Friday, March 25, 2016

Bedanya Rock dan Jazz di Indonesia Saat Ini....



Sering banget dulu mendengar celoteh teman-teman. Kalau jazz mah enak ya,festivalnya gede dan banyak.Rock susahlah, blues juga komunitasnya kecil. Jazz itu kayak borrju, rock itu kayak .. Rock itu “proletar”. Memangnya anggapan itu benar?
Saya coba sodorin beberapa hal nih.  Iseng aja bikin corat-coret. Antara Jazz dan Rock dewasa ini di tanah air kita.  Kayak gini nih catatan saya. Catatan rapi atau corat-coret sih? Corat-coret dululah, lalu dirapihin, jadinya kan catatan? Gitu aja kok repot....

R O C K

Rock festivalnya sedikit? Ga juga. Bertambah terus kok. Beberapa kota sekarang puya pentas rock berskala festival. Kecil kan? Ga juga. Ada yang terbilang relatif besar. Ga usah dijabarkan detil, anda semua pasti tahu. Rock fans pasti akan mudah mnyebutnya.
Hammersonic, Bandung Berisik, Rock in Solo, Rock in Celebes, Hellprint, menyebut sedikit saja di antaranya. Panggung rock, besar, multi-stage, puluhan performers, udara terbuka. Lahan lebar terbuka, memungkinkan pulha ribu rock-fans menjubeli pentas-pentas berkonsep a la festival itu. Festival ya, yang berkonotasi “murni”. Yaitu sajian rock performers macam-macam, bukan ajang kompetitif. Pesta sajalah gitu.
5-6 tahun terakhir, terus bertambah jumlahnya. Tentu iklim rock jadi lebih hangat. Ruang pun makin terbuka, untuk memotivasi band-band rock muncul. Arena-arenanya ada kan, sayang aja kalau tak dimanfaatkan? Kesempatan jadi terbuka.
Belum lagi gigs di kafe, yang juga terus bertambah. Tak hanya program-programnya saja, tapi juga tempat-tempatnya. Kafe-kafe sebagai venue untuk regular-gigs juga bermunculan, terutama di kota-kota besar. Lebih khususnya Jakarta.

Menarik diamati, kalau rock dihidangkan, murni rock kayaknya. Gini,performers nya itu banyak banget.Tua-muda, “besar-kecil”, senior-junior. Bayangin aja, God Bless yang sudah 42-an tahun saja masih eksis? Tiap tahun terus lahir band-band baru. Pilihannya begitu banyaknya. Fans termasuk loyal, fanatik dan laten.
Alhasil hidangan rock, baik program berbentuk regular gigs di kafe ataupun skala festival yang besar di lapangan terbuka, ya pede abis jack, untukmenampilkan para “real-rock” performers.Mau yang hard rock, heavy metal, grunge, death metal sampai menyenggol blues rock, dan pelbagai turunannya.
Dan grup-grup rock itu berdatngan dari mana-mana, dari segala penjuru Nusantara raya ini deh. Ga hanya didominasi sebatas Jakarta dan Bandung atau dengan Yogya dan Surabaya saja saat ini. Dari mana-mana, bermunculanlah rock-band yang penuh semangat, dengan cita-cita besarnya masing-masing.
So, jumlah sudah relatif banyak, hebatnya masing-masing juga punya massa tersendiri, maka rock ga begitu butuh “pemanis”. Ga perlu yang namanya, “nama-nama yang berpotensi menjadi magnet penonton”, atawa “nama-nama populer untuk jualan.”
Tak perlu memanfaatkan nama-nama tertentu, yang danggap lebih “light”, lebih dikenal luas, lebih populer, untuk “disuruh” lebih ngerock. Biar bisa ditampilin, dan akibatnya bisa memancing lebih banyak penonton. Apaan lagi yang kudu dipancing, penonton seberapa banyak lagi yang mau dipancing datang?
Rock akhirnya menjadi murni kebisingan, kekerasan, kehangatannya. Orisinal, asli ga luntur. Tak pakai ragu-ragu. Tak usah pikir-pikir banyak lagi. Penontonnya ga pernah kering kok. Selalu banyak aja penntonnya. Beneran?
Gelagatnya begitu Ah sudahlah, ga perlu pake gelagat segala. Kenyataan sudah membuktikan. Sementara asyiknya, harga tiket juga kayaknya bisa kok untuk, ga “murah-murah amat”. Soalnya sebelumnya kan, rock fans sebagai penonton festival itu, kadung dianggap berkantong terbatas ya. Jual mahal dikit, penonton males dateng. Tar ga bisa beli rokok! Datang, tapi nongkrong aja di sekitar pintu masuk. Menanti harap-harap cemas, pintu bakal dibuka lebar-lebar nanti.

Penuh harap, bisa nonton gretongan, dan panityanya bermurah hati banget.  Panityanya kekeuh-surekeuh, pasang tiket rada mahalan, siap-siap aja...kita jebol aja pintunya. Pokoknya kita harus nonton rock, biar kata duit mepet. Perilaku gitu, perlahan mulai “memudar”. Bagus dong? Mudah-mudahan bener-bener begitu sih. Sehat jadinya tontonannya....
Yang ada kasus berbeda. Ok tidak menonton gratisan sih, tapi mau menonton, kumpulin komunitas. Ada pulhan, syukur-syukur bisa ratusan. Kontak panitya, dan minta harga tiket khusus, diskon spesial. Atas nama komunitas nih. Kita pengen nonton atawa kita harus nonton. Minta harga khusus dong! Nah terserah panitya, atau promotor atau event-organizer, bisa memakluminya ga, dan bisa kasih diskon berapa?

Selama ini,kelemahan agak miris pada event rock adalah, sisi show-productionnya kurang “dianggap” secara maksimal. Perhatian itu, masih “terbatas”. Sebatas, yang penting ada tontonan festival, lebih dari 1 panggung, lebih banyak panggung, lebih bagus. Sound system,backlines atau lighting, piye cak? Itu nomer berikutnya saja. Yang penting stagenya lebih dari 1 atau 2 deh.
Alhasil, tontonan menjadi kurang sempurna bangetlah. Sound dan backlines di-nomerdua-in, lighting juga ga terlalu penting-penting banget, pasti agak mengurangi kenikmatan. Khittahnya konser, kelas festival sekalipun, ya harusnya “mendekati sempurna” untuk enak ditangkap mata, sedap disantap telinga. Sound okeh, lighting juga okeh. Hati penontonpun akan senang. Walau tak punya uang? Kalau ga punya uang, gimana bisa nonton, bray?

Rock itu kan tontonan lakik banget! Maka ya ga terlalu banyak sponsor mau mendukungnya. Anggapan itu, perlahan mulai rada luntur sih. Banyak kok cewek-cewek manis, yang sekarang doyan rock. Cewek-cewek bening, wangi-wangi, bersih, makin banyak yang berani nonton rock sekarang. Wangi dan bersih, tapi nontonnya outdoor? Yang penting kan, waktu datangnya, bersih-bersih? Kalau udah bubaran, jadi kusut dan bau debu, ya resikolaaaah.....
Cewek-cewek yang suka rock, juga mulai ga ragu mendatangi venue kayak cafe gitu, untuk lihat tontonan musik rock. Katanya, cewek-cewek tuh banyak yang “halus-halus” gitu, tapi doyan “bad-boys”! Badboys means...rockers! Hahaha, jaman sekarang tuh ya, rocker soleh juga makin banyak. Ga semua juga badboys kok. Rambut gondrong en penuh tato, ga bisa dong identik dengan rebel,bad-things, anarkis, kasar? Gondrong, bertato pulak, tapi sopan-sopan, juga banyak sekarang. Sopan tapi playboy? Ah, gw ga ikut-ikutanlah....

Catatan lain, kalau yang berjenis “metal-metal”an kesannya lebih aman. Untuk jenis yang juga ngerock, apaya,eh iya blues deh misalnya.Sekali dibikin, antusiasme publik sih ada. Lumayanlah. Tapi edisi-edisi berikutnya, terlihat menuyurut. Ga tau kenapa. Padahal ad dukungan sponsor. Saya pikir, salah satu alasan adalah terbatasnya performers.
Blues lumayan naik ketika Gugun Blues Shelter menjadi makin populer. Trio itu bisa jadi kayak lokomotif gitu ya. Menjadi ikon blues buat anak-anak muda. Tapi kalau hanya GBS terus, memang repot juga. Orang-orang bisa berpikir, nonton GBS mah nanti aja di kafe, jagain gig GBS aja. Ga harus lihat di festival.

Termasuk ya juga tontonan di kafe. Sekali lagi, masalah utama rasanya karena terbatasnya band atau penyanyi blues. Sementara kalau omongin gig, event di kafe kan ya sejauh ini, relatif jarang. Masih bisa dihitung dengan jarilah gitu...
Rock lainnya, apaan lagi? Prog rock misalnya? Masih terbilang sporadis. Ada sedikit pergerakan diupayakan oleh komunitas bertajuk, IPS, Indonesian Progressie Society. Tapi masih harus berjuang. Perlu ditingkatkan frekwensinya, sekaligus memancing lahirnya lebih banyak grup-grup muda. Bagaimana memancing anak-anak muda jaman sekarang, yang doyan ngeband, pengen  jadi musisi, ya mau mainin prog-rock.
Menghidupkan musik-musik tertentu di kalangan anak muda sekarang, itu penting banget. Supaya nanti tak berjarak, kalau mau mengundang datang penonton muda. Sementara kan, kalau buat saya, lebih banyak grup-grup muda dan apalagi penonton muda yang datang, itu tanda-tanda positif. Bahwa proses regenerasi berlangsung dengan baik, menjamin keberlangsungan hidup musik itu sendiri.
Well itulah situasi dan kondisi pentas rock jaman sekarang. Karena penontonnya ada, setia-setia lagi, makanya acara-acaranyapun terus bertambah. Bikin acara,tapi penontonnya susah, kan ya bisa nyungsep-sep dong organizernya. Yang ada malah cepet jera, kawatir dan emoh bikin tontonan rock lagi....


  
J A Z Z

Gimana dengan jazz? Relatif jauh lebih baik dong? Kan festivalnya banyak? Dimana-mana ada, udah kayak kalender.... Amerika sebagai “pusat”nya jazz aja ga punya festival sebanyak di Indonesia sini. Hebat memang. Tapi benerankah sikonnya jauh lebih baik?
Tunggu dulu jack. Oho, sekilas sih iya. Coba kita telisik lebih jauh ya. Mulai dari mana nih enaknya? Musisi, grup musik, penyanyinya? Yang muda-muda bertumbuhan dengan lumayan subur. Situasinya mengingatkan dengan keadaan di era 1980-an, waktu dimana jazz dianggap menjadi salah satu trend yang ada.
Tapi, saat ini, malah lebih banyak dan lebih bergairah sebenarnya. Begitu pernah diutarakan Indra Lesmana. Sikonnya lebih menyenangkan sih. Tapi seberapa banyak dari para bakat muda tersebut, yang bisa diandalkan untuk mendatangkan penonton?


Festival jazz memang tumbuh diman-mana. Apakah lantas berarti itu menjadi “ladang yang menjanjikan” untuk para jazzer, baik yang senior maupun yang muda-muda? Aduh, sayangnya ga tuh. Dunia jazz inilah yang memberlakukan, talent-talent tertentu yang menjadi magnet untuk mendatangkan lebih banyak penonton.
Runyamnya adalah, talent-talent yang dipercaya jadimagnet itu, bukanlah penyanyi atau grup jazz. Apalagi musisi. Nah apalagi, ini menyangkutyang senior-senior... Sponsor yang lantas memberlakukan “ketentuan” itu. Acara boleh bertajuk jazz, nama keren dengan jazz-jazzan. Apakah talentnya nge-jazz?
Satu sponsor pernah kepengen membuat ur jazz ke kota-kota besar di luar Jawa. Sponsor itu punya duit, punya ide, kontak organizer. Lalu talent listpun keluar. Talent yang mereka inginkan. 90% bukan jazz. Semua nama pop! Apesnya,ada 1 nama yang relatif ngejazz, dan menejemennya neka-neko. Selesai sudah! Ya tur itu jalan, dan ya tetap bernama jazz. Tapi performers nya pop.

Pop? Tapi tunggu, nyanyi mereka ngejazz lho. Pakai improvisasi gitu? Saya pikir, mereka mencoba menjadi penyanyi jazz. Mencoba ya. Mereka kebanyakan dibilang sebagai penyanyi RnB sebetulnya. RnB atau jazz sih? Masalahnya, kalau di sini, yang ngejazz dan yang RnB udah “berbaur”. Tapi sebagian besar diantaranya menariknya nih, malu-malu dibilang penyanyi jazz. Ya memang mereka aslinya penyanyi pop.
Tapi, penyanyi pop yang seneng-seneng aja menerima job untuk mengisi acara jazz. Salahkah mereka? Sponsor juga berkilah, mereka-mereka itu juga main kok di festival. Festival mana? Java Jazz Festival! Nah. Jadi karena itulah, mereka lantas jadi penyanyi “jazz”.
Padahal? Pop lah. Kekenesan, rupawan, kostum, lagak-lagu, pop banget. Vokal? Kan sudah diupayakan, dengan “meliak-liuk” seolah berimprovisasi itu. Java Jazz Festival (JJF) aja menerima mereka. Meletakkan mereka di panggung-panggung utama pula! Sah kan?
Penyanyi pop, penting betul dengan rupa, kostum. Bedalah. Ga begitu “sempurna” di rupa, maka memilih memakai kostum yang “lebih irit bahan”. Kalau perlu mencontoh sekalian, penyanyi-penyanyi...apa ya, kulih hitam yang populer dan...dianggap, RnB. Toh gaya menyanyi, menurut mereka mungkin ya, udah ga beda-beda jauhlah. Mereka juga kan pandai dalam “meliak-liukkan” suaranya.


Eh bentar, iya tapi kan RnB? Bukan jazz lho. Mungkin mereka akan dengan santainya bilang, JJF kan ga minta saya harus jadi penyanyi jazz dulu biar bisa tampil di situ.....
Eh ga semua. Ada kok penyanyi-penyanyi kita yang muda-muda, yang nge-jazz. Berusaha sih ya, tapi hasilnya lumayan memuaskan. Masalahnya, masih lebih banyak yang, tetap ngepop saja. Cuma kadung dinilai, pas jadi magnet itulah. Ga ada mereka? Bahkan Java Jazz Festival pun terkesan takut ga bisa mengundang banyak penonton, apalagi festival-festival jazz yang relatif lebih kecil?
Festival-festival lebih kecil, berharap pada sponsor, untuk keberlangsungan hidupnya. Dan begitulah coy, sponsor maunya festival itu disusupi nama-nama yang diyakini bisa menjadi magnet. Jazz atau bukan jazz, itu kan bisa saja di”olah”. Dan nama-nama magnet itupun alhasil, sukses menyita porsi para jazzer beneran. Yang muda-muda, apalagi yang senior.
Ada kok, musisi yang relatif muda ya, yang pelan tapi pasti mulai dikenal juga. Tetap “nge-jazz” tapi mulai lebih populer. Tertentu sih, ga banyak. Mereka itu sudah berhasil memperoleh tingkat “apresiasi” lumayan dari penyelenggara festival. Termasuk sekelas JJF. Mulai juga ada, satu dua musisi muda mulai sedikit “lupa diri”. Biasalah itu...
Tapi yang harus mereka ingat, sebagian dari mereka itu bisa sukses mendapatkan fee bagus, yang di atas para musisi (jazz) lebih senior. Yang lebih dulu bermain dibanding mereka. Yang jangan-jangan, guru mereka? Itu kan tergantung rejeki juga dong?
Yang jadi masalah,ada juga yang anak-anak muda, begitu mudahnya memperoleh kesempatan main di JJF. Walau tiap tahun, nyaris tak berubah banyak. Serunya, mereka ga “jazz-jazz amat”. Ada lho, grup yang sebenarnya nge-poplah. Tapi selalu dapat kesempatan.

Padahal, pernah ada info, organizer dari JJF mensyaratkan setiap performers, sebaiknya terus kreatif supaya bisa mendapat kesempatan main terus tiap tahun. Katanya mereka lebih suka, untuk tak tiap tahun main, sehingga bisa memberi kesempatan kepada musisi atau grup band yang lainnya. Kenyataannya?
Musisi atau grup lain itu, apalagi yang relatif lebih senior, tetap tak mudah memperoleh kesempatan. Aturan berlaku bisa tegas kepada mereka, kan tahun lalu sudah. Atau, kan dua tahun lalu dan tahun lalu sudah, nah tahun ini giliran kesempatan buat yang lain ya? Diskriminasi deh yang terjadi.... Ada faktor like and dislike nih? Faktor, “kenal dan tak kenal”?
Ah sudahlah itu “hak prerogatif” mereka. Berbagai aspek yang pasti jadi pertimbangan. Ada yang bisa mudah mendapat kesempatan, walau sudah sering tampil. Ada juga yang sulit. Apalagi, musisi yang relatif lebih senior,misal dari generasi 80-90an. Apalagi yang generasi 70-an. Ya kalaupun dapat kesempatan kan, fee-nyapun terbatas. Kalau minta “disesuaikan”, ti-ati aje, bisa-bisa ga jadi dapat kesempatan itu....

JJF memang sudah mendunia. Target pencapaiannya memang sudah “worldwide”. Klaimnyapun tak main-main, festival jazz terbesar di dunia saat ini. Eh bukan lagi, salah satu yang terbesar lho. Skala internasional, so sah-sah saja punya persyaratan tak mudah untuk bisa tampil di situ.
Jadi, lebih mengutamakan yang internasional, dari luar negeri? Yang lokal-lokal, hanya yang muda-muda, itupun juga “selektif”? Kelihatannya begitu sih. Hanya merekalah yang tahu. Apesnya, JJF kadung jadi “barometer” festival jazz di Indonesia.
Festival-festival lain lebih suka memilih menjadi “followers” JJF. Apa yang ditampilkan JJF, ya mereka tampilkan di festival masing-masing. Termasuk pada talent performers-nya. JJF saja menerima mereka, kenapa mereka tidak? Dan akhirnya?
Akhirnya kan kelihatan, justru JJF dan festival-festival itu malah jadi berjarak dari para jazzer. Jelasnya, mereka jazzer tapi susah mempunyai perasaan “memiliki”. Awalnya bangga juga Indonesia punya festival jazz akbar, tapi lantas mereka malah berjarak. Mereka kerapkali, hanya jadi penonton saja.

Nah inilah bedanya dengan Jakjazz, festival jazz besar yang duluan ada. Almarhum Ireng Maulana, masih berusaha “memikirkan” talent yang akan main di Jakjazz, perihal “jazz atau tidak jazz”. Pernah berbincang dengan almarhum, soal talent itu.Ngobrolin, kenapa si A kok ga main, kok si B ga ada oom? Saya ingat jawabnya, agak hati-hati, ooh iya mereka ya, tapi mereka itu jazz bukan ya? Kalau bukan jazz, saya harus hati-hati, nanti diprotes teman-teman musisilain, juga penonton....
Saat almarhum Ireng Maulana akhirnya “mengundang” alm. Harry Roesli & DKSBnya memeriahkan Jakjazz 1996 pun, itu dilakukannya hati-hati. Ia pertimbangkan betul. Ia mengajak dulu ketemu “komandan”nya itu, ngomongin konten musiknya DKSB tersebut. Hal ini pernah diceritakan oleh almarhum Harry Roesli kepada saya.
Mas Harry bercerita, ia tahu kok, diundang main karena mengkritik Jakjazz di tahun sebelumnya. Tapi ternyata, sebelumnya Ireng itu mengajak diskusi dulu, mau tahu konten yang saya siapkan untuk Jakjazz. Akhirnya Harry & DKSB “aman” main di Jakjazz, setelah tema Jakjazz tahun itu memang mengutamakan musik ethnic, terutama etnik Nusantara. DKSB muncul dengan mengandalkan bedug-jepun saat itu, yang mengandung unsur tradisi juga....

Apresiasi seorang Ireng Maulana, terhadap teman-teman musisi jazz memang baik. Toh kenyatannya, kelihatan jadi “terlalu idealis”. Lalu, lihat sekarang kan, susah untuk diteruskan? Kenyataan itu memang sulit untuk dibahas lebih lanjut lagi. Jadi, kalau “terlalu nge-jazz”, mana bisa laku? Masalah utamanya, kan ada title jazz di situ....
Festival jazz besar di luar juga ada yang sangat terbuka. Montreaux Jazz Festival misalnya, atau beberapalainnya. DeepPurple, bahkan Alice Cooper saja bisa main. Tapi masih lebih banyak festival yang ternyata memang lebih mengutamakan jazz. So, konsepnya jadi beda dong, JJF dan Jakjazz? Targetnya sih yang mungkin saja berbeda. JJF ingin menjadi festival akbar yang lebih mengutamakan unsur “festive”-nya. Jazz nya ada, tetap banyak, tapi lebih untuk yang internasional. Lokalnya terbatas. Jakjazz, ingin menjadi sebuah pesta jazz, jazz beneran. Akhirnya, ga ada yang salah, ga ada juga yang benar sih. Susah diperdebatkan lebih jauh dong. Soalnya niatnya memang mungkin sudah beda.
JJF makin menjadi industri. Makin ketat dalam menyaring talent-talent lokal. Mungkin memang berkeinginan menjadi “etalase” musisi internasional, dari berbagai negara, untuk menunjukkan kemampuannya. Ditonton oleh publik sini, jadi bahan untuk memperluas wawasan dan pengetahuan akan jazz. Eits, tapi memang banyak penonton datang ke JJF untuk....nonton jazz?

Itu untuk festival. Jadi, bisa dilihat kan ya persoalannya apa? Kalau untuk event di kafe-kafe, tak terlalu ngepop. Ya selain, event model tur yang didanai sponsor, seperti yang saya tulis di atas. Event jazz reguler itu, pada perjalanan kemudian akhirnya punya persoalan lain, sponsor susah untuk diajak kerjasama. Sponsor nampaknya, tak terlalu peduli memang sih, jazz atau bukan.
Buat sponsor, sederhana kok. Potensi acaranya, bisa rame ga. Seberapa rame? Kalau rame, kita dukung. Kalau ga rame, mau ga kita rame-in, kita masukkin talent-talent ini deh. Mereka kan pop, bukan jazz? Ya gini deh, mau rame ga, mau kita bantu ga?
Tapi walau masih “bleeding”, beberapa event reguler, terus dijalankan. Bisa menjadi salah satu “sel-sel aktif” yang menghidupkan dunia jazz kita. At least, bisa menjadi wadah untuk munculnya musisi, penyanyi dan grup muda jazz kan? Syukur-syukur sukses, lalu bisa mengumpulkan banyak penggemar. Modal bagus banget, buat memperkuat posisi tawar ke festival-festival, terutama terhadap JJF. Untuk dapat kesempatan main, dan dengan nilai fee yang “menyenangkan”lah gitu.
Kalau soal acaranya itu sendiri ya Insya Allah bisa punya stamina bagus. Bisa bertahan lama dan menjadi panggung untuk para musisi menambah jam terbang, sekaligus ya itu tadi, menambah penggemar. Insya Allah bertahan...

Ya itulah peta permusikan kita. Salah dan tidak salah. Pop akhirnya “lebih diandalkan” oleh event festival jazz. Alhasil jazz menjadi “kabur” nih akan bentuk sebenarnya, terutama bagi publik. Atau membuat publik, akhirnya tak terlalu mementingkan, ini penyanyi ngejazz atau bukan, grup band ini ngejazz ga ya. Yang penting mereka eksis, datangin festival jazz, foto-foto, sebar di sosmed. Anak gaul, gaulnya aja di festival jazz!

Ternyata rock masih jauh lebih baik dong? Ya gimana ya. Kelihatannya gimana? Apa yang anda tangkap dan lihat dan rasakan? Jazz tak lebih baik dari rock dong? Situasi dan kondisi yang ada ekarang, ya kira-kira seperti yang saya ungkapkan di atas sih.
Gini deh, untuk para musisi muda, iya terutama yang muda-muda. Mainkan terus musikmu sajalah. Terus dan terus. Belajar dan kembangkan terus saja bakatmu, bikin bandmu makin asyik. Band asyik, pasti bakal dapat penonton. Kalau sudah dapat banyak fans, jalan terbuka untuk lebih jalan lagi. Tampil dimana-mana, band nge-jazz ga bisa tampil di festival jazz, ah jangan jadi problem. Sapa tau bisa dapat menarik perhatian sponsor, sehingga dapat kesempatan tur? Begitu juga yang nge-rock.
Cukup sekian dan terima...jadi!Long live Rock and Jazz Indonesia...  /*













No comments: