Monday, December 10, 2018

Sebuah Pop Musikal yang Fresh, Unik dan Sarat Misteri, BUNGA untuk MIRA

Mhyajo a.k.a Mia Johannes. Foto : Indrawan Ibonk


Adalah dara bernama, Mira. Dengan ambisi menggelora, yang seakan semakin tak terhentikan. Sekalipun ia telah menjadi penari Jazz Kontemporer yang cukup ternama, Mira selalu haus untuk menjadi ‘pusat perhatian’ dimanapun ia berada. Ia harus lebih dan lebih.....
Intrik ‘menghalalkan segala cara’ ini selalu mendapat dukungan dari Ibu, dan Bob bisnis manajer serta dua orang sahabat nya Wina, penata rias. Dan Gita, penata kostum pertunjukan. Mira pun semakin tenggelam dalam ambisinya....
Tahun ini, selain ingin merebut perhatian Andre - sang promotor ternama dan pemilik gedung teater “Tujuh Musim”. Mira ternyata juga berhasil memanipulasi Puti, yang mempunyai hubungan kakak beradik tidak sedarah dengannya.  Puti seorang botanis yang berhati lembut dan sedang mempersiapkan produk kosmetika berbahan dasar herbal, pada akhirnya menerima bantuan Mira.

akankah Mira mendapat kesuksesan dan semua perhatian dunia yang di impikan ?  

apakah justru misi terselubung ini menjadi bumerang atas sifat tamak yang dimiliki selama ini ? 

apakah Puti yang selalu menjadi bulan-bulanan akhirnya bertidak tegas dan melakukan pembalasan ?

Kira-kira begitulah gambaran synopsis dari pementasan musikal nan fresh, unik dan relatif berbeda ini. Sebuah pergelaran pop musikal yang terinspirasi oleh dongeng legendaris “Bawang Merah dan Bawah Putih” dalam imajinasi fiksi ilmiah bertempat di satu alam semesta yang berbeda, ditulis dan disutradarai oleh Mhyajo (Mia Johannes).
Sebuah reinterpretasi, dengan suasana “jauh berbeda”, kekinian, suasana pop berbau-bau jazz(y), dengan latar belakang dunia pertunjukkan. Format sajiannya, pop musikal. Pentasnya nanti menyajikan berbagai konflik, gelora cinta, ambisius dan...kematian!
Tawarannya memang menjadi macam romansa gelap, misterius, sekaligus mengejutkan! Di balik gemerlapnya sebuah pentas pertunjukkan. Dibungkus tata tarian, gerak oleh koreograer muda nan manis lagi enerjik, Ufa Sofura. Serta musik yang menyajikan komposisi musisi muda Ramondo Gascaro.
Untuk sisi sajian musik, yang akan dihidangkan secara live nantinya, Mondo akan mengundang dukungan orkestra. Dimana sisi orkestra tersebut, dibantu oleh Indra Perkasa.

Mhyajo. Foto : Indrawan Ibonk
Pertunjukkan musikal yang diwarnai suasana pop, dengan bungkusan musik bertema lebih dekat pada jazz-fantasy, akan memakan waktu selama 1 jam 30 menit. Menampilkan pula penataan dekorasi panggung dan penataan cahaya, yang digarap detil dengan kesan modern. Dengan penata cahaya adalah Iwan Hutapea., ditingkahi tata visual Alexander Triyono.
Untuk urusan kostum, didukung oleh Kleting Titis Wiganti, (KLE). Dan untuk sebagian besar asesoris yang digunakan, dibantu oleh Andi Yulianty (dengan House of Jealouxy).
Dalam pementasan ini, indera penglihatan penonton akan digelitik oleh permainan cychlorama, dimana akan menyajikan keindahan cahaya di atas panggung bak lukisan, tetapi dengan para pemeran, sebagai objek tata cahaya, tetap bergerak leluasa.
Untuk mengemas suara, ada peran sound engineer muda berbakat, Nabil Husein. Sementara Risdo Sinaga, nanti akan mendukung sebagai direktur tehnis untuk tata artistik.

Mhyajo dan Mondo Gascaro. Foto  Muhamad Ihsan
Ufa Sofura. Foto  Muhamad Ihsan
Well, ini adalah debut dari sutradara muda rupawan, Mhyajo. Sutradara bernama lengkap, Mia Johannes ini, Oktober silam menggarap dengan sukses, Colors of Indonesia. Yang ditonton penonton yang datang dari 189 negara, peserta konerensi internasional IMF-WB di Bali tempo hari itu.
Ide cerita lantas dituangkan dalam naskah libretto, oleh Mhyajo sendiri. Ide dan lantas diikuti penulisan script, dilakukan Mhya selepas ia kelar menuntaskan studi seni pertunjukkannya di Lincoln Centre, New York, di tahun silam.
Catatan saja, Mhya terpilih mengikuti workshop khusus untuk seni pertunjukkan tersebut, menjadi satu-satunya sutradara Indonesia yang terpilih. Ia menjadi satu dari 66 peserta yang datang dari 56 negara.

Jadi proses datang dan mengalirnya ide, bergulir begitu saja. Mhya menyebut, mulai dari Brooklyn, saat di sela-sela ia menjalani workshop itu. Menyambung ke Solo. Lalu Gianyar, di Bali. “Proses ide mengenai scenic-set yang nanti dipakai, jadinya dari Brooklyn hingga Solo dan Gianyar.”
Sementara proses akhir, setelah penguraian sosok tokoh, dan detil naskah dialog. Termasuk berikutnya, penulisan lirik dikerjakannya di Georgetown, Penang, urai Mhya lagi.
Kesungguhan seorang perempuan enerjik ini, rasanya total. Dengan semangatnya ia menuntaskan segala sesuatunya, dan memastikan pementasannya, walau harus independen.
Dalam arti, Mhya sadari bahwa targetnya memang mampu mementaskan. Secara independen, bergerak mandiripun dilakoninya dengan sadar, dengan perhitungan cermat. Memang pada akhirnya, Mhya berhadapan dengan kenyataan, susahnya memperoleh dukungan sponsor!

Bahkan juga tak mudah buatnya untuk meraih atensi, termasuk dari media massa. Meyakinkan bahwa karya perdananya ini, layaklah untuk memperoleh support. Dukungan, untuk menyebarluaskan, sehingga kelak bisa memancing publik untuk datang menonton.
Itulah tantangan paling sedap. Walau sedap-sedap, rada asin, tapi crispy-nya membuat semangatnya justru makin meletup. Ia maklum, ini karya perdananya. Dan resikonya, jelaslah ia belum dihitung sebagai apa ya, pelaku mainstream industri seni pertujukkan tanah air.
Semangat tak surut, ia justru tergerak untuk mewujudkan idenya. Membuktikan bahwa ia punya kemampuan? Bisa ya, bisa tidak. Tapi rasanya lebih ke soal, apakah idenya akan memperkaya khasanah seni pertunjukkan di Indonesia?
The Main-Casts BUNGA Untuk Mira
Apakah memang seorang Mhyajo, kelak akan punya peran, dan punya arti di khasanah seni pertunjukkan di Indonesia? Waktu akan membuktikannya. Tetapi yang perlu dicermati sebenarnya, bagaimana kalau kita sama-sama ikut menjadi saksi, pembuktian Mhya. Lewat karya perdananya, Bunga untuk Mira itu.
Dalam pop musikalnya itu, Mhya mengundang sejumlah aktris dan aktormuda berbakat. Dea Panendra misalnya. Kemarin ia barusan mendapat penghargaan Piala Citra, kategori Pemeran Pendukung Wanita Terbaik. Lewat peran apiknya di film, Marlina Si Pembunuh dalam Empat Babak, yang mana filmnya itu sendiri menjadi film terbaik.

Dea juga ikut berperan dalam beberapa musikal lain sebelumnya, seperti Laskar Pelangi dan Timun Mas lalu Bunga Terakhir Kasih tak Sampai. Ia juga tercatat sebagai alumnus Indonesian Idol 2010.
Daniel Adnan, sebelum ini ia berpengalaman bermain di dunia teater. Ia tercatat mendukung pementasan Aladin, Verdo, Atas Nama Kota dan Khatulistiwa. Pria muda berdarah Jawa-Ceko, bertinggi badan 190 ini, ikut berperan pula dalam film layar lebar, Buffalo Boys. Dan kelak akan tampil di film layar lebar lainnya, Gundala Putra Petir, yang baru menyelesaikan produksinya.


Lalu ada Shae. Ia sebelumnya dikenal sebagai penyanyi, dengan singlenya, Sayang, yang dirilis di Malaysia dan sukses juga di Indonesia. Ia berpengalaman pula berakting, pada film, Basahhh (2008) dan 3600 Detik (2014).
Penampilannya sebagai penyanyi, telah lumayan menciptakan sebuah sensasi. Itu lantaran bakatnya semata juga. Dan ternyata ia juga bertalenta sebagai seorang aktris.
Ada juga nama Johan Yanuar, yang mengawali karirnya sebagai model. Ia adalah juara ketiga dalam kontes L-Men Indonesia di tahun 2010. Lalu masuk Top 15 dan meraih gelar The Best National Costumre, pada ajang Manhunt International pada tahun 2011 di Korea Selatan.
Johan Yanuar juga tercatat sebagai musisi, ia bassis di kelompok musiknya, d Journey. Dimana grupnya telah menghasilkan sebuah mini album, pada beberapa tahun lalu.

Maya Christina Hasan, harpist cantik itu juga akan ikut berperan nanti. Maya pernah ikut mendukung ilm Koper, karya Richard Oh, di tahun 2006. Selain itu, ikut dalam pentas musikal seperti, Gallery of Kisses (2002) dengan Eksotika Karmawhibangga Indonesia. Lalu dalam 1001 Nights dengan sutradara Robert Draffin dari Australia.
Selain itu, Maya juga ikut pementasan Rumah Boneka, di tahun 2011, yang disutradarai oleh Slamet Rahardjo. Ia juga bahkan menulis naskah dan menyutradari pentas teater Love Versus Fear, Obing dan Panggung dari Perempuan.

Casts lain, ada para penari profesional selain bintang-bintang muda berbakat di dunia seni pertunjukkan. Baik untuk musik maupun teater dan tari. Seperti Diani atau nama lengkapnya, Mahardiani Indah Kusuma Wardani. Atau juga Ayu Gurnitha. Selain Wandy Adrianus.
Mhya, bersama dengan Ufa Sofura dan Mondo Gascaro telah beberapa bulan menyiapkan Bunga untuk Mira. Adapun naskah dan dialog, menurut Mhya, telah dilakukan  3 kali revisi. Dan proses audisi, untuk talent scouting dilakukan dalam tiga kali, sejak sekitar awal tahun ini.


Pementasan Bunga Untuk Mira, akan mengambil tempat di Teater Jakarta (teater besar), Taman Ismail Marzuki, pada 22 dan 23 Desember 2018. Untuk pemesanan tiket silahkan menghubungi kiostix.com dan indotix.com.
Akhirul kata, pesan paling bijaksana adalah, bergegaslah untuk mendapatkan tiketnya. Jangan sampai kehabisan. Sesal kemudian, tiadalah artinya. Mari menikmati dan merasakan pementasan musikal yang unik dan berbeda ini.
Sampai ketemu di sana ya, teman-teman sekalian..../*
Saat Press-Gathering BUNGA Untuk MIRA saya sebagai Moderator. Foto : Indrawan Ibonk



Friday, December 7, 2018

Pengalaman Menonton GnR. Lumayanlah...



Bingung ga sih, gw ditegorlah sama temen gw. Elo tuh yeee, orang-orang pada mo banget nonton Guns n Roses, susah payah gitu buat beli tiketnya. Elo dikasih malah nolak gitu aja?
Salahku apa sih? Hihihihi.... Salahku Menolaknyah.....

"Bro, elo mo liat GnR ga?"
Ga ah bray.

"Kenapa sih?"
Ga doyan gimana gitulah...

"Elo terlalu prog deh..."
Ha ha ha... Ga juga bray. Kata orang, gw pan orang jazz. Itu ga bener sih. Tapi gw males list GnR. Kenapa sih?

"Gw ada 2 tiket nih. Udah gw beli tapi ga bs gw pake. Buat elo sama Tyas aja deh. Mau ga?"
Ga lah bro. Kasih ke yang pengen aja bro. Beneran nih....

Pada Hari-H, beberapa menit sebelum Maghrib di hari Konser. Ditelpon dong. Gw ada tiket GnR 1, hanya 1. Elo pake, kita rame-ramelah. Ini tiket emang hanya untukmu bro! Jalan sekarang tapinya. Buruan!
Aduuuuh....dan entah kenapa terjadilah inkosistensi itu. Gw bergeminglah. Hmmm, seru juga kali liat GnR, Not n This Lifetime begitu judul tur konsernya... Yowisss, cabuttt! Pada akhirnya....macam luluh jugalah tembok hati ini.
Singkat cerita, jadi dong nonton. Masuk stadion coba merangsek maju, mencoba menerobos ke areal lebih dekat stage di kelas Festival itu.
Panasss juga, gerah euy. Alhasil masuk lagu kelima, gw ajak temen-temen mundur ke belakang yiuks. Gerah! Mungkin rada saltum. Pake kaos, tapi juga dibungkus jaket hoodie yang cukup tebal. Pantesan!
Mana lagi, kaos, bukan GnR dong. Lha asli, gw ga punya! Jadi saltum juga keleusss, karena kaosnyapun bukan GnR. Pake topi juga bukan GnR! Hadeuh. Topi sama kaos malah....Led Zeppelin. Gw sempet bilang ke temen-temen, eh LedZep kan mbahnya GnR! Hehehehe....
Oh ya kemudian nih, sekitar lagu ke 10 eh apa 11 kira-kiralah, eh mungkin lebih. Kaki pegel, ngeglongsorlah. Yaaa nonton sih, tapi palingan liat giant-screen yang ada.
Eits nonton sih sampai habis-bislah. Pulang, dengan sikon "berebut" ojek-online dg puluhan ribu penonton lain. Hihihihi.... Sukses dong nunggu lebih dari 2 jam.kayaknya!
Lantas seneng ga? Seneng yaaa gmn yaaa....biasa aja. Kan udah gw bilang di atas, gw ga terlalu doyan GnR. So itu point pentingnya ya. Itulah masalah utamanya....
Gw rasa gw terhibur dengan tampilan visual, lightingnya. Kerenlah. Banyak layar, giant screen kiri-kanan dan led-tv bertebaran. Isinya mix antara stage act muka para GnR dan video gitu deh. Nyaman dan asyik di liat. Beneran, keren deh!
Dari sisi visualisasi tersebut, atau tampilan sebagai sebuah konser, harus diakui memang “standarnya world-class concert”. Artinya, menunjukkan juga kelasnya GnR itu kan. GnR jelas grup kelas dunia. Mereka punya nama besar.
Ya jelas besarlah, karena catatan rekor mereka kan kalau diingat-ingat itu langsung dicetak pas rilis debut albumnya, Appetite for Destruction, yang dirilis Juli 1987. Yang konon terjual total lebih dari 30 juta keping di seluruh dunia. Dari album itu, pasti tau dong ya, single terpopulernya, ‘Sweet Child O’ Mine’.
Cuma agak-agak gimana dengan tata suaranya. Sayang sound kurang. Lownya, bass dan bass drum kok "terlalu di belakang". Alhasil, output yang diterima kuping, lownya terasa kurang tebal.
Soal GnR nya? Gw ngebayang, keknya kalo gw nonton mereka sekitar 20an tahun lalu, bakal lebih enak mereka ditonton dan didenger. Axl Rose, weeelll...kudu banyak jogging, berenang, kurangi minum2an dgn es, jangan banyakin begadanglah...kira2 begitu kali ya. Kalo aja gw kenal, gw kirimin message deh....
Misalnya nonton pas tur panjang mereka yang kesohor, Use Your Illusion di tahun 1991 sampai 1993. Mereka manggung sampai 194 pertunjukkan di 27 negara waktu itu. Tur panjang itu sebagai promo tur album sukses mereka yang berjudul sama itu, sebuah double-album yang dirilis September 1991.
Persoalan yang timbul memang pada akhirnya suaranya kurang optimal. Agak kepayahan terutama naik ke nada-nada tinggi dan lebih tinggi dan lebih lebih tinggi lagi. Dulunya doski gape bukan soal akrobat vokal melengking gt? GnR melejit namanya, antara lain karena kemampuan “extra ordinary” vokal dengan range sangat lebarnya Axl kan?
En ga perlu juga keleusss ada "interval” instrumental atawa personil lain nyanyi, demi Axl bisa berkesempatan "memulihkan nafas dan suara"nya. Penampilan, vokalnya terutama, Axl gw nilai sih "tersisa" 60-an % dari kemampuan terbaiknya, yang gw tau dari rekaman-rekaman atawa video2nya yang diambil taon 80-90an gitutlah.
Cuma 60%? Tragis amat! Ah sadis amat nilainya.... Ya oklah, sama temen, boleh deh, 70%lah ya. Udah itu udah khusus sama temen. Tapi intinya, kemampuan vokalnya jauh menurun. Pastinya juga soal umur kali?
Secara keseluruhan, GnR maaf aja, terasa memang "tersisa cerita2 kejayaan" mereka aja. Lagu perlagu mengalir sesekali "tersendat". Gw merasa gimana ya, kurang menularkan gairah untuk penonton, ya tentu saja khususnya untuk gw.
Kurang memancing adrenalin kali yeee... Itu juga kenapa lantas gw pilih yaaaa duduk aje dah.
Sehingga berdiri kelamaan,langsung berasa euy pegel-pegelnya. Itu mah perkara “u” kali? Bisa jadi. Iya, gw ga memungkiri itu. Tetapi kalau tontonannya emang panas membaralah ya, biasanya kan kita suka lupa bukan? Berasa pegel-pegel pas udah di rumah. Malah berasa cenat-cenut, baru pas bangun tidur esok harinya?
Penilaian ini, datang dari gw ya. Yg asli emg bukan fans fanatik GnR. Gw denger, gw tau lagu-lagu mereka tapi ya ga banyak. Terbataslah. GnR "kalah pamor", buat gw lho, dibanding apa ya... the Police. Siapa lagi? Bahkan Journey. Dan, oho apalagi dgn Queen, Van Halen dan Genesis!
Ini soal selera sih. Tapi gw sempet punya ekspektasi "lebih" dengan "terpaksa" nonton juga deeeh. Yang ternyata, sekali lagi dan lagi ya, buat gw sih di bawah ekspektasi gw.
Sedikit saja cerita ya. Ini cerita masa lalu sih. Gini, saat jaman jahiliyah, sering ga “sehat” deh. Yang nemenin saat “tinggi tinggi melayang”, kalau gw, pasti bukan GnR soalnya. Mungkin malah Rolling Stones atau apa ya, gw suka juga Led Zeppelin lho. Sampai siapa lagi, Jimi Hendrix!
So, bukan suara Axl dan GnR nya. Untuk saat sadarpun, kalaupun mendengarkan GnR itu selintas. Mungkin nyelip di sebuah album kompilasi Slow Rock, Rock Ballad, Rock Hits jaman 80-90an dulu.
Itu gw ya. Tetapi pastinya, kemarin banyak yang tetap mengharu biru suasana hatinya, menikmati GnR. Wajar kok. Fans mereka memang asli banyak, karena banyak hits yang masuk kategori balladnya kan? Slow Rock gitulah.
Tetap bagus sih, pada dasarnya. Memperoleh tontonan kelas dunia. Seperti juga tetap bagus kalau sampai Judas Priest datang dan berkonser. Pasti ada juga fansnya kok. Walau kayaknya relatif lebih terbatas lagi, daripada Guns and Roses.
Kebetulan juga nih, gw lagi-lagi ga terlalu suka dengan Judas Priest. Tahu kok Rob Halford. Gw atensinya pada kostum metal mereka. Metal-God betul! Berpaku-paku gitu, kulit, wah keren pisan euy. Untuk penampilannya, kostumnya ya. Untuk musiknya? Asli gw ga begitu suka. Maafkan.
Gw terasa lebih “lembut” gimana sih kali. Megadeth ga suka, Iron Maiden ga juga. Apalagi Judas Priest! Tapiiii, gw masih denger mereka, walau selintas. Dan, ga masuk di hati sih. Hadeuh!
Yaaaa gt deh. Tapi trims karena gw paling ga punya pengalamanlah nonton GnR. Nambah pengalaman nonton band2 top rock kelas jagatraya lah ya. Nini Sunny terimakasoy untuk telah menginagtku, dan mengajakku! Beruntung sih kamyu, Tyas Amalia Yahya ga ikut nonton....  Hihihihi
Gw nonton doang. Ga bawa kamera sama sekali, daripada tar dicegat dan kagak boleh dibawa ke dalam kan? Lantas ga berhasrat untuk motretpun walau dengan hape sekalipun. Hapenya abis batere juga.   Salam kan?
Nah foto-foto ini pake karyanya Indrawan Ibonk, untuk stage-photographynya. Thanks 'bonk! Thanks juga untuk Prassidha, yang sebenarnya doski duluan yang nawarin tiket, dan...gw tolak! Bersalahlah gw nih. Pan ternyata lha gw nongton juga akhirnya..../*


Ketika Jazzpun Lantas Menulari Samosir




Sebuah pulau di tengah sebuah danau yang relatif besar. Salah satu danau terbesar di dunia. Danau dengan sejarah panjang, sejarah peradaban manusia di muka bumi. Danau yang penuh aroma mistis, namun sangat mengangumkan itu.
Jadi bayangkanlah eksotikanya sebuah pulau di tengah-tengah danau, yang terbentuk dari sebuah kaldera raksasa, hasil meletusnya gunung api purba sekitar 69.000 -77.000 tahun yang lampau. Sebuah gunung berapi maha besar, dengan letusan super masif, yang bahkan ditengarai merubah peradaban bumi di waktu itu.
Danau Toba itu, panjangnya lebih dari 100 kilometer, dan dengan lebar 30 kilometer-anlah. Kedalaman lautan danau itu adalah sekitar 550 meter, sebagai titik kedalaman yang paling maksimal.
Di tengah danau itulah terletak Pulau Samosir, dengan luas sekitar 1400 kilometer persegi. Hawa sejuk, dengan dikeliling dataran tinggi, termasuk di dalam pulau maupun daerah yang mengelilingi pulau tersebut.


Menariknya, Samosir kini yang sudah terbentuk menjadi Kabupaten Samosir, dapat dicapai tak hanya lewat erry yang menyebrangi danau itu. Tapi sudah ada dataran yang lantas disambungkan, sehingga memudahkan masyarakat untuk berkunjung, dengan memakai kendaraan.
Eksotika danau dengan pulau di atasnya itu, tak lagi hanya “milik” provinsi Sumatera Utara semata. Di dua tahun silam, Danau Toba dengan keindahan alami alam sekitarnya telah resmi menjadi satu dari 10 destinasi andalan pariwisata nasional prioritas. Bersanding dengan antara lain Borobudur Jawa Tengah, Kuta Mandalika Lombok, Bromo-Tengger-Semeru Jawa Timur, Labuan Bajo Nusa Tenggara Timur, Wakatobi Sulawesi Tenggara.
Tak tanggung-tanggung, Presiden Joko Widodo sendiri yang telah memberi perhatian serius. Untuk menata dengan lebih baik kawasan Danau Toba, tentu saja dengan Samosir di dalamnya. Dengan antara lain penguatan aksesbilitas dan konektivitas, demi menunjang Danau Toba menjadi kawasan pariwisata unggulan utama Indonesia.
Panggung itu, Samosir Jazz Season, yang harusnya bisa lebih baik.

de Professor USU, yang datang langsung dari Medan, sebagai pembuka


Nah sebelum itu sebenarnya, Samosir sudah terasa mulai menggeliat. Berbagai peristiwa budaya digelar. Dengan di antaranya adalah termasuk budaya musik. Teristimewa ragam World Music. Dan belakangan juga ikut “tertular” virus jazz.
Yes, kan seperti diketahui bersama, bahwasanya jazz entah bagaimana asal muasalnya, tettiba menjadi semacam virus. Menulari berbagai pelosok Nusantara. Menjelma menjadi sebuah trend, sebut saja begitu. Trend menggelar festival jazz, dimana-mana, di seluruh penjuru Nusantara!
Kenapa sih harus jazz? Sudahlah, hal itu kan sudah jadi bahan tulisan saya berkali-kali, cuuuuy. Kali ini, saya lagi enggan menelisik soal itu. Tetapi memang pada akhirnya, Samosir pun tertular dengan jazz.
Digelarlah event bertajuk Samosir Jazz Season. Kabarnya, pada akhir Oktober 2018 silam itu, adalah kali kedua diadakan. Yang pertama skala lebih kecil, dengan penyelenggaranya adalah sepenuhnya organizer setempat. Nah yang kemarin, secara khusus menggandeng WEM, Waspada eMusic, yang dikomandoi pasangan suami-istri, Erucakra Mahameru dan Arsyadona, dari Medan.
Erucakra Mahamaeru dengan C Man nya. Sebagai tuan rumah sebenarnya, kalau bisa makin solid, akan menjadi performer yang makin penting nih.




Erucakra dan Asryadona lantas menyolek saya dan sahabat baik, Indrawan Ibonk, untuk turut serta. Akhirnya terjalin deh sebuah “jazz-trip”. Dari North Sumatra Jazz Festival di kota Medan, yang sudah kali kedelapan diadakan, sampai 2018. Seminggu kemudian diikuti Samosir Jazz Season.
Saya asli terkagum-kagum dengan pesona alam Samosir. Sejak menyusuri perjalanan dari kota Medan, dengan kendaraan, sudah takjub dengan pemandangan di jalan yang kami lalui. Dan makin takjub, terpesona abis bray, sekitar sejamlah sebelum tiba di Samosir.
Waktu kami berkesempatan mampir di titik persinggahan Menara Tele. Pemandangan sekitar, sejauh mata memandang, perbukitan hijau subur, udara segar, menyamankan mata, telinga, kulit ah pokoknya sekujur tubuh bahkan hingga pikiran! Masya Allah, luar biasa indahnya.
Dan sampai di venue, areal Daniang di kota Pangururan, ibukota dari kabupaten Samosir. Pantai minimalnya, menyuguhkan pemandangan perbukitan nan indah. Lokasi panggung, bersebelahan dengan sebuah Museum mengenai Samosir, yang berbentuk rumah adat Batak Toba.
Edward Van Ness, dari USA.

Rodrigo Parejo dari Spanyol



Ternyata lokasi tersebut, hanya satu dari aneka spot-spot lain yang tak kalah indahnya. Termasuk spot pantai Parbaba, di areal depan penginapan kami, selama di Samosir. Dan lokasi itu, layak juga menjadi venue perhelatan sebuah festival musik.
Menurut Erucakra dan Arsyadona, didukung pula info dari sahabat-sahabat lain, yang ikut dalam tim penyelenggara Samosir Jazz Season itu, antara lain ada Rio Tambunan dan Amir Makmur Nasution. Memang masih banyak tempat lain, yang sebenarnya sangat layak menjadi venue dari acara tersebut.
Samosir itu kaya nian. Padahal, perlu diketahui, bahwa kawasan Daniang termasuk juga areal pantai Parbaba itu, bukan di spot utama tujuan turis. Letaknya masih lumayan jauh dari kawasan turis yang sudah dikenal luas seperti Tomok dan Tuk Tuk.
Ok fokus ke acara Samosir Jazz Season itu ya. Untuk kali ini, WEM sebagai pelaksana lantas menggelar sebuah festival yang sebenarnya relatif kecil. Menampilkan de Professor Band, yang berisikan para profesor dan doktor dari Universitas Sumatera Utara, Medan.




Lalu, ya so pasti dong, ada Erucakra & C Man. Tetap dengan formasi Brian Harefa (soprano saksofon), Radian Syuhada (bass eltrik), Heri Syahputra (kibor), Rusfian Karim (drums). Dan dengan leader sekaligus gitaris, and also lead-vocalist, Erucakra Mahameru sendiri. Dengan Arsyadona, menemani di sisi kiri, bisa juga sih sebelah kanan, panggung.
Untuk Samosir Jazz Season, Erucakra mengajak dua musisi tamu. Ga tanggung-tanggung lho, satu dari Amerika Serikat, satunya dari Spanyol yang ber-KTP Belanda. Edward Van Ness, dengan biola. Dan Rodrigo Parejo, dengan flute.
Masih ada musisi tamu lain, yang berkolaborasi dengan mereka, para musisi tradisi asal Samosir sendiri. Khusus untuk instrumen tradisi Tapanuli/Batak. Musiknya rame memang, dan mungkin ada suasana musik yang akrab dengan sebagian besar penonton yang datang malam itu.
Oh ya, mungkin ada hampir 2000an penonton yang datang, sebagian besar memang penduduk Samosir. Ada menyelip beberapa turis mancanegara, termasuk warga Medan atau daerah Sumatera Utara lainnya. Yang sayangnya, sebagian besar justru meninggalkan arena acara, di udara terbuka itu, sebelum acara berakhir.
Setelah C Man dengan kolaborasi uniknya,menyelipkan pula tema Rise of the Kingdom – Sriwijaya Kronikel yang adalah ide kreatif Erucakra, tampillah Dian Pramana Poetra. Diboyong langsung dari Jakarta, melalui bandara Silangit, sekitar 2 jam dari Samosir letaknya.
Dian Pramana Poetra






Dian Pramana Poetra didukung para musisi andalan seperti Ilyas Muhadji (bass), Handy Salim (drums), Wandi (gitar) dan kibordisnya, Andy Gomes Setiawan. Dian lumayan mampu menaklukkan penonton, dengan sukses membuai lewat pelbagai hits-nya dari era 1980-1990an.
Tentu saja, sudah terbuai, menerbangkan ke masa-masa indah dulu, lalu ikutan menyanyi juga dong.Suasana adem, ayem, tentrem. Angin sejuk menerpa. Ah romantisnya....
Dan terakhir, Syaharani dengan Queenfireworks-nya neutup acara. Syaharani membawa Subekti Sudiro (bass) yang “anak Medan asli” sebenarnya. Pada drums ada Hentriessa Yulmeda. Kemudian di gitar ada, very special-guest star, Noldy Benyamin Pamungkas.
Noldy, jadi gitaris tamu, karena gitaris Queenfireworks, Donny Suhendra, tengah berhalangan karena kesehatannya. Dan ada lagi, yoi ada lagi Andy Gomes Setiawan, sebagai kibordis. Double job dong, mas? Hehehe.
Syaharani juga menggamit Erucakra untuk ikut bermain bareng. Terjadilah kolaborasi nan hangat, apalagi lagu yang dipilih, ‘Come Together-nya The Beatles. Sahut-sahutan lengkingan gitar Noldy dan Erucakra, mewarna secara seru penampilan mereka. Menyenangkan nontonnya.
Syaharani and Queenfireworks, feat. Erucakra Mahameru





Pas juga sebagai penutup. Dan, selesailah. Yup, hanyalah segitu. Mungkin cukup, sebagai sebuah “perkenalan”.Kalau nanti dapat terjalin kerjasama lagi, mungkin akan lebih “berwarna”, juga “berwarni”. Maksudnya, bisa saja, lebih rame grup yang tampilnya.
Tapi memang kan sejatinya, barulah perkenalan. Penjajakan juga adanya. Dimana WEM sebagai pelaksana juga didukung pihak event organizer setempat. Yang sudah mencoba bisa “melayani” dengan sebaik-baiknya. Kalau lantas belum sempurna, biasalah itu. Itu artinya, pihak organizernya harus lebih rajin-rajin untuk bergaul lagi. Dan, mau belajar menyempurnakan diri. Belajar bekerjasama dengan sebaik-baiknya.
Misalnya, ini satu point simple, mendasar tapi kudu diperhatiin. Kru stage yang sigap, dengan wawasan yang lebih lebar dan lapang lagi. Juga kru panggung, eh ga tau deh itu krunya atau bukan atau bagian dari timnya atau tidak, jangan keasyikan memotret di atas panggung. Yang makin lama, lupa diri mendekat ke musisi dan penyanyi.
Saya pikir, ada baiknya si fotograer itu, sekalian diberi alat musik saja. Atau menjadi backing vocal mungkin? Sehingga justru mewarnai panggung itu, bukannya malah merusak suasana kan? Kalau di event lebih besar dan serius, fotograer begitu, sudah ditarik turun, dan disuruh menonton saja dari depan panggung dengan manis.....
Itu hanya sekedar cerita-cerita sisa saja dari perhelatan itu. Yang pada akhirnya, saya memang terlibat tetapi juga haruslah memberikan “sedikit” pandangan. Bahwa festival berlangsung lancar, alhamdulillah.
Tetapi hendaknya, memahami bahwa kenapa harus jazz, dan kenapa jazz tetapi pihak penyelenggara toh sempat meminta bintang-bintang penyanyi atau grup band pop. Dengan alasan, yang lebih dikenal luas, yang bisa lebih mampu memanggil lebih banyak penonton?
Kalau begitu ceritanya, ga harus jazz kan? Maksudnya, bikinkan saja sebuah event festival musik. Lebih lebar, lebih lapang, lebih leluasa untuk mengundang lebih banyak bintang-bintang populer. Tentu saja dong, asal tak lupa, memang dananya mencukupi dan memadai kan? Maklumlah, bahasa “halus”nya, ga ada yang murah sih.....
Dengan datangnya Dian Pramana Poetra dan Syaharani, dengan grup bandnya masing-masing, suah jelas harus disyukuri. Mereka telah bersedia datang, dan meramaikan acara. Terima kasih banyak, bro Dian dan sis Rani.




Di kesempatan mendatang, sekali lagi kalau ternyata semesta menghendaki terjalin lagi kerjasama, perlu dipertimbangkan dengan sungguh-sungguh soal “label” jazz. Jadi memang, performers yang tampil itu, tak perlu “dipaksain” lebih lebar, demi mendatangkan lebih banyak lagi penonton.
Mendatangkan penonton, kan harus bisa diupayakan melalui promosi yang tepat dan terarah. Maksudnya adalah, bagaimana mempromosikan acara ini dengan gencar, kalau bisa dari jauh-jauh hari. Digaungkan di seluruh Sumatera Utara, bahkan kalau perlu Samosirskala nasional!
Karena begini ya, nonton jazz itu nikmat deh. Iya, menghibur, melepaskan kepenatan, melonggarkan juga otot-otot yang kaku. Idealnya begitu kan ya? Tapi menonton jazz di Samosir, nah ini bakalan menjadi sebuah pengalaman indah berbeda, yang harus dicoba, dirasakan, dialami publik. Tentu saja, terutama masyarakat penggemar musik, dari luar Samosir.
Sudah udaranya segar. Pemandangan indah menawan hati. Ditambah sajian jazz yang mempesona dan menghibur hati. Alamak, itu perpaduan yang sempurna betul. Bisa-bisa jadi pengalaman tak terlupakan sepanjang hidup....
Tak semata-mata “menjual” bintang-bintang, yang termasuk bintang pop non jazz. Tapi justru mengandalkan suasana indah, sangat berbeda, yang “disediakan” alam Samosir itu. Samosir-nya itu, yang justru tetap dikedepankan.
Rasa-rasanya, Samosir sudah lumayan banyak event musiknya sejauh ini. Namun rata-rata, belumlah digarap dengan “benar” soal menggaung-gaungkannya kemana-mana. Sehingga, mampu menjadi magnet yang mampu mendatangkan banyak wisatawan, baik domestik maupun internasional!
Mengemasnya dengan benar, secara skala nasional saja dulu. Menampilkan bintang-bintang jazz, kalau ini soal event festival jazz macam Samosir Jazz Season, yang memang layak dan pantas. Tentu bisa dilihat, kelasnya Dian Pramana Poetra dan Syaharani lah kira-kira.
C Man juga layak, punya potensi besar, secara ide. Apalagi kalau bisa makin solid, dengan kreatifitas merancang kolaborasi-kolaborasi keren, lintas genre misalnya. Nah tinggal ditambah kreatiftas tambahan, yang penting banget, “mengelola” promosi dengan tepat dan terarah.
Saya sempat dibawa menuju kawasan dataran tinggi Pusuk Buhit, sampai Mesuem Geopark Toba di puncaknya. Kawasannya sangat mempesona. Mungkin bisa dipertimbangkan menjadi salah satu venue sangat potensial untuk Samosir Jazz Season, di kesempatan mendatang berikutnya.
Sumatera Utara bisa punya festival sekeren Jazzgunung di kawasan Bromo atau Ijen Jazz di dataran tinggi Ijen, Jawa Timur tuh. Modal pesona alamnya sudah ada. Tinggal mengemas, mengelola dan menjalankannya dengan sebaik-baiknya.
Well said, semoga bisa berjumpa lagi di tahun mendatang. Dengan acara festival yang lebih keren, lebih baik lagi dan lebih....ngangenin! Salam... Jazz as Always!/*