Thursday, February 25, 2016

TESLA MANAF Salutlah untuk Perjuangannya...

Tesla Manaf! Mau ke Jepang? Waow! Waktu baca berita itu di social-media, saya kaget dan seneng. Kaget banget sih ga. Kenapa jadi kaget, siapapun bisa saja ke luar negeri. Untuk tujuan apapun. So, kalau lantas Tesla berencana ke Jepang, untuk melakukan tur kecil di sana. Ga Ada sesutu yang aneh, buat saya ya.
Toh Tesla juga tempo hari ke mana ya, Eropa? Itu kan bisa. Ia juga kan bisa merilis albumnya secara worldwide, lewat Moonjune Records. Ia menyebut judul albumnya,. A Man’s Relationship With His Fragile Area. Kalau liat di katalog Moonjune, judul albumnya adalah namanya sendiri. Tesla Manaf.
Ga jadi terlalu kaget, karena Intan Anggita, si @BadutRomantis, sebelumnya sempat mengontak saya langsung. Mengabarkan ia membantu Tesla untuk mengumpulkan dana, agar rencana Japan Tour-nya bisa terealisasikan dengan baik. Waktu itu, jalan pertama melelang vinyl “bersejarah”, Djanger Bali yang dirilis pertama kali tahun 1967 itu. Itu album jazz dari para master jazz Indonesia, The Indonesian All Stars (Bubi Chen, Benny Mustafa, Jopie Chen, Jack Lesmana dan Maryono) yang berkolaborasi dengan jazzer Amerika, Tony Scott.
Saya belum bisa membantu secara maksimal, saat itu. Dan nyatanya pengumpulan dana buat Tesla, diteruskan. Lewat beberapa show-nya, seperti di Teater Salihara, dan dilanjutkan dengan sebuah gigs di sebuah kafe di Kemang. Dimana Tesla dibantu beberapa teman musisi, antara lain Dewa Budjana, Monita Tahalea, Gerald Situmorang dan Ginda Bestari.
Dan di semua kegiatan tersebut, ternyata terlewat juga oleh saya. Dan saya hanya bisa menuliskannya sekarang  Memang di satu titik, saya tersepona eh terpesona dengan gerakan pengumpulan dana itu. Tekad dan semangat Tesla ini saya puji dua jempol. Itu juga yang saya langsung rasakan, saat bertemu dia. Antara lain, pertama kali kalau tak salah di acara Solo City Jazz tahun 2011.
Tesla ini unik. Musiknya spesifik, punya karakter tersendiri. Saya tengah mencoba menyelami musiknya, yang bersama Mahagotra Ganesha, eh tau-taunya dia menghasilkan albumnya yang dijual via label New York itu. Lain lagi musiknya! Kalau buat saya, musiknya jadi lebih dalam, lebih emosional. Ah tapi, bisa jadi ungkapan itu ga terlalu tepat sebenarnya. Tapi terus terang, saya pusing cari kosakata yang tepat euy.
Tapi doi ini memang berbakat. Halah, common sense amat istilah itu. Berbakat, kayaknya banyak bener musisi yang berbakat kan? Tesla bakatnya beda. Karena ia menikmatinya dalam angle yang berbeda. Dan dia optimistik. Selalu bersemangat. Walau harus ga punya gitar, pada satu ketika.
Musiknya jadi lebih ekspresif, sedikit lebih bikin saya “mengernyitkan dahi”. Harus mendengar dengan rileks, jangan terlalu serius. Kalau terlalu serius, nanti bisa ga tau, lagu yang dimaininnya udahan!
Tapi boleh jujur ya. Saya pada awalnya, agak sulit memahami musiknya yang sekarang. Walau gini, musiknya sebelumnya yang bisa dibilang lebih rada world-music sekilas belum bisa terlalu terasa karakter musiknya. Musiknya lho. Musiknya, bukan permainan gitarnya ya. Kalau soal musikalitasnya, itu kasus beda. Namun saya menghormati dan menghargai, kudu memaklumi, Tesla masih muda. Ia tengah berproses.
Nah permainan gitarnya, ini dia. Justru itu yang menarik saya, begitu pertama kali menonton penampilannya. Pada beberapa acara. Saya pikir, anak muda Bandung yang seneng cengengesan ini,rasanya punya masa depan bagus kelak.
Benar atau tidk, masa depannya kan bagaimana, sesukses apa. Tergantung segala upayanya. Rezekinya juga. Kesempatannya juga yang datang kepadanya. Tapi kan paling tidak, dia punya modal. Dan modalnya, asli serius!
Sekarang, dia tengah berjuang untuk bisa tur di Jepang. Salutlah. Apapun bentuk acaranya nanti, dimanapun performancenya. Itu pasti jadi salah satu batu loncatan yang bermanfaat, bagi perjalanan karir musiknya. Walau memang rada miris juga. Kenapa musisi kita, yang bertalenta, makin banyak yang bisa berpentas di luar negeri. Tapi rata-rata, kudu berjuang ngumpulin modal untuk mengongkosi perjalanannya sendiri. Susah ya, pemerintah kita ga mudah untuk mau peduli pada dunia musik kita, pada pemunculan talenta-talenta muda. Yang padahal, kelak bisa mengharumkan bangsa nantinya. At least punya potensi untuk itu.
Saya doakan untuk kesuksesan Tesla Manaf. Tak hanya sukses bisa ke Jepang, merealisasikan rencana turnya. Tapi sukses untuk seterusnya. Dan saya lantas cari-cari lagi file saya, profile tentang Tesla. Yang pernah dimuat di media saya, NewsMusik. Ketemu nih! Sayapun pengen menguploadnya di blog saya. Semoga saja bermanfaat. Baik buat Tesla sendiri maupun pencinta musik Indonesia. Silahkan dibaca tulisan saya di bawah ini.....


Tesla Manaf
Yang Senang Suasana Patah Hati. Lho?


Ada apa dengan patah hati? Tapi sebelumnya, dengarlah celotehnya, suatu ketika di beranda depan NewsMusik. Ia sengaja mampir, memakai travel,niatnya sowan untuk berbagi cerita. NM lalu memanfaatkannya untuk diajak ngobrol dan, foto-foto. Foto? Jangan yang aneh-aneh ah, ucapnya sambil cengengesan.
Ga mungkin aneh-aneh lah, mana mungkin NM memotretnya telanjang, misalnya. Iapun tertawa lebar, nyaris tak bisa berhenti. Lalu NM iseng menanyakan, mana pacarmu? Ia tersenyum, udah ga ada dan sampai hari ini belum ada lagi. Kenapa? Patah hati dong?
Ia malah ngomongin album berikutnya. Bagaimana ia lantas bisa berkomunikasi dengan seorang Leonardo Pavkovic. Juragan musik independen dengan label independennya, Moonjune. Nama Leonardo belakangan makin dikenal luas di sini, setelah ia mengambil dan mengedarkan secara internasional album-album Discus, simakDialog, Dewa Budjana lalu Tohpati
Ceritanya, lewat teman baiknya, dari kelompok I Know You Well Miss Clara, iapun dapat tersambungkan dengan Leonardo yang berdomisili di New York. Kelompok I Know You Well Miss Clara asal Yogyakarta itu, juga telah “direkrut” oleh Moonjune. Yang album mereka, Chapter One, telah diedarkan ke seluruh dunia.
Reza Ryan, gitarisnyalah yang memperkenalkannya dengan Leonardo. Selanjutnya, mereka intens berkomunikasi via email, juga bertemu ketika Leonardo mampir di Jakarta. Nah, Leo tertarik dengan isi content karya-karya lagunya di situs soundcloudcom.
“Saya banyak menyimpan lagu-lagu iseng saya yang apa ya aneh-aneh, eksplorasi saya terhadap bunyi. Mungkin absurd banget, banyak tak berirama dengan biasa gitu. Ya seenak-enaknya saya pengen mencoba untuk berkreasi saja. Karya-karya begitu sebagian saya iseng saja upload. Lho, Leonardo suka!” Ia berkisah panjang.
Dari situlah, Leo meminta karya-karya lagunya yang lain. Ia lantas menangkap bahwa Leo menyukai warna lebih ke arah progressive.
“Tapi saya tetap menyodorkan karya-karya yang saya lebih pengen mainin saja ya, ga terlalu terpatok harus progressive, harus rock, harus jazz atau blues,” ucapnya. Maka ia memutuskan mencoba melakukan konsep musik berbeda dibanding dengan apa yang telah dilakukannya bersama kelompok Mahagotra Ganesha.
“Iya, saya berpikir bermain dalam format band. Combo atau kwartet. Tidak lagi bermain seperti album saya It’s All Yours. Kalau di album tersebut, yang adalah album keempat saya yang saya rilis ulang lagi, kan saya pengen berkolaborasi dengan gamelan. Jadinya ya begitu,” terangnya lagi dengan lancar.
Oh ya sebelum jauh, namanya Tesla Manaf Efendi, begitu lengkapnya. Gitaris muda, penuh senyum, akrab dengan banyak orang. Supel banget. Ia kelahiran Jakarta pada 29 Agustus 1987. Putra bungsu dari 2 bersaudara dari orang tuanya, Imam Aditya Effendi dan Tuti Effendi.
Ia menyebut Pat Metheny sebagai gitaris terfavorit, pada suatu masa ia merasa sangat terpengaruh dengan Pat Metheny.Bahkan di album terbarunya nanti, yang berarti menjadi album kelimanya kelak, suasana musiknya mungkin akan sedikit terasa ke arah Pat Metheny. Gitaris favorit lainnya, Daita Ito, John Williams, Roland Dyeus dan Julian Lage.
“Bener banget, kalau tiap album ataupun karya tergantung juga pada mood atau suasana yang saya alami, saya pikirkan, saya rasakan saat itu. Saya masih berproses, masih harus belajar banyak. Saya mencoba pengaruh tidak lantas membuat saya sadar atau tidak, mencoba menjadi seperti apa yang mempengaruhi saya itu,” ucapnya lagi.
Ia membuka dirinya lebar-lebar, untuk bisa mengolah lebih banyak hal. Baik lewat pikiran, rasa, sampai penglihatan dan apa yang dia dengar di sekeliling. “Dari situlah, saya lalumemutuskan format musik saya untuk Moonjune akan menjadi seperti itu. Berbeda memang dengan konsep lebih ke world music, seperti apa yang ada di album saya sebelumnya.”
Ngobrol dengan anak muda kreatif,penuh semangat dan terkesan sering banget ceria itu, lumayan menyenangkan. Saking nyenenginnya, tentu saja kita bisa kaget kalau dia mengungkapkan, paling enak bikin lagu kalau patah hati atau sakit hati! Karena kalau sedang merasa patah hati, ia seperti kesetrum enerji yang mengarah pada bikin lagu! Ada-ada saja. Jadi, sering bikin lagu?
Eh sama artinya, berarti sering patah hati dong? Ia tertawa lebar lagi. Emang aneh ya, tanyanya lagi. Yang dijawabnya sendiri langsung, “Aneh juga sih tapi saya malah menikmati rasa dan suasana itu, yang menjadi penebal mood untuk bekarya.”
Tesla, yang menyukai juga Gentle Giant dan salah satu lagu favoritnya adalah, ‘En La Orilla Del Mundo’-nya Charlie Haden, mengaku punya hobby lain, Melukis. Pernah pengen jadi pelukis, tapi sekarang sudah tidak lagi. Ia mencurahkan perhatiannya kepada musik saja.
Gitaris yang belum lama menjual satu demi satu gitarnya itu, menyebut nama Ismail, sebagai guru musik atau guru gitar pertamanya. Ia belajar musik dan gitar melalui Yamaha Music School dan Venche Music School di Bandung. Proses belajarnya terus, tanpa henti. Selalu belajar, kata penyuka buku Mark Levine, berjudul Jazz Theory Book.
Buku itu, menurutnya, “Itu buku yang merupakan ringkasan terdetail tentang cara bermain musik jazz, di instrumen musik apapun.” Ia membaca buku itu berulang kali, dan terus mencoba memahaminya sebaik-baiknya. “Kegunaannya banyak. Menjadi dasar yang baik dan benar untuk musik saya.”
Saat-saat sekarang ini, Tesla yang menyukai film Patch Adam-nya Robin Williams, mengaku lagi asyik sering menikmati album Avishai Cohen, Almah. Ia juga menyebut, album Birds dari Marius Nesset yang juga sedang sering ia simak.
Lalu soal gitar lagi, ia memang terus belajar. Ia sengaja menyediakan waktu minimal 2 jam, sesekali bisa sampai 5-6 jam untuk bermain gitar sendiri. Mengulik, memahami lagu dan lalu membuat lagu. Latihan di lakukan di kamar atau di atap rumah kost-nya. “Saya banyak mencoba bercerita saja dalam improvisasi. Semacam berdialog dengan diri sendiri, lewat gitar.”
Menurut penggemar album The Way Up dari Pat Metheny ini, semua lagu karyanya itu punya cerita sendiri-sendiri. “Kan cerita itu menjadi ide dasar lahirnya lagu. Semua punya story dan kesan. Tapi yang lebih mengena di hati itu, buat saya pribadi adalah, ‘Chin Up’ dan ‘After Her’. Dalem kali ya...Hihihi,” ungkapnya sambil tersenyum lebar.
Untuk selanjutnya, ia berencana mempersiapkan diri untuk bisa merampungkan albumnya. Sudah ditunggu oleh Lonardo Pavkovic. Rencananya sih, tahun ini juga akan dirilis. “Saya juga pasti akan beli gitar lagi. Nabung lagi deh.” Dan tahun depan, ia berencana bisa melakukan perjalanan ke Amerika Serikat.
“Leonardo akan membantu untuk tur saya nanti. Ah main di clubs saja, bertemu musisi sana. Tur kecil kok. Beberapa kota. Duit belum ada sih, sampai saat ini, tapi niat emang sudah bulat. Hahahaha.... ga tau deh, bisa apa tidak. Lihat nanti deh. Saya lagi getol cari sponsor atau cari supporter nih. Ia juga berharap, akan dapat lebih bayak kesempatan untuk tampil, setelah album terbarunya keluar nanti. “Format band saya akan lebih minimalis kan, semoga mempermudah untuk bisa kemana-mana.” Saya memang memberi masukan, musiknya harus lebih sering diperdengarkan kepada khalayak lebih luas.
Karena memang ia punya, selera yang baik,kemauan kuat dan semangat berlebih. Ia terus aktif berkarya, ia terus menikmati prosesnya. Sejauh ini, seorang Tesla Manaf yang terbilang muda ini, sudah mulai terlihat musiknya. Dan musiknya, yang berbeda itu, sebaiknya memang bisa dinikmati lebih banyak lagi orang.
Cita-citanya sebagai musisi nanti? Ia senyum dan bilang begini, ”Simple saja, bila saya nanti sudah tidak ada lagi, karya-karya lagu saya akan terus dikenang orang.” Well Tesla, keep moving! Jazz it Up! Emangnya saya musisi jazz, ia berkomentar sambil tertawa lebar. Pikiran dan gayamu sehari-hari, cukup jazzylah, bro.... /*

Foto-foto oleh Indrawan Ibonk. Kecuali Foto Panggung, jepretan saya sendiri*

EMIL Dari SoG ke Wired, Sekarang DDO. Eh, apa kabar, bray?


Mas Bro, musik itu lebih dari bisnis. Musik adalah lifestyle, buat gw. Begitu doski nyerocos. Eits bro. Kalau mau bro ya bro. Atau bray, juga boleh. Jangan “mas bro” dong. Terlalu ragu-ragu kesannya. Dan kita berdua ketawa-tawa lebar. Bisa aja elo mas. Ok then, so you choose, “mas”? Elo maunya gimana dong, bro? Nah mulai dah.... Udah mending, kita bersulang!
Di meja depan kita ada beberapa botol. Botol air mineral sih. Mineral yang memberi semangat dan kesukacitaan. Lalu ada piring berisi bitterballen dan kroket. Gw ambil, dan doi langsung menyamber, “Elo Belande banget, mas...”

Emil is his name. Emil, who? That’s it,cukup Emil ajalah, begitu ucap doi. Emil pilih, pendek segitu aja. Karena...”Well mas, biarlah gw independent, ga bawa-bawa nama keluarga. Kan gw punya hidup sendiri. You know what I’m saying.... Bukan gw ga respek dengan keluarga, apalagi dengan bokap atau orang tua. Konteksnya bukan itu.” So, ok then.
He’s rock n roller skaleeee. Jadi, kayak gini deh. Bayangin, pagi sampai sore ia berbatik, resmi banget! Dan ketemu gw, ok mas bro hahaha...ini gw kira-kira nine to five nya. Kita tertawa ngakak. Tapi pantes kok, sesuailah bro. Ia buru-buru mencari ganti, maka baju batiknya berganti t-shirt dan....dengan topi. Well, here you go.
Jadi ceritanya ya, doski mengaku bokapnya ya mengarahkannya lebih ke bisnis. Mulai dari pilihan sekolahnya. Ia di masa remaja, bersekolah di Amrk, coy. Pulang ke sini, masuk SMA swasta di bilangan Kebayoran, sampai lulus. Mulailah doi bermusik. “Ya bokap sih kurang setuju gw bermusik serius. Kalau sekedar have fun, ga apa-apa.”
Babe adalah orang bisnis. Nah menurutnya, bakat seni mungkin dari sang ibu. Dulu di masa mudanya, ibunya adalah penari. Gw waktu masih ya, 5 atau 6 tahun gitulah, sering banget lihat ibu gw pasang lagu-lagunya Elvis Presley. Misalnya, ‘Love Me Tender’ ya. Gw lihat, ibu gw ikutan menyanyi, dengan tenang, menghayati. Asyik lihatnya. “Itu yang jadi awal gw mulai suka musik.”
Baru terbuka lebih lebar wawasan musiknya, setelah liat media. Terutama televisi, lewat MTV. Ia mengaku, jadi lebih suka lagi dengan The Beatles dan Rolling Stones. “Itu 2 nama teramat pentinglah buat musik gw. Apa ya, ide-ide bermusik gw kemudian, semua berasal sebenarnya dari inspirasi yang datang dari ke dua namaitu. Susah ya, kalau omongin Rolling Stones dan Beatles, ga ada habisnya....”
Ketika ia di states sana, perlahan tapi pasti, musik jadi kayak way of life nya dia. “Gw kemudian nonton dan nikmatin banyak band, macam-macam musik. Well, gw tumbuh dengan 80’s music ya bro.  Dari yang keras macam Metallica,  Van Halen, ke Police. Atau yang British, kayak yang electronic gitu. Gw dengerin semua. Dan gw suka semua...”
Taste elo jadi lebar banget ya bro? Iya karena suasana, pergaulan. Dan gw makin interes di musik. “Gw juga suka sampai ke Journey misalnya. Termasuk juga Lenny Kravitz. Atau apa ya, Vertical Horizon, Fuel, Creed. Named it. Yes aja gw jg suka, Gensis. Elo suka apa mas, Gino Vanelli? Gw juga suka dan gw dengerin banget...”

Lalu bandmu bro, State of Groove? Ok, ya akhirnya gw kepikiran lebih serius, ngeband. Bikin band. Gw udah bisa main gitar juga, “Walau terus terang, main gitar gw mah jelek banget mas bro....” Kumpulin temen-teman waktu itu. Langsung bikin aja. “Nah, tantangan di band, bikin band, ternyata lebih berat dari bikin keluarga...” Hahahaha, are you sure, bro?
“Iya mas. Bikin band itu bukan perkara mudah. Harus ad pemimpinnya, yang punya jiwa leadership. Dan harus bijaksana. Itu yang gw bilang, lantas lebh dari sekedar bisnisnya. Bisnisnya penting, incomings kan? Tapi musik itu harus masuk dalam jiwa, jadi bagian dari lifestyle. Maka jalaninnya akan lebih enak. Akan bisa dinikmai prosesnya,” jelas Emil panjang. Dan gw setuju dengan pemikirannya Emil.
Sekedar info dikit, SoG di akhir 1990-an, sebenarnya jadi band yang “berbahaya”. Itu diakui banyak musisi. Bahkan satu ketika, Andy /rif waktu /rif nya mulai naik tinggi di saat itu, nonton SoG dan langsung bilang, “Band ini gw sumpahin cepet bubar.” Yoih, sambil becanda dong. Itu memang jadi pengakuan, Andy terkesima sama SoG. Apesnya, doa Andy terkabul?
Hahahaha, Emil tertawa lebar. Sambil mengambil es batu, masukkin dalam gelas. Dan ambil botol untuk nambah isi gelasnya. Yup, botol air mineral. Ia omong, “Yoih itu dia. Doa Andy kesampaian. SoG hanya kuat jalan dua tahunan. Kita bubar. Sayang sih sebetulnya. Tapi memang susah diterusin.”

Tapi musiknya sebenarnya bagus banget saat itu kan ya, bro? Emil ketawa, iya itu ketemu idenya gitu. “Kita di dalam SoG waktu itu asyik-asyik aja main. Banyak yang langsung suka bro. Groupies aja langsung dapat, hahahahaha. Maksudnya, yang suka musik SoG ya cowok dan cewek.”
Sayang emang ya, ga bisa terus. Padahalharusnya bisa aja bersaing dengan /rif, Java Jive, termasuk juga GIGI kan? Yang saat itu, juga baru pada nongol dan mulai populer. SoG beda dari mereka, menurut gw ya bro. Peluangnya itu besar. Emil lagi-lagi ngangguk-ngangguk, minum, isi gelas lagi. Isiin gelas gw juga, pas gw juga udah haus. Air mineral itu kan nyegerin badan, pikiran, hati juga.Ya ga, bro?
Gw lalu bikin Wired. Abis SoG. Musiknya beda lagi,mungkin lebih rock kesannya. “Gw coba seriusin label juga. Sempat jalan juga, tapi ga lama. Wired kemudian malah rekaman dan gw ga ikut main, hanya jadi produsernya aja, lewat label gw itu.” Tapi saat itu, lanjut doi, dia enjoy dengan dunia musik. Kepengen untuk terus dan lebih serius lagi.
Kemudian, lanjutnya lagi, jadi band itu buat gw adalah proses atau tahapan lanjutan menuju kedewasaan. “Karena kan ngumpul, dengan musisi lain ya. Gimana kita ngobrol, diskusi. Nyatuin selera, visi dan misi. Mau mendengar, menerima, saling memberi dan saling mendengar. Ada proses itu dan itu asyik...”

Tapi kemudian kan, elo malah hilang bro? Eh, doi ngajak toast! Hahahaha, Emil ketawa dan bilang, “Iya kemudian gw kayak keluar dari musik. Bukan ninggalin. Gw sibuk di bisnis. Dan dunia lain, di luar musiklah. Tapi gw tetapsebenarnya ga jauh-jauh dari musik, paling ga kan, tetap dengerin musik. Nonton juga, kalau gw sempat.”
And then, Daddy’s Day Out! Is this means, daddy work out again? Is this back for sure? Emil senyum lebar, lantas bilang dengan lumayan serius, “Ya, seperti yang gw bilang bro, music for me is lifestyle. Dan udah masuk banget. So, gw pikir gw mau balik lagi. Serius? Harus serius dong. Jangan setengah hati. Gw ngeband, gw pengen dengan menejemen yang bener, label juga gw bangun.”
Dan langsung hasilnya adalah, Silver, debut album mereka.Rekman itu prosesnya relatif cepat. Malah buat gw, cepet amat! Tapi menurut Emil, “Ya itu bentuk keseriusan. Kumpul, ngobrol, nyoba bentar.Ya langsung masuk studio ajalah. Rekaman.” Musiknya beda ya dengan SoG bro? Emil mengangguk mantap.
Ini perjalanan kemudian dalam karir musiknya. Setelah ia sempat menggumuli bidang di luar musik, ketika dia balik, “Gw bawa pengalaman-pengalaman gw kemarin itu. Lalu jadinya ya musiknya Daddy’s Day Out. DDO, sebutan manisnya. Lebih rock memang, enerjik ya. Suasananya beda dengan SoG. Tapi spiritnya tetap sama sebetulnya, mas.”
Emil melanjutkan lagi, kali ini soal hidden agenda, di balik DDO nya. “Gini mas bro, gw ga hanya kepengen ngeband lagi, karena gw pengen dan niat. Bukan hanya itu. Semoga bisa menginspirasi yang muda-muda. Jadi kan, lihat nih gw aja masih semangat gini, masak elo ga sih? Ayo dong... Ayoooo, bermusiklah, berani keluarin ide elo, ekspresi-ekspresi kalian.”
So misinya lebih ke yang muda-muda ya bro? Betul mas. Supaya mereka bersemangat juga, “Semoga gw bisa menjadi trigger untuk memotivasi mereka. Sekali lagi, kalau gw bisa masak elo ga bisa?” Musik itu positif kan, untuk menyalurkan enerji, kreatifitas. Apalagi sekarang, pemerintah juga memberi pekepdulian terhadap seni, dengan ekonomi kreatif itu. Musik ada di dalamnya. “Kita bermusiklah serius, besok-besok kita harus mampu juga, menjual musik kita ke luar negeri.”
Iya ya bro, jangan kita hanya jadi pasar, yang memberi apresiasi lebih pada arus musik luar yang membanjiri pasar musik kita. “Setuju mas. Kenapa ga mungkin sih, kita kayak gini, gw terima dagangan elo. Tapi elo juga harus bisa terima musik gw dong? Ok, itu harus serius ya. Jangan minta-minta gimana. Bikin, berbuat aja. Kreatiflah. Peluangnya terbuka kok,” jelas Emil lagi.
Omong-omong, penganan cemilan-cemilan lucu udah tandas. Tinggal piring kosong di depan kita. Emil tanya, “Elo mau ayam tulang lunak bro? Masih lapar?” Gw ketawa dan menggelengkan kepala, Udah ah bro, cukuplah. Nanti aja, kalau lapar lagi, gw minta. Kalau gitu, tambah minum aja ya? Dan Emil sigap menuangkannya ke gelas gw....
Rock nya “the Daddy’s” nya Emil emang yang inilebih keras. Nendang. Tebel. Rada menyengat. Tapi gw pribadi salut, karena tetap ga “kelewat bising”, dan bisa dinikmatin kuping. Bisa nyegerin pikiran. Bisa juga, apa lagi ya....melancarkan peredaran darah? Bolehlah jadi semacam obat stres masa kini gitu.
Masak sih bro, tanya dia, ketika gw bilang musiknya DDO gw suka. “Syukurlah kalau elo bisa suka. Ga malu-maluinlah ya, mas?” Hahahaha, apanya yang malu-maluin bro? Asyik lageeee. Dan, tanyanya lagi, “Punya potensi dijual ke luar ga, menurut elo?” Gw menjawab segera, kenapa tidak?
Masalahnya, kalau belum dicoba, bagaimana kita bisa tau, bisa atau ga nya kan? Ya gw serius untuk berpikir, lanjut Emil, “Kenapa ga, kita sudah berpikir ke pasar luar negeri. Kita juga bisa ngerock, dengan apa ya, standar internasionallah. Banyak kok musisi rock kita yang mampu, musiknya bagus dan bisa dijual ke luar. Ya kan, bro?
Exactly, brother! Gw setuju. Lalu DDO, sudah rilis belum sih albumnya? Emil jawab, segera. Secepatya dirilis resmi. “Gw coba sebarin versi promosinya, dengan packaging yang lebih simple. Gw akan jual yang versi packaging lebih lengkapnya nanti Mudah-mudahan ditanggapi positif pasar musik kita, mas.”

So, elo tetap optimis di dunia musik? Maksudnya ya, bahwa musik masih menyenangkan gitu, industrinya... Menurut elo? “Ya mas. Optimis. Pasarnya masih ada. Kan perkembangannya juga bagus, terutam yang indie. Gw juga ngerjain segala sesuatunya dengan seneng, karena gw suka. Point pentingnya kan itu, kerjain dengan senang hati mas. Saling mendukunglah, kita berteman baik di jalur rock ini. Sebenarnya ya dengan semua musisi, ya penyanyi, jangan liat musiknya atau genrenya. Harusnya, kita bisa bersinergi.”
Sejauh ini, emang betul gelagatnya Emil serius, mungkin duarius, atau limaius, bahkan bisa lebih dari sepuluhrius. Dia mendirikan, Daddy’s Record, yang menjadi payung kegiatan bermusiknya. Dimana dia juga bermaksud menampung bibit-bibit muda, yang bersemangat dan serius. Oh ya, tak hanya DDO jadi produk Daddy’s Record. Ada pula, Easy, band asal Bandung yang potensial, yang siap untuk dirilis pula albumnya.
Hahahahaha, gw serius memang, mas bro! “Temen-temen musisi muda kan banyak, berbakat dan semangatnya ada. Kita coba wadahi dan tampung. Tetap selektif. Mereka harus bersemangat dan yakin juga dong. Mudah-mudahan label gw itu, bisa berarti buat mereka. Gw mencoba juga mengajak teman-teman gw yang berpengalaman dan kompeten di bidang itu, untuk bantuin gw ngejalaninnya.”
Menurut Emil, tak sekadar mewadahi tapi record-label nya bisa juga nanti aktif mengarahkan, membimbing. “Juga ikut membentuk mereka yang muda-muda itu. Gw concern bahwa haruslah wadahnya yang bener, biar hasilnya nanti positif. Dan hasilnya itu akan bermanfaat buat semua, jangan hanya buat gw dong...”
Lalu Emil juga menjelakan, dia juga mencoba mendirikan website DDO, yang lebih lengkap. Website itu akan jadi rumah, dan punya kamar-kamar di dalamnya. “Gw iseng bikin aja DDO TV misalnya. Mungkin nanti disusul radio streaming. Rock radio gitu. Kenapa tidak. Bisa dikembangkan. Yang pasti, nantinya wadah yang bukan untuk DDO as a band saja, tapi buat lebih banyak band, musisi dan penyanyi.”
Awalnya iseng ya bro? Iya mas, iseng tapi lalu dipikir-pikir coba lebih diseriusin dikit. “Gw lebih kepengen menggalang kreatifitas. Menjadi pemicu motivasi. Biar bisa jalan bareng dan memanfaatkan peluang sama-sama. Rock n Roll tapi sedikit lebih serius, why not, bro?” Yes, kudu dicoba.
Enerji elo ada bro? Menyoal enerji, Emil langsung menjawab, “Kita bersinergi deh. Gw bukan bilang, gw ada duit. Bukan modal dana itu yang utama. Yang penting terkonsep, serius dan satu visi dan misi. Gw optimis akan menjadi baik, sama optimisnya ketika gw lantas membentuk band lagi, mas.”
Makin malam, obrolan makin serius sih. Belum terlalu lapar, karena penganan yang lucu-lucu tadi, ngenyangin juga. Gw lantas melihat dan berpendapat, Emil ini banyak ide, aktif, enerjinya berlipat, semangatnya segudang. Dan yang menarik, ia bahkan melihat lebih jauh, ke pasar internasional. Ga salah, dan bukan terlalu muluk. Toh makin banyak grup atau musisi kita, satu demi satu bisa tampil dinegeri orang kan? Dari macam-macam musik. Ikut memperkenalkan bangsa dan negara kan? Semoga lantas bisa membuat pemerintah peduli ya.
“Ya, bikin saja dulu, dengan baik dan dengan bener ya. Kalau sudah benar, mungkin ada waktunya nanti kita colek pemerintah, tolong yang beginian, yang kita-kita buat, diperhatiin juga.” Dan kita berdua kembali nerusin denger dan nontonin video-video musik luar yang sekarang, eh juga yang 80-an lah. Hebatnya, tak hanya rock, macam-macam musik! Semua pemberi inspirasi ya, mas? Yoih, bro!
Eh betewe, DDO musiknya jadi gimana? Maksud gw elo bawa ke arah mana sebetulnya? Ditanya begitu, dia balik nanya,”Menurut elo mas, gimana DDO?” Modern and fresh rock. Hard rock yang ada nuansa groove nya. Itu jawab gw. Dan Emil langsung jawab, “Ya pengaruh atau inspirasi datang dari macam-macam grup mas bro. 1980, 1990 sampai yang era sekarang. Gw mixed aja semua, dan gw sama teman-teman mainin. Kita pilih mainin yang enak untuk kita mainin. Berharap, yang dengerin juga merasa enak, nyaman, terhibur, seneng...” Dan, sentausa ya bro?
Dan SoG gimana ya, reunian aja? Emil tergelak, dan hanya teriak...wuaaaaaaahhh! Dan satu ketika, beberapa hari kemudian, Emil dan Ariyo Wahab bertemu, becanda kemana-mana dan denger-dengerin lagi album SoG dan musik-musik luar, yang dul mereka dengerin bareng. So?
Ok then. Sukses buat DDO nya, Emil, my blood! Besok gw datang lagi,boleh deh menunya berubah, ayam tulang lunak kayaknya sounds very good tuuuh..... /*



Diundang untuk chitchat dengan Joey Alexander


Joey, kok kamu sekarang gondrong? Itu pertanyaan saya, waktu saya dapat giliran untuk ngobrol dengan Joey. Lewat skype. Joey di layar, ditemani mamanya, Farra Urbach Sila. Papanya, Denny Sila, katanya sedang sibuk membalas email, jadi tak tampak di layar.
Joey ketawa, saya tanya begitu. Kenapa Joey sekarang rambutnya panjang, saya malah sekarang pendek lho rambutnya. Joey dan mamanya tertawa, dan mereka sesaat sempat tak mengenali saya. Karena saya bertopi, dan ga gondrong lagi. Hihihihi. Begitu mengenali, ketika saya buka topi, ealaaaa Fara, mamanya, berucap, “E do do e.....”.

Sebelumnya, Benny Likumahuwa, senioren jazz Indonesia, yang dipanggil “Opa” oleh Joey setuju bahwa Joey adalah, bakat spesial. “Saya sering kalau jammin’, mengajak Joey coba ikut main, di tengah lagu. Ia hanya mendengarkan sebentar dan saya hanya melihat dan menangkap ekspresinya. Jelas akan terlihat ekspresinya, ia bisa. Dan ya memang bisa. Masuk langsung main saja, padahal lagu itu belum pernah dimainkan dia sebelumnya. Itu menunjukkan kejeniusannya.”
Nita Aartsen, pianis yang juga sering berpartisipasi di pentas festival jazz di luar negeri lalu menambahkan, “Joey waktu belajar dengan saya, perhatiannya itu. Dan cepat sekali belajarnya. Tau ga, waktu belajarnya itu seringkali kurang. Bisa berjam-jam, tapi dia enjoy, ga bosen dan ga capek.”
Sementara Idang Rasjidi sempat mengirim pesan, via whats-app messanger, “Jangan pernah berubah, terusin semua yang kamu inginkan, sukai, yang sudah kamu pelajari dan dapatkan. Sukses buat kalian semua, JDF (Joey – Denny – Farra).”

Joey tak berubah, itu kesan saya ketika melihatnya lagi. Ia ngobrol langsung, lancar, masih tetap ya seperti sekitar 2 tahun lalu saya bertemu dengannya. Tapi terus terang, cara omong makin menunjukkan ia lumayan cepat menjadi “matang”. New York membentuknya lebih dewasa, teristimewa soal musik, soal musikalitas. Bagaimana ia menjawab atau bercerita tentang aktifitasnya, soal perasaan-perasaan, soal pengalamannya  Oh ya, catatan tersendiri, ia makin mantap menyebut terima kasih pada Tuhan atas karir musiknya yang telah ia dapati sejauh ini!

Yak, dari pagi jam 9 sampai sekitar jam 12.30-an, iCanStudioLive menggelar event kecil-kecilan. Selasa 23 Februari kemarin ini. Mengumpulkan beberapa musisi, terutama pianis. Mengundang datang teman-teman musisi yang mengenal dan dikenal baik Joey Alexander dan kedua orang tuanya. Joey tentunya di New York. Dan mereka surprised, karena ternyata cukup banyak yang hadir di acara kecil itu.
Ada guru-guru, teman-teman musisi yang pernah bermain bersama Joey menyempatkan hadir. Selain Benny Likumahuwa, “tante” Nita Aartsen (termasuk guru pertama Joey ketika di Jakarta, ia memang pindah domisili dari Denpasar ke Jakarta). Ada juga guru lain dari Joey, Rio Moreno, kibordis. Indra Aziz, Taufan Goenarso (drummer, yang juga sempat menimba ilmu di negeri Paman Sam). Nial Djoeliarso, pianis, yang sempat pula menimba ilmu musik di sekolah kenamaan, The Julliard School, New York. Setelah sebelumnya menuntaskan study di Berklee College of Music, Boston.
Ada juga lainnya, Elfa Zulham (drummer), Kevin Joshua (bassis), Jundi (bassis). Dewa Budjana menyempatkan datang di pagi hari, tapi harus meninggalkan tempat karena GIGI-nya harus latihan. Ikut hadir, satu-satunya wartawan, Adib Hidayat dari Rolling Stone, karena majalah tersebut juga pada edisi terbarunya, menempatkan Joey sebagai gambar sampul depan.
Acara dipimpin oleh Barry Likumahuwa, bassis yang kerap mendukung penampilan Joey. Salah satu trio Joey, sebelum ia berangkat ke New York adalah dengan Barry Likumahuwa dan Sandy Winarta. Menemani Barry, ada Dira Sugandi, penyanyi yang juga istri dari Elfa Zulham. Dan ikut menjadi host, rapper muda, bolehlah ya dibilang rapper, Joshua Matulessy a.k.a Jflow. Tentu juga hadir juragan pemilik iCanStudioLive, Irsan “Ican” Wallad dan Lucy Willar.
 
Suasana akrab dan cair banget. Semua yang hadir, diberi kesempatan ngobrol dengan Joey. Boleh bertanya dan ngobrolin apapun. Ada momen yang “dramatis”, saat Nita Aartsen terisak penuh haru, dan tak sanggup ngomong apapun, ketika dapat gilirannya untuk berbincang dengan Joey dan mamanya.
Momen chitchat pagi hingga siang kemarin itu asyik. Jadi makin asyik karena tuan rumah juga menghidangkan kopi, teh dan...wuih, Mie Yamin! Asyik-asyik kenyanglah ya.....

Irsan Wallad sempat juga menerangkan mengenai proses bagaimana Joey Alexander bisa ke Amerika Serikat. Bagaimana ceritanya, sampai Joey membuat Wynton Marsalis, mengundangnya secara khusus untuk bermain di pertunjukan gala, Jazz at Lincoln Centre, pada 2014. Itulah starting point yang lantas mengangkat naik nama Joey, karena penampilan impresifnya saat acara tersebut, dimuat oleh The New York Times.
Ican, menjelaskan cukup rinci prosesnya. Dan bagaimana hasil syuting penampilan Joey di studionya di bilangan Senopati, Kebayoran Baru itu, menjadi semacam referensi yang “baik dan benar” akan kemampuan Joey Alexander. Itu juga menjadi salah satu performance Joey yang menjadi semacam arena “perkenalan” Joey, khususnya bagi publik musik jazz di Amerika Serikat. Karena hasil syuting, di upload oleh iCanStudioLive di youtube.
Dimana menurut Ican, ketika syuting akan dilakukan, sebenarnya Joey sudah memegang undangan untuk ke New York tersebut. Keluarga tersebut saat itu tengah berjuang untuk dapat memenuhi undangan spesial itu. Kendala utama memang pada dana. Dan Ican, menceritakan juga, bagaimana keluarga Joey berusaha maksimal untuk mengatasi persoalan tersebut.
Sebelum Ican, Lucy Willar membacakan email khusus dari ayah Joey, Denny Sila. Denny merinci pihak-pihak yang punya peran dalam membentuk Joey, membimbingnya, mengajar, mengarahkan, hingga Joey bisa sampai pada titik hari ini. Denny menyebut adanya 2 guru Joey di Denpasar, Bali. Lalu juga Nita Aartsen, Rio Moreno. Antara lain di sekolah musik Farabi.
Termasuk Indra Lesmana, yang sempat selama sekitar 4 bulan mengajar dan ikut mengarahkan Joey, di Jakarta terutama lewat Red&White Lounge, jazz-cafe yang dikelola Indra dan istrinya, Honhon Lesmana. Salah satunya lewat program master-class.
Oh ya, ada nama Idang Rasjidi juga disebut sebagai salah satu “orang tua” yang ikut membuat Joey seperti sekarang ini, oleh Denny Sila pada emailnya. Idang hanya mengirim message, karena berhalangan datang kemarin itu. Idang kebetulan memang yang memperkenalkan saya pada Joey dan orang tuanya, saat di New Friday Jazz Night di Pasar Seni Ancol, kalau tak salah tahun 2012, belum 10 tahun usianya. Saya sudah tulis di postingan sebelum ini kok.

Well, Joey to the World, lantas seperti disepakati jadi “hashtag”. Joey adalah phenomenon. Anak-anak berbakat mungkin banyak, tambah Benny Likumahuwa. “Tapi berbakat dan memang bertalenta spesial, sangat sedikit. Joey adalah salah satu dari yang sedikit itu. Dari yang saya lihat, rasakan, alami, terutama saat main bersamanya di panggung, saya belum pernah melihat atau menemui anak-anak seperti Joey. Main pianonya itu, dewasa, dan di luar dugaan.”
 
Sudah banyak tulisan tentang Joey Alexander dengan prestasi fenomenalnya di Grammy Awards 2016 kemarin. Ia kan memang menjadi trending-topic, teristimewa atas pemunculannya di malam penganugerahan Grammy Awards tersebut. Yang lantas membuat Joey seolah bukan hanya gifted buat kedua orang tuanya, bahkan bagi bangsa Indonesia. Anugerah luar biasa, yang mengharumkan bangsa. Walau sayang, sejauh ini belum memperoleh perhatian maksimal dari pemerintah Indonesia.
Tapi biar bagaimanapun, Joey dengan diam-diam, toh mencetak prestasi yang membanggakan Indonesia. Tak ada gembar-gembor. Karena, ya seperti saya sudah tuliskan, ia musisi jazz. Musik yang segmented, begitu stigma yng meleka erat. Outside mainstream dari industri musik. Tidak pop. Tiak gemerlap, bukan selebriti. Apalagi Joey memang masih muda belia begitu.

Tapi memang begitulah, karena Joey seperti tetiba “meledak” dan merampas perhatian. Publik kebanyakan dikejutkan dengan pemunculannya di Grammy Awards, yang bahkan membuat banyak orang dibuat terharu karenanya. Maka lantas begitulah, berita-berita bermunculan. Dan pertemuan khusus kemarin, seperti “memberi klarifikasi” atau meluruskan segala sesuatunya. Meluruskan, emang ada yang bengkak-bengkok?
Aha, biasalah. Ekses-ekses saja. Manusiawi dan bisa dipahami. Keberhasilan, apalagi yang fenomenal. Ya bahkan kalau kegagalan juga kan. Menimbulkan dampak “kanan-kiri-atas-bawah” yang suka ga pas. Sudahlah, sebut saja begitu.
Termasuk, media yang salah mendapat info, atawa salah dalam mencari info. Harusnya mencari info pada yang tepat. Selain media sini, ada media besar misal yang lebih suka mengangkat kegagalan Joey memperoleh Grammy Awards. Sementara media-media barat aje, sudah tak lagi ambil pusing, Joey sukses dapat Grammy atau tidak. Penampilan Joey, itu jauh lebih nikmat untuk diangkat dan diberitain.....

Saya mau sedikit nambahin. Kalau dari sisi, musisi kita ke US deh. Terkhusus untuk belajar. Melanjutkan study lebih serius, di musik. Nah memang kalau Joey itu, kasusnya sih beda. Terlalu khusus, dan memang belum pernah terjadi sebelum ini di dunia musik kita.
Ok tunggu dulu, misal soal Grammy Awards dulu deh. Ternyata sebenarnya tak hanya Joey yang diam-diam sukses di Grammy Awards ke 68, 2016 itu. Ada Sari Simorangkir dan Sydney Mohede dengan, ‘(Intro) Kau Rajaku’ yang masuk dalam album Covered : Alive in Asia, kompilasi live album gospel dari Israel & New Breed.
Album yang mendapat respon dan pujian positif dari kalangan musik gospel internasional itu, lantas memperoleh Grammy Awards untuk kategori Best Gospel Album. Lumayan membanggakan juga. Walau, maaf ini bukan mengecilkan kesuksesan Sari Simorangkir dan Sydney Mohede, memang yang menang adalah albumnya. Bukanlah lagu. Jadi pastinya, kurang terekspos. Tentu saja, case-nya beda dengan Joey....

Jadi balik ke yang di atas tadi. Menimba ilmu di Amerika Serikat. Pernah tetiba “booming”, para musisi muda kita satu demi satu memburu ilmu di Berklee College of Music, Boston. Sekolah itu jadi demikian populer dan bergengsinya saat itu, khususnya buat musisi muda kita. Dari sekolah itu, di pertengahan 1980-an, lulus beberapa nama. Mungkin mereka “generasi pertama” alumnus kolese musik ternama itu. Eramono Soekaryo (kibordis, penulis lagu. Saat itu, sekembalinya dari Berklee lumayan sukses dengan Spirit Band-nya).
Termasuk Rezky Ratulangi Ichwan, yang sebelumnya pemain tiup, khususnya klarinet. Memperoleh Bachelor of Music dari Berklee di jurusan Film Scoring. Ia lantas laris sebagai illustrator musik pada banyak film dan belakangan lebih sukses sebagai jingle-maker. Ada juga nama Aminoto Kosin, sepulang dari Berklee, masuk Karimata dan sukses. Amin juga lantas sukses sebagai penata musik banyak album laris di era 1980-an, bersama Erwin Gutawa dan Candra Darusman.
Merekalah yang saya kethui, sebagai generasi paling awal yang bersekolah di Berklee. Dilanjutkan oleh Rita Silalahi, pianis dan arranjer, yang kini aktif di musik gospel. Atau Andy Ayunir, yang lantas dikenal sebagai pelopor utama musik digital atau electronica, bersanding dengan nama Didi AGP, pada masa jelang akhir 1980-an. Sebut juga, alm. Narendra, drummer.
Di 1990-an, termasuk nama Andy Rianto, juga alumnus Berklee. Banyak nama yang beramai-ramai sekolah di sana. Tapi sebagian di antaranya ternyata gagal. Kembali ke tanah air, bawa ijazah Berklee, tapi tak sukses di karir musiknya. Tapi terus berlanjut, musisi muda yang menuntut ilmu di USA. Tak hanya di Berklee, tapi juga di MI, Musician Institute, yang berlokasi di Hollywood, California. Bahkan sampai sekarang.

Yang saya ingat, para alumnus penggenggam ijazah sekolah-sekolah musik ternama di USA itu, meramaikan musik Indonesia. Memberikan kegairahan tersendiri. Seolah menambah keramaian dan memercikkan inspirasi segar, yang membuat musik Indonesia variaif dan kayak “lebih bersemangat”. Positif lah. Ya yang bisa meneruskan karir musiknya, sebagian besar lumayan sukses.
Dan kalau bisa disebut sebagai sebuah “movement” atawa era. Bahwa musisi muda itu memang terlihat keseriusannya. Berani bepergian jauh, yang jauh bener dan tentunya....tak murah! Dollar coy. Apa ya, penuh semangat untuk meningkatkan pengetahuan dan wawasannya? Ya kira-kira begitu. Etapi, bukan lantas berarti, yang tak bersekolah di luar, lantas “kalah kelas” dan susah sukses. Urusan sukses, ga ditentuin sekolahan sih....
Di periode 2000-an, lantas tak hanya Amerika jadi tujuan. Sebagian musisi muda mengarahkan tujuannya ke Eropa, terutama Jerman dan Belanda. Oh ya, di 1990-an, ada juga yang memilih bersekolah di Australia. Dan bagaimana “hasil akhirnya”?
Lihat pada nama-nama muda macam Nial Djoeliarso, Elfa Zulham, Sri Hanuraga, Indrawan Tjhin, untk menyebut sebagian kecil di antaranya. Masih ada Demas Narawangsa, drummer, yang lantas saat ini masih menemani grup bandnya Reza Saleh, bassis, di Los Angeles. Mereka masa depan musik kita sih.

 
Dan tentunya, Joey “prodigy” Alexander. Yang mudah-mudahan akan memberikan kegairahan tersendiri, ya nambahinlah. Jadi bersemangat gitu. Berbuatlah, jalani terus, jangan lupa berdoa. Ga perlu gembar-gembor, yang penting bergerak dan berusaha. Jangan lantas jadi, terlalu semangatnya justru di gembar-gembornya, usahanya malah “nomer dua”.
Mudah-mudahan pemerintah kita bisa lebih peduli lagi, dengan musik Indonesia kita. Itu boleh ya, jadi doa berikutnya?

Dan Joey, kembali ke acara chitchat dengannya di iCanStudioLive itu, mengabarkan sedang mempersiapkan album keduanya. Well, good luck, young man! Sehat-sehatlah dan sukses selalu.... /*

Wednesday, February 24, 2016

CHASEIRO, Semangat Jiwa Muda yang Terus Muda



Lupakan semua yang lalu (indahkanlah kenangan)…  Sambutlah hari di muka yang cerah ciptakan suasana semangat manusia jiwa muda… ‘Semangat Jiwa Muda’, Chaseiro – Vol. 3, rilis 1981

Semangat jiwa muda merekalah yang kayaknya membuat mereka tetap eksis. Bisa dibilang, ga lekang dimakan jaman! Walau sekilas, mereka hanya menghadirkan 4 album rekaman, dalam kurun waktu 1979 sampai 1982. Tapi toh, mereka tetap hadir terus, bahkan sampai hari ini.
Album rekaman “asli”, memang tercatat hanya ada 4 album. Tapi mereka kemudian merilis lagi album, Persembahan di tahun 2001. Dilanjutkan dengan Retro, di tahun 2011. Kini, mereka sudah merampungkan album baru mereka, yang rekamannya dibantu sepenuhnya oleh mantan drummer Halmahera, Ari Darmawan. Ari Darmawan, belakangan memang seringkali menjadi produser rekaman, selain seorang jingle-maker.
Mereka telah mulai berdiri sejak 1978. So, sebelumnya…duduk-duduk atau rebahan? Maksudnya, mereka mulai kumpul bareng gitu looh! Lama juga yaaa, dan berarti usia mereka sudah pantas disebut…banyak juga lhooow! Hitung deh, 36 tahun! Dan catet baik-baik, mereka bisa dibilang boyband generasi terawal, salah satu pelopor terdepan boyband Indonesia!
Boyband, ah c’mon! Mereka tak bisa lenggak-lenggok kan? Bukan menyanyi, buka-buka mulut, gerak badan sepanjang konser. Ya, ga tau menyanyi beneran apa…minus one! Mereka ini beneran menyanyi, bagi-bagi suara yang kemudian memang jadinya jelas, bagi-bagi duit. Kompak juga!
Kalau ga kompak, mana mungkin lewat sampai 30-an tahun gini! Dan kalau ga kompak, gimana mungkin mereka mau cerita banyak juga, soal perjalanan awal mereka ke saya? Eh iya ini, catetan “sedikit” perjalanan mereka, yang lantas sempat saya muat di NewsMusik, tahun 2015.
Inilah mereka, Chasiero, eh .. CHASEIRO!
Saya biasa memanggil mereka, kakak-kakak Nchas. Kakak, sumpeee looo? Lha iyalah, mereka bayangin udah ngeband mulai 1970-an kaleee. Tahun segitu, saya belom lahir. Masak? Ah sudahlah, pokoknya, hitungan tahun, mereka sudah cari-cari cewek, saya mah masih sibuk belajar….aljabar!
Eh boyband? Ga tepat begitu, sebenarnya mereka itu lahir pada jaman folksong. Iya di saat itu dikenal namanya folksong itu, vocal group gitulah membawakan folksong. Tau ga, bahkan di jaman itu sampai ada album-album kompilasi folksong. Iya namanya folksong! Padahal, harusnya bukan pakai istilah itu. Folksong, sebenarnya bukan semata-mata, sekelompok orang menyanyi, dengan iringan gitaran….
Ok, forget it! Kita bahas itu nanti deh. Mereka tampil di sebuah festival vocal group, yang digelar oleh Radio Amigos, Jakarta Selatan. Acara digelar di Bulungan, begitu ceritanya. Menurut Rizali, salah satu dari mereka, yang ikut festival itu ada 105 grup! Edan!!! Banyak banget. Kan lagi mewabah soalnya saat itu.
105 grup kita simpan bentar boleh? Chaseiro itu apa? Sebenarnya gini, nanti kita akan buka. Ikuti aja dulu cerita ini. Memang harus sabar, ikuti dengan seksama dan telitilah sebelum membeli…

Well, ketika mendaftar itulah cerita mereka, bingung juga apa namanya? Helmie Indrakesuma lantas kayak “nge-cak” nama di selembar kertas. Ketemulah dengan berbagai nama, lalu berujung pada menciptakan sebuah nama dari nama-nama mereka. Kan waktu itu, Candra Darusman, Helmie Indrakesuma, Aswin Sastrowardoyo, Edwin Hudioro, Rizali Indrakesuma dan Omen Norman Sonisontani. Ketemu Chasero.
Itulah cerita terawal, ini versi…hmmm, saya lupa. Bentar, lihat catatan dulu. Ini cerita Irwan, sama Candra, juga Rizali. Omen nyampur juga, Edi juga turun tangan, Aswin ga mau kalah. Lha, semuanya dong? Pan kumpak? Bukan kompak lagi, “tingkatan”nya kumpak, selevel lebih tinggi dari “kompak”. Kata siapa?
Kata Edwin Hudioro, biasa dipanggil Edi, belakangan pada setahun kemudian baru masuklah Irwan Indrakesuma. Jadilah Chaseiro itu. Jelas dong. Simple but perfect! Enak pula ya diomonginnya kan? Mereka emang begitu, dari awalnya adalah kelompok folksong, yang menurut Irwan istilah itu berkembanglah menjadi vocal group.
So, kata kak Irwan lagi. Maafkeun, saya sampai lupa memanggil mereka dengan sebutan, “kak”. Maaf. Takut pamali, itu suami bumali, bumali galak dan cerewet! Jiaaah! Ya terus, kak Irwan bilang bahwa, kak Rizali, kak Omen, Kak Aswin dan kak Helmie beserta dirinya, sudah berteman baik sejak masa SMA. Mereka itu pelajar SMA Negeri XI di Bulungan.
Jangan coba-coba cari sekolah itu lagi di kawasan Bulungan, Jakarta Selatan sono! SMAN XI sudah difusi dengan SMAN IX menjadi SMAN 70. Emang cuma parpol aja yang bisa di-fusi-kan? Nah mereka pada masa SMA tersebut, dari 1974, dan Irwan awalnya masih SMP, sudah acapkali mengikuti perlombaan grup vokal tersebut.
Bersama teman-teman yang lain, grup vokal mereka seringkali jadi juara juga.
Lomba tersebut biasanya diadakan di Gelanggang Remaja Bulungan, diikuti sekolahan SMP atau SMA dan remaja umum, seluruh kota DKI Jaya ini. Pada lomba tersebut, biasanya mereka juga diharuskan membawakan lagu-lagu daerah, yang diaransemen kembali.
Menurut kak Omen, pada dasarnya begitulah cerita terawal. Bahwasanya, yang namanya Rizali, Helmie dan Irwan, sudah bernyanyi bersama sejak…masa kecil! Lha, mereka kan memang bersaudara, so itu faam mereka kan sama kwak. Hehehe, nyelip bahasa Manado, karena ibu mereka memang dari sono. Dari Kawanua, do e.
Rizali, “kakak tertua”, lulus tahun 1975 dari SMAN XI itu. Tapi tetap kumpul nge-grup dengan mereka terus. Mereka pada waktu itu, mulai “jahil” dengan mengaransemen lagu-lagu daerah dengan nuansa ke-jazz-an. Menurut Irwan lagi, dan didukung kak Candra, salah satu grup vokal mereka namanya, Trenggiling! Ini kelompok vokal lumayan fenomenal di jaman itu, begitu cerita Irwan lagi.
Ya iyaaaalah kak, namenye aje udah ekstrim geto! Trenggiling! Ga ada nama lain yang lebih imut dan lebih manis? Tapi walau cukup dikenal luas saat itu, menurut Irwan lagi, sejatinya sih Trenggiling ga pernah jadi juara di lomba-lomba. Jangan-jangan, karena keberatan nama?

Kita kembali ke Lomba Vokal Group Amigos. Kak Rizali ingat, yang ikut itu, grup-grup yang “dahsyat dan sangar”. Antara lain ada, Kobos Group, ini grup yang jadi cikal bakal Swara Mahardhika dimana ada Trio Bebek segala, dan Hafil Perdanakusuma. Yang mimpin Kobos itu, Roni Harahap. Lalu ada Bourest Vocal Group, ini salah satu langganan juara juga pada masa itu. Lalu Rainbow, yang dipimpin pemain tiup perempuan kawakan, Yuyun, waktu itu sudah sering dengan Pretty Sisters juga.
Ada juga kelompok FYR, dari Four Young Rumit, yang sangat terinspirasi oleh musiknya Harry Roesli. Kelompok vokal itu, kata kak Candra emang rumit lho di sisi vokalnya. Ada juga Balagadonna, ini kelompok anak-anak Kebayoran dan dimotori oleh Yaya Moektio.
Jurinya waktu itu adalah Benny Mustafa, Elbert Missy dari TVRI, Ajie Bandi, Jopie Item dan wartawan Aktuil, Bens Leo serta Marusya Nainggolan. Dan Chaseiro bisa menang, menurut kak Rizali,  kemungkinan karena aransemen musik dan vokal yang harmonis, yang tidaklah terlalu njelimet tapi tetap unik. Apa bukan karena kakak-kakak semua, imut-imut dulunya? Who knows?
Irwan ingat banget, Chaseiro membawakan lagu, ‘Bolejaro’ yang adalah lagu daerah. Kemudian juga sudah berani membawakan karya sendiri lho! Mereka bawain lagu, ‘Mari Wong’ ciptaan Candra serta ‘Sapa Pra Bencana’ ciptaan bersama, Candra dan Joeliardi.
Tapi maaf lagi, kayaknya kurang seru ya mbacanya, kalau pakai “kak”. Sebenarnyalah, saya kawatir dianggap tak sopan, bila saja tak menggunakan panggilan kak tersebut. Tapi demi kenikmatan membaca, maka saya pikir-pikir sebaiknya tak perlulah memakai kak lagi.

Tanpa mengurangi rasa hormat, maka walau tanpa kak, tulisan ini diteruskan. Permisi ya mas, eh kak....

Candra Darusman bercerita, ia dan Helmie  lalu masuk Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, di tahun 1976. Mulailah mereka berkenalan di saat itu. Cerita Irwan, mulailah Helmie dan Candra lebih intens mengaransemen lagu-lagu daerah dalam musik bernuansa jazzy.
Pada 1977, Edi Hudioro masuk FE-UI bersama Omen, yang masuk Fakultas Ilmu Sosial di Universitas Indonesia juga. Bersamaan dengan masuknya pula Aswin Sastrowardoyo di FK-UI. Rizali sendiri, “kakak tertua”, sudah masuk FE-UI tahun 1975, selanjutnya ia tetap rajin melatih vokal grup almamater-nya, SMAN XI.
Nah di tahun 1977 itu pula, Candra, Edi, Aswin, Omen, Helmie dan Rizali mulai berteman, dan makin dekat. Merekapun mulai iseng bikin kelompok vokal sendiri, menurut Irwan namanya kalau ga salah adalah, FE-FIS-FK. Yang lantas oleh Helmie, dirubah menjadi Chasero. Setahun berikutnya, 1978, menyusul masuk “si bungsu”, Irwan yang juga memilih FE-UI.

Bermusik menjadi pilihan “terfavorit” mereka sebagai kegiatan ekstra kurikuler di kampus mereka itu. Kebetulan, terlihat bahwa selera mereka cukup nyambung. Mereka mendengar, mencoba memainkan lagu-lagu pop, tapi juga menyimak rekaman-rekaman jazz. Mereka memfokuskan diri, sengaja atau tidak, pada harmonisasi vokal. Musiknya, mereka coba memilih nuansa jazzy, sejak awal.
Di tahun 1977 pula, Candra juga sudah mulai semangat untuk memperkenalkan kemampuannya bermain gitar, lalu juga kibor dan menciptakan lagu. Cerita Irwan lagi, di tahun itu pula, “Indrakesuma Brothers Trio” yaitu Irwan-Helmie-Rizali menyanyikan sebuah nomer karya Candra berjudul, ‘Hari Yang Indah’. Lagu tersebut masuk 10 Besar pada Festival Lagu Pop Nasional tahun tersebut.
Chaseiro sendiri lalu dekat dengan para juri lomba yang mereka menangkan. Atas jasa baik Benny Mustafa, mereka dibawa ke Musica Studio di jalan Perdatam, Pancoran. Diperkenalkanlah kepada Bapak Amin Widjaja, sang pemilik. Pertemuan itu berakhir dengan kesepakatan Musica untuk 2 album rekaman! Langsung makan-makan dong ya, pulang dari Perdatam? Sayang, mereka belum bercerita soal itu…
Oh ya sebelumnya, mereka muncul pertama kali untuk masyarakat luas lho. Pada acara Terminal Musikal di TVRI pada Malam Tahun Baru 1977 ke 1978. Rizali ingat, mereka membawakan, ‘Balada Gertapnya Kritik’ (lalu judul lagu ini diganti menjadi ‘Sapa Pra Bencana’, sambung Rizali), ‘Ohio’ dan ‘Burung Kutilang’. Kayaknya, peran Elbert Missy nih, yang memungkinkan mereka mendapat kesempatan muncul di TVRI itu.
Kalau tak salah, ya kalau salah mohon maap aje.Terminal Musikal itu dulu sukses-ses. Karena menampilkan pula, Warung Kopi Prambors, format terawal. Antara lain, ada penampilan mereka seolah pembaca berita TVRI.Wuah, hacep jack, kata anak sekarang.

Nah makanya, seperti cerita Rizali lagi, merekapun pada sekitar September 1978 kembali tampil di TVRI. Kali ini mereka diundang untuk tampil di acara Wisata Nada. Mereka membawakan, ‘Urang Talu’, ‘Cente Manis’, ‘Sigulempong’, ‘Apuse’, ‘Bolelebo’ dan ‘Bole Jaro’.
Yang lucu, pengakuan Edi bahwa waktu tampil di Terminal Musikal, dirinya tidak ikut. Karena ia tengah jalan-jalan ke Bali dan Bandung. Kaget juga ternyata Chaseiro dapat kesempatan tampil di TVRI. Rada mendadak kali ya? Ia tahunya, pas lihat televisi abis bangun tidur di rumah temannya di Bandung. Ealaaa!

Rizali yang masih aktif melatih kelompok vokal SMAN XI, kemudian “menemukan” pemain bongo dan perkusi bernama, Uce Haryono. Uce ini adalah adik dari Edi Hudioro. Menurut Rizali, ia tahu saat itu, bahwa Uce sudah cukup berpengalaman. Antara lain membantu Roni Harahap, pada pembuatan beberapa proyek illustrasi film.
Uce memang saat itu juga sudah lumayan dikenal luas, malah juga sebagai pemain drums. Ia gabung dengan berbagai grup rock setelah itu. Dan begitulah, ketika rekaman Chaseiro album pertama dilakukan Januari 1979, Uce diajak serta.
Pada album tersebut, juga diselipkan lagu instrumental karya Candra, ‘Gemilang’, dimana ikut bermain khusus pada lagu itu dua bintang tamu musisi. Pada drums, Benny Mustafa. Dan pada bass, Ananda Soetrisno Mates. Dan ada 12 lagu yang menjadi isi debut album mereka, Pemuda.
Seluruh 12 tracks adalah karya Candra. Dimana dibantu penulisan liriknya oleh beberapa sahabat dekat mereka. Antara lain ada Joeliardi Soenendar untuk lagu, ‘Dara’ dan ‘Sapa Pra Bencana’. Lalu Harry Sabar, untuk lagu, ‘Sendu’. Serta pada lagu, ‘Awal dan Akhir Hari’ ada bantuan Irvan N.
Lagu-lagu lain ada ‘Irama Hidup’, ‘Hanya Membekas Kini’, ‘Hari yang Indah’, ‘Rasa Bimbang’, ‘Masa Ke Masa’ dan ditutup lagu yang mereka ikut bawakan, saat menjuarai festival vokal group yaitu, ‘Mari Wong’.
Dan tentu saja, lagu jagoan dari waktu doeloe hingga sekarang dan kemudian, apalagi kalau bukan…

Bersatulah semua seperti dahulu, Lihatlah kemuka, Keinginan luhur kan terjangkau semua….
Pemuda mengapa wajahmu tersirat,
dengan pena yang bertinta belang,
cerminan akan tindakan perpecahan,
bersihkanlah nodamu semua….
Masa depan yang akan tiba
Menuntut bukannya nuansa
Yang selalu menabirimu pemuda

Sebuah anthem “kepemudaan” yang lahir pada masa mahasiswa di masa 1970-an tersebut, tengah bergejolak. Dengan adanya pelarangan para mahasiswa untuk menceburkan diri secara aktif pada kegiatan-kegiatan politik. Lewat “program” Normalisasi Kehidupan Kampus.
Lagu yang sebetulnya, terkesan simple, dengan musik yang juga “tak neko-neko”. Tapi justru karena kesederhanaan tersebutlah, lagu tersebut mencuat, apalagi dengan tulisan lirik nan menggugah semangat itu. Maka tak heran, lagu dan tentu saja album tersebut, seperti dirilis pada “saat yang tepat”. Alhasil, lumayan laris manis lah jadinya!
Tampilan ke 7 pemuda dari Universitas Indonesia tersebut, pada sampul muka berwarna dasar biru adalah khas 1970-an. Rambutnya agak panjang, sebenarnya ga gondrong-gondrong amat kok, dan ini die…celana cutbray, mek!
Lagu tersebut, ‘Pemuda’, masuk menjadi nomer satu di berbagai charts stasiun radio Nusantara. Antara lain juga menembus tangga pertama, di Tangga Lagu harian Kompas yang disusun wartawan, Efix Mulyadi. Pemuda itupun menjadi berita lumayan besar.

Pada waktu berikutnya, masih di 1979 pula, mereka kemudian menghasilkan lagi album rekaman berikutnya. Album kedua tersebut, berjudul, Bila. Kalau Pemuda dirilis Maret 1979, maka Bila dirilis November 1979. Dan seperti pada album perdana, Chaseiro didukung beberapa musisi selain Uce Haryono juga perkusionis, Iwang Gumiwang. Selain itu ada anak muda, dari SMAN XI pula, pemain klarinet, Rezky Ichwan.
Berisikan 12 tracks pula. Yaitu ‘Ku Lama Menanti’ (Candra/Omen), ‘Pengungkapan’ (Candra/Harry Sabar), ‘Sendiri (Candra), ‘Seandainya Sederhana’ (Candra/Helmie), ‘Kemanusiaan’ (Taufik Darusman, Candra, Aswin) lalu, ‘Di Balik Senyum’ (Omen). Selanjutnya adalah, ‘Akhir Tujuan’ (Rizali), ‘Tempat Berpijak’ (Candra), ‘Wangi’ (Candra) sebuah lagu instrumental. Lantas ada, ‘Tumpuan’ (Candra/Denny Prasetyo/Omen), ‘Nada-Nada Gembira (Candra/Rizali/Helmie/Omen) dan ‘Sampai Jumpa Lagi’ (Candra/Rizali/Helmie).
Cover albumnya, dengan font khusus nih, terutama untuk nama Chaseiro-nya. Yang lantas menjadi trademark mereka. Tampilan foto, nah kalau yang ini, anak-anak kuliahan banget. Segar, sehat dan…masih slim lho! Eh iya, pada album pertama juga tampilannya anak-anak kuliahan juga sih…
Pada masa itu, di saat masih ramainya lomba-lomba grup vokal, lagu-lagu Chaseiro lantas menjadi lagu-lagu favorit untuk dibawakan peserta. Mereka memang kian popular pada jelang 1980-an tersebut.


Terusin yeeeee.... Jadi CHASEIRO itu kan “kakak-kakak terkasih”, Candra N. Darusman, Helmie Indrakesuma, Aswin Sastrowardoyo, Edi Hudioro, Irwan Indrakesuma, Rizali Indrakesuma dan Omen Norman Sonisontani. Tujuh orang pas. Vokal, tapi ada juga yang bermain piano atau kibor, gitar dan juga flute.
Nah kita kembali mendengarkan cerita mereka saat mereka menjalani proses rekaman pertama dulu. Yak betul, saat proses produksi album pertama mereka itu lho, yang ‘Pemuda’ itu. Yang diingat oleh Irwan, kalau tak salah rekaman dilakukan Januari sampai Februari 1979.

Pemuda, kemana langkahmu menuju
Apa yang membuat engkau ragu
Tujuan sejati menunggumu sudah
Tetaplah pada pendirian semula

Dimana artinya berjuang
Tanpa sesuatu pengorbanan
Kemana arti rasa satu itu.....

Yang Candra ingat adalah, mungkin karena “anak baru”, maka pihak Musica “berbaik hati” menempatkan jam rekaman mereka di...”jam kecil”. Alias, tengah malam sampai pagi! Cakep dong? Abis rekaman mereka langsung bergegas kuliah. Kuliah jangan sampai mengganggu musik kan?
Eh kebolak dong. Musik jalan, kuliah ga boleh terganggu. Rasanya sebaiknya pakailah “ter” daripada “me”. Setuju, kakak-kakak semua? Dan menurut Candra, kalau sudah begitu, mereka di kelasnya masing-masing mencari bangku paling belakang. Dengan style duduk khas, “silau matahari”! Telapak tangan di jidat, jadi duduk di kelas sambil...tidur.
Urusan ransum, nah biasanya, kenang Candra, kalau tidak dia atau Omen atau Helmie. Mereka bergantian bertugas membeli martabak telur, agar pada jam 3-an ketika mereka break rekaman, bisa disantap bareng. Nikmatnya! Menunya itu terus? Kata mereka sih, mau cari makanan apa jam segitu?
Atau sesekali, pihak Musica berbaik hati dengan menyediakan jeruk sekeranjang, yang sudah dipotong-potong. Biasanya sudah diletakkan di dekat pintu masuk ke dalam studio, pas di bawah foto Guru Baba Nanak, seorang tokoh dari sebuah aliran kepercayaan di India. Kita yang mudaan, toh masih kuat dan bersemangat, ya mengalah dengan yang senior-seniorlah, menerima jam rekaman terakhir itu, terang Candra.

Kalau yang Irwan ingat, jadwal rekaman mereka berdekatan dengan The Rollies saat itu. Terutama saat album pertama. Sehingga mereka jadi sering nongkrong bareng, biasalah becanda-becindi gitulah. “Dan Candra waktu itu lagi seneng juga main-mainin harpischord, clavinet dan yang sejenisnya,” lanjut Irwan.
Yang diingat juga oleh Irwan dan Rizali, mereka berdua sering rada terganggu saat rekaman suara, karena sering mendapat telephone dari rumah. “Orang tua minta buruan pulang, rumah di Bintaro lagi kebanjiran,” cerita Irwan. Repot juga ya? Kebayang dah....
Sementara itu, ini cerita dari Irwan, sesekali Oom Amin Wijaya Musica menengok mereka rekaman. Dan anak-anak Chaseiro biasanya jadi pusing kalau dengar oom Amin complain karena mereka membuat musik yang “ga gitu laku”. Aaaah ini mah musik jazz iniiii....ay bingung nih...gimana bisa lakuuuu?
Kalau sudah begitu, tambah Aswin, kita semua biasanya cuma mesem-mesem. Mungkin, mereka sebenarnya juga sama-sama pusing seperti almarhum oom Amin itu. Cuma beda-beda tipis kali pusingnya. Mereka emang maunya bikin musik kayak gitu.
Ajaibnya, walaupun pada akhirnya memang sedikit terasa bahwa Chaseiro ternyata mahasiswa-mahasiswa nan bijaksana, mungkin juga peramah dan sopan. Selikidi eh selidiki dikit aja musik mereka, bahwa terasa kok mereka kompromistis pada musik. Terutama di album kedua dan ketiga.
Mereka ternyata mendengar dan memahami akan kemauan big-boss mereka. Namun, memang karakter musik mereka sudah cukup menempel lekat. Artinya, dengan musik yang katanya, “ga gitu laku”, toh mereka tetap mendapatkan respon positif.
Dikarenakan, memang pada masa itu, mereka “pemain tunggal”. Dalam bentuk tampilan dan termasuk musiknya. Memang mulai muncul nama-nama lain sekitar mereka, yang juga direspon positif oleh sebagian fans-nya Chaseiro. Musiknya masih pada satu “kawasan”lah di era itu.
Chris Kayhatu dan kawan-kawan, yang disusul dengan pemunculan Utha Likumahuwa dan Jopie Latul misalnya, termasuk Jackie. Lalu juga sebut satu nama fenomenal pada jaman itu, Fariz RM! Tapi mereka kan bentuknya band atau solo performer. Chaseiro itu, rombongan mek! Grup vokal.
Termasuk kemudian nama Dian Pramana Poetra. Ini sebenarnya mantan anggota Bourest VG, yang kalau baca dari atas tulisan ini ya, pasti tahu siapa Bourest itu. Itu nama vocal-group anak-anak Tebet. Nama grup mereka. Eh eh bukan, bukan Burespang, beda dong!!! Burespang apaan?
Di awal 1980-an, mereka mulai disaingi beberapa kelompok vokal lain, salah satunya adalah Golden Singers. Tapi Golden Singers berkiprah lewat layar kaca, antara lain muncul di tayangan program Orkes Chandra Kirana. Chaseiro tetap meluncur “sendiri”, dengan bentuk kelompok vokal pria pada saat itu. Oh ya Golden Singers itu dari Bandung, cikalbakalnya Elfa’s Singers.
Hasil kesuksesan dua album pertama, menurut Omen adalah, mereka mulai terbiasa menghadapi datangnya surat dalam karung. Surat-surat dan kartu pos dari para penggemar mereka dari seluruh Nusantara! Kata Omen, rada berat membalasnya. Rata-rata minta tanda tangan dan foto.
Merekapun rajin mencetak foto banyak-banyak, lalu rajin membalas surat-surat dan kartu pos tersebut. Maklumlah path, instagram, facebook, twitter bahkan friendster sekalipun kan belum ada saat itu. Kata Edi, berkarung-karung surat dan kartu pos itu datang 90% untuk Candra dan Omen. Nah sisa 5%-nya baru untuk kita berlima!
Memang, Omen dan Candra paling menonjol kayaknya. Tanpa dirancang, tidak pakai setting-an. Kan belum ada juga infotainment waktu itu. Omen, dikenal paling muda dan Candra dikenal paling “imut”. Omen, kalau ingat, pernah populer saat tampil dengan OM PSP, dimana disitu ada juga Rizali. Sesama teman-teman di UI juga adanya. Cuma musiknya rada ekstrim aje, dangdut euy! Omen disebut, paling kecil, masih sekolah tapi sudah nonton Private Teacher 3 kali, dalam penampilan mereka di acara perayaan Tahun Baru-an di TVRI. Inget ga?
Intermezzo nih, Private Teacher itu kan film rada fenomenal pada masa itu, film esek-esek 70-an. Jadul lah, pastinya. Bintangnya yang kesohor adalah aktris super-hot, pada masa itu, Edwige Fenech. Lupa? Yang cowok pasti ga lupa dong. Sama ingetnya kan dengan Nick Carter dan yang lebih hardcore, Valentino atau Idrus.....

Oh ya, kembali ke album pertama dulu deh. Ini cerita Irwan, bahwa Candra mencoba bereksperimen dengan memainkan dawai-dawai piano lho, pada lagu, ‘Sendu’. Dipikirnye Harpa kaleee? Dan pada lagu itu, Candra bawainnya hanya 99,5% karena kata dan nada terakhir lagu itu, “dakuuu...senduuuu” khusus dinyanyiin Omen. Soalnya falsetto Candra ga bisa nyampe!
Kemudian, Rizali sebenarnya juga ikut mengisi kibor pada beberapa part, di lagu, ‘Awal dan Akhir Hari’ serta ‘Dara’. Saat Candra kayaknya rada jenuh mengisi synthesizer saat itu. Dan dengar pula riff bass Rizali, di lagu ‘Pemuda’.
“Waktu itu tuh, isian bass Rizali di akhir lagu Pemuda itu suka diketawain kita semua. Aneh aja. Tapi eh ga papa deh, ternyata malah jadi kayak signature tune kan. Khas gitu. Rizali punye gaye... Hahahaha,” sambung Irwan.
Dan mentang-mentang juga Rizali itu main dengan PSP juga, eh dia juga main mandolin segala, denger aja lagu, ‘Hanya Membekas Kini’. Masih cerita Irwan lagi. Tapi untung, anak-anak sih setuja-setuju saja.... Mungkin kalau ga, Rizali pilih hanya main di PSP aja gitu? Sayang, belum ada jawaban konkrit dari Rizali untuk pertanyaan itu.
Dan ini masih tambahan dari Irwan, iya nih Irwan ingetannya boljug ya. Siul di lagu, ‘Irama Hidup’ suara siulan Rizali. Alhamdulillah lancar, padahal waktu itu, Rizali kata Irwan lagi kumat bengeknya lho! Hebat juga!

Katakanlah kemana hilangnya rasa bahagia
yang pernah menggelora dalam hayatku
kusayangi lembutnya sentuhan semesra senyuman
pancaran ronanya
hanya membekas kini
(‘Hanya Membekas Kini’, Candra Darusman dan Aswin Sastrowardoyo)

Oh ya perihal logo khas Chaseiro, yang mulai dimunculkan di sampul album kedua, dan seterusnya dipakai, menurut Candra Darusman adalah karya dari Ir. Iman Sudjudi, jebolan disain grafis ITB. Kang Cecep, begitu dia biasa dipanggil, sekarang sudah jadi guru besar.
Candra ingat, saat itu juga Chaseiro ada yang menyebutnya sebagai grup pop yang bisa diterima kalangan jazz, tapi juga dianggap grup jazz yang diterima oleh kalangan pop. Masalahnya, Candra lupa, siapa yang pernah menyebut hal itu.... Faktor “u” dah itu... Hehehehe.
Ditambahkan oleh Aswin, kembali ke masa awal dari Chaseiro. Kerjasama antara Chaseiro dan Bens Leo berlanjut kemudian. Mereka pernah punya program siaran bareng yang diberi nama BBSO alias Becanda Bisa Seriuspun Ok. Kalau tak salah, program itu memang sempat populer juga di kalangan anak muda Jakarta di akhir 1970-an.


Selanjutnya, dari cerita “boyband” 1970-an akhir ini, adalah masuk di era berikutnya. Selepas mereka merilis album pertama dan kedua mereka. Setelah itu, bagaimanakah mereka? Etapi gini, album ketiga sama keempatnya gimana?

Nyelip dulu deh ini. Album ketiga mereka, judulnya, 3. Rilis 1981. Isinya ada 11 lagu. Dengan musik dibantu, nah ini banyak nih yang bantuin. Antara lain ada Tito Soemarsono, bassis, yang main nyaris di semua lagu. Dokter Iwang teteup di perkusi. Selain barisan tiup, ini semua pemain langganan yang mengisi horn-section di banyak rekaman diera itu.
Didit Maruto, Wahid, Marwan (trumpet), Lunggo dan Narso (trombone), juga Benny Likumahuwa (solo trombone di lagu, ‘Perangai Diri’). Selain itu, dilibatkan juga barisan strings, yang juga langganan banyak album rekaman di masa itu. Dengan Yap Che Kian, Suryati Supilin, Cho Su Yin, Edo Braseros (violin). Sunardi Suwandi (viola), Zulkifli (cello).
Ada nama Harry Sabar juga lagi, kali ini menulis lirik, ‘Untukmu’. Eddy D. Iskandar,novelis ngetop di jaman itu, yang menulis lirik lagu, ‘Lautan Kenangan’. Totok Soebroto membantu lirik untuk, ‘Perangai Diri’ dan ‘Suram’. Serta Guruh Soekarno Putra yang menuliskan lirik lagu, ‘Rio de Janeiro’
Lagu-lagu selengkapnya adalah, ‘Rio de Janeiro’, sebagai pembuka. ‘Perangai Diri’, ‘Untukmu’, ‘Lautan Kenangan’, ‘Calypso’. Lainnya ada, ‘Dunia Di Batas Senja’, ‘Daffy’, ‘Suram’, ‘Di Balik Senyuman’, ‘Cita Cita Pemuda’ dan ‘Semangat Jiwa Muda’.

Lalu diikuti album berikutnya, yang keempat. Ceria, judulnya. ‘Ceria’, ‘Pesan, ‘Karmen’, ‘Sesaat Berdua’, Siapa Dia’, Rosemarie’, adalah isi dari album yang covernya mereka berseragam olahraga! Album dalam rangka Pekan Olahraga Nasional atau PON? Atau Chaseiro ikut di PON itu?
Lagu lainnya ada, ‘Sentuhan’, ‘Sebuah Ciptaan’, ‘Suasana’ (instrumental), ‘Shy’ dan ‘Waktu Kan Berganti’. Oh ya, di album ini, ada nama Pancasilawan yang menulis lirik untuk lagu, ‘Pesan’. Serta Emma Madjid, yang membantu penulisan lirik lagu, ‘Rosemarie’. Kok ga ada lagu yang bertema sport?

Dari Kami,
Berawal dari keinginan yang tak pernah terwujud yakni menerbitkan kembali lagu-lagu kami tahun 1978-1982 maka album ini akhirnya diterbitkan atas desakan para 'kawan-kawan setia'. Sebagai cinderamata, tak lupa kami selipkan sebuah lagu baru sebagai ungkapan kami atas keadaan negeri saat ini. Kami percaya masih banyak manusia yang baik di bumi tercinta kita. Seni (Selamatkan Negeri Ini) niscaya turut menyelamatkan keadaan ini.
Teriring pula ucapan terima kasih kepada Pendulum Musik yang mendorong kami untuk mewujudkan project album kompilasi ini dan ucapan bangga kepada arranger berbakat Andi Rianto sebagai pertanda terjadinya regenerasi dalam dunia permusikan Indonesia. Terima kasih juga kami ucapkan kepada mitra kami Musica Studio's.
Chaseiro (sejak 1978)
Maret 2001
Begitu bunyi kalimat pembuka di sampul album Persembahan. Album tersebut dirilis pada Maret 2001. Berisi 22 lagu, yang kesemuanya dari keempat album mereka.

Ok sepanjang perjalanan mereka, ada beberapa hal yang sangat khas di dalam “tubuh” mereka. Ini kita bukain, sisi-sisi lainnya Chaseiro ya....
Ini diungkapkan oleh Candra, dan diiyakan pula oleh Aswin. Bahwa, mereka itu setiap bertemu pasti ada saja kelucuan. Semua tertawa lebar. Ngakak bahkan. Semua Chaseiro suka ngelawak, terutama Omen dan Helmie, begitu cerita Candra.
Tapi begini, lanjut Candra, “Kelucuan-kelucuan itu hanya untuk kami saja ya, belum tentu orang-orang lain paham. Mereka pasti bingung, kita-kita ini lagi ketawain apa sih. Bertujuh ini becanda melulu, dan mereka akan bingung sendiri ga mengerti apa yang kita sedang bicarakan. Dan yang paling ekspresif kalau ngelawak itu Omen, dia punya bahasa tubuh tersendiri.”
Soal ngelawak, Helmie emang lumayan kondang di kalangan pemusik lain, bahkan di luar Chaseiro. Ya kan, terutama saat ia berkarir di Hydro dan lingkungan café. Celetukan dan jokes segar, kadang konyol dengan ekspresi muka khas, seringkali membuat teman-teman terpingkal-pingkal. Itu dilakukan, bukan hanya di belakang panggung, sesekali “kelepasan” juga di atas panggung. Dan penonton geeerrr dibuatnya!
Satu hal lain, ini juga ciri khas mereka bertujuh. Omen, Edi, Rizali dan Helmie itu memiliki vocabulary bahasa tersendiri. Yang lantas akhirnya mereka semua pahami dan mengerti, tapi “penciptanya” ya mereka berempat itu. Nyambung saja mereka bicara, dan asli bakal membuat orang-orang lain bakal bingung, mereka lagi omong apaan. Jangan-jangan malah, ini orang lagi ngobrol pake bahasa apaan sih?
Awalnya, bahasa prokem atau bahasa gaul, dulu kan sempat dikenal luas sebagai bahasa pergaulan “kawula muda Ibukota” tuh. Yah seputaran era akhir 1970-an lah gitu. Nah bahasa preman yang lantas disebut prokem itu, yang dasarnya kayak membalik-balikkan bahasa itu, lantas dibalik-balikkin lagi oleh Chaseiro. Bingung? Pegangan buru-buru, sebelum bisnya ngebut…!
Ya pasti bingung, bahasa prokem dibalik-balikkin lagi pasti bingung. Kata Candra, ada rumusnya tersendiri, nah silahkan Tanya Rizali deh soal rumus bahasa gaul Chaseiro itu. Malah belakangan, sampai bahasa Inggris segala juga, mereka “prokemin”! Apa ga bikin orang makin bingung jadinya? Buat apaan sih? Mereka semua tertawa, biar mereka bisa ngomongin orang-orang di depan orangnya sendiri? Jelas, mereka bakalan tambah ngakak!
Kubri wemri, ini artinya “bukan main”. Welengangak artinya, ngelawak. Ya model begitulah bahasa gaul internal atawa bahasa sandi khas Chaseiro. Yang hebatnya, seringkali itu bisa berubah lagi, misalnya ya “dibelokkin” lagi. Hadeuh, nyang kemaren aje kagak kita ngatri, apelagi nyang baruan? Mungkin baik dan berguna untuk dipikirkan, membuatkan semacam buku mengenal lebih jauh Chaseiro dan Welengangak, Tata Bahasa Dunia Khas Chaseiro, ditulis oleh Rizali Indrakesuma….
Siapa tahu laku dan lantas menjadi bahasa gaul “baru” buat masyarakat luas kan? Apalagi bisa dipakai abege-abege masa kini? Ahay, boleh dong. Tapi mungkin mereka jadi kesulitan, susah buat berbahasa sandi antar mereka sendiri dong? Tapi ga ah, mereka pasti bisa “menciptakan” lagi bahasa-bahasa yang lebih “kebolak” lagi!

Kemudian ini “curhat”an meneer Rizali Indrakesuma. Yang mengaku, bahwa ketujuh mereka itu lama-kelamaan musti bisa menerima dengan tangan terbuka. Kalau nama mereka sering banget salah diucapkan, misal Chesairo, Chaisero atau Caserio. Ya yang sebangsa begitulah. Pada awalnya, menurut Rizali, mereka sering jadi gatal-gatal dalam kupingnya, mendengar mispronunciation orang menyebut mereka.
Memangnya susah ya melafalkan dengan benar dan mulus, Chaseiro? Rizali heran. Mungkin banyak fansnya pasti ga merasakan keheranan yang sama. Bisa jadi malah, penggemar fanatik mereka akan heran, kenapa Rizali heran untuk hal itu lalu merekapun heran kenapa teman-teman-teman Chaseiro lain juga ikut heran? Tapi kalaupun ada anggota Chaseiro yang tidak merasa heran? Masak masih membuat orang lain, heran?
Ya begitu deh, mungkin memang sejatinya penyebutan Chaseiro itu adalah “tantangan” unik buat orang-orang yang baru “mengenal” mereka. Semisal MC atau pembawa acara, ataupun apalagi, announcer radio. Tantangannya kalau terburu-buru menyebut, bisa jadi slip of tongue. Karena slip, ya jadi salah terdengar. Harus kenal betul dengan mereka, jadi akan aman menyebut nama mereka dengan benar!
Buat Aswin, begitulah adanya Chaseiro. Karena humor, musik dan persahabatan itulah, membuat mereka tetap bertahan sampai 35 tahun-an usia mereka sebagai grup musik. Bahkan mereka tak sekadar bersahabat, mereka karena perkawinan malah hubungannya menjadi lebih dekat, menjadi keluarga. Proses itu berlangsung pelan dan seringkali tak terduga, cerita Aswin lagi.
Dan kembali ke pentas. Selepas merilis album kembali di 2001 tersebut, mereka mulai sering bersama-sama lagi. Walau tak lengkap utuh bertujuh. Tapi mayoritas, bisa hadir dan menemui para penggemarnya. Mereka tampil di Hore-Hore Café Kemang, Goethe Haus, Barcode Café Kemang, Highscope Blackbox Theatre.
Secara berkala, mereka menggelar konser yang formatnya lebih menjadi gathering para penggemar setia mereka. Mengumpulkan lagi, menyapa lagi para penggemar-penggemar lama mereka yang sebagian malah sudah menjadi sangat dekat dengan mereka.
Selain itu, mereka juga termasuk rajin tampil di beberapa jazz festival seperti Java Jazz Festival lalu sampai Ngayogjazz di Jogja. Festival di Bandung dan tampil di kota-kota lain. Mereka juga tetap intens bertemu dan menyempatkan diri untuk berlatih musik di studio.
Pada akhir April 2011, Chaseiro merilis album Retro. Pada sebuah situs berita online, Candra mengatakan, “Retro bukan sekadar menjadi judul album Chaseiro semata, karena sentuhan ala retro juga ikut sampai ke segala hal luar dalam yang sajikan. "Kalau tidak salah, dalam dunia fashion itu retro bisa diartikan sebagai gaya lama yang muncul kembali. Jadi kami bawakan lagu lama dengan tekstur baru.”
Menurut Candra lagi, dalam album Retro itu juga terkandung nilai-nilai lama yang perlu digali kembali. Diingatkan untuk menjadi hal yang diperhatikan lagi, begitulah kira-kira. Sehingga, lanjut Candra, tak hanya retro pada musiknya semata. Album itu memuat 9 lagu dan mereka memperkenalkan, ‘Salah Cinta’ sebagai lagu mereka yang baru.

Kurasa tiada lagi harapan
Bila waktu terbuang
Hanya dengan bernostalgi ...
‘Ceria’.

Di sela-sela aktifitas manggung mereka, Chaseiro musti mengalami musibah besar. Drummer mereka, bernama lengkap Gusti Udwin Haryono, pergi untuk selama-lamanya. Uce Haryono, yang awalnya adalah additional musician namun belakangan menjadi drummer tetap yang selalu bermain bersama mereka, meninggal dunia pada Rabu, 4 Mei 2011 malam.
Uce pergi sebagai seorang musisi sejati. Ia meninggal saat tengah tampil bersama grup Alligator, di sebuah kafe di kawasan Kemang. Sebuah kehilangan yang besar tentu saja bagi Chaseiro, yang sudah menganggap Uce adalah bagian dari mereka juga. Karena keterlibatan Uce yang telah sejak awal mereka rekaman.
Kepergian adik dari Edi Hudioro ini membuat Chaseiro akhirnya mencari-cari drummer pengganti. Belakangan, Chaseiro kerapkali dibantu drummer muda perempuan, Aisyah. Selain itu, Chaseiro juga pernah didukung pula oleh drummer kawakan lainnya, Budhy Haryono. Belakangan, diajak serta pula, kibordis, Krisna Prameswara. Serta  Ilyas Muhadji (bass) dan Noldy Benyamin (gitar).
Lalu pada setahun kemudian, tepatnya pada Minggu 8 Juli 2012, bassis pendukung mereka, Ade Hamzah meninggal dunia. Ade meninggal, setelah malam sebelumnya mendukung Chaseiro di sebuah pentas musik di Bandung. Kembali Chaseiro kehilangan seorang musisi yang menjadi sahabat dekat mereka, terutama sejak pemunculan kembali mereka di era 2000-an.
Ade Hamzah, yang adalah bassis Hydro, grup dimana Helmie Indrakesuma juga ikut terlibat di dalamnya, rajin membantu Chaseiro. Peran bassis ini lumayan besar, terutama ikut sibuk menyiapkan setiap pentas Chaseiro. Mulai dari latihan, aransemen sampai mencarikan musisi pendukung bila diperlukan.
Selain adanya Aisyah, muncul juga pemain perkusi, Disto yang kerapkali mendukung pemunculan Chaseiro. Disto disertakan, karena kesibukan perkusionis mereka, dr.Iwang Gumiwang yang seringkali sibuk sebagai dokter ahli jantung.
Dan pada Minggu 10 Februari 2013, Helmie Elzar Indrakesuma pergi untuk selama-lamanya. Helmie, seperti juga almarhum Uce dan almarhum Ade, meninggal karena serangan jantung. Tentu saja, ini merupakan kehilangan terbesar bagi kelompok Chaseiro.
Apalagi selama ini, Helmie bertindak sebagai salah satu penyanyi terdepan mereka. Suara khas Helmie memang lantas menjadi salah satu identitas khas Chaseiro. Sebuah kehilangan yang sangat berarti, apalagi tawa dan canda Helmie yang selalu hadir di antara mereka. Dan tak hanya bagi Chaseiro saja, penggemar dekat merekapun ikut merasakan kehilangan.

Sebelumnya, pada 16 Maret 2012, Chaseiro sempat menggelar sebuah konser lumayan besar. Bertajuk, Chaseiro Music & Friends di Hall, Senayan City. Dimana Chaseiro didukung para “friends” mereka seperti antara lain Iwa K, Andien Aisyah, Lala Suwages, Riza Arshad. Ini menjadi salah satu konser sukses mereka.
Dan saat itu terlihat, banyak penggemar mereka, masih setia menggemari penampilan, suara dan lagu-lagu dari ketujuh Chaseiro itu. Dan kolaborasi Chaseiro dengan para penyanyi yang relatif muda, seperti memberikan kesegaran baru bagi penampilan mereka. Keren, suasananya asyik dan menyenangkan sebagai tontonan.
Saat ini, keenam Chaseiro tengah menyiapkan album terbaru mereka. Album tersebut, juga menampilkan beberapa kolaborasi dengan para penyanyi dan grup muda. Sebuah upaya untuk menghidupkan Chaseiro, ke generasi “lebih muda-an” yang perlu dipuji. Dan hasilnya bukan lantas seperti memaksakan kolaborasi.
Materi album ini kabarnya diinginkan dapat dirilis pada pertengahan tahun 2014 ini. Dan akan dilanjutkan lagi dengan sebuah konser lain, di tahun 2014 ini juga. Album telah rampung pengerjaan rekamannya, tinggal masuk finishing tahap akhir saja. Terutama pada desain dan artworks sampul album. Untuk rekamannya, mereka dibantu pula oleh musisi lain, Ari Darmawan, yang adalah mantan drummer kelompok Halmahera itu.
Menurut Candra dan Omen, selain album baru tersebut nanti, juga direncanakan mereka melansir buku yang berisikan Kumpulan Kisah dan Lagu-lagu Chaseiro. Semoga semuanya bisa selesai dan dapat dinikmati khalayak pada tahun ini juga.
Menarik tentu saja, menantikan album terbaru mereka. Apalagi dengan materi baru, dengan music yang juga baru. Membuktikan bahwa mereka tetap bersemangat dan aktif menggali kreatifitasnya. Walau kesemua Chaseiro tersisa kelihatannya sih makin sibuk saja dengan pekerjaan dan dunianya masing-masing.
Candra Darusman, kini berdomisili di Singapura dan tetap menangani masalah Hak Cipta. Rizali Indrakesuma, kini menjadi Duta Besar di India. Sementara Aswin Sastrowardoyo menjadi dokter ahli kandungan. Irwan Indrakesuma sibuk di Yayasan Karya Cipta. Omen dan Edi tak kalah sibuk dengan bisnisnya masing-masing. Hebat kan kalau mereka masih tetap setia bermusik.
Begitulah akhir cerita dari Chaseiro. Terima kasih banyak bagi yang mau membaca cerita cukup panjang ini. Dan terima kasih banyak buat keenam kakak-kakak Chaseiro yang sudah mau membagi sedikit cerita-cerita menarik mereka. 
Sukses selalu untuk Chaseiro! / *


Dan eh, tulisan di atas ini dibuat memang pada 2014. Nah, saya mau tambahin dikit, di update-lah ya. Pada Oktober 2014, Retro 2 dirilis. Ada bintang tamu, RAN dan Marcell , selain Tompi, Ucie Nurul pada album tersebut. Ikut mendukung bintang tamu musisi seperti, Riza Arshad, Tohpati, Jeffrey Tahalele Mereka membagikan hasil profit dari penjualan album itu untuk Yayasan Kanker Indonesia, terutama untuk penderita kanker serviks....