlu dipuji. Dan hasilnya bukan lantas seperti memaksakan
kolaborasi.
Materi album ini kabarnya diinginkan dapat dirilis pada
pertengahan tahun 2014 ini. Dan akan dilanjutkan lagi dengan sebuah konser
lain, di tahun 2014 ini juga. Album telah rampung pengerjaan rekamannya,
tinggal masuk finishing tahap akhir
saja. Terutama pada desain dan artworks sampul album. Untuk rekamannya, mereka
dibantu pula oleh musisi lain, Ari
Darmawan, yang adalah mantan drummer kelompok Halmahera itu.
Menurut Candra dan Omen, selain album baru tersebut
nanti, juga direncanakan mereka melansir buku yang berisikan Kumpulan Kisah dan
Lagu-lagu Chaseiro. Semoga semuanya bisa selesai dan dapat dinikmati khalayak
pada tahun ini juga.
Menarik tentu saja, menantikan album terbaru mereka.
Apalagi dengan materi baru, dengan music yang juga baru. Membuktikan bahwa
mereka tetap bersemangat dan aktif menggali kreatifitasnya. Walau kesemua
Chaseiro tersisa kelihatannya sih makin sibuk saja dengan pekerjaan dan
dunianya masing-masing.
Candra Darusman, kini berdomisili di Singapura dan tetap
menangani masalah Hak Cipta. Rizali Indrakesuma, kini menjadi Duta Besar di
India. Sementara Aswin Sastrowardoyo menjadi dokter ahli kandungan. Irwan
Indrakesuma sibuk di Yayasan Karya Cipta. Omen dan Edi tak kalah sibuk dengan
bisnisnya masing-masing. Hebat kan kalau mereka masih tetap setia bermusik.
Begitulah akhir cerita dari Chaseiro. Terima kasih banyak bagi yang mau membaca cerita cukup
panjang ini. Dan terima kasih banyak buat keenam
kakak-kakak Chaseiro yang sudah mau membagi sedikit cerita-cerita menarik
mereka.
Sukses selalu untuk Chaseiro! / *
Dan eh, tulisan di atas ini dibuat memang pada 2014. Nah,
saya mau tambahin dikit, di update-lah
ya. Pada Oktober 2014, Retro 2
dirilis. Ada bintang tamu, RAN dan Marcell , selain Tompi, Ucie Nurul pada album tersebut. Ikut mendukung bintang tamu musisi seperti, Riza Arshad, Tohpati, Jeffrey Tahalele Mereka
membagikan hasil profit dari penjualan album itu untuk Yayasan Kanker
Indonesia, terutama untuk penderita kanker serviks....
No comments:
Post a Comment