Sering
banget dulu mendengar celoteh teman-teman. Kalau jazz mah enak ya,festivalnya
gede dan banyak.Rock susahlah, blues juga komunitasnya kecil. Jazz itu kayak
borrju, rock itu kayak .. Rock itu “proletar”. Memangnya anggapan itu benar?
Saya
coba sodorin beberapa hal nih. Iseng aja
bikin corat-coret. Antara Jazz dan Rock dewasa ini di tanah air kita. Kayak gini nih catatan saya. Catatan rapi
atau corat-coret sih? Corat-coret dululah, lalu dirapihin, jadinya kan catatan?
Gitu aja kok repot....
R
O C K
Rock
festivalnya sedikit? Ga juga. Bertambah terus kok. Beberapa kota sekarang puya
pentas rock berskala festival. Kecil kan? Ga juga. Ada yang terbilang relatif besar.
Ga usah dijabarkan detil, anda semua pasti tahu. Rock fans pasti akan mudah
mnyebutnya.
Hammersonic,
Bandung Berisik, Rock in Solo, Rock in Celebes, Hellprint, menyebut sedikit
saja di antaranya. Panggung rock, besar, multi-stage,
puluhan performers, udara terbuka.
Lahan lebar terbuka, memungkinkan pulha ribu rock-fans menjubeli pentas-pentas berkonsep a la festival itu.
Festival ya, yang berkonotasi “murni”. Yaitu sajian rock performers macam-macam, bukan ajang kompetitif. Pesta sajalah
gitu.
5-6
tahun terakhir, terus bertambah jumlahnya. Tentu iklim rock jadi lebih hangat.
Ruang pun makin terbuka, untuk memotivasi band-band rock muncul. Arena-arenanya
ada kan, sayang aja kalau tak dimanfaatkan? Kesempatan jadi terbuka.
Belum
lagi gigs di kafe, yang juga terus
bertambah. Tak hanya program-programnya saja, tapi juga tempat-tempatnya. Kafe-kafe
sebagai venue untuk regular-gigs juga
bermunculan, terutama di kota-kota besar. Lebih khususnya Jakarta.
Menarik
diamati, kalau rock dihidangkan, murni rock kayaknya. Gini,performers nya itu
banyak banget.Tua-muda, “besar-kecil”, senior-junior. Bayangin aja, God Bless
yang sudah 42-an tahun saja masih eksis? Tiap tahun terus lahir band-band baru.
Pilihannya begitu banyaknya. Fans termasuk loyal, fanatik dan laten.
Alhasil
hidangan rock, baik program berbentuk regular gigs di kafe ataupun skala festival
yang besar di lapangan terbuka, ya pede abis jack, untukmenampilkan para
“real-rock” performers.Mau yang hard rock, heavy metal, grunge, death metal
sampai menyenggol blues rock, dan pelbagai turunannya.
Dan
grup-grup rock itu berdatngan dari mana-mana, dari segala penjuru Nusantara
raya ini deh. Ga hanya didominasi sebatas Jakarta dan Bandung atau dengan Yogya
dan Surabaya saja saat ini. Dari mana-mana, bermunculanlah rock-band yang penuh
semangat, dengan cita-cita besarnya masing-masing.
So,
jumlah sudah relatif banyak, hebatnya masing-masing juga punya massa
tersendiri, maka rock ga begitu butuh “pemanis”. Ga perlu yang namanya,
“nama-nama yang berpotensi menjadi magnet penonton”, atawa “nama-nama populer
untuk jualan.”
Tak
perlu memanfaatkan nama-nama tertentu, yang danggap lebih “light”, lebih dikenal luas, lebih populer, untuk “disuruh” lebih
ngerock. Biar bisa ditampilin, dan akibatnya bisa memancing lebih banyak
penonton. Apaan lagi yang kudu dipancing, penonton seberapa banyak lagi yang
mau dipancing datang?
Rock
akhirnya menjadi murni kebisingan, kekerasan, kehangatannya. Orisinal, asli ga
luntur. Tak pakai ragu-ragu. Tak usah pikir-pikir banyak lagi. Penontonnya ga
pernah kering kok. Selalu banyak aja penntonnya. Beneran?
Gelagatnya
begitu Ah sudahlah, ga perlu pake gelagat segala. Kenyataan sudah membuktikan.
Sementara asyiknya, harga tiket juga kayaknya bisa kok untuk, ga “murah-murah
amat”. Soalnya sebelumnya kan, rock fans sebagai penonton festival itu, kadung
dianggap berkantong terbatas ya. Jual mahal dikit, penonton males dateng. Tar
ga bisa beli rokok! Datang, tapi nongkrong aja di sekitar pintu masuk. Menanti
harap-harap cemas, pintu bakal dibuka lebar-lebar nanti.
Penuh
harap, bisa nonton gretongan, dan
panityanya bermurah hati banget.
Panityanya kekeuh-surekeuh, pasang tiket rada mahalan,
siap-siap aja...kita jebol aja pintunya. Pokoknya kita harus nonton rock, biar
kata duit mepet. Perilaku gitu, perlahan mulai “memudar”. Bagus dong?
Mudah-mudahan bener-bener begitu sih. Sehat jadinya tontonannya....
Yang
ada kasus berbeda. Ok tidak menonton gratisan sih, tapi mau menonton, kumpulin
komunitas. Ada pulhan, syukur-syukur bisa ratusan. Kontak panitya, dan minta
harga tiket khusus, diskon spesial. Atas nama komunitas nih. Kita pengen nonton
atawa kita harus nonton. Minta harga khusus dong! Nah terserah panitya, atau
promotor atau event-organizer, bisa
memakluminya ga, dan bisa kasih diskon berapa?
Selama
ini,kelemahan agak miris pada event rock adalah, sisi show-productionnya kurang “dianggap” secara maksimal. Perhatian
itu, masih “terbatas”. Sebatas, yang penting ada tontonan festival, lebih dari
1 panggung, lebih banyak panggung, lebih bagus. Sound system,backlines atau lighting,
piye cak? Itu nomer berikutnya saja.
Yang penting stagenya lebih dari 1
atau 2 deh.
Alhasil,
tontonan menjadi kurang sempurna bangetlah. Sound dan backlines di-nomerdua-in,
lighting juga ga terlalu penting-penting banget, pasti agak mengurangi
kenikmatan. Khittahnya konser, kelas festival sekalipun, ya harusnya “mendekati
sempurna” untuk enak ditangkap mata, sedap disantap telinga. Sound okeh,
lighting juga okeh. Hati penontonpun akan senang. Walau tak punya uang? Kalau
ga punya uang, gimana bisa nonton, bray?
Rock
itu kan tontonan lakik banget! Maka ya ga terlalu banyak sponsor mau
mendukungnya. Anggapan itu, perlahan mulai rada luntur sih. Banyak kok
cewek-cewek manis, yang sekarang doyan rock. Cewek-cewek bening, wangi-wangi,
bersih, makin banyak yang berani nonton rock sekarang. Wangi dan bersih, tapi
nontonnya outdoor? Yang penting kan,
waktu datangnya, bersih-bersih? Kalau udah bubaran, jadi kusut dan bau debu, ya
resikolaaaah.....
Cewek-cewek
yang suka rock, juga mulai ga ragu mendatangi venue kayak cafe gitu, untuk
lihat tontonan musik rock. Katanya, cewek-cewek tuh banyak yang “halus-halus”
gitu, tapi doyan “bad-boys”! Badboys means...rockers! Hahaha, jaman
sekarang tuh ya, rocker soleh juga makin banyak. Ga semua juga badboys kok.
Rambut gondrong en penuh tato, ga bisa dong identik dengan rebel,bad-things, anarkis, kasar? Gondrong, bertato pulak, tapi
sopan-sopan, juga banyak sekarang. Sopan tapi playboy? Ah, gw ga ikut-ikutanlah....
Catatan
lain, kalau yang berjenis “metal-metal”an kesannya lebih aman. Untuk jenis yang
juga ngerock, apaya,eh iya blues deh misalnya.Sekali dibikin, antusiasme publik
sih ada. Lumayanlah. Tapi edisi-edisi berikutnya, terlihat menuyurut. Ga tau
kenapa. Padahal ad dukungan sponsor. Saya pikir, salah satu alasan adalah
terbatasnya performers.
Blues
lumayan naik ketika Gugun Blues Shelter menjadi makin populer. Trio itu bisa
jadi kayak lokomotif gitu ya. Menjadi ikon blues buat anak-anak muda. Tapi
kalau hanya GBS terus, memang repot juga. Orang-orang bisa berpikir, nonton GBS
mah nanti aja di kafe, jagain gig GBS aja. Ga harus lihat di festival.
Termasuk
ya juga tontonan di kafe. Sekali lagi, masalah utama rasanya karena terbatasnya
band atau penyanyi blues. Sementara kalau omongin gig, event di kafe kan ya
sejauh ini, relatif jarang. Masih bisa dihitung dengan jarilah gitu...
Rock
lainnya, apaan lagi? Prog rock misalnya? Masih terbilang sporadis. Ada sedikit
pergerakan diupayakan oleh komunitas bertajuk, IPS, Indonesian Progressie
Society. Tapi masih harus berjuang. Perlu ditingkatkan frekwensinya, sekaligus
memancing lahirnya lebih banyak grup-grup muda. Bagaimana memancing anak-anak
muda jaman sekarang, yang doyan ngeband, pengen jadi musisi, ya mau mainin prog-rock.
Menghidupkan
musik-musik tertentu di kalangan anak muda sekarang, itu penting banget. Supaya
nanti tak berjarak, kalau mau mengundang datang penonton muda. Sementara kan,
kalau buat saya, lebih banyak grup-grup muda dan apalagi penonton muda yang
datang, itu tanda-tanda positif. Bahwa proses regenerasi berlangsung dengan
baik, menjamin keberlangsungan hidup musik itu sendiri.
Well
itulah situasi dan kondisi pentas rock jaman sekarang. Karena penontonnya ada,
setia-setia lagi, makanya acara-acaranyapun terus bertambah. Bikin acara,tapi
penontonnya susah, kan ya bisa nyungsep-sep
dong organizernya. Yang ada malah cepet jera, kawatir dan emoh bikin tontonan
rock lagi....
J
A Z Z
Gimana
dengan jazz? Relatif jauh lebih baik dong? Kan festivalnya banyak? Dimana-mana
ada, udah kayak kalender.... Amerika sebagai “pusat”nya jazz aja ga punya
festival sebanyak di Indonesia sini. Hebat memang. Tapi benerankah sikonnya
jauh lebih baik?
Tunggu
dulu jack. Oho, sekilas sih iya. Coba kita telisik lebih jauh ya. Mulai dari
mana nih enaknya? Musisi, grup musik, penyanyinya? Yang muda-muda bertumbuhan
dengan lumayan subur. Situasinya mengingatkan dengan keadaan di era 1980-an,
waktu dimana jazz dianggap menjadi salah satu trend yang ada.
Tapi,
saat ini, malah lebih banyak dan lebih bergairah sebenarnya. Begitu pernah
diutarakan Indra Lesmana. Sikonnya lebih menyenangkan sih. Tapi seberapa banyak
dari para bakat muda tersebut, yang bisa diandalkan untuk mendatangkan
penonton?
Festival
jazz memang tumbuh diman-mana. Apakah lantas berarti itu menjadi “ladang yang
menjanjikan” untuk para jazzer, baik yang senior maupun yang muda-muda? Aduh,
sayangnya ga tuh. Dunia jazz inilah yang memberlakukan, talent-talent tertentu
yang menjadi magnet untuk mendatangkan lebih banyak penonton.
Runyamnya
adalah, talent-talent yang dipercaya jadimagnet itu, bukanlah penyanyi atau
grup jazz. Apalagi musisi. Nah apalagi, ini menyangkutyang senior-senior...
Sponsor yang lantas memberlakukan “ketentuan” itu. Acara boleh bertajuk jazz,
nama keren dengan jazz-jazzan. Apakah talentnya nge-jazz?
Satu
sponsor pernah kepengen membuat ur jazz ke kota-kota besar di luar Jawa.
Sponsor itu punya duit, punya ide, kontak organizer. Lalu talent listpun
keluar. Talent yang mereka inginkan. 90% bukan jazz. Semua nama pop!
Apesnya,ada 1 nama yang relatif ngejazz, dan menejemennya neka-neko. Selesai
sudah! Ya tur itu jalan, dan ya tetap bernama jazz. Tapi performers nya pop.
Pop?
Tapi tunggu, nyanyi mereka ngejazz lho. Pakai improvisasi gitu? Saya pikir,
mereka mencoba menjadi penyanyi jazz. Mencoba ya. Mereka kebanyakan dibilang
sebagai penyanyi RnB sebetulnya. RnB atau jazz sih? Masalahnya, kalau di sini,
yang ngejazz dan yang RnB udah “berbaur”. Tapi sebagian besar diantaranya
menariknya nih, malu-malu dibilang penyanyi jazz. Ya memang mereka aslinya
penyanyi pop.
Tapi,
penyanyi pop yang seneng-seneng aja menerima job untuk mengisi acara jazz. Salahkah mereka? Sponsor juga
berkilah, mereka-mereka itu juga main kok di festival. Festival mana? Java Jazz
Festival! Nah. Jadi karena itulah, mereka lantas jadi penyanyi “jazz”.
Padahal?
Pop lah. Kekenesan, rupawan, kostum, lagak-lagu, pop banget. Vokal? Kan sudah
diupayakan, dengan “meliak-liuk” seolah berimprovisasi itu. Java Jazz Festival (JJF) aja menerima mereka. Meletakkan
mereka di panggung-panggung utama pula! Sah kan?
Penyanyi
pop, penting betul dengan rupa, kostum. Bedalah. Ga begitu “sempurna” di rupa,
maka memilih memakai kostum yang “lebih irit bahan”. Kalau perlu mencontoh
sekalian, penyanyi-penyanyi...apa ya, kulih hitam yang populer dan...dianggap,
RnB. Toh gaya menyanyi, menurut mereka mungkin ya, udah ga beda-beda jauhlah.
Mereka juga kan pandai dalam “meliak-liukkan” suaranya.
Eh
bentar, iya tapi kan RnB? Bukan jazz lho. Mungkin mereka akan dengan santainya
bilang, JJF kan ga minta saya harus jadi penyanyi jazz dulu biar bisa tampil di
situ.....
Eh
ga semua. Ada kok penyanyi-penyanyi kita yang muda-muda, yang nge-jazz. Berusaha
sih ya, tapi hasilnya lumayan memuaskan. Masalahnya, masih lebih banyak yang,
tetap ngepop saja. Cuma kadung dinilai, pas jadi magnet itulah. Ga ada mereka?
Bahkan Java Jazz Festival pun terkesan takut ga bisa mengundang banyak
penonton, apalagi festival-festival jazz yang relatif lebih kecil?
Festival-festival
lebih kecil, berharap pada sponsor, untuk keberlangsungan hidupnya. Dan
begitulah coy, sponsor maunya festival
itu disusupi nama-nama yang diyakini bisa menjadi magnet. Jazz atau bukan jazz,
itu kan bisa saja di”olah”. Dan nama-nama magnet itupun alhasil, sukses menyita
porsi para jazzer beneran. Yang muda-muda, apalagi yang senior.
Ada
kok, musisi yang relatif muda ya, yang pelan tapi pasti mulai dikenal juga.
Tetap “nge-jazz” tapi mulai lebih populer. Tertentu sih, ga banyak. Mereka itu
sudah berhasil memperoleh tingkat “apresiasi” lumayan dari penyelenggara
festival. Termasuk sekelas JJF. Mulai juga ada, satu dua musisi muda mulai
sedikit “lupa diri”. Biasalah itu...
Tapi
yang harus mereka ingat, sebagian dari mereka itu bisa sukses mendapatkan fee
bagus, yang di atas para musisi (jazz) lebih senior. Yang lebih dulu bermain
dibanding mereka. Yang jangan-jangan, guru mereka? Itu kan tergantung rejeki
juga dong?
Yang
jadi masalah,ada juga yang anak-anak muda, begitu mudahnya memperoleh
kesempatan main di JJF. Walau tiap tahun, nyaris tak berubah banyak. Serunya,
mereka ga “jazz-jazz amat”. Ada lho, grup yang sebenarnya nge-poplah. Tapi
selalu dapat kesempatan.
Padahal,
pernah ada info, organizer dari JJF mensyaratkan setiap performers, sebaiknya
terus kreatif supaya bisa mendapat kesempatan main terus tiap tahun. Katanya mereka
lebih suka, untuk tak tiap tahun main, sehingga bisa memberi kesempatan kepada
musisi atau grup band yang lainnya. Kenyataannya?
Musisi
atau grup lain itu, apalagi yang relatif lebih senior, tetap tak mudah
memperoleh kesempatan. Aturan berlaku bisa tegas kepada mereka, kan tahun lalu
sudah. Atau, kan dua tahun lalu dan tahun lalu sudah, nah tahun ini giliran
kesempatan buat yang lain ya? Diskriminasi deh yang terjadi.... Ada faktor like and dislike nih? Faktor, “kenal dan
tak kenal”?
Ah
sudahlah itu “hak prerogatif” mereka. Berbagai aspek yang pasti jadi pertimbangan.
Ada yang bisa mudah mendapat kesempatan, walau sudah sering tampil. Ada juga
yang sulit. Apalagi, musisi yang relatif lebih senior,misal dari generasi
80-90an. Apalagi yang generasi 70-an. Ya kalaupun dapat kesempatan kan,
fee-nyapun terbatas. Kalau minta “disesuaikan”, ti-ati aje, bisa-bisa ga jadi dapat kesempatan itu....
JJF
memang sudah mendunia. Target pencapaiannya memang sudah “worldwide”. Klaimnyapun tak main-main, festival jazz terbesar di
dunia saat ini. Eh bukan lagi, salah satu yang terbesar lho. Skala internasional,
so sah-sah saja punya persyaratan tak mudah untuk bisa tampil di situ.
Jadi,
lebih mengutamakan yang internasional, dari luar negeri? Yang lokal-lokal,
hanya yang muda-muda, itupun juga “selektif”? Kelihatannya begitu sih. Hanya
merekalah yang tahu. Apesnya, JJF kadung jadi “barometer” festival jazz di
Indonesia.
Festival-festival
lain lebih suka memilih menjadi “followers”
JJF. Apa yang ditampilkan JJF, ya mereka tampilkan di festival masing-masing.
Termasuk pada talent performers-nya. JJF saja menerima mereka, kenapa mereka
tidak? Dan akhirnya?
Akhirnya
kan kelihatan, justru JJF dan festival-festival itu malah jadi berjarak dari
para jazzer. Jelasnya, mereka jazzer tapi susah mempunyai perasaan “memiliki”.
Awalnya bangga juga Indonesia punya festival jazz akbar, tapi lantas mereka
malah berjarak. Mereka kerapkali, hanya jadi penonton saja.
Nah
inilah bedanya dengan Jakjazz,
festival jazz besar yang duluan ada. Almarhum Ireng Maulana, masih berusaha “memikirkan”
talent yang akan main di Jakjazz, perihal “jazz atau tidak jazz”. Pernah
berbincang dengan almarhum, soal talent itu.Ngobrolin, kenapa si A kok ga main,
kok si B ga ada oom? Saya ingat jawabnya, agak hati-hati, ooh iya mereka ya,
tapi mereka itu jazz bukan ya? Kalau bukan jazz, saya harus hati-hati, nanti
diprotes teman-teman musisilain, juga penonton....
Saat
almarhum Ireng Maulana akhirnya “mengundang” alm. Harry Roesli & DKSBnya
memeriahkan Jakjazz 1996 pun, itu dilakukannya hati-hati. Ia pertimbangkan
betul. Ia mengajak dulu ketemu “komandan”nya itu, ngomongin konten musiknya
DKSB tersebut. Hal ini pernah diceritakan oleh almarhum Harry Roesli kepada
saya.
Mas
Harry bercerita, ia tahu kok, diundang main karena mengkritik Jakjazz di tahun
sebelumnya. Tapi ternyata, sebelumnya Ireng itu mengajak diskusi dulu, mau tahu
konten yang saya siapkan untuk Jakjazz. Akhirnya Harry & DKSB “aman” main
di Jakjazz, setelah tema Jakjazz tahun itu memang mengutamakan musik ethnic, terutama etnik Nusantara. DKSB
muncul dengan mengandalkan bedug-jepun saat itu, yang mengandung unsur tradisi
juga....
Apresiasi
seorang Ireng Maulana, terhadap teman-teman musisi jazz memang baik. Toh
kenyatannya, kelihatan jadi “terlalu idealis”. Lalu, lihat sekarang kan, susah
untuk diteruskan? Kenyataan itu memang sulit untuk dibahas lebih lanjut lagi.
Jadi, kalau “terlalu nge-jazz”, mana bisa laku? Masalah utamanya, kan ada title jazz di situ....
Festival
jazz besar di luar juga ada yang sangat terbuka. Montreaux Jazz Festival
misalnya, atau beberapalainnya. DeepPurple, bahkan Alice Cooper saja bisa main.
Tapi masih lebih banyak festival yang ternyata memang lebih mengutamakan jazz.
So, konsepnya jadi beda dong, JJF dan Jakjazz? Targetnya sih yang mungkin saja
berbeda. JJF ingin menjadi festival akbar yang lebih mengutamakan unsur “festive”-nya.
Jazz nya ada, tetap banyak, tapi lebih untuk yang internasional. Lokalnya
terbatas. Jakjazz, ingin menjadi sebuah pesta jazz, jazz beneran. Akhirnya, ga
ada yang salah, ga ada juga yang benar sih. Susah diperdebatkan lebih jauh
dong. Soalnya niatnya memang mungkin sudah beda.
JJF
makin menjadi industri. Makin ketat dalam menyaring talent-talent lokal.
Mungkin memang berkeinginan menjadi “etalase” musisi internasional, dari
berbagai negara, untuk menunjukkan kemampuannya. Ditonton oleh publik sini,
jadi bahan untuk memperluas wawasan dan pengetahuan akan jazz. Eits, tapi
memang banyak penonton datang ke JJF untuk....nonton jazz?
Itu
untuk festival. Jadi, bisa dilihat kan ya persoalannya apa? Kalau untuk event
di kafe-kafe, tak terlalu ngepop. Ya selain, event model tur yang didanai
sponsor, seperti yang saya tulis di atas. Event jazz reguler itu, pada
perjalanan kemudian akhirnya punya persoalan lain, sponsor susah untuk diajak
kerjasama. Sponsor nampaknya, tak terlalu peduli memang sih, jazz atau bukan.
Buat
sponsor, sederhana kok. Potensi acaranya, bisa rame ga. Seberapa rame? Kalau
rame, kita dukung. Kalau ga rame, mau ga kita rame-in, kita masukkin
talent-talent ini deh. Mereka kan pop, bukan jazz? Ya gini deh, mau rame ga,
mau kita bantu ga?
Tapi
walau masih “bleeding”, beberapa
event reguler, terus dijalankan. Bisa menjadi salah satu “sel-sel aktif” yang
menghidupkan dunia jazz kita. At least,
bisa menjadi wadah untuk munculnya musisi, penyanyi dan grup muda jazz kan?
Syukur-syukur sukses, lalu bisa mengumpulkan banyak penggemar. Modal bagus
banget, buat memperkuat posisi tawar ke festival-festival, terutama terhadap JJF.
Untuk dapat kesempatan main, dan dengan nilai fee yang “menyenangkan”lah gitu.
Kalau
soal acaranya itu sendiri ya Insya Allah bisa punya stamina bagus. Bisa
bertahan lama dan menjadi panggung untuk para musisi menambah jam terbang,
sekaligus ya itu tadi, menambah penggemar. Insya Allah bertahan...
Ya
itulah peta permusikan kita. Salah dan tidak salah. Pop akhirnya “lebih
diandalkan” oleh event festival jazz. Alhasil jazz menjadi “kabur” nih akan
bentuk sebenarnya, terutama bagi publik. Atau membuat publik, akhirnya tak
terlalu mementingkan, ini penyanyi ngejazz atau bukan, grup band ini ngejazz ga
ya. Yang penting mereka eksis, datangin festival jazz, foto-foto, sebar di
sosmed. Anak gaul, gaulnya aja di festival jazz!
Ternyata
rock masih jauh lebih baik dong? Ya gimana ya. Kelihatannya gimana? Apa yang
anda tangkap dan lihat dan rasakan? Jazz tak lebih baik dari rock dong? Situasi
dan kondisi yang ada ekarang, ya kira-kira seperti yang saya ungkapkan di atas
sih.
Gini
deh, untuk para musisi muda, iya terutama yang muda-muda. Mainkan terus musikmu
sajalah. Terus dan terus. Belajar dan kembangkan terus saja bakatmu, bikin
bandmu makin asyik. Band asyik, pasti bakal dapat penonton. Kalau sudah dapat
banyak fans, jalan terbuka untuk lebih jalan lagi. Tampil dimana-mana, band
nge-jazz ga bisa tampil di festival jazz, ah jangan jadi problem. Sapa tau bisa
dapat menarik perhatian sponsor, sehingga dapat kesempatan tur? Begitu juga
yang nge-rock.
Cukup
sekian dan terima...jadi!Long live Rock and Jazz Indonesia... /*
No comments:
Post a Comment