Kali
ini, saya ingin membagikan, hasil foto-foto dari pertunjukkan Indonesia Kita - Doea
Tanda Tjinta. Yang kembali digelar oleh KAYANA production&communication didukung DJARUM Foundation Bakti
Budaya.
Kembali
lagi, trio Butet Kertaradjasa, AgusNoor dan Djaduk
Ferianto, bersekutu dalam payung kreatifitas untuk menyodorkan bentuk
hiburan "khas"nya. Mereka identik dengan
"musikal-musikalan", yang mungkin maunya adalah rada
kekini-kinian" lah ya. Musiknya keroncong (juga).
Tetap
mengedepankan, eh lebih tepat disebut "mengandalkan, Cak Lontong, Akbar dan Marwoto.
Selain Susilo Nugroho. Bersama, Trio - GAM. Ditambah kali ini juga dengan Merlyn
Sopjan serta bintang jelita, Olga Lidya.
Selain
itu, mengandalkan pula dengan tarikan vokal dari Endah Laras, Subardjo HS. Serta
"memperkenalkan", Heny
Janawati dari Bali, penyanyi
seriosa yang mengenyam pendidikan olah vokalnya di Kanada.
Menjadi
sebuah hiburan pertunjukkan rada musikal, dalam hal ini "Musikal
Keroncong" yang menyehatkan. Alternatif lain yang menyegarkan. Tentu saja,
keroncong-nya Sinten Remen, dipadu
dengan candaan, celetukan, "kepinteran-keinteran"nya Akbar dan
"sinyo" Cak Lontong.
Atawa "babah"Marwoto, dengan putri cantiknya, Olga Lidya, serta
"meneer" Susilo Nugroho.
Oh
ya, penata tari adalah Kristiono Soewardjo. Tim artistiknya adalah Ong Hari
Wahyu dengan Retno Ratih Damayanti.
Nah
perihal lakon Doea Tanda Tjinta ini, etapi ini beda betul dari film berjudul
sama yang dirilis beberapa tahun silam ya. Bukan, ceritanya ga sama dengan film
layar lebar itu.
Ini
deh saya copas aja dari rilisan yang dikeluarkan
penyelenggara :
Lakon Doea
Tanda Tjinta merupakan cerita berlatar zaman pergerakan
kemerdekaan, ketika gagasan tentang Indonesia merdeka menjadi ancaman bagi
pemerintahan Hindia Belanda. Bagaimana para pemuda-pelajar pada saat itu mulai
menyemai benih pemikiran tentang kemerdekaan, dan bagaimana persoalan-persoalan
yang mereka hadapi, akan menjadi tema cerita dalam lakon ini.
Lakon ini adalah kisah seorang pemuda
keturunan Belanda yang menjadi mata-mata dan mencoba mempengaruhi para pemuda,
membujuk mereka agar terus mendukung pemerintahan Hindia Belanda. Lakon ini
juga bercerita tentang kisah cinta seorang anak Nyai, yang berusaha
mempertahankan keyakinan dan prinsipnya untuk lebih mendukung pergerakan
Indonesia merdeka daripada ia harus menerima warisan papanya yang menetapkan
syarat memilih menjadi warga Hindia Belanda.
Antara cinta dan pergolakan pemikiran serta
gagasan tentang kemerdekaan itu, menjadi dua alur yang paralel, saling
berkaitan, dan akan menjadi sebuah kejutan di akhir kisah, ketika sebuah jam
yang merupakan warisan anak Nyai itu mengungkap kisah sebenarnya.
Saya nontonnya tergelak-gelak juga, sama
seperti seluruh penonton, yang memenuhi gedung Graha Bhakti Budaya, Taman
Ismail Maruki, malam pertama itu. Iya pertunjukkan digelar 2 malam, 29 dan 30
Juli. Saya berkesempatan menyaksikannya di hari yang pertama.
Menonton? Tak
sepenuhnya benar sih. Soalnya, bawa tas kamera. Ya berikut isinya tentu saja. Isinya
kaos? Ya bukan. Kaos panitya? Saya penonton. Bukan panitya. Saya pemerhati
saja. Tas saya isi kamera dan lensa-lensanya. Ya, so pastilah!
Saya menonton,
atas jasa baik pakde, Djaduk Ferianto sebetulnya. Iya, bukan diundang
spesial oleh organizer lho.Spesial? Terkesan sekilas, macam martabak saja! Hati-hatilah,
gula darah meninggi..... Apaan sih?
Jadinya, menonton
sembari memotret. Jeprat-jepret sedikit, lalu menonton. Geser-geser dikit, naik
dan turun. Nonton lagi, llu memotret lagi. Ada kenikmatan tersendiri, dalam
mengabadikan tontonan “terlihat teatrikal” beginian.
Membaca design
panggung keseluruhan. Adegan per adegan. Menikmati ekspresi-ekspresi
pelakonnya. Captured scene and make a different framing, composition of
shots.
Menciptakan framing
sendiri, dari apa yang terjadi. Tak sekadar mewakili mata penonton, membuatnya lantas
menjadi teringat dengan adegan peradegan yang keluar.
Melihat dan
mencermati blocking para pemain. Dan, ah ini juga vital bray, melihat “permainan”
dari tata cahaya. Bagaimana tata cahaya itu,menyirami panggung, sekaligus memberi
aksen pada ekspresi para pemain. Aha, itu serunya memotret panggung.
Bukan musik!
Maksudnya, bukan melulu memotret aksi musik, penyanyi atau band saja. Ini
harusnya, eh biasanya sih, lebih ekspresif. Atau, ya ekspresinya bedalah dengan
musisi rock di atas panggung, misalnya. Yang mendekati trance, ada yang
salah satunya karena dorongan alkohol? Karena musiknya, membuatnya jadi...ingin
“mabuk”?
Beda dong dengan
ekspresi jazzer yang lagi hanyut, nyaris orgasme sendiri, dengan permainan solo
instrumennya, misal yang lain lagi. Karena, dorongan apaan? Mungkin es teh
manis atau air mineral? Musiknya dia aja, sudah memabukkan!
Jadi pengen
mabuk? Jangan kebanyakanlah. Control bro, control. Bisingnya jazz dan
rock, juga musik lainnya termasuk sampai dangdutpun, suka-suka memang mendorong
kita....haus!
Susahnya, teh
manis tak ada. Air mineralpun sedikit. Minuman “penyegar otak, pemanas perut
dan tenggorokan” itu banyak di depan maa, jack! Yaaa, sikat! Daripada
dehidrasi....
Teater begini,
yang lantas jadi mabuk itu, biasanya....eh yang motret. Mungkin juga penonton. Menagih
gitu deh. Tuman? Ketawa-ketiwi, tergelitik-itik-tik seru, eh udahan!
Kurang ah. Ya gitu deh manusiaaa.... He he he he.
Abis menonton,
dalam perjalanan pulang, lalu membuka botol. Boleh kan? Ya silahkan saja. Siapa
yang bayar? Kalau bayar sendiri, monggo.... Akan jadi geli, misal
mengingat si orang Londo, ayah dan anak. Yang lama tak bersuaaa.
Lamaaaaa bener.
Pinternya si
penjemput nih, karena selalu bisa mengerti banget apa yang dikatakan si sinyo.
Sinyo merasa soalnya, orang Belanda. Omong Belanda. Padahal ia ngomong
Indonesia. Kalau si penjemput mengerti “bahasa Belanda”-nya si sinyo,
ya....berarti kamu, pinter!
Orang Belanda
itu, kalau baca surat harus dari baliknya? Ya begitulah. Pingpong, macam kasih
umpan tanggung, smash atau balikkin pake lob. Mungkin kasih backhand
dropshot tipis di atas net? Ga hanya main pingpong lah, tenis juga begitu?
Bulutangkis, janganlah dilupa!
Kira-kira begitu
deh. Segar kan ya? Iya, kalau saya pribadi, merasa begitu deh, “tersegarkan”.
Pulang, nyamanlah. Terhibur. Dan cukup puas, karena berhasil captured
beberapa shots. Paling-paling, lantas berharaplah ya, foto-foto jepretan
saya, bagus-bagus deh. Bagus buat siapa?
Bisa dilihat orang-orang
lain. Paling asyik, bagus dan lantas dinilai bagus juga oleh publik. Bukan
sekedar bisa dilihat doang. Tantangannya di situ deh, kira-kira. Eh itu, kata
saya ya.
Enakan mana,
memotret konser musik atau aksi teatral model musikal? Beda-beda. Ah, itu kan
sudah saya gambarkan di atas. Tetap begitu pendapat saya. Menyenangkan juga.
Sempat minum segelas, dua gelas sebelum acara, ataupun tidak. Minum apaan?
Dan inilah hasil
foto-foto saya itu.Semoga berkenan di mata anda semua. Dan silahkan menantikan
pertunjukkan serialberikut dari Indonesia Kita ini, di akhir Oktober 2016
nanti. Begitu pesan dari Butet Kertaradjasa, di penutup.
Tabik!
/*