Thursday, September 27, 2018

Cokelat dan Coklat, Sama-sama Ngenakkin. Kalau Ngopi?


Senang kalau mendengar, sebuah grup band bisa bertahan lumayan panjang. Lewat dari 10 tahun saja, sudah lumayan banget.  Apalafgi mampu melewati umur 20 tahun, tentu saja luar biasa.
Luar biasa syusyah lho. Ga gampang untuk bertahan, tetap segrup, tetap jalan bareng. Dan, tetap berproduksi, maksudnya menghasilkan terus karya-karya baru.  Jadi sudah seperti hidup berumah tangga sajalah....
Perjuangannya, sekilas sih rada mirip-mirip. Mirip pada romantikanya. Ga sejalan idenya, cekcok. Tetiba yang satu berkeinginan ke arah barat, eh yang lain kepengen ke arah timur, cekcok lagi. Banyak kejadian silang pendapat, cekcoknya kebanyakan, lantas ada yang mutung. Begitu kelihatan sudah sulit untuk terus jalan bareng, bercerai deh yang tak bisa dielakkan.
Sedih tentu, tetapi well dudes life goes on. So, jalanlah sing-masing, tak bisa lagi bareng. Tetapi masing-masing punya kehidupan, dengan jalannya sendiri-sendiri. Mungkin itulah kehendak semesta. Hadapilah dengan...sabar dan tawakal.
Hidup ini hanya satu kali, teman. Ngebandpun kayaknya memang bisa aja, hanya sekali pula. Kalau ada kesempatan lain, kayaknya...ya band yang lain. Begitulah romantika kehidupan. Ketika hidup ternyata jalannya, kawin lagi. Ah, apa sih?



Tapi Cokelat memang brown. Brown Eyed Girl? Itu judul lagu, cuy. Lagunya Van Morrison, eh juga Freddy Curci. Tapi iIni soal Cokelat yang bukan brownies, tetapi ini grup band. Well, siapa yang ga kenal Cokelat sih? 22 tahun mereka telah eksis, menapaki jalan karir musiknya lho. Bukan waktu yang sebentar kan, dan ga banyak grup yang sanggup begitu.
Mereka “cokelat”, yang lebih ke cemilan yang disukai tua muda, besar kecil itu. Memang sih, mereka pengen musik dan lagunya macam cokelat itulah. Semua orang suka, kalau bisa tergila-gila. Eh kan ada yang tergila-gila gimana gitu lho sama cokelat, ya ga?
Band asal Bandung ini kabarnya berdiri sejak 25 Juni 1996. Saya sendiri mengetahui, lantas menonton mereka itu kapan ya. Wait, wait...Kalo ga salah di Bandung, lalu Jakarta. Dan, ini yang penting, justru di awal-awal karir mereka. Kayaknya awal 2000-anlah.
Itupun direkomen teman, wartawan musik lain. Kemudian baca dan lihat di televisi. Lantas tertarik. Lalu pengen lihat. Karena pengen tahu, on stage nya ni band kek gimana sih? Emang beneran bagus apa gimana sih? Eh, bagus juga sih.
Abis muncul GIGI, juga ada /rif misalnya. Kalau Bandung, ya setelah Java Jive juga deh. Muncul Cokelat ini. Di tahun-tahun itu, beberapa grup memang tetiba bermunculan dengan...keren-keren lho. Punya karakter musik sendiri-sendiri juga. The Groove misalnya,muncul juga di era 90-an itu kan? T Five, Brown Sugar juga dong?
Nah Cokelat memilih ada nuansa rocknya. Kalau di album, terasa lebih ngepop, tapi memang enak. Ya enak, makanya mereka punya hits, yang ga cuma 2 atau 3 lagu doang. Di panggung, lebih terasa galak, suara lengkingan gitar lebih tebal dan “memenuhi ruangan”. Saya suka juga dengan bass-linenya, tak lupa dengan ritme drumsnya.
Ok, bicara hari ini, Cokelat sudah masuk ke formasi yang ke berapa ya? Biarlah teman-teman Cokelat saja memastikan. Saya ingatnya dulu ada Ernest Fadian Sjarif, bertandem dengan saudara kandungnya Edwin Marshal Sjarif. Di drums ada Ervin Ilyas. Sementara itu di bass, Ronny Febri Nugroho dan vokalisnya, Kikan Namara.
Ternyata Ronny dan Kikan memang adalah anggota pertama, dimana Cokelat dikerek benderanya sebagai sebuah grup pop rock. Mereka berdua bersama Robert Pieter (gitar) dan Deden (drums), berserta gitaris, Bernard.



Muncul lewat sebuah album kompilasi Indie Ten di tahun 1996. Dimana Deden diganti Ervin. Lalu Bernard mundur saat album Untuk Bintang, debut album mereka yang dirilis tahun 2000.Saat album kedua rilis, Rasa Baru di 2001, Edwin masuk menggantikan Bernard.
Disusul hengkangnya Robert, dengan digantikan Ernest, yang sebelumnya telah beberapa waktu menjadi crew tetap mereka. Dan formasi tersebut bertahan terus hingga sekitar tahun 2010. Setelah bersama-sama selama 14 tahun, Kikan mengundurkan diri. Disusul Ervin.
Sejak saat itu, Cokelat lantas memang tersisa Ronny, Edwin dan Ernest saja, yang masih bertahan untuk “tetap cokelat”. Masuk vokalis baru, Sarah Hadju. Sementara posisi drummer, mereka memilih untuk mengundang additional player, dimulai dengan Otto Pambudi.
Empat tahun berselang, giliran Ernest yang mundur. Dan Cokelat berjalan dengan hanya satu gitaris saja. Dan dengan sebelumnya, Sarah Hadju juga hanya bertahan sesaat, dan digantikan Jackline Rossy Natalia Mboeik.
Dan sesungguhnyalah, setelah lama tak sempat-sempat juga menonton lagi mereka, apalagi paska gonta-ganti personilnya, saya beruntung bisa beroleh kesempatan lagi. Seneng juga, jadi pengen lihat bagaimana Cokelat di masa sekarang. Tetapkah berwarna eh berasa, “chocolate”? Apa sudah berubah rasanya, berubah warnanyakah? Berubahnya gimana?
Betewe, saya juga penggemar berat coklat. Eh cemilannya, bukan warna! Terlalu gemar. Etapi bukan lantaran hal itu, jadi suka juga dengan musiknya Cokelat ini. Kalo nyambungnya ke situ sih, susah deh. Lidah dan kuping, susah untuk dicari-cari atawa ditelusuri titik ketemunya... Kira-kira begitulah. Maklumi. Tapi saya memang suka coklat.
Coklat itu cemilan yang menyenangkan dan...”ngelemesin”. Santai, ngenakkin badan aj. Musiknya Cokelat? Nyenengin juga, ngenakkin kuping. Nah titik temunya di situ kali ya....sama-sama ngenakkin. Bikin lebih rileks, otot-otot lebih lenturlah.



Mereka bikin Ngopi Bareng Cokelat kemarin itu, di Bentara Budaya Jakarta. Karena mereka sudah 22 tahun umurnya. Wah, makin ganteng dong? Dan mereka juga melepas single baru, ‘Peralihan Hati’. Sebagai single berikutnya, menjelang akan dirilisnya album mereka terbaru, yang menjadi album kesembilannya.
Ini single keempat, menyusul tiga terdahulu, ‘Dikhianati’, Cinta Matiku’ dan ‘Garuda’. Dari tahun silam, begitu mereka mengikat kontrak dengan label Halo Entertainment Indonesia.
Mereka pada kesempatan malam itu memperkenalkan pula, drummer muda, Axel Andaviar sebagai drummer tetap mereka. Axel, drummer rock-looked putra gitaris /rif, Ovy, telah beberapa lama mendukung Cokelat sebagai additional player.
Pada akhirnya, setelah berjalan bersama, tiga personil Cokelat sepakat menawarkan Axel ah sudahlah, masuk jadi drummer tetaplah saja ya. Ndilala, Axel setuju, terharu, mengangguk mantap, menetskan air matanya. Ketiga Cokelat melihat itu, ikut terharu, menepuk-nepuk bahu Axel. Dari terharu, meneteskan air mata. Berempat saja, bahkan juga orang-orang lainnya. Orang lain siapa?
Ya ga lah, itu cuma cerita pemanis saja sih. Biar enak bacanya, sob. Mudah-mudahan enak bacanya. Seenak ketika coklat tengah menari-nari di dalam mulutmu. Ahay! Sedapnya. Ini melenceng dikit. Janji, dikit aja! Karena satu dan lain hal, saya terpaksa harus mampu untuk tidak lagi kegandrungan berlebihan dengan coklat. Sedih ga sih? Miris!
Kenapa? Sudahlah, itu urusan saya dengan laboratorium. Eh juga dengan dokter sih. Tetapi ini tentang Cokelat, grup band. Bukan tentang saya. So, begitulah acara Ngopi Bareng kemarin dilengkapi juga dengan suguhan kopi gratis. Kopi Indonesia itu memang juara! Kopi item cuy, jangan pakek gula dong. Nikmatnya terasa, sampai tenggorokan masuk lagi ke dalam. Segar dan sehat!
A


Produser, Irwan Simanjuntak

da coklatnya ga? Kudu cari momen, biar menjadi Nonton Cokelat dengan Coklat, Tiada Terkira Ngenakkinnya....  Kemarin memang tak ada coklatnya. Tetapi ngenakkinnya tetap berasa. Cokelat sedikit berubah, terutama di atas panggung.
Tetapi terasa, Edwin lebih “liar”. Tapi jangan berpikir, liar kemana-mana, gila-gilaan, tiada terkendali. Masih proporsional. Dan gebukan tenaga muda nan segar, Axel, mewarnai musik Cokelat dengan ... dengan apa ya, istilahnya. Apa sih ya, gimana kalau saya sebut saja, lebih nendang lagi?
Mau lebih ngerock atau tetap bersikukuh dengan pop yang ke rock-rock an, atau rock yang ngepop? Saya pikir, itu menjadi hak prerogatif keempat Cokelat, untuk menyatukan persepsi, visi en misi.
Tapi ada keterlibatan produser musik, Irwan “Opung” Simanjuntak. Yang kemarin di Bentara Budaya Jakarta juga tampil sebagai kibordis. Bebunyian keyboard, sesungguhnya memang memperkaya musik Cokelat.
Memperkaya itu abstrak kali ya? Saya pilih kata ini, lebih membuat dewasa. Artinya, Cokelat menjadi lebih jelas. Bukan dalam konteks yang “sempit”. Bukan pula menjadi lebih terasa “tua”. Jangan diartikan begitu. Ya gimana ya, tapi lebih ngenakkin sebenarnya sih. Melatari suara lengkingan gitar dengan...”baik dan benar”.
Album kesembilan nanti akan beredar setelah sekitar 2 tahun lalu mereka melansir #Like, sebagai album kedelapan. Yang adalah album rekaman perdana mereka dengan vokalis Jackline “J” Rossy itu. Setelah, masya Allah, delapan tahun tak merilis album rekaman!
Menariknya tentang Cokelat, mereka biar gimana ya, melangit gegara, ‘Bendera. Itu macam anthem bernuansa tebal cinta dan kebanggaan terhadap tanah air, penuh semangat hidup, sangat positif. ..... Merah putih teruslah kau berkibar Di ujung tiang tertinggi di Indonesiaku ini Merah putih teruslah kau berkibar Ku akan selalu menjagamu. Sungguh menyentil rasa kebangsaan kan?
Lagu itu sendiri karya Eros Chandra sebenarnya. Tetapi memang lebih mempopulerkan lagi Cokelat. Seperti juga hits mereka lainnya macam, ‘Karma’ atau, ‘Demi Masa’. Atau apa lagi, ‘Saat Jarak Memisahkan’. atau Salah’ dan, ‘Bukan Hari Ini’. Atau apa lagi? Ya mungkin saja, pembaca ada yang suka lagu lainnya? Bebas kok.....
Akhirul kata, Cokelat tetaplah coklat. Ditunggu nongkrong gagah dengan coklatnya. Walau saya memang harus rela untuk lebih mengerem kesukaan terhadap cemilan coklat. Termasuk minuman dengan rasa coklat, ataupun kue-kue dengan dihiasi coklat. Pokoknya, ya coklat.
Che Cupumanik, ber-monolog



Catatan yang tak boleh terlewat juga, Cokelat menghadirkan kejutan seru juga kemarin. Sebagai pembuka mereka adalah penampilan amat sangat istimewa dari Che Cupumanik! Che tampil tak bernyanyi, tetapi ber-monolog! Walah! Sukses juga lho, Che yang berkawan dekat dengan Edwin Marshal Sjarif di grup band lain, Konspirasi.
Untung bukan, jangan dengerin Cokelat. Kalau itu yang terjadi, saya tak mungkin bisa menulis ini dong. Ga enak atilah.... Ya ga enak juga jadinya hidup ini.  Pesan saya, album kesembilannya jangan kelamaan diutak-atik di dalam studio ya. /*





* Trims dan sukses selalu untuk kak Mudya Mustamin, manajer yang penulis musik



Tuesday, September 18, 2018

Selamat Jalan, bang Debby Nasution



Abang Debby, udah ga ada lagi?
Adalah karena event reunian Lomba Cipta Lagu Remaja plus (LCLR+), dengan di dalamya ada mendiang Yockie Suryo Prayogo. Lalu juga mbak Tiwi, istri dari Yockie. Kemudian juga ada peran rocker cum lawyer, Kadri Mohamad, yang lantas lebih mendekatkan lagi saya dengan Debby Mukti Nasution.
Namanya sudah “nyangkut” di kepala dan hati, sejak lama banget. Mengenalnya juga sudah lumayan lama. Tapi hanyalah sekilas saja, just say hi bang, hallo bang. And, thats it, bro. Artinya kan, memang ga dekat.

Sampailah di serial konser LCLR yang kemudian berlanjut menjadi konser Badai Pasti Berlalu plus, yang membuat saya jadi acapkali mengontak beliau. Dan tentu saja, jadi sering bertemu.
Abang satu ini terbilang lebih kalem. Jauh lebih kalem, tapi banyak juga senyumnya, dibanding saudara-saudara kandungnya. Yang notabene sesama musisi juga. Gaury, Keenan dan Oding. Nasution bersaudara itu, lumayan dikenal luas, mentereng istilahnya, di seputaran 1970-an.
Nasution bersaudara itu salah satu tokoh yang bisa disebut, bagian dari sejarah musik Indonesia. Dari merekalah ada Gypsy Band, yang berkembang menjadi Guruh Gypsy. Diawali dengan The Young Gypsies. Kemudian juga, kediaman mereka yang menjadi markas musik Indonesia, di kawasan Pegangsaan itu, yang kemudian memunculkan nama, Gank Pegangsaan.

Debby Nasution bersama Erros Djarot dan Indro Hardjodikoro, backstage LCLR+ Bandung.

“Gank” kreatif, sama sekali tidak berkonotasi kekerasan. Ini kelompok kreatif, cuy. Para musisi, berkumpul, bersinergi, melahirkan ide dan gagasan bermusik. Yang kemudian melahirkan Badai Pasti Berlalu. Sebelumnya, juga ada Barong’s Band, dimana Debby ikut terlibat.
Dalam Barong’s Band, salah satu grup yang “memperkenalkan” warna progrock, yang pada waktu itu lebih dikenal sebagai art-rock, Debby bermain antara lain bersama Erros Djarot dan Gaury Nasution, bang dari Debby.
Saya sudah menuliskan soal momen lahirnya Badai Pasti Berlalu dan disambung Lomba Cipta Lagu Remaja Prambors, bagaimana dua peristiwa musik tersebut, menjadi tonggak penting sejarah musik Indonesia. Termasuk dengan kemunculan kelompok  Guruh Gypsy.
Nah dari peristiwa yang sambung menyambung dalam waktu hampir bersamaan di era 1970-an itu, Debby ada di dalamnya. Dimana pada waktu kemudian, memunculkan sosoknya sebagai seorang kibordis yang punya sentuhan permainan tersendiri.

Kalau menurut saya, Debby dan Yockie, lewat permainan kibornya itu, menghadirkan nuansa gagah, megah tapi bisa ada kesan melodius. Gagah tapi....manis, tepat ga ya istilah itu.
Symphonic tapi melodius? Boleh juga kali disebut begitu? Walau baik Yockie dan Debby, tetap saja beda. Seleranya kaliaja sama, misalpadapilihan nada sound. Tapi jelas dong, waktu keluar, mewarnai lagu gitu, masuknya tetap berbeda.
Yockie lebih tebal dan rada galak? Debby, terkesan lebih tebal suasana melodiusnya, walau manis tapi tidak terkesan ringan ataupun...merintih. Kok ya bisa satu tipe gitu ya? Secara tahun itu sama-sama “menemukan” Genesis dan Yes? Eh plus, Gino Vanelli? Gimana dengan Deep Purple dan Led Zeppelin misalnya? Ini maksudnya sebagai referensi musik, secara keseluruhan ya. Bukan hanya terbatas pada kibor lho.
Oh ya Debby, bersama Oding dan Keenan pernah bersama-sama masuk formasi God Bless. Bisa disebut sebagai God Bless Mark V. Dimana mereka kakak-beradik sekandung itu, ditarik masuk Achmad Albar dan Donny Fattah.
Itu terjadi sekitar 1974, setelah kejadian tragis kecelakaan sepeda motor yang menewaskan Fuad Hasan, drummer God Bless. Selain kibordis God Bless sebelumnya, Soman Lubis. Saat itu, hampir bersamaan dengan meninggalnya Fuad, God Bless juga ditinggalkan dua personil lainnya, Deddy Stanzah dan Deddy Dorres.

Formasi GB Mark V dengan Nasution bersaudara itu, membuat GB bermarkas juga di Pegangsaan Barat, kediaman keluarga Nasution tersebut. Sayang hanya berlangsung beberapa bulan saja, dan belum sempat menghasilkan album rekaman. Ketiga Nasution pamit mundur bareng, digantikan dua musisi yang datang dari Malang, Teddy Sujaya dan Ian Antono. Kemudian juga Yockie Suryo Prayogo, bergabung kembali.

Kembali menyoal album Badai Pasti Berlalu. Debby Nasution sebenarnya berperan banyak dalam album fenomenal tersebut. Dikabarkan,ia tak hanya terlibat di musik dan aransemen beberapa lagu saja. Bahkan bisa dibilang hampir di semua lagu, sejatinya Debby ikut punya saham sebagai penulisnya, terutama pada sisi musiknya. Banyak ide-ide Debby yang lantas, “memperindah” materi lagu di dalam album tersebut.

Seingat saya, ada mungkin dua kali, saat santai saya menanyakan kebenaran info itu. Bener ga bang Debby, abang juga sebenarnya ikutan nyaris di semua lagu di dalam album Badai itu? Bang Debby hanya senyum lebar, ah kata siapa, jawabnya pendek.
Kemudian, pada kesempatan berikutnya, Debby mengatakan, “Sebenarnya album tersebut dikerjakan bersama-sama. Bukan hanya saya, ya juga Yockie termasuk Chrisye”..
Lalu ditambahkannya, Eros yang menjadi pencetus ide, dan beberapa lagu memang datang dari dia. Begitu jelas Debby. Artinya sebenarnya bang Debby, tak hanya punya saham di lagu seperti, ‘Khayalku’, ‘Merepih Alam’ dan ‘Cintaku’? Seperti yang tertulis di sampul albumnya.

Ki-ka, Yockie Suryoprayogo, Keenan Nasution dan Debby Nasution

Debby Nasution, paing kiri. Bersama para pendukung konser LCLR+ Surabaya
Saya sempat mencoba memastikan lebih detil, kayak mengejar Debby. Ia lagi-lagi hanya tersebyum lebar dan jawab lagi, ya kami itu bersama-sama. Banyak yang terlibat. Kan ada juga Fariz, sebagai drummer selain Keenan. Juga ada peran Berlian Hutauruk, sebagai penyanyinya. Begitulah ungkap Debby.
Karena serial konser LCLR+ dan BPB+ tersebut, dimana Debby Nasution terus terlibat, jadi saya seringkali bertemu. Seringkali ngobrol, kemana-mana. Dan Debby juga menjadi teman bicara yang menyenangkan. Walau pada kesan awalnya, mungkin terasa pendiam.
Buat saya, seperti saya tuliskan di atas, bahwa Debby pada perjalanan selanjutnya memang menjadi figur kibordis yang memberi inspirasi bagi permainan kibordis-kibordis muda Indonesia. Terutama yang muncul belakangan di pentas musik Indonesia.

Tapi memang mengejutkan, abang Debby sudah pergi....


Debby kalau tak salah, di tahun 1980-an mendekati akhir, lantas seperti berpindah jalur. Ia sibuk mendalami agama Islam. Di saat itulah, aktifitas bermusiknya seperti terhenti. Pada waktu berikutnya, Debby lebih dikenal sebagai ustadz.

Barulah, ia seperti muncul kembali saat konser LCLR+ pertama yang diadakan oleh XI Creative di Jakarta,di tahun 2014. Ketika konser itu kemudian berlanjut menyinggahi Bandung, Surabaya, Yogyakarta dan Malang, Debby terus diajak serta. Ia tampil, tentu dengan kibornya, di lagu, ‘Angin Malam’.
Di lagu melodius menghanyutkan itu, yang menjadi salah satu lagu paling sukses dari album Badai Pasti Berlalu, Debby mendapat porsi mengisi part lead keyboard terutama di intro lagu. Selain terus menjadi lead di sepanjang lagu. Debby bermain ditemani Yockie, dimana Yockie sendiri tampil di seluruh lagu yang disajikan di konser tersebut.

Saat konser tersebutlah, saya mengetahui Debby juga mempunyai jadwal pengajian tetap yang dipimpinnya. Beberapa teman baik saya, rajin mengikuti ceramahnya, di mesjid Al Ikhlas di kawasan Cipete, saban seminggu sekali. Teman-teman itu, rata-rata musisi dan penyanyi. Di antaranya adalah Kadri Mohamad, Arry Syaff, dan Mian Tiara. Selain, Krisna Prameswara.
Dua tahun lalu, Debby dirangkul oleh gitaris Benny Soebardja, untuk mendukung kemunculan kembali grup musik tahun 1970-an, Giant Step.  Benny, yang juga terlibat dalam beberapa konser LCLR+ dan BPB+ menjelaskan waktu itu, Debby cocok menjadi kibordis Giant Step. Ia bisa menjiwai, selain kenal dengan Giant Step. “Dan alhamdulillah,bang Debby sendiri memang menyatakan setuju untuk mendukung Giant Step.”
Pemunculan kembali Giant Step, sangat berarti, dan membuat Benny Soebardja lebih pede lagi, setelah Debby menyambut baik ajakan untuk bergabung. Pernah ditanyakan ke Debby saat itu,ia menjawab ia akan mencoba bisa bergabung dan mendukung Benny Soebardja dan Giant Step.

Debby Nasution, paling kanan bersama Johanes Jordan dan Audy, dalam Giant Step

Once Mekel dan Debby Nasution, di panggung LCLR di Jakarta
“Ya kan Benny dan Giant Step, kebetulan sudah saya kenal lama juga kan. Pernah juga beberapa kali main sepanggung dulu itu, di sekitar 1970-an. Musiknya juga asyik,”tambah Debby lagi.
Saya mungkin ga terlalu dekat banget dengan Debby Nasution. Pastinyalah ada banyak orang yang mengenalnya lebih dekat. Tetapi satu hal yang pasti, Debby yang ramah itu adalah salah satu nama penting di dunia musik Indonesia. Yang seharusnyalah, tidak dilupakan begitu saja perannya.
Karena itulah, saya merasa terpanggil menuliskan tentang mendiang Debby, walau mungkin tidaklah lengkap. Supaya sosk dan permainan Debby tidaklah dilupakan begitu saja.
Apalagi dengan dokumentasi berupa rekaman album, yang menampilkan ide bermusiknya, karyanya serta tentu saja, permainan kibornya tersebut. Paling tidak, selain Barong’s Band lalu Badai Pasti Berlalu. Terakhir dengan album Gank Pegangsaan, yang menghasilkan hits, ‘Dirimu’ di seputaran tahun 1990.


Dan pada Sabtu, 15 September 2018 siang, abang Debby menghembuskan nafas terakhir. Ia terjatuh, collapse, saat sedang berceramah di depan jamaah majlis taklimnya. Dan pada sekitar jam 14.00, Debby kelahiran 12 Maret 1956 itu pergi untuk selama-lamanya. Diduga, ia terkena serangan jantung.
Mengejutkan berita Debby telah pergi. Karena dari keluarga Nasution, Debby lah yang selama ini terlihat “paling sehat”. Tapi ternyata Debby pergi lebih dulu....
Selamat jalan bang Debby Nasution. Dunia musik Indonesia kehilangan dirimu, seorang kibordis legendaris yang menjadi salah satu tokoh panutan para musisi generasi berikutnya....
Titipkan salamku, untuk mas Yockie Suryo Prayogo dan juga Sys Ns di alam sana. Sampai bertemu lagi, bang./*






Thursday, September 13, 2018

Dewa Budjana yang gw kenal, sampai Mahandini



Karena tur konser untuk musik instrumental begini kan udah lama ga ada, begitu katamu setelah jumpa pers kemarin itu. Bener juga ya, timpalku. Terakhir, yang gw tahu sih, waktu Trisum kan, tambahmu lagi.
Oh iya, itu udah tahun berapa ya, sambungku. Makanya, jadi ya jalan aja deh, beruntung Lemmon ID mau support nih, ungkapmu lagi. Kalau ga ada Lemmy, susah juga ketemuin pihak yang mau jalanin konsep tur konser kayak gini nih, Budj.
Adalah LemmonID yang memang menjadi promotor tur konser tersebut. Nama tersebut awalnya dikenal sebagai salah satu nama baru di bidang persewaan tata cahaya, yang ternyata lantas berkembang menjadi promotor. Termasuk juga mendukung rekaman Mahandini, album terbaru Dewa Budjana, sebagai produser eksekutif.
Dan Lemmy Ibrahim adalah “big-boss” dari LemmonID. Yang secara pysically, asli big-boss, karena tubuh “kecil”nya. Lemmy sudah bergaul akrab dan dekat dengan Dewa Budjana sejak era 1980-an. Waktu itu mereka berdua bertemu, dan ngelmu di Forum Musik Jack & Indra Lesmana Farabi.


Foto  Nini Sunny
Tentang Dewa Budjana ini, sudah berapa kali saya tulis dan muat dimana-mana, sepanjang karir jurnalistik (musik) saya. Sejak pertengahan 1980-an lho! Masya Allah.
Silahkan lihat link ini saja, salah satu tulisan “mendekati cukup lengkap” tentang Dewa Budjana yang saya muat di media terakhir saya. Kemudian saya lengkapi lagi, untuk dimuat di website saya ini.

Dewa Budjana dan Benny Soebardja....l



Kemarin memang ada jumpa pers yang ternyata menyebarluaskan rencana tur konser gitarisnya GIGI, yang aktif menghasilkan solo album ini, I Dewa Gede Budjana. Sekaligus terkait dengan akan rilisnya album solo ke 10-nya, Mahandini itu. Lantas juga rencana sebuah konser bertajuk Samuccaya Dewa Budjana, di bulan Desember 2018 di Jakarta.
Saya sendiri “beruntung” mengetahui rencana jumpa pers itu dari satu postingan Lemmy Ibrahim, di sebuah whats app group. Lalu saya tanyakan detilnya dan bilang, minat untuk datang. Jadi saya mungkin satu-satunya penulis atau wartawan, yang menghadiri jumpa pers itu tapi sebenarnya tidak memperoleh undangan. Aduh, kayaknya ga dianggep wartawan musik...
Maksudnya, tidak diundang “resmi” oleh pihak yang membantu LemmonID untuk mengundang teman-teman pers. Ada 2 pihak yang menyebarluaskan undangan tersebut. Saya nyelonong aja datang, dengan sebelumnya ya mengontak Lemmy Ibrahim kemudian Dewa Budjana. Saya datang bersama teman baik saya, Restu Fortuna.
Eh Budj, sepuluh album sudah ya? Produktif juga dirimu ya, Budj? Dan catatanku, sejak merilis debut album solo, Nusa Damai di 1997 berlanjut dengan Gitarku di tahun 2000, elo itu masuk pada semacam episode idealis ya. Boleh ya, gw sebut episode idealis begitu, Budj?
Eh iya sorry, kali ini secara khusus dipilih langsung dengan “gw dan elo”.Karena memang mewakili obrolan kami berdua selama ini. Maklumi saja, kami bertemu lalu berkawan dekat baru sejak pertengahan 1980-an sih. Walau ketemuan pertama, sejatinya ya Budj,gw lupa dimana ya? Elo inget kayaknya? Stars Show Band di Ataka Studio? Ah sebelumnya juga udah ketemuan kan kite?
Dan sampailah di berita yang gw baca soal Mahandini, diposting elo dan Lemmy. Astaga! Musisinya itu lho. Komen pertama gw, gile dah Budjana bisa aja dapetin musisinya yang kayak gitu?
Jordan Rudess, Budj! Sumpeee lo... Hahaha. Kibordis legend itu mah. Banyak sekali orang yang tahu dan mengagumi nama satu itu kan? Secara kibordisnya Dream Theatre gettoooo, ikon progmetal nomer wahid dunia!
Jordan Charles Rudes, nama lengkapnya. Gw suka juga dengan grupnya selain DT itu, Liquid Tension Eperiment. Gw juga dengerin beberapa solo albumnya, kayak misal Listen atau Secret of The Muse. Kalau ga salah sih, itu solo album sebelum doski masuk Dream Theatre gantiin Derek Sherinian. Mudah-mudahan ga salah deh....
Lalu nah ini yang ngejutin gw, Mohini Dey! Muda be’eng lho. Bassis cewek, lahirnya tahun 1996. Tapi karir musiknya itu udah banyak banget, makanya sampai disebut-sebut sebagai prodigy juga. Lha soalnya udah berkarir sejak umurnya baru 10 tahun kan.
Gw pas baca elo bisa ngajakin Mohini Dey, bassis India itu, lantas inget-inget pernah gw baca atau dengerin permainannya dimana ya? Eh ternyata dia pernah main dengan maestro, Zakir Hussain. Juga Nitin Sawhney, musisi electronica ternama berdarah India, kelahiran Inggris. Selain juga membantu Steve Vai.
Kemudian Marco Minneman, drummer. Yang main dengan Steven Wilson-nya Porcupine Tree. Drummer yang banyak main di wilayah progressive rock nih. Dia juga sempat mendukung bandnya Joe Satriani. Sekarang gabung dengan The Mute Gods dan The Sea Within, yang berbau prog-rock.
So, albummu “bergeser” ke progrock nih, kalau melihat dari musisi pendukungnya ya. Instrumental iya, begitu jawab elo tapi soal jazz atau progrock, sebenarnya elo ga secara eksplisit atawa terang-terangan jawab ada pergeseran.

Persoalannya kan, gw sendiri belum mendengarkan materi Mahandini itu? Yang waktu jumpa pers, elo dan Lemmy bilang, akan dirilis versi digitalnya di sekitar November atau Desember tahun 2018 ini. Bakal disusul juga format CD nya, beberapa bulan kemudian.
Dalam Mahandini itu, ternyata juga ada keterlibatan gitaris lain. Mike Stern, salah satu gitaris jazz rock yang lumayan kondang buat para musisi di sini. Juga nama tenar lain, John Frusciante, yoih mantan gitarisnya Red Hot Chilli Peppers itu.
Naga-naganya, bedalah ya dengan Zentuary misalnya? Kan lihat aja, yang di album kesembilan, Zentuary itu musisi pendukungnya juga lain lagi. 3 musisi legendaris, Gary Husband, Tony Levin dan Jack de Johnette. Nah yang lantas kalau mereka-reka corak musikmu sebenarnya apa, rada sulit sulit mudah sih.
Progressive Fusion kali? Entahlah. Kan yang lebih penting sih Budj, gw suka apa ga. Hehehe, itu pentinglah. Kalau ga suka, gimana gw mau nulis tentang elo? Jazz atau bukan, tetapi ngomongin elo kan, ya ga bisa lepas dari masa lalumu?
 

Elo banyak bergaul, berkecimpung di wilayah jazz, dengan banyak “orang-orang” jazz. Mungkin itu bisa jadi “tanda-tanda jaman”. Walau elo kan juga berkembang Toh elo malah ngetop justru dengan GIGI?
Gw penasaran dengan Mahandini. Dan gw juga penasaran tentu saja dengan konser di Desember nanti. Elo menyebut ada Jay Soebiyakto sebagai penata artistik konser tersebut kan? Wah, wah, wah. Dahsyat nih gelagatnya...
Sewajarnya sih, elo “ditampilkan” lebih istimewa. Musikmu istimewa, perjalanan musikmu juga spesial. 10 album solo, cuuuy! Belum lagi, sudah berapa album yang GIGI hasilkan?
Sebagai musisi, elo termasuk musisi atau gitaris dengan produksi solo album terbanyak. Yang menyamai elo, rasanya hanyalah sohib-sohib terdekatmu. Tohpati misalnya. Juga, Bintang Indrianto!
Solo album memang membuatmu sadar atau tidak, menegaskan jalan yang elo pilih. Memainkan karya-karya sendiri, orisinalitas yang dikedepankan. Era memainkan lagu orang, meng-cover, elo pernah jalanin. Sekitar 1985 sampai kapan Budj? Seinget gw, mungkin sampai GIGI keluarin album pertama?
Ya dengan Hydro misalnya. Apalagi Budj? Main di Hotel Hilton dan beberapa kafe lain, di bawah bendera Ireng Maulana Associates. Termasuk Stars Show Band, yang bawain lagu-lagu disko barat itu.
Balik ke rasa penasaran gw. Apakah gw penasaran juga dengan penampilan tur konser elo ini? Main didukung Shadu Sjah Rasjidi (bass), Demas Narawangsa (drums), Irsa Destiwi (piano/kibor), Marthin Siahaan (kibor) dan the one n only, Saat “Borneo” Syah (flute and voice).
Budjana dan gw diapit teman-teman wartawan-wartawan musik terkemuka nasional. Difotoin secara wefie oleh Nini Sunny



Senengnya, berfoto dengan para senior saya, para wartawan yang dedikasinya tinggi sekali, Nini Sunny, Bens Leo, Dimas Suprityanto dan Buddy Ace.
Pasti menarik, lain lagi dong, spesial jugalah. Elo dan Lemmy bilang ini pemanasan sebelum konsermu. Sekaligus menyiapkan publik untuk “menerima” Mahandini nantinya.
Ada sejumput penasaran gw juga. Ga begitu besar. Karena kalau terlalu besar penasaran ini Budj, gw takut bikin ga bisa tidur. Runyamlah. Ya apalagi kalau gw ternyata ga bisa dapat kesempatan nonton, paling tidak di salah satu kota yang disinggahi.
Oh ya, ketika tulisan ini gw buat berarti, kemarin 12 September, elo dan band itu main di Purwokerto. 13 September ini, ke Cirebon. Lalu masuk Yogyakarta untuk main pada 18 September. Lanjut ke Semarang, main di 20 September. Kota terakhir, Solo, di Selasa malam, 25 September.
Dan sukseslah Budj. Juga salam hormat dan sukses pula untuk Lemmy Ibrahim and his Lemmon ID. Soal gw mau nonton apa ganya, gw pikir mending gw pasrahkan ke semesta raya.
Elo pernah bilang kemarin, untuk nonton ikutan tur tanya Lemmy aja. Well, ok lah. Tetapi selama ini, Lemmy rada bermasalah sama gw. Dia suka janji, tapi keseringan lupa sama janjinya ke gw tuh... Hehehehe.
Peace ah Lem...Tempat pipis dimana, Lem....! /*