Ga
ada lagi musisi, gitaris jazz, “berumur”. Yang kalau bertemu, jabat tangan
erat, tertawa lebar. Dan saya tanya, sehat kan oom? Ooh iya dong, ya beginilah,
kan bisa ke sini. Ini seperti juga sang kakak, tapi sang kakak lebih “usil”,
selalu begitu ketemu, pasti ajak becanda.
Oom
Ireng Maulana. Nama lengkapnya, Eugene
Lodewijk Willem Maulana. Saya lupa, kapan kenal pertama kali dengannya.
Tapi rasanya seputaran 1980-an. Saat acara jazz, di kafe. Oom Ireng kan, dari
1970-an juga sudah bermain di kafe atau pub atau bar. Nge-jazz dari dulu.
Dengan gitar, antara lain gitar Gibson dengan berbagai seri, tapi kebanyakan
memakai “semi-hollow body”, model ES
175 atau ES 335, ES 355 dan yang sebangsanya. Atau, banjo. Ia memainkan banjo
mandolin, lantas pindah ke tenor banjo.
Nah,
oom Ireng Maulana ini memang dikenal lewat pelbagai hal. Salah satunya, bisalah
disebut, adalah dengan banjo dan dixie music atau ragtime. Ga ada yang memainkan banjo dengan apa yang disebut, akar
musik jazz itu, dixieland. Ya boleh
dibilang ga ada duanya, dan oom Ireng pun mempopulerkannya ke publik. Nama
Ireng Maulana mulai menjadi lebih populer memang dengan banjo dan muik dixie
itu.
Ia
membentuk Ireng Maulana All Stars,
menjelang akhir 1970-an. Formasi pertamanya adalah Ireng Maulana (gitar dan banjo), Ronny Isani (bass), Benny
Mustafa van Diest (drums), Hendra
Wijaya (piano/kibor), Benny
Likumahuwa (trombone), Maryono
(axophone) dan Karim Tess (trumpet).
Formasi itu sampai rekaman segala, dan senantiasa memang meramaikan
panggung-panggung jazz dimana-mana.
Meramaikan
dalam arti sesungguhnya, karena kan dixieland itu bertempo relatif cepat,
bersuasana riang. Apalagi lihat saja, dengan horn-section segala. Belum lagi, Hendra Wijaya disebut-sebut pianis
ragtime atau dixie yang paling pas, selain
Bubi Chen. So, Ireng Maulana All Stars itu relatif sukses.
Gitar Klasik
Sebelumnya
kan, Ireng Maulana bergabung dengan beberapa band. Diantaranya termasuk Indonesia Lima-nya Mus Mualim. Jadi pengisi tetap acara jazz di TVRI, selain main di
beberapa clubs juga, salah satunya,
Hotel Indonesia. Ia diajak masuk Indonesia Lima oleh Mus Mualim, setelah ikut
membentuk grup Eka Sapta.
Eka
Sapta itu bukan grup jazz, begitu keterangan Ireng Maulana sendiri, beberapa
tahun silam. Kita main lagu-lagu pop, tapi memang setelah itu, para musisinya
jadi musisi jazz. Apa karena bermain jazz, termasuk “forbidden”? Alias dilarang, karena masuk musik “ngak-ngik-ngok”? Karena, kemarin ini
Benny Mustafa van Diest bercerita, sebenarnya Indonesian All Stars itu, kan main di Jerman dan Eropa 1967. “Di
tahun 1965, kita pernah dikumpulkan dan diminta pemerintah waktu itu, untuk
tidak memainkan jazz.” Oooooh, dilarang Soekarno?
Menurut
oom Benny Mustafa, yang melarang sebenarnya bukan Soekarno. Setelah kita
selidiki dan cari tau, pelarangan itu adalah idenya DN Aidit. So, mungkinkah
ada korelasinya dengan Eka Sapta? Tapi seingat saya, oom Ireng pernah cerita,
untuk Eka Sapta, tidak fokus kemana-mana, tidak spesifik. Ya hanya jadi band
penghibur, mainin musik pop saja.
Ireng
Maulana perjalanannya memang panjang betul di musik. Ia berdarah Cirebon dan Sangir,
kelahiran Jakarta, 15 Juni 1944. Setelah karir di grup-grup musik di era
1960-an, ia lantas belajar gitar klasik. Dari wikipedia tertulis, ia belajar di
City Line Guitar Centre, USA. Dan
sepulangnya dari sana, ia tampil di festival gitar klasik. Yang lantas juga
menjadikannya sebagai koordinator guru gitar klasik di sekolah musik, YMI
(Yayasan Musik Indonesia).
Ireng
termasuk generasi terawal. Di tahun setelahnya muncul nama-nama gitaris klasik
lain, seperti Nelson Rumantir dan Michael Gan. Menurut Jubing Kristianto, gitaris solo “fingerstyle”, Oom Ireng pernah membuat
album gitar klasik solo, Pop in Guitar
di rilis tahun 1977. Album solo gitar akustik itu, dimulai oleh nama-nama
tersebut, begitu keterangan Jubing Kristianto, di salah satu status di akun
Facebook-nya.
Sebelumnya,
Ireng Maulana juga mengecap pendidikan musik di LPKJ (Lembaga Pendidikan
Kesenian Jakarta). LPKJ yang kampusnya di Taman Ismail Marzuki tersebut adalah,
cikal bakal dari IKJ (Institut Kesenian Jakarta). Selain itu, ia juga
memperdalam ilmu musik di beberapa sekolah musik lain seperti Peabody
Conservatorium of Music, Maryland, USA. Serta Koninklijk Conservatorium di Den
Haag, Belanda.
Sementara
kesenangannya akan jazz, nampaknya dimulai lewat kedekatannya dengan pamannya,
seorang bassis legendaris, Tjok Sinsoe.
Pamannya adalah musisi jazz yang memulai karir bermusiknya sejak akhir 1940-an.
Agency Musisi dan
Penyanyi
Jadi
lihat saja ya. Eka Sapta, lalu Gitar Klasik. Kemudian dixieland dengan Ireng
Maulana All Stars-nya. Ireng Maulana All Stars lantas diikuti dengan Ireng Maulana Associates. “Badan”
dengan nama associates ini, lebih ke
bentuk seperti “paguyuban musisi” yang dipimpin oleh Ireng Maulana. Salah satu
fungsinya adalah menjadi semacam agency
bagi, terutama, musisi dan penyanyi.
Di
era 1980-an, IRMA (Ireng Maulana Associates) mulai menjalankan fungsinya
sebagai agency tersebut. Dengan “menyalurkan” para musisi dan penyanyi, mengisi
slot entertainment programme di berbagai hotel berbintang
di Jakarta, selain kafe atau pub. Seperti antara lain The Jakarta Hilton (untuk
Taurus, Libra Ballroom di Executive Club-nya, atau Taman Sriwedari Restaurant
selain di Lobby Bar). Juga di Aryaduta Hyatt selain itu di Sabang Metropolitan
Hotel. Dan kafe-kafe atau pub lainnya.
Banyak
musisi yang “masuk” dan merasakan manfaat dari IRMA tersebut. Mereka banyak
yang terkesan seperti “ditolong”. Tak hanya soal mendapat kesempatan main,
mendapatkan pengalaman. Bahkan juga, memperoleh pemasukan secara rutin, untuk
biaya kost misalnya.
Saya
ingat betul, bahwa mengenai IRMA dan faedahnya itu, diceritakan oleh para
musisi sendiri. Sering saya diajak ikut “menonton” mereka main reguler, di
beberapa tempat. Bagaimana para musisi merintis karir bermusiknya. Termasuk
diajak juga mampir ke markas IRMA, di kawasan Bendungan Hilir, Jakarta. Tempat
itu tak pernah sepi dari kehadiran musisi, penyanyi, termasuk kru-kru band.
Menariknya,
yang banyak cerita malah para musisi dan penyanyi. Oom Ireng sendiri pernah
saya tanya soal IRMA-nya, menjawab hanya selintas dan senyum saja. Tak ada kesan
menyombongkan diri. Ia menempatkan diri “hanya” sebagai penolong saja, ya
penolong tempat-tempat yang membutuhkan hiburan musik itu. Juga tentunya,
menolong memberi kesempatan para musisi dan penyanyi untuk tampil.
Setelah
keberadaan IRMA yang makin berjalan lancar, jelang pertengahan 1980-an, Ireng
Maulana lantas mulai mengadakan pula acara Sunday
Jazz Club. Juga di beberapa tempat, macam kafe, pub bahkan diskotik, di
beberapa hotel berbintang. Orang-orang mungkin akan ingat Sunday Jazz Club di
Music Room, di Borobudur Intercontinental Hotel. Salah satunya saja ya.
Acara
diadakan di setiap Minggu siang, menampilkan grup-grup, musisi dan penyanyi
jazz tertentu. Selalu ada sesi untuk jam-session.
Belakangan juga dilengkapi dengan semacam informal
workshop, pemutaran film dan acara-acara penunjang lainnya. Ireng Mulana
langsung menjadi host-nya. Selain
selalu tampil juga dengan Ireng Maulana All Stars-nya. Nah kelompok musiknya
juga lantas mulai didukung banyak musisi lain, mereka mengisi bergantian.
Dari
IRMA,Sunday Jazz Clubs, lantas sering tampil di acara Friday Jazz Night di
Pasar Seni Ancol. Acara saban Jumat malam itu, pada sekitar pertengahan 1980-an
sampai awal 1990-an, menjadi salah satu acara penting bagi penggemar musik
(jazz) ibukota. Pernah mampu mengundang lebih dari 15.000-an penonton menjubeli
areal sekitar stage di tengah-tengah
Pasar Seni di Taman Impian Jaya Ancol. Rekor belasan ribu penonton itu terjadi
ketika grup-grup ternama main di situ, antara lain Krakatau, Karimata, Gold Guys (yang lantas menjadi
Wongemas), Bhaskara hingga Hydro Band.
Ireng
Maulana melihat bahwa acara di Pasar Seni tersebut, telah mampu membentuk
semacam “komunitas” penggemar jazz. Tak hanya penggemar, sebagai penonton, juga
para musisi, penyanyi dan grup band. Itulah salah satu alasan mengapa Jakjazz,
festival jazz internasional pertama di Jakarta itu, digelar di Ancol.
Publik
yang suka jazz, sudah cukup familiar dengan kawasan Ancol. Selain itu, menurut
Ireng Maulana, di Ancol ada areal yang lumayan luas dan bisa dipergunakan
sebagai venue untuk festival itu. Dan
Jakjazz pertama di 1988, lantas digelar di di Drive-In Theatre, Ancol (Teater Mobil satu-satunya di Indonesia).
Selain itu juga memanfaatkan Panggung Maksima di areal Dunia Fantasy.
Inspirasi
membuat festival jazz datang dari acara tahunan North Sea Jazz Festival di Den Haag. Seperti diketahui, mulai 1985,
setiap tahun ada grup jazz(y) Indonesia tampil di acara tersebut. Digagas dan
dimotori oleh Perhimpunan Jazz Indonesia,
dan Himpunan Penggemar Musik Jazz.
Sebenarnya ide membuat sebuah festival jazz itu, lumayan nekad juga.
Karena
sejatinya, Ireng Maulana memang musisi tulen. Seniman. Bukan pengusaha atau
pebisnis. Tak heran, ide penyelenggaraan festival jazz itu terasa nekad banget.
Duit yang cukup belum ada. Ditambah lagi, kita itu masih terbatas sebetulnya
dalam penyediaan sound system, backlines
dan lighting. Hal ini pernah
diceritakan oleh Rudy dari RAM dan
juga oleh Donny Hardono, sound-engineer kawakan yang kini
memiliki usaha DSS-Sound.
Festival Jazz
Terbesar di Asia
Rudy
RAM, dengan didukung Donny Hardono sebagai sound engineer saat itu, adalah pemasok
utama terutama untuk sound dan backlines. Kalau untuk acara besar di satu panggung,
mereka sudah mampu menyuplai peralatan sound dan seluruh alat musik yang
dibutuhkan. Tapi kalau untuk multi-stage,
sebenarnyalah belum mampu.
Alhasil,
ini cerita Donny Hardono pada beberapa tahun lalu, mereka harus pandai-pandai putar
otak. Berstrategi, mengatur waktu dan siasat, agar segala sesuatunya lancar.
Misal microphone kurang, jadi
microphone untuk grup A di stage B harus menunggu dulu dipakai performers di Stage A. Jadi terpaksa ada
keterlambatan. Lalu kenapa Stage A belum bunyi juga, padahal sudah harus main?
Ternyata karena, sound engineer-nya harus beres dulu dengan stage sebelumnya.
Ya, siasat begitulah yang dipakai. Kerja keras memang.
Tapi
mau tak mau,acara harus digelar. Pemerintah DKI Jaya juga sudah menyatakan
mendukung. Ireng Maulana mengupayakan musisi dan penyanyi internasional dari
berbagai negara, bisa ikut berpartisipasi.antara lain dengan jalan mengontak
kedutaan-kedutaan besar di Jakarta. Agar mereka bisa membantu, untuk
mengirimkan para jazernya.
Well,
kenekadan seorang Ireng Maulana ternyata membawa hasil positif. Indonesia
akhirnya mampu memiliki sebuah festival jazz besar. Kelas internasional pula.
Saat itu, Jakjazz bahkan menjadi festival jazz terbesar di Asia. Dan lantas
mejadi agenda tetap ibukota Jakarta. Jakjazz dijadikan kalender pariwisata
tetap. Pada awalnya, 3 tahun sekali. Lalu menjadi tiap 2 tahun sekali.
Pada
setiap penyelenggaraannya, Jakjazz memang senantiasa “diganggu” urusan finansial.
Ga mudah menyelenggarakan acara sebesar itu. Meminta dukungan sponsor saja,
benar-benar menuntut perjuangan. Ireng Maulana langsung turun tangan. dalam
urusan tersebut. Sisi positifnya, Ireng Maulana selalu berkeinginan lebih
banyak lagi musisi lokal yang bisa tampil.
Pada
waktu itu, oom Ireng sendiri memang mengatakan pada saya, Jakjazz itu arena
buat para musisi lokal. Tapi harus dilengkapi penampilan para jazzer luar
negeri, sehingga pas menjadi arena festival yang berkelas internasional. Sedari
awal, yang saya tahu, oom Ireng juga yang rajin mengkontak teman-teman musisi
untuk bisa tampil meramaikan Jakjazz-nya.
Menarik,
bahwa bayangkanlah sebuah festival yang dibuat, “semata-mata” karena idealisme.
Bukan karena ada duitnya. Bukan karena pemda, sudah ada alokasi dana untuk itu.
Jadi tak lantas “memakan” dana dalam APBD bahkan APBN segala. Ia tak
terpikirkan untuk lantas menggelar festival jazz di kota-kota lain. Ireng
Maulana fokus semata ke Jakjazz.
Ya
begitulah, tahun berganti tahun, era juga sudah berubah. Festival jazz ternyata
malah menjamur di seantero Nusantara di saat ini. Java Jazz Festival,
berkembang sangat cepat dan sekarang sudah tahun ke-11 penyelenggaraannya. Java
Jazz Festival bahkan meng-klaim sebagai festival jazz terbesar di dunia saat
ini. Indonesia kita sangatlah jazzy pada
masa sekarang...
Bagus
dong, itu pernah diucapkan oom Ireng satu saat. Ia hanya senyum dan memuji
bahwa sekarang banyak festival jazz. Kalau dananya ada, ya ga papa, ucap oom
Ireng. Padahal, Jakjazz-nya sendiri, tidak dibikin karena ada dana cukup.
Itulah makanya, bisa dibilang, oom Ireng itu nekad luar biasa dengan ide
Jakjazz itu.
Melihat
oom Ireng dengan Jakjazz-nya, dan banyak cerita seputar perjuangannya meggelar
rutin Jakjazz. Kesan saya,oom Ireng gigih saja berjuang mewujudkan “impian”nya
itu. Ada konsep, lalu perjuangkan. Ia berjuang, karena ia tahu apa yang harus
dilakukan, ia harus bagaimana dan kemana. Berani betul. Oom berani banget ya?
Ditanya begitu, oom Ireng hanya tersenyum lebar.
Satu
ketika, konsep Jakjazz dikritik beberapa kalangan. Salah satunya oleh Harry
Roesli. Harry Roesli menulis di salah satu harian terkemuka nasional. Oom Ireng
membaca,lantas menjumpai Harry Roesli. Dari pertemuan tersebut, hasil akhirnya,
Harry Roesli bersama DKSB-nya menjadi salah satu performers di Jakjazz 1997
(kalau ga salah ya....).
“Saya
terima kasih Harry Roesli mengkritik Jakjazz. Itu kritik membangun, nah lalu
saya ajak saja si Harry itu, tampil deh di Jakjazz. Untung dia mau. Selesai
kan? Harry doyan mengkritik, pemerintah saja dikritik. Tapi dia orang baik.
Ide-idenya bagus banget,” itu salah satu omongan Ireng Maulana jelang Jakjazz
1997 itu.
Masih
soal Jakjazz. Memang terlihat banget, terutama selepas 1997, Jakjazz itu sunggh
“kembang-kempis”. Yang saya tahu, pada Jakjazz 1997, sebenarnya Ireng Maulana
sudah didukung Peter Gontha. Sayang kerjasama itu berhenti hanya sampai di
situ. Tak berkelanjutan. Malah 8 tahun kemudian Peter Gontha membuat festival
jazz sendiri, ya Java Jazz Festival itu.
Jakjazz
sebenarya sudah beberapa kali ingin “diambil” orang-orang lain, misalnya promotor.
Malah promotor yang sejatinya sudah mengenal cukup dekat Ireng Maulana sendiri.
Ada yang mengatakan, ingin “membeli” Jakjazz. Kondisinya, ia dan organizernya
yang menjalankan sepenuhnya, juga mencari dana untuk penyelenggaraannya. “Ireng
tinggal duduk manis saja, lihat saja. Jakjazz kita jamin kontinuitasnya. Ireng
kita jadikan ikon penting Jakjazz, yang tak perlu lagi kerja.””
Itu
perkataan seorang promotor ke saya, sekitar awal 2000. Tapi, menurut sang
promotor, Ireng rupanya berat melepaskan Jakjazz. “Ireng masih mau kerja, masih
maunya ikutan capek. Susah juga. Tapi gw pahami, bahwa Jakjazz memang
idealismenya dia.”
Belakangan
Jakjazz jalan, dan akhirnya bekerjasama dengan pihak promotor, atau event organizer. Tetap dapat
berlangsung. Sebelum itu, Ireng Maulana masih sempat menjalankannya lagi. Dan
ia tetap konsisten, mengundang talent lokal. Lebih tepatnya, mengandalkan
talent lokal di Jakjazz. Ia memilih sendiri. Bahkan tak segan, langsung
mengontaknya. Pernah bahkan, ia langsung menemui talent tertentu itu.
Seorang
musisi bercerita, ia dikontak langsung Ireng Maulana. Dan kemudian di tahun berikutnya,
ia mendengar kabar akan ada Jakjazz lagi, ia yang inisiatif mengontak Ireng
Maulana. “Begitu ditelepon, oom Ireng langsung bilang, ada Jakjazz lagi nih,
main lagi ya.” Si musisi setuju, langsung menyambut ok. Tanpa menanyakan fee.
Sebelum
main, ia diminta mengurus pembayaran. Kebetulan ia meminta tolong kepada saya
untuk mengambil dan memegangnya dulu amplop berisi fee. Saya urus, langsung dapat, menyerahkannya ke teman musisi itu
untuk dia ketahui jumlah fee-nya. Si musisi kaget dan bilang, wah gw ga susah
untuk main di Jakjazz ya. Dibayarnyapun, tak bilang-bilang sebelumnya, malah
lebih besar dari Java Jazz Sementara teman musisi itu, hanya sempat tampil 2 x
di Java Jazz Festival.
Pada
tahun-tahun berikutnya, hingga tahun ini, ia selalu tak lagi bisa memperoleh
kesempatan tampil di Java Jazz tersebut. Ia musisi, dari era 1980-an.
Sebenarnya masih lumayan aktif bermain dimana-mana. Namun sulit untuk
memperoleh kesempatan tampil lagi di Java Jazz. Jadi susah banget ya untuk bisa
main di Java Jazz.... Java Jazz memang bukan Jakjazz. Begitu saja komentar
saya.
Memang
jadi ironis, Jakjazz makin tertatih-tatih, sementara Java Jazz Festival yang
belakangan, makin besar saja. Jakjazz makin “rumit”, Java Jazz terkesan makin
besar dan relatif lancar. Lancar dan kian pede mengutamakan artis penyanyi dan
musisi luar negeri? Memang begitulah, Java Jazz konsep dasarnya berbeda dengan
Jakjazz. Java Jazz kian tegas mengarah pada komersial dan “industri”. Jakjazz
mencoba bertahan dengan idealisme... Lalu bagaimana kelanjutan Jakjazz jadinya?
Ketika
berjalan dengan Jakjazz, Ireng Maulana juga dikenal degan rekaman. Ia
menghasilkan rekaman jazz, dengan Ireng Maulana All Starsnya itu, yang bercorak
dixieland. Selain itu, ia menghasilkan rekaman bossas, dari kata bossanova.
Jenis musik Brazillian Latin, yang dipopulerkan Antonio arlos Jobim dan Astrud
Gilberto sampai Stan Getz ini. Dimulai dengan rekaman album Guitar Bossa, dirilis 1983. Menampilkan
duet kakak-beradik, Ireng dan Kiboud Maulana.
Selain
album itu, ia membuat rekaman musik bossanova, diberi titel Bossanova
Indonesia. Untuk banyak penyanyi, antara lain Rafika Duri, Margie Segers,
Harvey Malaiholo, lalu juga duet Harvey Malaiholo dan Andi Meriem Matalatta.
Rekaman
album pertama Ireng Maulana adalah, Semua
Bisa Bilang, dirilis Hidayat pada tahun 1974. Kemudian beberapa album lain
bersama Margie Segers seperti Jazz Vocal
Indonesia (1 & 2), Jazz.
Dengan Ermy Kulit, menghasilkan album Jazzy
Dixie di tahun 1982. Kemudian disusul berikutnya, Bossas (1983), Cintaku Abadi
(1984), Walau Dalam Mimpi (1985).
Menyelip
album bertitel Jazz Tempo Doloe,
yang bercorak dixie, dirilis Sumber Ria pada 1982. Pada era 2000-an akhir,
Ireng Maulana memperoleh kontrak rekaman jazz, dengan sebuah recording label. Saya dengar, pada satu
kurun waktu, Ireng Maulana harus menyelesaikan 12 album. Rekaman itu dibuat
untuk konsumsi publik penggemar jazz “spesial”. Format rekaman dijual dalam bentuk
rekaman eksklusif, dengan tehnologi output
rekaman mutakhir. Musiknya juga tak lagi bossas, tapi ke jazzy atau light-jazz.
Ia
perhatian ke rekan-rekan sejawat. Bentuk perhatiannya “beda”. Maksudnya gini,
ia memang penuh senyum. Selalu terkesan optimis. Tapi ke “dalam”, terutama ke
band-nya, Ireng Maulana dikenal juga disiplin dan tegas. Berapa kali terjadi,
musisi grupnya yang datang terlambat, kena “semprot”. Bahkan ada yang terlambat
datang, langsung disuruh pulang saat itu juga!
Grupnya,
Ireng Maulana All Stars, di hari-hari terakhirnya memang sudah berganti-ganti
pemain pendukungnya. Apalagi ketika satu persatu musisinya meninggal dunia.
Seperti Hendra Wijaya, Ronny Isani, Karim Tess, Maryono. Belakangan ini grup
tersebut antara lain didukung AS. Mates, Rudy Subekti, Didiek SSS dan musisi lain.
Demikian pula penyanyinya, bergantian dari yang senior hingga yang muda. Dari
Margie Segers, Ermy Kulit, ke Kemala Ayu, Andrea Maulana sampai Sherly’O dan
lainnya.
Dalam
Jakjazz juga begitu. Oom Ireng tak segan untuk memarahi, untuk membetulkan yang
kelihatannya keliru atau salah. Menurut putranya, Tommy, ayahnya biasanya akan
lebih “mudah” memarahi orang yang justru sudah dikenal dekat. Ayahnya, tambah
Tommy, lumayan perfeksionis. Dan terbiasa, turun tangan langsung.
Buat
saya, putra dari pasangan Max Maulana (gitaris) dan Georgiana Sinsoe (penyanyi
yang juga pianis) ini, memang tipikal musisi yang “pekerja keras”. Lihat saja,
ia tetap aktif tampil bermain musik. Antara lain di salah satu mall besar di
kawasan selatan Jakarta. Ia, dengan grupnya, sudah belasan tahun bermain di
mall tersebut. Satu ketika saya pernah iseng tanya, “Oom ga capek main juga di
sini?” Ia lagi-lagi hanya senyum dan bilang, saya bertanggung jawab. “Mereka di
sini minta saya yang main, perpanjang kontrak terus. Saya memahami dan mengerti
hal itu. Saya harus konsekwen, ya tampil terus di sini. Capek? Ya ga, kan
musisi ya harus bermain musik...”
Dan
sampailah saat terakhirya. Ia bermain dulu di mall tersebut. Lalu walau sudah
terlihat kurang sehat, masih memaksakan diri untuk bisa muncul di sebuah kafe,
di sebuah mall di kawasan jalan Sudirman. Menurut informasi, grupnya, baru
pertama kali main di tempat itu. Dan saat itu, ada drummer muda yang baru
pertama kali main dengan Ireng Maulana. Itu jadi permainan pertama dan terakhir
buat muridku itu bersama oom Ireng, begitu kata Eddy Syakroni, drummer.
Ada
banyak sekali catatan tentang oom Ireng Maulana ini. Rekan-rekan musisi,
apalagi musisi yang sudah mulai “beredar” sejak 1970-1980an pastilah mempunyai lebih
banyak kenangan lagi bersama beliau. Pejuang jazz, yang pekerjakeras itu, telah
pergi. Sebuah kehilangan yang sangat berarti,tak hanya buat keluarga, tapi juga
bahkan bagi dunia musik jazz Indonesia.
Semoga
spiritnya tetap tumbuh terus. Terpelihara di para musisi jazz Indonesia. Selmat
jalan oom Ireng Maulana, salam hormat buat oom Kiboud Maulana ya.... Tuhan
berkehendak oom Ireng harus beristirahat dan pulang ke rumahNYA. /*
No comments:
Post a Comment