Monday, May 29, 2017

Begini Cara Mereka Melakukan Reinterpretasi terhadap Al Jarreau



Wish I Knew
Why I’m so in Love with you
No one else in this world will do
Darling,please your love for me
Run waya
If I were wise I’d run away
But like a fool in love I stay
And pray,
Save your love for me....

Dan mendiang Alwin Lopez Jarreau pun menyuarakan lagi lagu emasnya itu.  Dan suaranyapun memenuhi ruangan. Menjadi sajian conditioning bagi para penonton yang ada, sebelum nanti dihidangkan beragam lagu-lagu yang telah dipopulerkannya sepanjang hidupnya. Lagu-lagu yang mewarnai jaman, dimanapun, di seluruh penjuru dunia.
‘Save Your Love for Me’ (Buddy Johnson,1955) itu menyusul lagu lain, ‘Wait for a Magic’ dan ‘Pleasure over Pain’. Tiga nomer standard ballad, yang secara “kebetulan” datang dan dikenal luas lewat satu album yang sama. Tenderness, dirilis 1994, dan menjadi album live paling populer dari mendiang, di seluruh dunia.


Adalah “komunitas” tak resmi. Karena belumlah resmi, maka saya pilih pakai tanda kutip. Begitu lho. So, komunitas ini memang kumpul-kumpul aja dan semua suka Al Jarreau. Penggemar beratlah, kira-kira begitulah.
Mengajak rekan-rekan musisi dan penyanyi. Yang diyakini, juga suka Al Jarreau. Paling tidak sih, pasti tahu lagu-lagunya almarhum AlJarreau. Kalau sampai ga tahu, ya ora ditowel toh. Ditowel doang, ga juga diajak?
Bro and sis, kita tinggalkanlah saja perkara towal-towel. Kembali ke panggung, eh ke acaranya. Maka acarapun lantas dibuka dengan....ah manis, syahdu, adem. Jadi ngantuk, pengen sandaran di bahumu...? Aha, so sweet!
Hans Marcus Bartels dengan suara berkarakter kuat, dan juga ekspresif, membuka acara dengan, ‘Morning’. Sapa pula tak pernah dengar, ‘Morning’-nya Al Jarreau? Lagu hits, yang dimunculkan di album Jarreau, yang dirilis tahun 1983. Lagu pas buat jadi backsound buka jendela kamar dan ruang tamu di pagi hari itu, adalah karya bareng Jay Graydon, David Foster dan Al Jarreau.
Hans Marcus sebagai penyanyinya yang impresif itu, didukung Devian Zikri sebagai saxophonis. Lalu Canga Anton, drummer. Ada Rizky Tenri, perkusionis. Kemudian duo kibordis, jadi bak “kakak-beradik” lain bapak lain pula ibunya, Dandy Lasahido dan Andy “Coklat” Gomez.


Janganlah lupakan, ada gitaris 607 band se Jakarta, Noldy Benyamin Pamungkas. Serta bassis groovier than not-groovy, Djoko Sirat. Komplit dah. Dan langsung suasana menjadi Al Jarreau bingits. Saatnya...bernostalgia!
Eh sebelum siap-siap brebesss miliiii bernostalgia, perlu diketahui ada bassis lain yang ikut mendukung acara ini. Zulkarnain Joel namanya. Kalau Noldy gitaris bandnya ada 607, maka Joel ini kira-kira ada 598 band-nya. Yes, jam terbang musisinya mah tinggi-tinggi,
Soalnya, semua musisi yang terlibat, kebetulan alumnus STTS. Apaan sih itu? Sekolah Tinggi Tinggi Sekali.... Eits, intermezzo dikit. Becandalah. Biar jangan terlalu serius membacanya.
Mengenang masa-masa indah di kala SMP mungkin Kalau SD kan, masih terlalu muda. Atau mungkin masa-masa SMA?  Pedekate ke sana, pedekate ke sini. Eh yang naksirnya sebelah belakang? Ya gitu deh. Aroma nostalgia, remembering your good old days pun langsung terasa.
Berikutnya, ‘Love is Waiting’ yang disuarakan penyanyi yang berdomisili di kota Bogor, Dika Aleandra. Makin mendamaikan suasana. Lalu menjadi damai dan adem saat, cewek satu-satunya di acara itu naik panggung, Netta KD. Netta membuai dengan, ‘After All’.


Restu Fortuna, penyanyi yang merupakan pentolan dari komunitas ini, iya karena dia salah satu penggagas dan motor utamanya. Ok Restu ditemani Diddi Agephe. Restu menyanyi, dan Diddi bermain kibor. Lebih tepat sih memberi suasana lain, soundscaping lah yang berbeda gitu. Lagunya, ‘Tell Me’.
Kehadiran seorang pakar eh tokoh musik electronic atau Electronica di sini, Diddi Agephe, makin menjelaskan arti Reinterpretasi sebagai salah satu judul acara ini. Oh ya kan judul acaranya 100 Hari Al Jarreau, Reinterpretasi.
So memang maksud dan tujuan utamanya itu, membawakan lagu-lagu hits Al Jarreau tapi ga harus mirip aslinya. Kenapa ga mirip? Al Jarreau itu adooooh....tiada tanding, tiada banding. He’s the greatest! One and only! Setuju dong?
Etapi emang kemarin persis 100 Hari meninggalnya Al Jarreau ya? Ga sih, ga persis-sis banget. Kan Al Jarreau berpulang pada 12 Februari 2017, maka 100 Hari setelah kepergiannya ya hanya beda beberapa harilah dengan tanggal pelaksanaan acara itu.
Ok lanjut. Kadri Mohamad giliran berikut. Lagunya, ‘Our Love’. Ahay, membuai lagilah pasti. Jadi inget masa-masa indah SMA, ke Blok M kali ya, Aldiron Plaza? Atau mana lagi, Ratu Plaza? Sebelum ke disko, mana ya, Le Mirage atau...Oriental? Hehehe.



Kan makanya reinterpretasi, jadi jangan kaget seorang rocker kayak vokalis Makara di 1980-an itu, Kadri Mohamad juga ikut tampil. Bagaimanakah seorang rocker “ditest” nih, bisa ga rada mellow yang ga terlalu menyeh-menyeh tapi....membuat hati terkulai.
Ada rocker lain, Doddy Katamsi. Menyusul naik panggung. Hah, rocker lagi? Yoa. Doddy bawain, ‘My Old Friend’. Lagu yang jadi bisa ingetin penonton sama guru yang baik hati, bijaksana dan sering memberi nilai-nilai bagus untuk murid-murid kesayangannya...
Bukan cerita tentang sahabat lama ya? Kok jadi guru? Itu sih terserah saja. Boleh kok, mana aja yang suka. Inget sama sopirnya bokap, yang senang hati mengantar kita pergipun boleh-boleh saja. Kok pake sopir? Biasanya sih, sopir nemenin tapi kunci mobil dikasih ke kita kan, lalu dia pindah tempat duduknya deh....
Dika naik lagi pada giliran berikut dengan lagu, ‘Closer to Your Love’. Abis Dika, lalu naiklah lagi, Restu Fortuna dengan, ‘Tell Me What I Gotta Do’. Sambung dengan, ‘Your Song’ yang dibawain juga oleh Kadri “Makara” Mohamad.



Eh Kadri kan grupnya sekarang, The KadriJimmo lho. Makara mah terlalu lawas! Ooops iya ya. ‘We’re in this Love Together’ menjadi sajian berikutnya, ditarik suarakan oleh Hans Marcus Bartels. Suasana nyaman, adem, pengen rebahan, pengen minum yang rada “hangat” deh jadinya.... Jaman dulu, kalau minuman rada hangat begitu apaan ya? Masak Mansion House atau Drum?
Teh panas manis dong, gulanya bisa tiga sendok! Gelooook! Netta yang termanis malam itu, yaeyaalaaaaah doski doang yang cewek pan kemudian bawain lagu, ‘Trouble in Paradise’. Disusul kemudian oleh, ‘I Will be Here for You’ dengan suaranya rocker 7 Years Later, Doddy Katamsi. Berikutnya, ada Restu dengan, ‘So Good’.
Tensi acara lantas meninggi banget dengan Restu ditemenin sama Netta, bawain ‘Raging Waters’. Karena lagu ini jadi sangat nge-dance gegara sukseslah dioprak-oprek Diddi Agephe musiknya.



Sampailah di ujung acara itu, dibawakanlah lagu, ‘Spain’ yang tenar be’eng itu. Spain yang karya Chick Corea itu, dibawain seluruh penyanyi dan penonton yang ada. Diajak nyanyi bareng deh, Tiwi Shakuhachi dan Ronni Waluya, yang sudah sudi datang menonton acara itu. Hatur nuhun ya, Tiwi dan Ronni!
Begitu deh isi dari acara yang diadakan di Lefty’s Suite, Foodism di Taman Kemang pada 18 Mei silam itu. Al is for Lover adalah sebagai penyelenggaranya, ya komunitas yang belum resmi itu.
Adalah Hendra Sinadia sebagai yang terdepan di Al is for Lover, memang fans fanatiknya Al Jarreau. Lalu Restu Fortuna si penyanyi yang mirip Al Jarreau itu....paling ga, warna kulitnya. Dan saya, ya saya mah supporter sajalah. Supporter paling depan sih. Saya juga senang Al Jarreau kok. Suwerrr.
Dan satu nama lain lagi, sebagai supporter utama acara ini. Yang bikin suasana venue jadi indah dan menyenangkan, warna-warni yaitu Lemmy Ibrahim. Lemmy juga menjadi bagian penting banget dari acara ini, karena dengan pasukan dan segala peralatan dari LemmonID-nya, jelaslah acara jadi keren euy! 





Berikutnya ada rencana untuk melanjutkan program model “Tribute to”, dalam hal ini Al Jarreau itu. Meneruskannya, ke venue yang lain. Mungkin dengan teman-teman penyanyi dan musisi yang lainnya.
Salah satu rencana lain, melanjutkan dengan show intimate juga yang lain, yang menghidangkan lagu-lagu hits jazzy tunes. Eits, kapan tuh? Aduh, buru-buru amat. Sabar, sabarlah. Nanti juga dikabari.
Karena enaknya kan, bikin acara buat teman-teman, yang musiknya itu kita sukai banget. Dan kita tahu, kita punya masa-masa indah "ditemenin" lagu-lagu yang akan dibawain itu. Jaman kita-kita usil, bandel dikit, iseng, tapi kreatiflah dan rajin ke sekolah...untuk bertemu tambatan hati! Hahahaha.... Bukannya belajar dong?
Ok ya. Segini saja dulu. Terima kasih buat yang sudah menonton./*








                                                                                                                         

Sunday, May 28, 2017

Tata Cahaya Cihuy dan Keren di Konser Stars and Rabbit


Jadi beginilah cerita bermula, yang lantas akhirnya menjadi bahan tulisan saya ini. Agak telat memang. Lumayan tertunda. Tapi kata orang bule kan, Better Late Than Never. Daripada ga sama sekali, masih mendingan telat. Pikir-pikir, telatnyapun tak seberapa... Tapi tetap harus ada.
Atas nama respek dan apresiasi sih. Respek, maka saya jadi tergerak pengen menulis (lagi). Grup band ini sudah saya tulis dan muat di website saya ini secara cukup lengkap, di tahun silam. Tapi kali ini pengen aja menulis mereka lagi.
Buat saya, karena jelaslah ada sesuatu yang menarik yang perlu saya tulis. Sekali lagi ya,berdasarkan respek dan apresiasi dan penghargaan. Lebih dari sekedar, bahwa saya suka dengan musik mereka, dengan penampilan penuh semangat dan penuh keceriaan mereka di atas panggung.


Ok then, saya memulainya dengan membaca jadwal perjalanan mereka. Iya mereka hendak melanjutkan pengembaraan mereka, menjelajahi manca negara. Kalau diingat, tahun silam, mereka berhasil tampil hingga Inggris kan?
4 Mei mereka di Grapefruit, Tokyo. Lalu terbang menuju Hanoi untuk tampil di Hanoi Rock City pada 6 Mei. Dari Hanoi, mampir di Palembang, untuk tampil di sana pada 10 Mei. Lalu menyebrang ke Kuala Lumpur, tampil di Urbanscape pada 12 Mei.
Lalu, sampai pada saat sahabat baik saya, adik saya yang sangat enerjik, Riva Pratama menghubungi saya. Anak-anak nih pengen bisa main di Jakarta deh. Ada usul ga, venue yang pas, asal jangan di kafe ya.
Kenapa tidak di kafe, karena mereka ada membawa “pernak pernik”, antara lain stage decor dan lighting concept tertentu. Yang sulit untuk bisa diterapkan ataupun ditampilkan bila show digelar di kafe atau clubs.
So, saya langsung menunjuk tempatnya sahabat saya yang satunya lagi, Lemmy Ibrahim. Lemmy punya “venue”, di kawasan gudang areal hanggar di Pancoran. Coba saja di situ. Nanti dikontak dan di intro dulu deh ke Lemmy, abis itu elo bisa kontak teman baik gw itu ya...
Dan singkat cerita, seminggu kemudian saya tanya. Sebenarnya bermaksud memastikan, bagaimana rencana mereka main di Jakarta itu. Karena saya memang pengen menonton. Saya terlewat beberapa gig mereka sebelumnya, di Jogjakarta dan di Bandung.
Eh ternyata beres. Mereka siap tampil di LemmonID studio, Lemmy Ibrahim yang menjadi pemilik telah bersedia bekerjasama dengan pihak grup band itu. Lemmy, ketika saya hubungi lagi juga mengatakan, aman kok sip nanti jadi Minggu malam.


Sebelum show tersebut terjadi, saya kontak lagi Riva Pratama. Riva ini adalah sebagai menejer, tapi buat saya mah lebih kelihatan sebagai “kakak-asuh” sekaligus juga “kakak pembina”. Malah juga semacam motivator!
Stars and Rabbit grup itu. Awalnya kan duo folk. Lebih akustik. Terdiri dari Elda Yanuar, vokal utama dengan berbagai instrumen macam percussion-toys sampai pianika ya? Lalu gitarisnya, Adi Widodo. Berdua saja sudah “kuat” sebetulnya. Eh iya gitu, saya melihatnya mereka tuh bertiga.
Elda, Adi dan ya...Riva! Hehehehe. Belakangan mereka juga lantas jalan dengan format grup band, dan dengan menerima “suasana” lebih electric. Karena ada kibor dan bass. Dalam hal ini, terutama saat tour show kemarin itu, mereka didukung Vicky Unggul Bramantyo (kibor), Andi Irfanto (drums) dan Alam Segara (bass).




Mereka memang players tetap yang senantiasa mendukung setiap penampilan Stars and Rabbit format full band. Jadinya, membuat musik Elda dan Adi, terasa lebih ramai, lebih warna-warni. Sementara di pandangan saya, membuat mereka juga lebih bersemangat dan...tambah ceria gimana gitucyu deh.
Apalagi Elda. Ia yang mungil menjadi punya kemampuan ekstra berlipat ganda, dalam hal menguasai panggung. Ya itu stagenya doski lah. Tak bermaksud mengenyampingkan kehadiran Adi dan tiga musisi lain. Karena kan, biar bagaimanapun Elda lebih impresif, ya karena ada 4 cowok ganteng menemaninya. Setuju?
Oh ya, kemarin itu cowok ganteng "pengawal" Elda ada tambah satu orang lagi. Yaitu special guest star, kibordis muda, Kimo Rizky dari Kimokal. Memberi nuansa berbeda, agak deephouse? Ah ga, tapi ya beda aja suasana lebih electronic nya kan?
Ah kalau ga setuju, belum Baby Eyes lah artinya. Unik juga ya, pilihan kata “baby eyes” bagi para fans-fans loyal mereka itu. Sebegitupun menurut Riva, setelah show kemarin, sebenarnya yang datang kemarin di show mereka di Jakarta, belum semuanya die hard fans itu.
Tapi dari sekitar mungkin 300-an penonton yang ada, saya keliling kan untuk mencari-cari sudut pemotretan yang “baik dan benar”, saya  mengakui mereka itu ya fans fanatiknya Stars and Rabbit.
Soalnya, nyaris di semua lagu yang dibawakan, bisa dibilang mayoritas penonton yang ada kontan sing along. Suasana memang menjelma menjadi kayak an intimate concert gitu. Akrab, supel dan dekat. 



Memang tour mereka itu diberi nama Baby Eyes Tour. Di dekat penghujung tahun kemarin, Baby Eyes Tour itu telah menyinggahi beberapa tempat di Inggris dan Wales. Kali ini fokus mereka lebih ke Asia dan Indonesia.
Nah fokus tulisan saya lantas ke show mereka di Jakarta itu. Yang digelar pada Minggu malam, 14 Mei 2017. Ini adalah kota terakhir untuk Baby Eyes Asia Tour 2017, begitu cerita Riva Pratama.
Konser kecil tapi akrab, begitu setelah menyaksikan penuh konser tersebut. Akrab dan membuai mata dan telinga. Teristimewa soal mata nih. Yaitu terkait dengan apa yang disajikan di panggung. Backdrop muka dengan fokus pada 2 mata. Pada “alis” bersatu menjalin tulisan baby eyes.
Adalah LemmonID sendiri memang menjadi sebuah company yang sedang grow-up. Sebagai sebuah penyedia tata cahaya panggung. Mereka sejauh ini telah membantu beberapa konser, dan juga “memperindah” tampilan program musik live di televisi.
Saya tertarik melihat visualisasi tata cahaya dari konser akrab itu. Tak terlalu penuh pernak-pernik. Tapi pas sebagai sebuah konser yang menyajikan tampilan show yang segar. Segerin mata dan juga kupinglah.



Nah, perhatikan saja image foto-foto yang saya upload sebagai ilustrasi tulisan saya ini. Adapun konsep tampilannya adalah dari lighting designer-nya mereka sendiri, Sugeng Utomo. Sugeng berkerjasama dengan art director, Dennis Sutanto.
Menurut informasi dari Riva, Dennis Sutanto itu berangkat dari merespon artwork tour yang dibikin oleh Spencer Jeremiah. Ini semua memang dibikinkan konsep khusus bagi para die hard fans mereka itu, ya para baby eyes itu.
Konsep dari tim tampilan visualisasi panggung Stars and Rabbit itu, dibawalah ke pihak LemmonID. Dan pihak LemmonID, menurut Lemmy Ibrahim lalu menugaskan Megi Saputra sebagai lighting designer, yang bertugas mewujudkan konsep dari pihak Stars and Rabbit.
Jadi yang perlu diketahui memang, konsep atas lighting system di dalam sebuah pertunjukkan musik. Apa sebenarnya konsep dasar yang diinginkan. Kemudian akan coba “diterjemahkan” oleh seorang lighting designer, yang datangnya dari pihak suppllier atau vendor lighting rental tersebut.
Seorang lighting designer akan menentukan plotting ataupun blocking dari lampu-lampu untuk acara tersebut. Penempatan titik-titik lampu jelas penting, itulah plotting. Jangan hanya melihat hasil akhir, ada lampu-lampu lalu menyala warna-warni gitu.
Seorang lighting designer memang akan bekerja dengan masukkan atau pandangan dari pihak tertentu. Yang tentunya, memberikannya masukan atau keterangan bagaimana baiknya dia menempatkan lampu-lampunya.



Apalagi kalau diskusi bisa lebih detil, misal pada bentuk jenis-jenis lampu tertentu yang sebaiknya dipakai. Tentunya akan memudahkan lighting designer dalam menempatkan lampu-lampu yang dipersiapkannya. Setelah lampu-lampu terpasang, di titik-titik yang diinginkan, maka dipersiapkanlah lighting-mixer untuk mengoperasikan lampu-lampu yang telah terpasang itu.
Biasanya, kemudian designer tata cahaya itu akan mengadjust plotting lampu yang telah dilakukannya itu. Bisa saja ia sendiri yang bertindak sebagai player atas permainan tata cahaya, atau menyerahkannya kepada pihak “operator” yang lain.
Pada konser Stars and Rabbit kemarin, Sugeng Utomo yang datang membawa konsep dasar lighting itulah yang lalu mengoperasikan permainan tata cahayanya. Menurut Riva, soal lighting yang ada jelas sangat memuaskan pihak Stars and Rabbit.
Karena diskusi dengan pihak LemmonID tersebut, lantas seperti mengembangkan konsep dasar dari pihak Stars and Rabbit. Hasil akhirnya, waduh memang lebih lagi dari ekspektasi dasar konsep kita, terang Riva lagi.
Iya konsep mereka kan bagus, lalu kami menjelaskan kami punya lampu-lampu ini nih. Lalu tim LemmonID memberikan masukan, oh bagusnya jadi begini karena dengan lampu-lampu yang kami punyai. Mereka setuju. Hasilnya ya begitu. Kalau pihak mereka puas, alhamdulillah banget, jelas Lemmy Ibrahim.
Prinsipnya, LemmonID berkeinginan memang memberikan wadah dan bisa mensupport kegiatan konser musik, dari para musisi Indonesia. Mereka berniat totally support, dan menyediakan apapun yang mereka miliki, untuk bisa dipergunakan. Begitulah menurut Lemmy Ibrahim, yang mantan drummer itu.
Melihat hasil akhir kerjasama soal pencahayaan panggung acara Stars and Rabbit di LemmonID kemarin itu, terlihat sebenarnya tak terlalu megah. Tapi yang jelas, yang lantas ditangkap mata penonton, bagaimana pencahayaan yang ada memberi kesan lebih kuat pada pementasan tersebut.
Nah ini titik yang suka terlupa, atau dilupakan. Sejatinya, pencahayaan yang baik itu, akan memberi efek psikologis bagi penonton. Akan ikut membantu musik yang dibunyikan grup band atau penyanyi yang tampil, dalam “memainkan” juga emosi penonton.  


Tata cahaya yang benar, jelas punya peranan penting dalam sebuah pementasan. Apapun pementasannya, apalagi musik. Seperti dalam sebuah pentas drama, lighting menentukan suasana sebuah adegan sampai dialog.
Kalau dalam musik, hampir serupa sebenarnya. Setiap lagu-lagu yang dibawakan, akan dapat “dibedakan” intensitas emosinya yang terkandung pada lagu-lagu tersebut, lewat permainan tata cahaya.
Saya pernah menulis mengenai hal ini kok sebelumnya. Dimana saya mengangkat persoalan bahwa banyak pentas-pentas musik yang berskala menengah atau kecil, suka “mengabaikan” peran tata cahaya.
Terutama show-show di lingkungan kafe. Ada handicap yang suka jadi masalah yaitu kecilnya ruangan, ketinggian atap yang terlalu pendek. Selain....ya apalagi kalau bukan soal biaya. Biaya, kalaupun ada, difokuskan pada bayar artis atau grup bandnya.
Ya kalau soal rungan atau ketinggian atap, bisa saja disiasati dengan pemakaian lampu-lampu jenis tertentu. Tapi memang jadi repot kalau sudah soal biaya kan? Kan yang penting, the show must go on? Lampu terbatas, ya cukup-cukupinlah, yang penting sound dan alat kan
Kemudian biaya yang ada, ditujukan untuk pengadaan peralatan sound. Lantas soal tata cahaya akhirnya terpaksa dikesampingkan, ga ada ya ga papa deh. Maksudnya ya seadanya saja. Karena keterbatasan dana itulah.
Padahal, sebagus apapun grup band atau penyanyi yang tampil, sebagai sebuah bentuk konser utuh ya. Tentu saja akan diterima lebih baik, oleh kuping dan mata penonton yang ada. Audience akan lebih terpuaskan, bila saja pencahayaan juga diperhitungkan.
Grup band atau artis penyanyi yang tampil pasti juga kemudian nantinya akan puas. Setelah mereka melihat hasil foto-foto dan video, dari pentas mereka itu. So, penting ga penting sih jadinya, soal lighting tersebut. Ya kan?
Kembali pada soal konser akrabnya Stars and Rabbit, maka LemmonID menyiapkan beberapa peralatan lampu untuk menyinari konser itu. Menurut Lemmy, mereka memasang antara lain ROBE Pointe sebanyak 15 unit, SGM type Q7 sebanyak 7 unit. Lalu juga SGM type P5RGBW, 7 unit. Selain itu juga Lupolight 2000 yang dipasang sebanyak 6 unit.
Mereka juga memasang Parled 120 sebanyak 20 unit, WasherLED 4in1 sebanyak 6 unit. Dan ditambah dengan Wallwasher sebanyak 4 unit. Pemakaian listriknya sendiri,tak terlalu besar, dikarenakan pemakaian lampu-lampu berjenis LED, yang memerlukan daya listrik relatif lebih minimal.


Stage mereka juga yang menyediakan selain venuenya. Venue itu sendiri, biasa dipakai juga untuk kebutuhan syuting program televisi, maupun pengambilan gambar untuk syuting video termasuk video klip.
Pada akhirnya memang, seperti yang telah saya sebutkan di atas, hasil akhirnya memang lighting yang efektif dan efisien. Namun dapat merealisasikan dari keinginan pihak Stars and Rabbit, lewat konsep pencahayaan yang mereka buat.
Alhasil memang menjadi konser dengan “pemandangan” panggung yang pas. Pas dalam hal mengangkat emosi penonton, para fans fanatik Stars and Rabbit, dalam merespon setiap lagu yang dibawakan.
Adalah bagus, kalau bisa dibilang semua konser-konser yang berukuran besar, sudah ikut mengutamakan konsep pencahayaan maksimal. Hal itu membuat profesi sebagai Lighting Designer di sini, makin dihargai.
Dihargai karena dipandang penting kehadirannya. Beberapa nama telah muncul sebagai profesional designer tata cahaya yang bertarif lumayan tinggi. Designer tata cahaya tersebut mampu bekerjasama apik dengan pihak art director, pada sebuah acara konser musik.
Cuma memang, masih banyak konser-konser musik berskala menengah atau kecil, belum terlalu mempedulikan soal tata cahaya. Padahal, pada point penting di jaman sekarang ya, dengan gadget makin canggih yang dimiliki para penonton konser. Harus deh diperhitungkan, saat penonton memotret artis atau band pujaannya saat beraksi on stage, kalau hasil foto menarik publik yang tidak datang menonton langsung konser tersebut ya.


Nilai positifnya kan, wah keren banget ya konser itu. Tata lampunya cihuy dan keren banget. Jadinya, bukan soal venuenya dimana kan Ga harus “besar-besaran” sih. Terpenting konsepnya saja.
Ditunggu ya konser berikutnya Stars and Rabbit, yang selalu saja enerjik dan penuh vitalitas, selain selalu akrab itu. Begitupun dengan LemmonID, ditunggu konser-konser lain yang menjadi tambah indah dan segar tampilan panggungnya.
Sayangnya ya, konser Stars and Rabbit kemarin adalah konser terakhir di venue merangkap warehouse n storage LemmonID. Mereka tergusur, seperti juga semua bangunan yang ada di dalam wilayah itu. Kabarnya, mereka saat ini tengah menyiapkan bangunan baru lain, di kawasan Pejaten, Jakarta Selatan. /*