Thursday, June 9, 2016

Ngeheknya Elda dan Adi! Nonton mereka pertama kali


Lagi pengen, menulis tentang apa ya baiknya? Ada banyak hal sih, yang bisa ditulis. Yang memang melintas di pikiran saya, pada saat ini. Tapi kayaknya menulis tentang grup musik ini, pada saat ini, ga ada salahnya....
Hebatnya gini. Saya mendengar mereka, menymak cerita tentang mereka. Membaca tentang mereka, sudah dari kapan ya, 4-5 tahun silam,mungkin? Lama kelamaan tertarik juga. At least, tergodalah ya, untuk melihat mereka langsung. Performance mereka, di panggung. Dan, tibalah kesempatan itu. Baru aje kemarin, bray.... Daaaaan, mereka emang Ngehek!

Yang cewek dulu, Elda. Dulu saya kenalnya sebagai Elda Yanuar. Denger kabar, nama itu, sudah ga dipakainya lagi. Disimpennya dalam laci almarinya, dikunci tu laci. Kuncinya dibuangnya di sungai Bengawan Solo. Eh apa di pantai Parangtritis, atau pantai Baron? Pokoknya, sudah dilupakanlah.
Elda Suryani, begitu nama yang tertera di paspornya, saya kenal baik pada sekitar 10-an tahun silam. Lamo nian? Iyo, nianlah. Ia saya kenal ketika ia ikut sebagai peserta, audisi eVo mencari vokalis. eVo itu nama band “baru”. Di setting-lah, ga punya vokalis, maka perlu cari vokalis. Mencarinya ini nih, lewat sebuah program televisi.
Saat itu, ada juga program sejenis, mencari vokalis grup rock di Amrik sono. Menyoal eVo, isinya para musisi dari beberapa grup yang “papan selancar eh papan atas” lah. Didit Saad (gitar,ex Plastik, waktu itu sudah sibuk sebagai produser dan juga bermain dalam Syaharani-Queenfireworks), Adnil Faisal (gitar, ex Base Jam. Setelah itu jadi produser dan session player). Drummernya ada Ronald Fristianto (ex GIGI, ikutan juga di Magenta dan jadi session player).
Sebagai bassis adalah bassis sekaligus penulis lagu dan ex Dewa (19), Erwin Prasetya. Sementara itu pada kibor, sekaligus sound-production dimana ia juga sebenarnya gitaris juga, Angga Tarmizi. Angga ini “pemain cabutan”, langsung diterbangkan dari Boston, Massachusetts. Ia lagi selesai studi di Berklee College of Music, sedang aktif berkarir musik di sana, lalu dipanggil pulang untuk ikut eVo ini.
Ok, program itu adalah ide dari Dhani Pette dengan Pos Entertainment-nya. Dan sebagai program televisi, ditayangkan dengan nama Reinkarnasi, di stasiun Indosiar. Nah Elda, masuk 10 besar tuh, ia memenangkan audisi di kota Yogyakarta.
Singkat cerita, Elda terpilih. Tidak absolut waktu itu. Tapi sedari awal, kalau saya sendiri melihat, anak mungil ini suara ga begitu bagus-bagus amat. Tapi unik pada penampilannya. Dan kalau dicermati vokalnya, dia punya warna tersendiri. Jarang kayaknya penyanyi cewek dengan timbre suara seperti dia.
Pe-er sebenarnya sih buat kelima eVo. Karena warna vokal nan spesifiknya Elda itu. Tapi itu tantangan yang menarik buat Didit Saad dan kawan-kawan. Bagaimana menulis lagu yang bisa pas dibawain Elda dengan karakter vokal khasnya.
Ya itu sekelumitlah cerita awal perkenalan saya dengan Elda mungil nan unik itu. Etapi, ngemeng-ngemeng, saya memangnya ada di eVo juga? Oh, saya di eVo? Bantu-bantu ajalah.... U know what I mean....

Ok then, lalu tetiba ada Stars and Rabbit. Saya dapat info grup itu, sebagai duo akustik, dari sahabat bak saya. Riva Pratama namanya. Riva ini, kenal Elda sama juga. Waktu jamannya eVo. Riva ikut juga di tim-nya eVo. So, jadi begitulah korelasinya. Saya, Elda dan Riva Pratama. Jadi begitulah, Riva seneng ngabarin soal Stars and Rabbit.
Konsepnya memang duo. Elda Suryani dengan Adi Widodo. Adi bermain gitar. Belakangan format duo begitu, lagi bermunculan satu demi satu. Sebut saja, ada Endah N Rhesa, eh tapi Endah itu ngegitar dan vokalis dan Rhesa, main bass sih.
Ada siapa lagi? Bubugiri. Belakangan juga  AriReda. Ya sebut lainnya deh, yang lainnya yang saya mungkin lupa. Tapi Stars and Rabbit ini, bisa saya bilang, well...slowly but sure.
Iya duet ini, ga langsung melejit tinggi ke atas. Kalau terlalu mendadak melejit tinggi, suka-suka susah turun, hilang ditelan langit! Atau sebaliknya, tetiba melejit ke atas, abis power-nya, turunnya deras betul ke bawah. Menukik tajam. And, selesai!

Saya memang niatnya berkisah saja tentang Stars and Rabbit, yang saya ketahui. Ya, terus terang saja, jujur nih, saya aja baru sekali melihat penampilan panggung mereka. Eh nyaris 2 kali sebetulnya. Cuma yang pertamakali itu, baru nyaris aja. Pas dateng, telat euy. Saya sampai di venue, di acara yang mereka tampil, pas banget mereka baru selesai.
Saya memang lantas saja penasaran dengan penampilan mereka. Sebelum ini, saya melihat, atau menonton mereka, lewat youtube saja. Godaannya kuat betul. Saya melihat, edan nih Elda, udah kayak begitu aja?
Menurut teman baik saya, Adnil Faisal. Di komennya di path, Elda mah ditempa asli lewat waktu. Lewat keadaan. Saat ini, 10-n tahun selepas selepas eVo, Elda seperti berproses mejadi tambah matang dan lebih matang lagi.
Baik pada suaranya. Pada pilihan kostum dan tata rias. Dan, terpenting buat saya, pada aksi panggungnya. Itu menjadi sebuah paket lengkap yang “sempurna”! Yang sempurna dalam membungkus sebaik-baiknya, dari penampilan Stars and Rabbit-nya.
Ia bertemu Adi Widodo, yang punya konsep musik “sederhana tapi pas”. Folk saja, sebagai dasar.  Tapi folk yang “menjelajah” kemana-mana. Lebarlah gitu. Elda secara pas, menempatkan dirinya, menjadi frontline, dari konsep musik Adi Widodo, dengan gitarnya itu.
Sebenarnya, duo saja,mereka sudah “menggiurkan”. Musik mereka terkesan emang sederhana. Mereka kayaknya main lebih “deep”. Itu pendapat saya ya. Lihat dari youtube, atau mendengar beragam single mereka.
Musiknya sederhana tapi renyah, crispy, ada manisnya, asin-asin dikit, kadang sedikit spicy. Enaklah untuk menggoyang kuping. Oh ya, pilihan lirik, yang dibikin Elda, pada lagu-lagu mereka. Perlu diacungi jempol.  Artinya tuh lebar dan luas. Elda memilih menulis lirik banyak dalam bahasa Inggris. Dan ya itu bagus. Bukan somse sih.
Sok English gitu? Ga lah. Toh akhirnya, mereka direspon positif publik musik internasional. Eropa dan Asia,paling ga lah. Tapi mereka punya potensi mendunia, lebih dari beberapa negara Eropa dan Asia. Bisa mendunia. Kalau saja nasib mereka baik. Tapi nasib mereka itu, didukung kejelian mereka dalam menulis lagu, mengemas musik and juga penampilannya.

Oh ya,untuk jelasnya deskripsi musik mereka, saya pernah menulis begini. Sebuah duo minimalis, bermusik renyah dan ringan. Tapi seperti mencolek hati, sesekali bisa juga membuat kita terasa lebih relax. Sebuah racikan music yang lain memang.
Rileks, angkat kaki, ada secangkir kopi di lawn chair yang kita duduki. Ditemani folk-pop-rootsy adonan musik mereka, mungkin saja bisa membuat sore kita terasa lebih syahdu dan melenakan. Refreshing? Boleh saja. Yang paling tepat, menyegarkan, sebetulnya. Gitar mengalun bening dan vokal utama Elda, yang unik, khas, orisinal.
Saya pernah menulis profile singkat mereka, di media saya doeloe. Sekitar 3 tahunan lampau. Masih dalam konsep duo asli, waktu itu. Tapi sebegitupun, saya sudah seolah tersengat. Eh lucu nih Elda dan Adi...
Waktu itu, mereka baru saja melansir ‘Worth It’ sebagai single. Tapi dengan single semata wayang begitu, Stars and Rabbit, sudah berhasil menembus kuping publik internasional. Apalagi lantas disambung rekaman EP mereka, Live at Deus, berisikan 5 lagu.
Itu rekaman minimalis dan “simple”. Single-camera. Mereka perform waktu itu di Deus Ex Machina, Bali. Suara adience yang cukup banyak, juga diambil. Jadinya, materi rekaman yang cukup untuk menjelaskan lebih lanjut musik duo mereka itu.
Kemudian merekapun merilis Constellation, sebagai full-album mereka. Fisiknya, bentuk compact-disc nya ada, tapi diikuti pula rilis digital. Saya diberi “souvenir” oleh Riva Pratama, satu ketika di penghujung 2015 silam. Saat mampir di Yogyakarta.
Saya lantas dengerin bolak-balik, emangnye kaset. Maksudnya, dengerin beberapa kali materi album itu. Oh ya, waktu itu bermobil. Lagi touring “iseng” dengan The KadriJimmo, yang melakukan promo tour radio di Jawa Tengah.
Rekamannya bagus. Lebih mencermati materi lagu dan syair. Kemudian musik. Sederhana tapi nikmat, ah macam restoran Padang saja, pake nikmat segala. Cuma saya, juga Kadri yang ikut menyimak, mengkritisi sedikit. Kayaknya, mixing dan mastering, harusnya bisa lebih baik?
Tapi itu mungkin soal selera kuping sih. Namun terpenting, musik mereka secara keseluruhan kan? Eh kemarin di April, mereka merilis lagi semacam Live Album, Live at Societat Militair. Isinya 8 lagu.
Sebelumnya, single 'The House' dari album Constellation, dirilis duluan. Dan diikuti pembuatan video musik berdurasi 3 menit. Lantas disambung, 'Like It Here', yang ternyata diambil Joko Anwar, menjadi musik untuk trailer filmnya, A Copy of My Mind.
Sementara live album mereka itu, diambil dari konser mereka yang sukses, alias sold-out, di Societat, Yogyakarta. Kabarnya, dirilis dalam bentuk kaset. Dan sudah ludes-des saat record store day yang terakhir, bulan silam. Dibandrol 50.000,- saja. Selain itu, tentu format digital, via iTunes.
Menarik mengamati duo ini. Secara duo saja sebenarnya sudah menarik. Ya itu tuh, saling mengisinya Elda dan Adi. Tapi belakangan, mereka juga kerap didukung additional-players. Sehingg berbentuk band. Ada Alam Segara , sebagai bassis. Lalu Vicki Unggul, drummer. Dan Andi Irfanto, kibordis.
Lebih berisi dan “melebar”, pada tema musiknya. Saya tak pengen bilang, lebih baik. Suasananya beda, ya dong format berdua dan berlima. Karena pada dasarnya, format berduapun, mereka macam dua sejoli yang memadu kasih, di padang ilalang. Berlarian, kadang berpegangan tangan. Orang yang menonton, tersenyum, merasakan kebahagiaan cinta mereka. Ahay.
Itu cuma gambaran saja. Adi sudah menikah, saat saya membuat tulisan ini, tengah menanti kelahiran anak pertamanya. Elda, kabarnya punya pacar. Belum dikenalin sih ke saya.

Perihal band-nya. Para musisi itu, rata-rata berjam terbang lumayan tinggi, di seputaran Yogyakarta. Di kafe misalnya. Ada juga yang nyambi, sebagai additional player Sheila on 7. Atau mendukung, grup metal, Captain Jack. Nah dari bentuk “persekutuan kecil” itu aja, juga terlihat tak kalah menarik. Ya ga?
Jadinya gimana? Bagus kan? Ya kalau mau bukti, ubek-ubek youtube ae, cak. Ada kok video-video pentas mereka, termasuk video dari lagu, ‘Man upon the Hill’. Yang dari live album mereka itu. Diambil dari konser Grow mereka yang karcisnya sampai bais itu, bray.
Grup duo ini terbentuk kabarnya dari 2011. Ya dari lingkungan kafe juga adanya. Elda itu, sebelum eVo, menjadi vokalis grup kafe, Candles. Adi, suka menontonnya dan mengaku udah suka banget sama vokal dan penampilan Elda saat Candles. Adi ngeband juga, tapi dengan band berbeda. Mereka bisa berkenalan, dan chemistry pun menyambung. Jadi ber-duet deh.
Musisi yang 3 orang, yang lantas mendukung mereka, juga teman-teman dekat mereka sebelumnya. Well, jadi untuk menyambungkan visi, misi, selera bermusik bisa lebih lancar. Maka hasil akhirnya, ya membuat Stars and Rabbit, “lebih berbeda” lagi.
Yah menarik fenomena apa yang disebut, kalangan indie yang terus growin’ up. Bertumbuh dengan cukup subur. Cocok tanah en pupuknya, sob! Apalagi, kreatifitas mereka, dalam menghasilkan format sajian. Macam duo, gitar dan vokal.
Tak pelak, duo doang, kudu punya kelebihan lain. Dalam meng-cover panggung misalnya. Menghasilkan enerji berlipat, yang “menaklukkan” penonton. Baik vokalis, harus punya keunikan, ciri tersendiri. Gitaris juga, ya sami mawon. Mustilah kaya dalam permainan gitarnya.
Format duo begitu, bermunculan di yah sejak 5-6 tahun terakhirlah. Beberapa diantaranya, sukses tampil ke permukaan. Meraih atensi positif. Memperkaya khasanah indie. Yang aktif merancang strategi jualan sendiri, dalam menyebarluaskan musik racikan mereka yang tertentu itu.
Bagaimana “falsafah” hidup, do it yourself dijadiin pegangan. Menjadi landasan berpijak. Jalan perlahan tapi pasti. Pelan-pelan fans dapat terkumpul, sebagian besar lekas saja jadi model fans fanatik.
Nah perkembangan positif model di atas itu, dari wilayah indie, membuat musik kita tetap terlihat cerah. Major label, sebagian besar mau tak mau,ikat pinggangnya. Putar otak atur strategi, ya jualan ya bertahan hidup. Ga kuat, ya ambruk. Seperti ambruknya satu persatu jaringan toko-toko musik, penjual cd dan kaset.
Major label kembang kempis, yang kalau kelamaan kempisnya ya...tampias. Alias, gulung tikar. Sementara indie movement, jalan terus menapak pasti. ”Swasembada” saja pada awalnya dulu. Berakit-rakit ke hulu, berenang-renang ketepian....
Kuncinya sih pada ke-pede-an kayaknya. Pede aja, bro and sis. Yakin. Terus bersemangat. Semangat dalam jalan terus, sembari aktif merancang ide-ide unik, beda, unik. Ya untuk musiknya, untuk pentasnya, sampai bagaimana menjual....

Itu fenomena musik dimana-mana pada saat ini. Fenomena dimana rilis fisik, seperti cd seolah menurun drastis. Tapi toh tetiba ada yang merilis vinyl lah, sampai kaset segala. Ada juga ternyata yang membeli. Bukan pasar yang besar sih. Tapi kan, bisa menjadi “vitamin” untuk merangsang kreatifitas dan semangat?
Kemudian manggungnya. Satu demi satu, bertambah terus frekwensinya main. Yang kalau sudah begitu, pasti diikuti, meningkat juga dong “argometer”nya. Semangat untuk terus main, tampil dimana-mana. Berakibat, ya gitu makin dikenal luas.
Apa ga heibats bray, ada grup yang indie, tapi sebulan saja bisa mendapatkan order manggung sampai 19 kali? Kalau frekwensi sudah segitunya, bohonglah kalau fee alias bandrol mereka, ga ikutan naik!
Khuus untuk Stars and Rabbit, mereka sempat melakukan tur ke beberapa negara Asia, di tahun kemarin. Mengunjuni Tiongkok dan Hongkong. Tahun ini, menurut Riva, mereka berencana meneruskan lagi tur internasionalnya. Yang akan bersambung dengan tur ke beberapa kota di Indonesia.
Well, band-band indie begini, yang penting, teteup teguh aja pada...eksplorasi. Kreatifitas terus menerus digenjot. Jangan cepet puas. Jangan semata-mata duit jadi target utama. Yoih,ga dosa juga sih, cari duit untuk hidup, kalau memang ada peluang bagus ke situ. Wajarlah. Cuma baek-baek kepleset aje, naik kecepetan, lupa diri. Bandrol naik cepet dah, syusyahlah untuk diturunin, apapun alasannya.
Menyoal sisi negatif. Lainnya, bisa begini nih, cepet puas diri juga adanya. Tak merasa perlu lagi kreatif, segitu aja udah laku dan laris-manis. Udahlah, latihan seperlunya aja, yang penting liburan dulu kesana-kemari... Cieeeee, cieeeee, jadi bisa melancong moloooo niii yeeeee
Begitu deh, cerita pendek saya tentang Stars and Rabbit, Elda dan Adi. Dunianya pergerakan indie dewasa ini. Semoga bermanfaat. Menjadi, apa ya, pencerahan kali yeee? Ya memang sih, dasarnya ya begitulah adanya, Stars and Rabbit ...Ngehek bingits! Apa ga ngehek, bikin gw jadi kesengsem dan pengen nulis mereka.... /*













Friday, June 3, 2016

Musik, Lagu dan Welfie di Konser BADAI PASTI BERLALU+




Rasanya, pasti ga mudah untuk mempersiapkannya. Membuatnya, mengemasnya. Tapi juga, di sisi lain, tak mudah untuk menerima, mencerna dan memahaminya.
Ya ga gampang bikin, ga gampang dengerin, tapi diem-diem sudah melintas di 4 kota. Maksudnya, menyambangi. 4 kota! Mau ke kota kelima, insya Allah September mendatang, begitu kabarnya. Giliran kota gudeg, Yogyakarta. Saya ga mengira, ini bisa jalan satu demi satu, mampir di satu persatu kota.
Sudah ada target, atau mungkin tepatnya impian atawa keinginan, semoga bisa keliling Jawa. Mungkin terjauh, Bali? Dan menjadi semacam penyebaran virus. Virus untuk ooooi, jangan lupa sejarah.Bukan lantas jadi mengkultuskan.Tapi, menghormati saja, itu sudah sangat baik.

Musik itu luas. Cem-macem genre ada. Semua juga baik, semua juga asyik, semuanya juga nyenengin. Apalagi buat para penggilanya. Kalau buat para musisi yang mainin? Iya, tapi baek-baek jangan kelewat seneng, jadi keliatan orgasme sendiri. Onani?
Tetap saja pada konteksnya, musik yang dimainin harus bisa tersebar luas. Disenengin tak hanya lima-enam orang. Hari ini dua puluh tujuh – dua puluh delapan orang. Besok harus targetkan bisa disukai empat puluh-an orang, misalnya.
Konser bisa dimana saja. Kafe, kenapa tidak? Yang penting, musiknya hidup dan menyebar. Jangan pernah lelah berusaha, “menebar virus”.Jangan pernah puas dengan pencapaian “Like” di media-media sosial. Jangan kelewat senang, dipuja-puji di Facebook misalnya. Kenyataan dong, yang nonton siapa? Yang hepi siapa?

Nah kita lantas lihat konsep pergelaran satu ini. Saya tulis di atas, ini ga gampang nyiapinnya. Secara musik aja deh. Lebih dari dua puluhan lagu dengan sekitar sepuluhan penyanyi. Lagu-lagu dengan materi musik yang “tak biasa”. Kompleks. Kompelsk tentara? Anak kolong dong?
Kompleksitas nadanya, juga dalam kemasan musiknya. Paling kawatir adalah, jaman sekarang semua menjadi sangat mudah “dicerna”. Kenapa harus mendengarkan lagi yang “susah-susah”. Eits, tunggu dulu coy. Yang gampang, biasanya mudah masuk, mudah keluar. Dan....selesai!
Kalau yang relatif susah, begitu bisa masuk, akan bisa lama “mengendap”. Menari-nari di jiwa dan pikiran. Stay nya lama. Dinget. Nyangkut banget, istilahnya. Nyangkut di hati dan pikiran.

So, yang rada susah, ga susah sebenarnya dicerna kan ya? Bisa saja begitu. Tapi kalau menyangkut konser Badai Pasti Berlalu ini, memang ada tawaran nostalgia. Mengenang masa-masa indah, di waktu lampau. Album Badai Pasti Berlalu, memang menjadi salah sat album musik terpenting, yang seperti memicu lahirnya musik-musik Indonesia lain, yang memperkaya khasanah musik kita.
Konser ini memakai tajuk Badai Pasti Berlalu plus. Plus karena ada banyak karya lagu yang dimainkan, muncul dari album di luar album yang dirilis tahun 1977 itu. Sekedar mengingatkan, album Badai Pasti Berlalu musiknya diarahkan Eros Djarot. Eros juga menulis sebagian besar  lagu di dalamnya. Ia menuliskan bersama Yockie Suryoprayogo, juga mengemas musiknya.
Adalah lanjutan dari konser serial, Lomba Cipta Lagu Remaja Plus (LCLR +), yang dimulai di Jakarta di Oktober 2015. Kemudian ke Bandung dan Surabaya. Sebenarnya materi lagu yang dimainkan, bisa dibilang sama, hanya judul saja difokuskan kali ini pada album fenomenal itu.

Pada sejarahnya, baik Badai Pasti Berlalu dan Lomba Cipta Lagu Remaja (albumnya bertitel 10 Lagu Terbaik, untuk tahun pertama), dirilis dalam tahun yang sama, 1977. Dan kedua album itu dianggap sebagai album yang “melahirkan” apa yang disebut sebagai “pop kreatif”.
Pop kreatif itu sebuah sebutan rada kontroversial sebetulnya. Maksudnya adalah pop yang berbeda, lebih “sulit”, dibanding pop biasa. Nah, pop biasa saja itu “dilecehkan” dengan nama “pop cengeng”. Ya sama-sama punya penggemarnya sendiri-sendiri sih. Walau terkesan, pop kreatif lebih ke kalangan penggemar musik menengah ke atas dan di kota-kota besar.
Sementara pop cengeng, dianggap masuk di kuping dan hati kalangan di luar kota besar. Juga di strata sosial menengah ke bawah. Tapi mungkin secara jumlah,kalau saja mau dihitung, rasanya bersaing. Punya basis massa kuatlah.
Di era itu, harus diingat pula, selain kedua sub jenis musik itu, masih ada jazz(y) pop, yang juga lumayan populer. Ataupun, belakangan juga ada rock. Selain itu, masih ada era band-band pop, misalnya Koes Plus dan Panbers.

Menyoal konser di kota Malang, pada 27 Mei silam itu. Penamaannya tidak lantas berarti, sebagian besar karya lagu dalam album yang dilansir tahun 1977 itu dimainkan. Justru, dari album itu hanya ada ‘Pelangi’, ‘Matahari’, ‘Angin Malam’ dan so pastilah, ‘Badai Pasti Berlalu’ yang disajikan.
Lagu pembuka saja, ‘Jurang Pemisah’, itu diambil dari album bertitel sama. Dilepas ke pasar juga di tahun 1977, yang adalah album seperti kerja bareng Yockie Suryoprayogo dan alm. Chrisye, sebagai penyanyi. Di Malang kemarin itu, lagu tersebut dibawakan duet, Kadri Mohamad dan Husein Al Atas.
Musik panjang, bertenaga. Seperti langsung memancing naik tinggi tensi pertunjukkan. Musik memang padat dan seperti penuh enerji. Kedua vokalis, agak sedikit keteteran, teristimewa dalam stage-act. Hampir kayak mati gaya, karena lagu memang panjang, dan didominasi instrumental sebenarnya. Lagu ini memang liriknya terbilang minim...

Sambung lagu kedua, ‘Dalam Kelembutan Pagi’. Dinyanyikan Fryda Lucyana, berduet dengan Yockie Suryoprayogo. Ini lagu diambil dari Lomba Cipta Lagu Remaja pertama, di tahun 1977. Karya dari Baskoro. Fryda lalu melanjutkan penampilannya dengan, ‘Rindu’ karya Eros Djarot.
peluhku berjatuhan...menikmati sentuhan ... perasaan yang teramat dalam....tlah kau bawa sgala yang kupunya rindu ini tlah sekian lama terpendam
Disebut oleh Yockie, ini salah satu apa yang disebut “plus”, dari pergelaran ini. Diambil dari album solo Fryda Lucyana sendiri, Nuansa Cinta, yang dirilis 1995. Album tersebut berisi 8 lagu, kesemuanya karya Eros Djarot. Lagu ‘Rindu’ itu, kemudian dipopulerkan lagi oleh Agnezmo.
Seperti khittahnya konser yang mengumbar lagu-lagu penuh kenangan, maka penonton datang memang siap untuk koor bareng. Sing along, tak sungkan dilakukan mulai langsung lagu kedua. Ditingkahi pula oleh sambutan riuh penonton, ya untuk lagu dan ya untuk penyanyinya.
‘Nuansa Bening’, dibawakan Keenan Nasution, sebagai lagu berikutnya. Lagu tersebut diambil dari album Di Batas Angan Angan, solo album Keenan, yang dirilis tahun 1978. Liriknya ditulis Rudi Pekerti, dengan musik ditangani Addie MS. Lagu ini baru intro saja dengan, “Hmmm....”, langsung mendapat respon riuh penonton. Koor barengpun berlanjut....


Ada Host, yang adalah master of ceremony kawakan. Ia beken banget di seputaran 1980-1990an. Tetap enerjik, dan...tetap gondrong. Ovan Tobing. Abis chitchat Ovan Tobing dengan Keenan, muncul kemudian ElfondaOnceMekel dengan, ‘Resesi’. Musiknya riang, ada nuansa reggae. Dan penonton menyambut antusias. Yaaaa, Once gettoooo lhoooo.
Lagu Resesi itu, dikenal lewat album milik alm. Chrisye, yang berjudul sama. Lagu dibuat oleh Chrisye sendiri, bersama Eros Djarot. Dirilis ke pasar pada 1983, merupakan album hasil kerja bareng Eros Djarot, Chrisye dan Yockie Suryoprayogo.
Suasana makin hangat, ketika masuk lagu kelima. Kali ini, Yockie sendiri yang menjadi penyanyinya. Tetap sambil memainkan 7 set keyboard dan synthesizer, yang mengelilinginya. Lagu yang dibawakan, ‘Citra Hitam’.
Ohh semesta... Simphonymu tiada pernah nyata. Paduan nada mengiringi. Hidupmu insan... Niskala
Suasana langsung terasa...kelam. Sendu. Muram. Liriknya seperti menyebar ke seluruh penjuru ruangan Ijen Suites Convention Centre, dengan lirih. Walau Yockie menyuarakannya dengan lantang dan cukup ekspresif.

Selesai Yockie, muncul Dian Pramana Poetra. Kembali suasana menjadi lebih ceria. Penonton segera menyalakan lagi semangatnya. Siap-siap menyanyi bareng. Dian membawakan, ‘Kau Seputih Melati’.
Kalau Citra Hitam dikenal sebagai lagu dalam album Sabda Alam-nya Chrisye, yang diedarkan tahun 1978. Oh ya itu lagu dibuat oleh Chrisye, Yockie dan Junaedi Salat. Maka lagunya Dian, lumayan populer di seputaran 1986. Menjadi salah satu hits, dari album yang bertitel sama, dan merupakan album pop kolaborasi Dian dan Yockie Suryoprayogo.
Dian melanjutkan dengan, ‘Selamat Jalan Kekasih’, yang ah membuat ruangan sejuk, adem, sejak en segerrr...gemah ripah loh jinawi  tentrem rahardja... Ini juga hits milik Chrisye, dari album Metropolitan, dirilis tahun 1984. Album itu lagi-lagi buah kolaborasi tiga sekawan, Eros – Chrisye – Yockie.
Selesai Dian menuntaskan Selamat Jalan Kekasih, iapun memanggil teman duetnya. Sebut saja, “kekasih setianya” di atas panggng. Deddy Dhukun. Mereka menghadirkan medley beberapa hits karya mereka, ‘Ooya’, ‘Duhai Kekasihku’, ‘Melyang’ dan ‘Semua Jadi Satu’.

Nah ketika Deddy memilih muncul dari floor, menembus penonton. Membuat penonton histeris. Saking histerisnya, sebagian di antaranya mulai nekad, mengajak foto-foto bareng. Welfie deh gitu, ya Deddy. Saat Dian mencoba menjemput Deddy, mereka berdua langsung ditarik penonton untuk foto-foto.
Ini serunya konser model begini. Kesempatan foto-foto dengan artis itu, kayaknya menjadi target utama yang harus kesampaian, bagi para penonton. Alhasil, setiap kesempatan di depan mata, tak pernah dilewatkan begitu saja!
Masih bisa terkendali sih, di saat awal itu. Tapi penonton memang terlalu bersemangat. Ga bisa lihat penyanyi turun panggung,menghampiri penonton. Langsung diajak berfoto-foto. Padahal, lagi menyanyi.
Suasana foto-fotoan massal begitu, lebih rame di Malang. Walau sesungguhnya, di setiap kota pasti ada penonton menyerbu artis penyanyi,buat welfie-welfie an begitu. Tapi di Malang kemarin, para ibu-ibu lebih bersemangat dan...nekad! Ibu-ibunya duluan, lantas menggerakkan bapak-bapaknya untuk...tak mau kalah aksi!
 Ya gimana ga nekad? Mencegat langsung artis penyanyi lho, sampai seringkali terjadi, si penyanyi jadi sulit lagi meneruskan nyanyiannya. Untung tak lantas bikin suasana kelewat gaduh. Ga chaos. Tapi....ga aman sih.
Serba salah, kalau ditolak, atau penyanyi ogah berfoto-foto, nanti dianggap somse. Kalau diikuti, mau foto-fotoan, penonton lain terpancing untuk minta foto-foto juga. Mau dijagain para penyanyi itu juga sulit, pihak sekuriti jengah kalau untuk “mengusir” para ibu-ibu.
Dimana sosial media sudah begitu populer, foto-foto jadi hal sangat penting. Apalagi bisa berfoto dengan para bintang pujaan hati. Yang penting sih, harus ingat saja, jangan terlalu bersemangat. Nanti bisa mengganggu acara.


Masih soal foto-foto. Itu juga membuat beberapa orang, mencari berbagai cara untuk bisa menembus sampai ke ruang tunggu artis! Mereka dengan penuh ceria, meminta satu persatu berfoto-foto dengan mereka. Hal itu terjadi di Malang kemarin. “Beruntung” para penonton nekad itu, panitya tak terlalu “peduli” dengan keamanan (dan kenyamanan) artis di ruang tunggu. Sehingga, ada yang leluasa...
Fenomena tersendiri dari pentas konser saat ini. Bukan hanya menyangkut konser musik populer, yang penontonnya kaum muda. Kaum dewasa, macam bapak-bapak dan ibu-ibunya tak kalah sigap dan lincah untuk merebut kesempatan berfoto-foto. Bukan lagi  minta tanda tangan. Yang penting foto-foto. Dan langsung...upload!

Apalagi ketika konser berakhir. Kemarin, seusai lagu terakhir yang dinyanyikan seluruh artis penyanyi, ‘Lilin Lilin Kecil’, maka penonton langsung menyerbu ke atas panggung! Lagi-lagi, ada barikade sekuriti di depan panggung, bisa tembus dengan “akal-akalan” penonton, terutama kaum ibu-ibu....
Hanya bisa dikendalikan sesaat saja. Selanjutnya, mereka “leluasa” memenuhi panggung. Padahal areal panggung, masih penuh dengan peralatan para musisi. Misalnya seperti asesoris-asesoris gitaris, bassis atau pemain violin. Areal itu harusnya tetap “steril”, sebelum semua peralatan diselamatkan.

Ngefans sih boleh banget. Puja-puji ya ga papa. Histeris juga lumrahlah. Tapi, bisa ga ya, nyanyi-nyanyi barenglah yang penting. Foto-fotonya nanti, tahan dulu, sabar saja sedikit. Nanti juga akan datang kesempatan itu kok. Percaya deh.
Tapi memang penonton yang begitu antusias itu, mau ga mau sisi positifnya adalah, menghidupkan acara keseluruhan. Ya kayak nyanyi-nyanyi bareng itu. Tambah meriah dan ramai. Seru liat atmosfirnya.
Atau, mungkinkah sampai harus dipasang peraturan tegas, dilarang membawa hape atau peralatan foto ke dalam gedung? Ekstrim lah itu. Pasti akan lebih ekstrim dan “mengecewakan” kalau saja sampai ada peraturan, mau memotret harus...bayar dulu! Nah makanya, sebelum sampai ada peraturan begitu “kejam”, menontonlah dengan lebih tertib, tenang, sabar. Senang-senang saja....Nikmati, dengan melihat dan mendengar. Jangan mau buru-buru foto-fotoan...


Ok lewati soal semangat berlipat para penonton, terutama untuk berfoto. Balik lagi ke konser Badai Pasti Berlalu +. Total ada 23 lagu yang dibawakan. Penyanyinya sendiri total berjumlah 11 orang.
Lagu-lagu lainnya, yang dihadirkan dengan musik yang rata-rata cenderung ke arah rock atau progressive rock itu antara lain,’Khayal’ dan ‘Kharisma Indonesia’oleh Louise Theresia Hutauruk. Marcell membawakan, ‘Cinta’dan ‘Kala Sang Surya Tenggelam’.
da pula Gilang “Idol” Samsoe, yang membawakan ‘Pelangi’. Sebelumnya, ia berduet dengan Kadri Mohamad, membawakan, ‘Apatis’. Gilang juga membawakan, ‘Juwita’ berduet dengan Marcell, yang menjadi lagu pamungkas kedua terakhir, sebelum grand finale dengan ‘Lilin LiLin Kecil’ itu.


Ada juga, Berlian Hutauruk yang sangat ekspresif dengan lagu, ‘Matahari’ dan ‘Badai Pasti Berlalu’. Yang sukses membuat suasana menjadi begitu dramatis. Penonton menjadi seolah tersihir. Diam, menikmati suara Berlian yang memang “berlian” itu. Sampai lupa foto-foto kan? Mau nyanyi bareng juga bingung sih....
Once naik panggung lagi untuk membawakan, ‘Angin Malam’ Dimana penulis lagunya itu, kibordis, Debby Nasution, ikut tampil sebagai kibordisnya juga. ‘Negeriku Cintaku’dibawakan secara bergemuruh dan megah, dan oh ya panjaaaang, dengan Keenan Nasution. Keenan memulainya dengan bermain drums, sehingga ia berduet drums dengan Mohamad Iqbal. Debby juga ikut bermain di lagu megah itu.
Lagu lain, ‘Anak Jalanan’ yang ditulis Guruh Soekarnoputra untuk almarhum Chrisye dan masuk di album Sabda Alam. Lagu ngerock itu dibawakan oleh Husein “Idol Al Atas, lengkap dengan gaya metal-nya.
Sebelum itu, penulis lagu yang sebagian dibawakan di konser ini juga dipanggil naik ke panggung. Eros Djarot, memang selalu datang menonton, duduk di row terdepan. Ia becanda dengan Yockie sesaat, mengajak penonton bangga atas ke-Indonesia-an kita semua. Lalu sempat membawakan sekitar setengah lagu, salah satu hits dari album Badai Pasti Berlalu, ‘Merpati Putih’.


Secara keseluruhan tontonan konser ini memang sukses, dalam hal menawarkan musik bergizi. Menyehatkan jiwa dan pikiran. Bisa juga jadi obat stres. Memuaskan dahaga, akan musik-musik enerjik nan “bermusik penuh” dan well, sebagian memang sih “komplit-plit”.
Walau mungkin, perlu dicermati soal durasi konser. Kali ini di Malang, terlihat ada penonton yang perlahan, satu demi satu, meninggalkan acara. Padahal konser belum berakhir. Tidak membuat gedung langsung kosong sih, tapi pemandangan kurang asyik juga, melihat ada penonton pulang, di tengah-tengah konser.

Sebelumnya, semisal di Bandung dan Surabaya, tak begitu terlihat penonton yang pulang di saat konser masih berlangsung. Terutama di Bandung, bisa dibilang seluruh penonton tetap seru dan bersemangat, dari awal sampai akhir! Durasi relatif sama di setiap konser ini, sekitar 3 jam.

Konser ini baik untuk sekaligus  mengingat dan menghargai karya-karya lagu dan musik masa lalu, yang terasa tetap sedap. Tetap saja nikmat untuk disantap, walau sudah 20an bahkan 30an tahun lebih usianya.
Tak hanya sehat buat kalangan berusia kisaran seputar 40-50an tahun atau lebih. Sebagai arena nostalgia, sekaligus bisa reunian dengan sahabat-sahabat masa lalu. Tapi harusnya juga menyegarkan dan menyenangkan bagi generasi yang lebih muda, untuk mengenal musik-musik dan lagu berbeda di era sebelumnya.
Positifnya, saya melihat, antusiasme "Like" atau komen-komen pujian di Facebook itu kelihatan real. Kenapa? Mereka yang berharap, lewat komen-komennya, untuk bisa didatangi rombongan sirkus eh rombongan LCLR+ atau Badai Pasti Berlalu+ di kotanya masing-masing itu, ternyata ga sekedar menulis. Mereka datang menonton, bahkan mau beli tiket walau harga tiket tak terlalu murah lho.


Yockie Suryoprayogo memang menjadi “benang merah utama”. Seluruh karya yang dimainkan, didominasi lagu karyanya ataupun lagu yang pernah ditangani musiknya. Yockie, dalam musik, didukung oleh Indro Hardjodikoro, bassis. Kehadiran Indro dan bandnya, membuat suasana musik dan lagu menjadi enak banget didengerinnya. Sedaaaapdi lidah,eh maksudnya di kuping!


Indro, ditemani drummer, Mohamad Iqbal atau Yoiqball. Ada violin, yang dimainkan oleh Sigit Didiet violinArdityo. Ada Eggy Eghay, sebagai kibordis dan Yankjay Nugraha sebagai gitarisnya. Ada juga 3 backing vocals nan cantik. Yaitu Mery, Dewi Faradila dan Mia Adhitya.
Penampilan konser Badai Pasti Berlalu +, lebih disempurnakan lagi oleh dukungan semua peralatan band beserta tata suara dari DSS Sound. Dimana langsung Donny Hardono, owner DSS, yang turun tangan sebagai sound engineer.

Harus diberi pujian dan acungan jempol, masih ada pihak promotor, yang peduli dengan karya-karya emas monumental era sebelumnya.  Untuk dihadirkan lagi, dengan unsur kemegahan yang cukup terjaga. Adalah Mahana Live dan Interact, yang kali ini juga didukung Digisparks menjadi penyelenggara, setelah kota Bandung di Januari silam.
Sampai jumpa lagi, pada kota tujuan berikutnya..... Hidup Musik Indonesia! / *