Wednesday, February 24, 2016

CHASEIRO, Semangat Jiwa Muda yang Terus Muda



Lupakan semua yang lalu (indahkanlah kenangan)…  Sambutlah hari di muka yang cerah ciptakan suasana semangat manusia jiwa muda… ‘Semangat Jiwa Muda’, Chaseiro – Vol. 3, rilis 1981

Semangat jiwa muda merekalah yang kayaknya membuat mereka tetap eksis. Bisa dibilang, ga lekang dimakan jaman! Walau sekilas, mereka hanya menghadirkan 4 album rekaman, dalam kurun waktu 1979 sampai 1982. Tapi toh, mereka tetap hadir terus, bahkan sampai hari ini.
Album rekaman “asli”, memang tercatat hanya ada 4 album. Tapi mereka kemudian merilis lagi album, Persembahan di tahun 2001. Dilanjutkan dengan Retro, di tahun 2011. Kini, mereka sudah merampungkan album baru mereka, yang rekamannya dibantu sepenuhnya oleh mantan drummer Halmahera, Ari Darmawan. Ari Darmawan, belakangan memang seringkali menjadi produser rekaman, selain seorang jingle-maker.
Mereka telah mulai berdiri sejak 1978. So, sebelumnya…duduk-duduk atau rebahan? Maksudnya, mereka mulai kumpul bareng gitu looh! Lama juga yaaa, dan berarti usia mereka sudah pantas disebut…banyak juga lhooow! Hitung deh, 36 tahun! Dan catet baik-baik, mereka bisa dibilang boyband generasi terawal, salah satu pelopor terdepan boyband Indonesia!
Boyband, ah c’mon! Mereka tak bisa lenggak-lenggok kan? Bukan menyanyi, buka-buka mulut, gerak badan sepanjang konser. Ya, ga tau menyanyi beneran apa…minus one! Mereka ini beneran menyanyi, bagi-bagi suara yang kemudian memang jadinya jelas, bagi-bagi duit. Kompak juga!
Kalau ga kompak, mana mungkin lewat sampai 30-an tahun gini! Dan kalau ga kompak, gimana mungkin mereka mau cerita banyak juga, soal perjalanan awal mereka ke saya? Eh iya ini, catetan “sedikit” perjalanan mereka, yang lantas sempat saya muat di NewsMusik, tahun 2015.
Inilah mereka, Chasiero, eh .. CHASEIRO!
Saya biasa memanggil mereka, kakak-kakak Nchas. Kakak, sumpeee looo? Lha iyalah, mereka bayangin udah ngeband mulai 1970-an kaleee. Tahun segitu, saya belom lahir. Masak? Ah sudahlah, pokoknya, hitungan tahun, mereka sudah cari-cari cewek, saya mah masih sibuk belajar….aljabar!
Eh boyband? Ga tepat begitu, sebenarnya mereka itu lahir pada jaman folksong. Iya di saat itu dikenal namanya folksong itu, vocal group gitulah membawakan folksong. Tau ga, bahkan di jaman itu sampai ada album-album kompilasi folksong. Iya namanya folksong! Padahal, harusnya bukan pakai istilah itu. Folksong, sebenarnya bukan semata-mata, sekelompok orang menyanyi, dengan iringan gitaran….
Ok, forget it! Kita bahas itu nanti deh. Mereka tampil di sebuah festival vocal group, yang digelar oleh Radio Amigos, Jakarta Selatan. Acara digelar di Bulungan, begitu ceritanya. Menurut Rizali, salah satu dari mereka, yang ikut festival itu ada 105 grup! Edan!!! Banyak banget. Kan lagi mewabah soalnya saat itu.
105 grup kita simpan bentar boleh? Chaseiro itu apa? Sebenarnya gini, nanti kita akan buka. Ikuti aja dulu cerita ini. Memang harus sabar, ikuti dengan seksama dan telitilah sebelum membeli…

Well, ketika mendaftar itulah cerita mereka, bingung juga apa namanya? Helmie Indrakesuma lantas kayak “nge-cak” nama di selembar kertas. Ketemulah dengan berbagai nama, lalu berujung pada menciptakan sebuah nama dari nama-nama mereka. Kan waktu itu, Candra Darusman, Helmie Indrakesuma, Aswin Sastrowardoyo, Edwin Hudioro, Rizali Indrakesuma dan Omen Norman Sonisontani. Ketemu Chasero.
Itulah cerita terawal, ini versi…hmmm, saya lupa. Bentar, lihat catatan dulu. Ini cerita Irwan, sama Candra, juga Rizali. Omen nyampur juga, Edi juga turun tangan, Aswin ga mau kalah. Lha, semuanya dong? Pan kumpak? Bukan kompak lagi, “tingkatan”nya kumpak, selevel lebih tinggi dari “kompak”. Kata siapa?
Kata Edwin Hudioro, biasa dipanggil Edi, belakangan pada setahun kemudian baru masuklah Irwan Indrakesuma. Jadilah Chaseiro itu. Jelas dong. Simple but perfect! Enak pula ya diomonginnya kan? Mereka emang begitu, dari awalnya adalah kelompok folksong, yang menurut Irwan istilah itu berkembanglah menjadi vocal group.
So, kata kak Irwan lagi. Maafkeun, saya sampai lupa memanggil mereka dengan sebutan, “kak”. Maaf. Takut pamali, itu suami bumali, bumali galak dan cerewet! Jiaaah! Ya terus, kak Irwan bilang bahwa, kak Rizali, kak Omen, Kak Aswin dan kak Helmie beserta dirinya, sudah berteman baik sejak masa SMA. Mereka itu pelajar SMA Negeri XI di Bulungan.
Jangan coba-coba cari sekolah itu lagi di kawasan Bulungan, Jakarta Selatan sono! SMAN XI sudah difusi dengan SMAN IX menjadi SMAN 70. Emang cuma parpol aja yang bisa di-fusi-kan? Nah mereka pada masa SMA tersebut, dari 1974, dan Irwan awalnya masih SMP, sudah acapkali mengikuti perlombaan grup vokal tersebut.
Bersama teman-teman yang lain, grup vokal mereka seringkali jadi juara juga.
Lomba tersebut biasanya diadakan di Gelanggang Remaja Bulungan, diikuti sekolahan SMP atau SMA dan remaja umum, seluruh kota DKI Jaya ini. Pada lomba tersebut, biasanya mereka juga diharuskan membawakan lagu-lagu daerah, yang diaransemen kembali.
Menurut kak Omen, pada dasarnya begitulah cerita terawal. Bahwasanya, yang namanya Rizali, Helmie dan Irwan, sudah bernyanyi bersama sejak…masa kecil! Lha, mereka kan memang bersaudara, so itu faam mereka kan sama kwak. Hehehe, nyelip bahasa Manado, karena ibu mereka memang dari sono. Dari Kawanua, do e.
Rizali, “kakak tertua”, lulus tahun 1975 dari SMAN XI itu. Tapi tetap kumpul nge-grup dengan mereka terus. Mereka pada waktu itu, mulai “jahil” dengan mengaransemen lagu-lagu daerah dengan nuansa ke-jazz-an. Menurut Irwan lagi, dan didukung kak Candra, salah satu grup vokal mereka namanya, Trenggiling! Ini kelompok vokal lumayan fenomenal di jaman itu, begitu cerita Irwan lagi.
Ya iyaaaalah kak, namenye aje udah ekstrim geto! Trenggiling! Ga ada nama lain yang lebih imut dan lebih manis? Tapi walau cukup dikenal luas saat itu, menurut Irwan lagi, sejatinya sih Trenggiling ga pernah jadi juara di lomba-lomba. Jangan-jangan, karena keberatan nama?

Kita kembali ke Lomba Vokal Group Amigos. Kak Rizali ingat, yang ikut itu, grup-grup yang “dahsyat dan sangar”. Antara lain ada, Kobos Group, ini grup yang jadi cikal bakal Swara Mahardhika dimana ada Trio Bebek segala, dan Hafil Perdanakusuma. Yang mimpin Kobos itu, Roni Harahap. Lalu ada Bourest Vocal Group, ini salah satu langganan juara juga pada masa itu. Lalu Rainbow, yang dipimpin pemain tiup perempuan kawakan, Yuyun, waktu itu sudah sering dengan Pretty Sisters juga.
Ada juga kelompok FYR, dari Four Young Rumit, yang sangat terinspirasi oleh musiknya Harry Roesli. Kelompok vokal itu, kata kak Candra emang rumit lho di sisi vokalnya. Ada juga Balagadonna, ini kelompok anak-anak Kebayoran dan dimotori oleh Yaya Moektio.
Jurinya waktu itu adalah Benny Mustafa, Elbert Missy dari TVRI, Ajie Bandi, Jopie Item dan wartawan Aktuil, Bens Leo serta Marusya Nainggolan. Dan Chaseiro bisa menang, menurut kak Rizali,  kemungkinan karena aransemen musik dan vokal yang harmonis, yang tidaklah terlalu njelimet tapi tetap unik. Apa bukan karena kakak-kakak semua, imut-imut dulunya? Who knows?
Irwan ingat banget, Chaseiro membawakan lagu, ‘Bolejaro’ yang adalah lagu daerah. Kemudian juga sudah berani membawakan karya sendiri lho! Mereka bawain lagu, ‘Mari Wong’ ciptaan Candra serta ‘Sapa Pra Bencana’ ciptaan bersama, Candra dan Joeliardi.
Tapi maaf lagi, kayaknya kurang seru ya mbacanya, kalau pakai “kak”. Sebenarnyalah, saya kawatir dianggap tak sopan, bila saja tak menggunakan panggilan kak tersebut. Tapi demi kenikmatan membaca, maka saya pikir-pikir sebaiknya tak perlulah memakai kak lagi.

Tanpa mengurangi rasa hormat, maka walau tanpa kak, tulisan ini diteruskan. Permisi ya mas, eh kak....

Candra Darusman bercerita, ia dan Helmie  lalu masuk Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, di tahun 1976. Mulailah mereka berkenalan di saat itu. Cerita Irwan, mulailah Helmie dan Candra lebih intens mengaransemen lagu-lagu daerah dalam musik bernuansa jazzy.
Pada 1977, Edi Hudioro masuk FE-UI bersama Omen, yang masuk Fakultas Ilmu Sosial di Universitas Indonesia juga. Bersamaan dengan masuknya pula Aswin Sastrowardoyo di FK-UI. Rizali sendiri, “kakak tertua”, sudah masuk FE-UI tahun 1975, selanjutnya ia tetap rajin melatih vokal grup almamater-nya, SMAN XI.
Nah di tahun 1977 itu pula, Candra, Edi, Aswin, Omen, Helmie dan Rizali mulai berteman, dan makin dekat. Merekapun mulai iseng bikin kelompok vokal sendiri, menurut Irwan namanya kalau ga salah adalah, FE-FIS-FK. Yang lantas oleh Helmie, dirubah menjadi Chasero. Setahun berikutnya, 1978, menyusul masuk “si bungsu”, Irwan yang juga memilih FE-UI.

Bermusik menjadi pilihan “terfavorit” mereka sebagai kegiatan ekstra kurikuler di kampus mereka itu. Kebetulan, terlihat bahwa selera mereka cukup nyambung. Mereka mendengar, mencoba memainkan lagu-lagu pop, tapi juga menyimak rekaman-rekaman jazz. Mereka memfokuskan diri, sengaja atau tidak, pada harmonisasi vokal. Musiknya, mereka coba memilih nuansa jazzy, sejak awal.
Di tahun 1977 pula, Candra juga sudah mulai semangat untuk memperkenalkan kemampuannya bermain gitar, lalu juga kibor dan menciptakan lagu. Cerita Irwan lagi, di tahun itu pula, “Indrakesuma Brothers Trio” yaitu Irwan-Helmie-Rizali menyanyikan sebuah nomer karya Candra berjudul, ‘Hari Yang Indah’. Lagu tersebut masuk 10 Besar pada Festival Lagu Pop Nasional tahun tersebut.
Chaseiro sendiri lalu dekat dengan para juri lomba yang mereka menangkan. Atas jasa baik Benny Mustafa, mereka dibawa ke Musica Studio di jalan Perdatam, Pancoran. Diperkenalkanlah kepada Bapak Amin Widjaja, sang pemilik. Pertemuan itu berakhir dengan kesepakatan Musica untuk 2 album rekaman! Langsung makan-makan dong ya, pulang dari Perdatam? Sayang, mereka belum bercerita soal itu…
Oh ya sebelumnya, mereka muncul pertama kali untuk masyarakat luas lho. Pada acara Terminal Musikal di TVRI pada Malam Tahun Baru 1977 ke 1978. Rizali ingat, mereka membawakan, ‘Balada Gertapnya Kritik’ (lalu judul lagu ini diganti menjadi ‘Sapa Pra Bencana’, sambung Rizali), ‘Ohio’ dan ‘Burung Kutilang’. Kayaknya, peran Elbert Missy nih, yang memungkinkan mereka mendapat kesempatan muncul di TVRI itu.
Kalau tak salah, ya kalau salah mohon maap aje.Terminal Musikal itu dulu sukses-ses. Karena menampilkan pula, Warung Kopi Prambors, format terawal. Antara lain, ada penampilan mereka seolah pembaca berita TVRI.Wuah, hacep jack, kata anak sekarang.

Nah makanya, seperti cerita Rizali lagi, merekapun pada sekitar September 1978 kembali tampil di TVRI. Kali ini mereka diundang untuk tampil di acara Wisata Nada. Mereka membawakan, ‘Urang Talu’, ‘Cente Manis’, ‘Sigulempong’, ‘Apuse’, ‘Bolelebo’ dan ‘Bole Jaro’.
Yang lucu, pengakuan Edi bahwa waktu tampil di Terminal Musikal, dirinya tidak ikut. Karena ia tengah jalan-jalan ke Bali dan Bandung. Kaget juga ternyata Chaseiro dapat kesempatan tampil di TVRI. Rada mendadak kali ya? Ia tahunya, pas lihat televisi abis bangun tidur di rumah temannya di Bandung. Ealaaa!

Rizali yang masih aktif melatih kelompok vokal SMAN XI, kemudian “menemukan” pemain bongo dan perkusi bernama, Uce Haryono. Uce ini adalah adik dari Edi Hudioro. Menurut Rizali, ia tahu saat itu, bahwa Uce sudah cukup berpengalaman. Antara lain membantu Roni Harahap, pada pembuatan beberapa proyek illustrasi film.
Uce memang saat itu juga sudah lumayan dikenal luas, malah juga sebagai pemain drums. Ia gabung dengan berbagai grup rock setelah itu. Dan begitulah, ketika rekaman Chaseiro album pertama dilakukan Januari 1979, Uce diajak serta.
Pada album tersebut, juga diselipkan lagu instrumental karya Candra, ‘Gemilang’, dimana ikut bermain khusus pada lagu itu dua bintang tamu musisi. Pada drums, Benny Mustafa. Dan pada bass, Ananda Soetrisno Mates. Dan ada 12 lagu yang menjadi isi debut album mereka, Pemuda.
Seluruh 12 tracks adalah karya Candra. Dimana dibantu penulisan liriknya oleh beberapa sahabat dekat mereka. Antara lain ada Joeliardi Soenendar untuk lagu, ‘Dara’ dan ‘Sapa Pra Bencana’. Lalu Harry Sabar, untuk lagu, ‘Sendu’. Serta pada lagu, ‘Awal dan Akhir Hari’ ada bantuan Irvan N.
Lagu-lagu lain ada ‘Irama Hidup’, ‘Hanya Membekas Kini’, ‘Hari yang Indah’, ‘Rasa Bimbang’, ‘Masa Ke Masa’ dan ditutup lagu yang mereka ikut bawakan, saat menjuarai festival vokal group yaitu, ‘Mari Wong’.
Dan tentu saja, lagu jagoan dari waktu doeloe hingga sekarang dan kemudian, apalagi kalau bukan…

Bersatulah semua seperti dahulu, Lihatlah kemuka, Keinginan luhur kan terjangkau semua….
Pemuda mengapa wajahmu tersirat,
dengan pena yang bertinta belang,
cerminan akan tindakan perpecahan,
bersihkanlah nodamu semua….
Masa depan yang akan tiba
Menuntut bukannya nuansa
Yang selalu menabirimu pemuda

Sebuah anthem “kepemudaan” yang lahir pada masa mahasiswa di masa 1970-an tersebut, tengah bergejolak. Dengan adanya pelarangan para mahasiswa untuk menceburkan diri secara aktif pada kegiatan-kegiatan politik. Lewat “program” Normalisasi Kehidupan Kampus.
Lagu yang sebetulnya, terkesan simple, dengan musik yang juga “tak neko-neko”. Tapi justru karena kesederhanaan tersebutlah, lagu tersebut mencuat, apalagi dengan tulisan lirik nan menggugah semangat itu. Maka tak heran, lagu dan tentu saja album tersebut, seperti dirilis pada “saat yang tepat”. Alhasil, lumayan laris manis lah jadinya!
Tampilan ke 7 pemuda dari Universitas Indonesia tersebut, pada sampul muka berwarna dasar biru adalah khas 1970-an. Rambutnya agak panjang, sebenarnya ga gondrong-gondrong amat kok, dan ini die…celana cutbray, mek!
Lagu tersebut, ‘Pemuda’, masuk menjadi nomer satu di berbagai charts stasiun radio Nusantara. Antara lain juga menembus tangga pertama, di Tangga Lagu harian Kompas yang disusun wartawan, Efix Mulyadi. Pemuda itupun menjadi berita lumayan besar.

Pada waktu berikutnya, masih di 1979 pula, mereka kemudian menghasilkan lagi album rekaman berikutnya. Album kedua tersebut, berjudul, Bila. Kalau Pemuda dirilis Maret 1979, maka Bila dirilis November 1979. Dan seperti pada album perdana, Chaseiro didukung beberapa musisi selain Uce Haryono juga perkusionis, Iwang Gumiwang. Selain itu ada anak muda, dari SMAN XI pula, pemain klarinet, Rezky Ichwan.
Berisikan 12 tracks pula. Yaitu ‘Ku Lama Menanti’ (Candra/Omen), ‘Pengungkapan’ (Candra/Harry Sabar), ‘Sendiri (Candra), ‘Seandainya Sederhana’ (Candra/Helmie), ‘Kemanusiaan’ (Taufik Darusman, Candra, Aswin) lalu, ‘Di Balik Senyum’ (Omen). Selanjutnya adalah, ‘Akhir Tujuan’ (Rizali), ‘Tempat Berpijak’ (Candra), ‘Wangi’ (Candra) sebuah lagu instrumental. Lantas ada, ‘Tumpuan’ (Candra/Denny Prasetyo/Omen), ‘Nada-Nada Gembira (Candra/Rizali/Helmie/Omen) dan ‘Sampai Jumpa Lagi’ (Candra/Rizali/Helmie).
Cover albumnya, dengan font khusus nih, terutama untuk nama Chaseiro-nya. Yang lantas menjadi trademark mereka. Tampilan foto, nah kalau yang ini, anak-anak kuliahan banget. Segar, sehat dan…masih slim lho! Eh iya, pada album pertama juga tampilannya anak-anak kuliahan juga sih…
Pada masa itu, di saat masih ramainya lomba-lomba grup vokal, lagu-lagu Chaseiro lantas menjadi lagu-lagu favorit untuk dibawakan peserta. Mereka memang kian popular pada jelang 1980-an tersebut.


Terusin yeeeee.... Jadi CHASEIRO itu kan “kakak-kakak terkasih”, Candra N. Darusman, Helmie Indrakesuma, Aswin Sastrowardoyo, Edi Hudioro, Irwan Indrakesuma, Rizali Indrakesuma dan Omen Norman Sonisontani. Tujuh orang pas. Vokal, tapi ada juga yang bermain piano atau kibor, gitar dan juga flute.
Nah kita kembali mendengarkan cerita mereka saat mereka menjalani proses rekaman pertama dulu. Yak betul, saat proses produksi album pertama mereka itu lho, yang ‘Pemuda’ itu. Yang diingat oleh Irwan, kalau tak salah rekaman dilakukan Januari sampai Februari 1979.

Pemuda, kemana langkahmu menuju
Apa yang membuat engkau ragu
Tujuan sejati menunggumu sudah
Tetaplah pada pendirian semula

Dimana artinya berjuang
Tanpa sesuatu pengorbanan
Kemana arti rasa satu itu.....

Yang Candra ingat adalah, mungkin karena “anak baru”, maka pihak Musica “berbaik hati” menempatkan jam rekaman mereka di...”jam kecil”. Alias, tengah malam sampai pagi! Cakep dong? Abis rekaman mereka langsung bergegas kuliah. Kuliah jangan sampai mengganggu musik kan?
Eh kebolak dong. Musik jalan, kuliah ga boleh terganggu. Rasanya sebaiknya pakailah “ter” daripada “me”. Setuju, kakak-kakak semua? Dan menurut Candra, kalau sudah begitu, mereka di kelasnya masing-masing mencari bangku paling belakang. Dengan style duduk khas, “silau matahari”! Telapak tangan di jidat, jadi duduk di kelas sambil...tidur.
Urusan ransum, nah biasanya, kenang Candra, kalau tidak dia atau Omen atau Helmie. Mereka bergantian bertugas membeli martabak telur, agar pada jam 3-an ketika mereka break rekaman, bisa disantap bareng. Nikmatnya! Menunya itu terus? Kata mereka sih, mau cari makanan apa jam segitu?
Atau sesekali, pihak Musica berbaik hati dengan menyediakan jeruk sekeranjang, yang sudah dipotong-potong. Biasanya sudah diletakkan di dekat pintu masuk ke dalam studio, pas di bawah foto Guru Baba Nanak, seorang tokoh dari sebuah aliran kepercayaan di India. Kita yang mudaan, toh masih kuat dan bersemangat, ya mengalah dengan yang senior-seniorlah, menerima jam rekaman terakhir itu, terang Candra.

Kalau yang Irwan ingat, jadwal rekaman mereka berdekatan dengan The Rollies saat itu. Terutama saat album pertama. Sehingga mereka jadi sering nongkrong bareng, biasalah becanda-becindi gitulah. “Dan Candra waktu itu lagi seneng juga main-mainin harpischord, clavinet dan yang sejenisnya,” lanjut Irwan.
Yang diingat juga oleh Irwan dan Rizali, mereka berdua sering rada terganggu saat rekaman suara, karena sering mendapat telephone dari rumah. “Orang tua minta buruan pulang, rumah di Bintaro lagi kebanjiran,” cerita Irwan. Repot juga ya? Kebayang dah....
Sementara itu, ini cerita dari Irwan, sesekali Oom Amin Wijaya Musica menengok mereka rekaman. Dan anak-anak Chaseiro biasanya jadi pusing kalau dengar oom Amin complain karena mereka membuat musik yang “ga gitu laku”. Aaaah ini mah musik jazz iniiii....ay bingung nih...gimana bisa lakuuuu?
Kalau sudah begitu, tambah Aswin, kita semua biasanya cuma mesem-mesem. Mungkin, mereka sebenarnya juga sama-sama pusing seperti almarhum oom Amin itu. Cuma beda-beda tipis kali pusingnya. Mereka emang maunya bikin musik kayak gitu.
Ajaibnya, walaupun pada akhirnya memang sedikit terasa bahwa Chaseiro ternyata mahasiswa-mahasiswa nan bijaksana, mungkin juga peramah dan sopan. Selikidi eh selidiki dikit aja musik mereka, bahwa terasa kok mereka kompromistis pada musik. Terutama di album kedua dan ketiga.
Mereka ternyata mendengar dan memahami akan kemauan big-boss mereka. Namun, memang karakter musik mereka sudah cukup menempel lekat. Artinya, dengan musik yang katanya, “ga gitu laku”, toh mereka tetap mendapatkan respon positif.
Dikarenakan, memang pada masa itu, mereka “pemain tunggal”. Dalam bentuk tampilan dan termasuk musiknya. Memang mulai muncul nama-nama lain sekitar mereka, yang juga direspon positif oleh sebagian fans-nya Chaseiro. Musiknya masih pada satu “kawasan”lah di era itu.
Chris Kayhatu dan kawan-kawan, yang disusul dengan pemunculan Utha Likumahuwa dan Jopie Latul misalnya, termasuk Jackie. Lalu juga sebut satu nama fenomenal pada jaman itu, Fariz RM! Tapi mereka kan bentuknya band atau solo performer. Chaseiro itu, rombongan mek! Grup vokal.
Termasuk kemudian nama Dian Pramana Poetra. Ini sebenarnya mantan anggota Bourest VG, yang kalau baca dari atas tulisan ini ya, pasti tahu siapa Bourest itu. Itu nama vocal-group anak-anak Tebet. Nama grup mereka. Eh eh bukan, bukan Burespang, beda dong!!! Burespang apaan?
Di awal 1980-an, mereka mulai disaingi beberapa kelompok vokal lain, salah satunya adalah Golden Singers. Tapi Golden Singers berkiprah lewat layar kaca, antara lain muncul di tayangan program Orkes Chandra Kirana. Chaseiro tetap meluncur “sendiri”, dengan bentuk kelompok vokal pria pada saat itu. Oh ya Golden Singers itu dari Bandung, cikalbakalnya Elfa’s Singers.
Hasil kesuksesan dua album pertama, menurut Omen adalah, mereka mulai terbiasa menghadapi datangnya surat dalam karung. Surat-surat dan kartu pos dari para penggemar mereka dari seluruh Nusantara! Kata Omen, rada berat membalasnya. Rata-rata minta tanda tangan dan foto.
Merekapun rajin mencetak foto banyak-banyak, lalu rajin membalas surat-surat dan kartu pos tersebut. Maklumlah path, instagram, facebook, twitter bahkan friendster sekalipun kan belum ada saat itu. Kata Edi, berkarung-karung surat dan kartu pos itu datang 90% untuk Candra dan Omen. Nah sisa 5%-nya baru untuk kita berlima!
Memang, Omen dan Candra paling menonjol kayaknya. Tanpa dirancang, tidak pakai setting-an. Kan belum ada juga infotainment waktu itu. Omen, dikenal paling muda dan Candra dikenal paling “imut”. Omen, kalau ingat, pernah populer saat tampil dengan OM PSP, dimana disitu ada juga Rizali. Sesama teman-teman di UI juga adanya. Cuma musiknya rada ekstrim aje, dangdut euy! Omen disebut, paling kecil, masih sekolah tapi sudah nonton Private Teacher 3 kali, dalam penampilan mereka di acara perayaan Tahun Baru-an di TVRI. Inget ga?
Intermezzo nih, Private Teacher itu kan film rada fenomenal pada masa itu, film esek-esek 70-an. Jadul lah, pastinya. Bintangnya yang kesohor adalah aktris super-hot, pada masa itu, Edwige Fenech. Lupa? Yang cowok pasti ga lupa dong. Sama ingetnya kan dengan Nick Carter dan yang lebih hardcore, Valentino atau Idrus.....

Oh ya, kembali ke album pertama dulu deh. Ini cerita Irwan, bahwa Candra mencoba bereksperimen dengan memainkan dawai-dawai piano lho, pada lagu, ‘Sendu’. Dipikirnye Harpa kaleee? Dan pada lagu itu, Candra bawainnya hanya 99,5% karena kata dan nada terakhir lagu itu, “dakuuu...senduuuu” khusus dinyanyiin Omen. Soalnya falsetto Candra ga bisa nyampe!
Kemudian, Rizali sebenarnya juga ikut mengisi kibor pada beberapa part, di lagu, ‘Awal dan Akhir Hari’ serta ‘Dara’. Saat Candra kayaknya rada jenuh mengisi synthesizer saat itu. Dan dengar pula riff bass Rizali, di lagu ‘Pemuda’.
“Waktu itu tuh, isian bass Rizali di akhir lagu Pemuda itu suka diketawain kita semua. Aneh aja. Tapi eh ga papa deh, ternyata malah jadi kayak signature tune kan. Khas gitu. Rizali punye gaye... Hahahaha,” sambung Irwan.
Dan mentang-mentang juga Rizali itu main dengan PSP juga, eh dia juga main mandolin segala, denger aja lagu, ‘Hanya Membekas Kini’. Masih cerita Irwan lagi. Tapi untung, anak-anak sih setuja-setuju saja.... Mungkin kalau ga, Rizali pilih hanya main di PSP aja gitu? Sayang, belum ada jawaban konkrit dari Rizali untuk pertanyaan itu.
Dan ini masih tambahan dari Irwan, iya nih Irwan ingetannya boljug ya. Siul di lagu, ‘Irama Hidup’ suara siulan Rizali. Alhamdulillah lancar, padahal waktu itu, Rizali kata Irwan lagi kumat bengeknya lho! Hebat juga!

Katakanlah kemana hilangnya rasa bahagia
yang pernah menggelora dalam hayatku
kusayangi lembutnya sentuhan semesra senyuman
pancaran ronanya
hanya membekas kini
(‘Hanya Membekas Kini’, Candra Darusman dan Aswin Sastrowardoyo)

Oh ya perihal logo khas Chaseiro, yang mulai dimunculkan di sampul album kedua, dan seterusnya dipakai, menurut Candra Darusman adalah karya dari Ir. Iman Sudjudi, jebolan disain grafis ITB. Kang Cecep, begitu dia biasa dipanggil, sekarang sudah jadi guru besar.
Candra ingat, saat itu juga Chaseiro ada yang menyebutnya sebagai grup pop yang bisa diterima kalangan jazz, tapi juga dianggap grup jazz yang diterima oleh kalangan pop. Masalahnya, Candra lupa, siapa yang pernah menyebut hal itu.... Faktor “u” dah itu... Hehehehe.
Ditambahkan oleh Aswin, kembali ke masa awal dari Chaseiro. Kerjasama antara Chaseiro dan Bens Leo berlanjut kemudian. Mereka pernah punya program siaran bareng yang diberi nama BBSO alias Becanda Bisa Seriuspun Ok. Kalau tak salah, program itu memang sempat populer juga di kalangan anak muda Jakarta di akhir 1970-an.


Selanjutnya, dari cerita “boyband” 1970-an akhir ini, adalah masuk di era berikutnya. Selepas mereka merilis album pertama dan kedua mereka. Setelah itu, bagaimanakah mereka? Etapi gini, album ketiga sama keempatnya gimana?

Nyelip dulu deh ini. Album ketiga mereka, judulnya, 3. Rilis 1981. Isinya ada 11 lagu. Dengan musik dibantu, nah ini banyak nih yang bantuin. Antara lain ada Tito Soemarsono, bassis, yang main nyaris di semua lagu. Dokter Iwang teteup di perkusi. Selain barisan tiup, ini semua pemain langganan yang mengisi horn-section di banyak rekaman diera itu.
Didit Maruto, Wahid, Marwan (trumpet), Lunggo dan Narso (trombone), juga Benny Likumahuwa (solo trombone di lagu, ‘Perangai Diri’). Selain itu, dilibatkan juga barisan strings, yang juga langganan banyak album rekaman di masa itu. Dengan Yap Che Kian, Suryati Supilin, Cho Su Yin, Edo Braseros (violin). Sunardi Suwandi (viola), Zulkifli (cello).
Ada nama Harry Sabar juga lagi, kali ini menulis lirik, ‘Untukmu’. Eddy D. Iskandar,novelis ngetop di jaman itu, yang menulis lirik lagu, ‘Lautan Kenangan’. Totok Soebroto membantu lirik untuk, ‘Perangai Diri’ dan ‘Suram’. Serta Guruh Soekarno Putra yang menuliskan lirik lagu, ‘Rio de Janeiro’
Lagu-lagu selengkapnya adalah, ‘Rio de Janeiro’, sebagai pembuka. ‘Perangai Diri’, ‘Untukmu’, ‘Lautan Kenangan’, ‘Calypso’. Lainnya ada, ‘Dunia Di Batas Senja’, ‘Daffy’, ‘Suram’, ‘Di Balik Senyuman’, ‘Cita Cita Pemuda’ dan ‘Semangat Jiwa Muda’.

Lalu diikuti album berikutnya, yang keempat. Ceria, judulnya. ‘Ceria’, ‘Pesan, ‘Karmen’, ‘Sesaat Berdua’, Siapa Dia’, Rosemarie’, adalah isi dari album yang covernya mereka berseragam olahraga! Album dalam rangka Pekan Olahraga Nasional atau PON? Atau Chaseiro ikut di PON itu?
Lagu lainnya ada, ‘Sentuhan’, ‘Sebuah Ciptaan’, ‘Suasana’ (instrumental), ‘Shy’ dan ‘Waktu Kan Berganti’. Oh ya, di album ini, ada nama Pancasilawan yang menulis lirik untuk lagu, ‘Pesan’. Serta Emma Madjid, yang membantu penulisan lirik lagu, ‘Rosemarie’. Kok ga ada lagu yang bertema sport?

Dari Kami,
Berawal dari keinginan yang tak pernah terwujud yakni menerbitkan kembali lagu-lagu kami tahun 1978-1982 maka album ini akhirnya diterbitkan atas desakan para 'kawan-kawan setia'. Sebagai cinderamata, tak lupa kami selipkan sebuah lagu baru sebagai ungkapan kami atas keadaan negeri saat ini. Kami percaya masih banyak manusia yang baik di bumi tercinta kita. Seni (Selamatkan Negeri Ini) niscaya turut menyelamatkan keadaan ini.
Teriring pula ucapan terima kasih kepada Pendulum Musik yang mendorong kami untuk mewujudkan project album kompilasi ini dan ucapan bangga kepada arranger berbakat Andi Rianto sebagai pertanda terjadinya regenerasi dalam dunia permusikan Indonesia. Terima kasih juga kami ucapkan kepada mitra kami Musica Studio's.
Chaseiro (sejak 1978)
Maret 2001
Begitu bunyi kalimat pembuka di sampul album Persembahan. Album tersebut dirilis pada Maret 2001. Berisi 22 lagu, yang kesemuanya dari keempat album mereka.

Ok sepanjang perjalanan mereka, ada beberapa hal yang sangat khas di dalam “tubuh” mereka. Ini kita bukain, sisi-sisi lainnya Chaseiro ya....
Ini diungkapkan oleh Candra, dan diiyakan pula oleh Aswin. Bahwa, mereka itu setiap bertemu pasti ada saja kelucuan. Semua tertawa lebar. Ngakak bahkan. Semua Chaseiro suka ngelawak, terutama Omen dan Helmie, begitu cerita Candra.
Tapi begini, lanjut Candra, “Kelucuan-kelucuan itu hanya untuk kami saja ya, belum tentu orang-orang lain paham. Mereka pasti bingung, kita-kita ini lagi ketawain apa sih. Bertujuh ini becanda melulu, dan mereka akan bingung sendiri ga mengerti apa yang kita sedang bicarakan. Dan yang paling ekspresif kalau ngelawak itu Omen, dia punya bahasa tubuh tersendiri.”
Soal ngelawak, Helmie emang lumayan kondang di kalangan pemusik lain, bahkan di luar Chaseiro. Ya kan, terutama saat ia berkarir di Hydro dan lingkungan café. Celetukan dan jokes segar, kadang konyol dengan ekspresi muka khas, seringkali membuat teman-teman terpingkal-pingkal. Itu dilakukan, bukan hanya di belakang panggung, sesekali “kelepasan” juga di atas panggung. Dan penonton geeerrr dibuatnya!
Satu hal lain, ini juga ciri khas mereka bertujuh. Omen, Edi, Rizali dan Helmie itu memiliki vocabulary bahasa tersendiri. Yang lantas akhirnya mereka semua pahami dan mengerti, tapi “penciptanya” ya mereka berempat itu. Nyambung saja mereka bicara, dan asli bakal membuat orang-orang lain bakal bingung, mereka lagi omong apaan. Jangan-jangan malah, ini orang lagi ngobrol pake bahasa apaan sih?
Awalnya, bahasa prokem atau bahasa gaul, dulu kan sempat dikenal luas sebagai bahasa pergaulan “kawula muda Ibukota” tuh. Yah seputaran era akhir 1970-an lah gitu. Nah bahasa preman yang lantas disebut prokem itu, yang dasarnya kayak membalik-balikkan bahasa itu, lantas dibalik-balikkin lagi oleh Chaseiro. Bingung? Pegangan buru-buru, sebelum bisnya ngebut…!
Ya pasti bingung, bahasa prokem dibalik-balikkin lagi pasti bingung. Kata Candra, ada rumusnya tersendiri, nah silahkan Tanya Rizali deh soal rumus bahasa gaul Chaseiro itu. Malah belakangan, sampai bahasa Inggris segala juga, mereka “prokemin”! Apa ga bikin orang makin bingung jadinya? Buat apaan sih? Mereka semua tertawa, biar mereka bisa ngomongin orang-orang di depan orangnya sendiri? Jelas, mereka bakalan tambah ngakak!
Kubri wemri, ini artinya “bukan main”. Welengangak artinya, ngelawak. Ya model begitulah bahasa gaul internal atawa bahasa sandi khas Chaseiro. Yang hebatnya, seringkali itu bisa berubah lagi, misalnya ya “dibelokkin” lagi. Hadeuh, nyang kemaren aje kagak kita ngatri, apelagi nyang baruan? Mungkin baik dan berguna untuk dipikirkan, membuatkan semacam buku mengenal lebih jauh Chaseiro dan Welengangak, Tata Bahasa Dunia Khas Chaseiro, ditulis oleh Rizali Indrakesuma….
Siapa tahu laku dan lantas menjadi bahasa gaul “baru” buat masyarakat luas kan? Apalagi bisa dipakai abege-abege masa kini? Ahay, boleh dong. Tapi mungkin mereka jadi kesulitan, susah buat berbahasa sandi antar mereka sendiri dong? Tapi ga ah, mereka pasti bisa “menciptakan” lagi bahasa-bahasa yang lebih “kebolak” lagi!

Kemudian ini “curhat”an meneer Rizali Indrakesuma. Yang mengaku, bahwa ketujuh mereka itu lama-kelamaan musti bisa menerima dengan tangan terbuka. Kalau nama mereka sering banget salah diucapkan, misal Chesairo, Chaisero atau Caserio. Ya yang sebangsa begitulah. Pada awalnya, menurut Rizali, mereka sering jadi gatal-gatal dalam kupingnya, mendengar mispronunciation orang menyebut mereka.
Memangnya susah ya melafalkan dengan benar dan mulus, Chaseiro? Rizali heran. Mungkin banyak fansnya pasti ga merasakan keheranan yang sama. Bisa jadi malah, penggemar fanatik mereka akan heran, kenapa Rizali heran untuk hal itu lalu merekapun heran kenapa teman-teman-teman Chaseiro lain juga ikut heran? Tapi kalaupun ada anggota Chaseiro yang tidak merasa heran? Masak masih membuat orang lain, heran?
Ya begitu deh, mungkin memang sejatinya penyebutan Chaseiro itu adalah “tantangan” unik buat orang-orang yang baru “mengenal” mereka. Semisal MC atau pembawa acara, ataupun apalagi, announcer radio. Tantangannya kalau terburu-buru menyebut, bisa jadi slip of tongue. Karena slip, ya jadi salah terdengar. Harus kenal betul dengan mereka, jadi akan aman menyebut nama mereka dengan benar!
Buat Aswin, begitulah adanya Chaseiro. Karena humor, musik dan persahabatan itulah, membuat mereka tetap bertahan sampai 35 tahun-an usia mereka sebagai grup musik. Bahkan mereka tak sekadar bersahabat, mereka karena perkawinan malah hubungannya menjadi lebih dekat, menjadi keluarga. Proses itu berlangsung pelan dan seringkali tak terduga, cerita Aswin lagi.
Dan kembali ke pentas. Selepas merilis album kembali di 2001 tersebut, mereka mulai sering bersama-sama lagi. Walau tak lengkap utuh bertujuh. Tapi mayoritas, bisa hadir dan menemui para penggemarnya. Mereka tampil di Hore-Hore Café Kemang, Goethe Haus, Barcode Café Kemang, Highscope Blackbox Theatre.
Secara berkala, mereka menggelar konser yang formatnya lebih menjadi gathering para penggemar setia mereka. Mengumpulkan lagi, menyapa lagi para penggemar-penggemar lama mereka yang sebagian malah sudah menjadi sangat dekat dengan mereka.
Selain itu, mereka juga termasuk rajin tampil di beberapa jazz festival seperti Java Jazz Festival lalu sampai Ngayogjazz di Jogja. Festival di Bandung dan tampil di kota-kota lain. Mereka juga tetap intens bertemu dan menyempatkan diri untuk berlatih musik di studio.
Pada akhir April 2011, Chaseiro merilis album Retro. Pada sebuah situs berita online, Candra mengatakan, “Retro bukan sekadar menjadi judul album Chaseiro semata, karena sentuhan ala retro juga ikut sampai ke segala hal luar dalam yang sajikan. "Kalau tidak salah, dalam dunia fashion itu retro bisa diartikan sebagai gaya lama yang muncul kembali. Jadi kami bawakan lagu lama dengan tekstur baru.”
Menurut Candra lagi, dalam album Retro itu juga terkandung nilai-nilai lama yang perlu digali kembali. Diingatkan untuk menjadi hal yang diperhatikan lagi, begitulah kira-kira. Sehingga, lanjut Candra, tak hanya retro pada musiknya semata. Album itu memuat 9 lagu dan mereka memperkenalkan, ‘Salah Cinta’ sebagai lagu mereka yang baru.

Kurasa tiada lagi harapan
Bila waktu terbuang
Hanya dengan bernostalgi ...
‘Ceria’.

Di sela-sela aktifitas manggung mereka, Chaseiro musti mengalami musibah besar. Drummer mereka, bernama lengkap Gusti Udwin Haryono, pergi untuk selama-lamanya. Uce Haryono, yang awalnya adalah additional musician namun belakangan menjadi drummer tetap yang selalu bermain bersama mereka, meninggal dunia pada Rabu, 4 Mei 2011 malam.
Uce pergi sebagai seorang musisi sejati. Ia meninggal saat tengah tampil bersama grup Alligator, di sebuah kafe di kawasan Kemang. Sebuah kehilangan yang besar tentu saja bagi Chaseiro, yang sudah menganggap Uce adalah bagian dari mereka juga. Karena keterlibatan Uce yang telah sejak awal mereka rekaman.
Kepergian adik dari Edi Hudioro ini membuat Chaseiro akhirnya mencari-cari drummer pengganti. Belakangan, Chaseiro kerapkali dibantu drummer muda perempuan, Aisyah. Selain itu, Chaseiro juga pernah didukung pula oleh drummer kawakan lainnya, Budhy Haryono. Belakangan, diajak serta pula, kibordis, Krisna Prameswara. Serta  Ilyas Muhadji (bass) dan Noldy Benyamin (gitar).
Lalu pada setahun kemudian, tepatnya pada Minggu 8 Juli 2012, bassis pendukung mereka, Ade Hamzah meninggal dunia. Ade meninggal, setelah malam sebelumnya mendukung Chaseiro di sebuah pentas musik di Bandung. Kembali Chaseiro kehilangan seorang musisi yang menjadi sahabat dekat mereka, terutama sejak pemunculan kembali mereka di era 2000-an.
Ade Hamzah, yang adalah bassis Hydro, grup dimana Helmie Indrakesuma juga ikut terlibat di dalamnya, rajin membantu Chaseiro. Peran bassis ini lumayan besar, terutama ikut sibuk menyiapkan setiap pentas Chaseiro. Mulai dari latihan, aransemen sampai mencarikan musisi pendukung bila diperlukan.
Selain adanya Aisyah, muncul juga pemain perkusi, Disto yang kerapkali mendukung pemunculan Chaseiro. Disto disertakan, karena kesibukan perkusionis mereka, dr.Iwang Gumiwang yang seringkali sibuk sebagai dokter ahli jantung.
Dan pada Minggu 10 Februari 2013, Helmie Elzar Indrakesuma pergi untuk selama-lamanya. Helmie, seperti juga almarhum Uce dan almarhum Ade, meninggal karena serangan jantung. Tentu saja, ini merupakan kehilangan terbesar bagi kelompok Chaseiro.
Apalagi selama ini, Helmie bertindak sebagai salah satu penyanyi terdepan mereka. Suara khas Helmie memang lantas menjadi salah satu identitas khas Chaseiro. Sebuah kehilangan yang sangat berarti, apalagi tawa dan canda Helmie yang selalu hadir di antara mereka. Dan tak hanya bagi Chaseiro saja, penggemar dekat merekapun ikut merasakan kehilangan.

Sebelumnya, pada 16 Maret 2012, Chaseiro sempat menggelar sebuah konser lumayan besar. Bertajuk, Chaseiro Music & Friends di Hall, Senayan City. Dimana Chaseiro didukung para “friends” mereka seperti antara lain Iwa K, Andien Aisyah, Lala Suwages, Riza Arshad. Ini menjadi salah satu konser sukses mereka.
Dan saat itu terlihat, banyak penggemar mereka, masih setia menggemari penampilan, suara dan lagu-lagu dari ketujuh Chaseiro itu. Dan kolaborasi Chaseiro dengan para penyanyi yang relatif muda, seperti memberikan kesegaran baru bagi penampilan mereka. Keren, suasananya asyik dan menyenangkan sebagai tontonan.
Saat ini, keenam Chaseiro tengah menyiapkan album terbaru mereka. Album tersebut, juga menampilkan beberapa kolaborasi dengan para penyanyi dan grup muda. Sebuah upaya untuk menghidupkan Chaseiro, ke generasi “lebih muda-an” yang perlu dipuji. Dan hasilnya bukan lantas seperti memaksakan kolaborasi.
Materi album ini kabarnya diinginkan dapat dirilis pada pertengahan tahun 2014 ini. Dan akan dilanjutkan lagi dengan sebuah konser lain, di tahun 2014 ini juga. Album telah rampung pengerjaan rekamannya, tinggal masuk finishing tahap akhir saja. Terutama pada desain dan artworks sampul album. Untuk rekamannya, mereka dibantu pula oleh musisi lain, Ari Darmawan, yang adalah mantan drummer kelompok Halmahera itu.
Menurut Candra dan Omen, selain album baru tersebut nanti, juga direncanakan mereka melansir buku yang berisikan Kumpulan Kisah dan Lagu-lagu Chaseiro. Semoga semuanya bisa selesai dan dapat dinikmati khalayak pada tahun ini juga.
Menarik tentu saja, menantikan album terbaru mereka. Apalagi dengan materi baru, dengan music yang juga baru. Membuktikan bahwa mereka tetap bersemangat dan aktif menggali kreatifitasnya. Walau kesemua Chaseiro tersisa kelihatannya sih makin sibuk saja dengan pekerjaan dan dunianya masing-masing.
Candra Darusman, kini berdomisili di Singapura dan tetap menangani masalah Hak Cipta. Rizali Indrakesuma, kini menjadi Duta Besar di India. Sementara Aswin Sastrowardoyo menjadi dokter ahli kandungan. Irwan Indrakesuma sibuk di Yayasan Karya Cipta. Omen dan Edi tak kalah sibuk dengan bisnisnya masing-masing. Hebat kan kalau mereka masih tetap setia bermusik.
Begitulah akhir cerita dari Chaseiro. Terima kasih banyak bagi yang mau membaca cerita cukup panjang ini. Dan terima kasih banyak buat keenam kakak-kakak Chaseiro yang sudah mau membagi sedikit cerita-cerita menarik mereka. 
Sukses selalu untuk Chaseiro! / *


Dan eh, tulisan di atas ini dibuat memang pada 2014. Nah, saya mau tambahin dikit, di update-lah ya. Pada Oktober 2014, Retro 2 dirilis. Ada bintang tamu, RAN dan Marcell , selain Tompi, Ucie Nurul pada album tersebut. Ikut mendukung bintang tamu musisi seperti, Riza Arshad, Tohpati, Jeffrey Tahalele Mereka membagikan hasil profit dari penjualan album itu untuk Yayasan Kanker Indonesia, terutama untuk penderita kanker serviks....












No comments: