Thursday, March 3, 2016

Her Name is DIAS



Jazz or not Jazz?
Guru vokal, yang terbilang memang “vokal” itu lantas bilang, mungkin ini adalah langkah awal. Ia punya sentuhan jazz yang relatif berasa, pada warna suara. Juga pada taste-ya. Tapi sebagai pengarah vokal, ia enggan untuk buru-buru mengarahkan muridnya ini ke satu warna musik saja.
“Saya mendengar, merasakan, warna vokalnya memang cenderung ke jazz. Blue tonality nya terasa. Tapi biarlah ia berproses, mengenal lebih banyak musik. Mengalami proses itu dengan baik. Maka ia juga diberikan musikyang lebih variatif, ada reggae, ada yang lebih upbeat, bernuansa rock,”papar sang guru, Otti Jamalus namanya.
Pertemuan mereka, sang guru dan anak didiknya, sebenarnya hanyalah sesaat saja. Pada 2 tahun lalu, ia bertemu saya, belajar vokal hanya di saat ia libur pulang ke Jakarta. Kemudian, cerita Otti lagi, mereka mencoba workshop beberapa lagu yang ditulis si calon penyanyi sendiri. Berikutnya,”Ya proses rekaman. Dicoba sih. Dilakukan live, ketika ia bisa ke Jakarta. Jadi, ketika ia datang, musiknya sebagian sudah saya buatkan bersama Yance”
Yance Manusama, bassis kawakan yang adalah suami Otti Jamalus, mengemas musik dengan menyesuaikan pada suara si calon penyanyi tersebut. Dibikin juga sesuai dengan selera dia. Intinya, musiknya keluar, terbentukkarena diskusi degan dia juga. “Misal memahami dulu, maksud lagu ini, bercerita tentang apa,” terang Yance.
Menurut Otti maupun Yance, sudah dibuat sekitar 8 lagu. Tapi akhirnya, diputuskan untuk melepaskan dulu single. Proses untuk menyelesaikan album tetap diteruskan, kemungkinan dalam beberapa bulan ke depan albumnya sudah bisa diselesaikan. “Single dulu, disesuaikan dengan waktu yang tersedia. Kebetulan ia bisa pulang untuk waku sekitar seminggu, maka ia bisa melaunch singleini,”ucap Otti.

Saya Memang Menyukai Jazz

Ok, her name is Dias. Full name, Diastika Logesworo. Just 21 years old now. Dia kelahiran San Diego, 11 April 1994. Suaranya memang jazzy. Dan ia ketika ditanya, lagi mendengarkan siapa saat ini, mengaku lagi sering menyimak lagu-lagu dari Erykah Badu, Esperanza Spalding dan Corinne Bailey Rae.  “Sebelumnya, sejak lama, saya menyukai suara dan penampilan bintang lama seperti Ella Fitzgerald dan sampai Frans Sinatra.”
Saya memang menyukai jazz, atau yang agak jazz sejak dulu.”Kemudian saat ini, sejak beberapa tahun terakhir, mulai menyukai yang apa ya, lebih modern. Terutama pada musiknya. Dan itu akhirnya yang juga jadi inspirasi saya dalam pembuatan album saya,” jelas Dias. Kak Otti dan oom Yance, begitu ia memanggil kedua gurunya tersebut, memahami dan mengerti akan keinginan Dias. Mereka mengolah musiknya, mendekati dengan yang diinginkan Dias,”Yang jelas, harus sesuai dan pas dengan karakter suaranya itu,” terang Otti.
Lanjut Otti lagi, “Saya dan Yance juga memilih, bukan sekedar mengikuti keinginan Dias. Tapi memberi kenyamanan saja buat dia untuk menyanyi. Biar ia merasa enak untuk menyanyi. Suasana yang nyaman itu penting, sejauh ia memang menyanyi dengan baik.”
Lalu, lagu, ‘Fire’ lah yang dipilih sebagai debut single dari Diastika ini. Pada press-release tertulis bahwa Dias beralasan menulis lagu balada ini untuk mencerminkan emosinya, "Ada api di jalanan", begitu ujarnya. Api, sesuatu yang panas, berbahaya,
mematikan adalah kemarahan yang disebabkan oleh pria ini.
Jalan menjadi semiotika dari hidupnya. Ia merasa tidak bisa terus dengan hidupnya yang seperti ini, tidak bisa terus berjalan di jalan ini karena api dan kemarahan menghalangi.
Dirinya juga harus "mengakui kekalahan", memaafkan pria ini. Biarkan api mati dengan sendirinya, biarkan kemarahan memudar sehingga ia bisa berjalan di jalan ini lagi.
Pesan moral dari lagu yang diaransemen dengan indah oleh Otti Jamalus dan Yance Manusama ini adalah siapapun boleh saja merasa marah. Hal ini adalah sesuatu yang normal. Kemarahan adalah bagian dari sifat manusia. Kemarahan adalah wajar selama kita bisa memaafkan setelah itu. Merasa marah. Memaafkan. Memetik pelajaran. Move on! Begitulah yang diungkapkan dalam press release nya.

Modal suara bagus, taste juga bagus. Persoalan timbul, Diastika masih kuliah saat ini. Dia menutut ilmu di Southern California Insitute of Architecture. Tahun ini adalah tahun keempatnya. Insya Allah, tahun depan ia lulus. Ia menyukai seni, maka ia juga memilih dunia arsitektur, yang dianggapnya juga seperti seni. Membangun sesuatu gedung, dengan ada perhitungan tehnis tertentu yang presisi, juga seni. Menuntut rasa juga.
Ia mengatakan, dengan telah rilisnya single perdananya, ia memang berkomitmen untuk serius pula di musik. Ia mencoba menyiasati waktu
Kuliahnya terbilang lumayan sibuk, apalagi ia masuk di sebuah sekolah terpandang di dunia arsitektur. Tapi, Diastika yang belum lama ini sukses masuk Top-10 ASCA (Association of Collegiate Schools of Architecture) Awards, mau tak mau harus bisa menyediakan waktu untuk musik. Oh ya awarding tersebut adalah penghargaan untuk para arsitek muda. Salah satu pembuktian keseriusannya pula, tentunya kan?
Ia berencana pada Mei mendatang, dapat kembali pulang ke tanah air. Antara lain untuk menuntaskan proses rekaman album, selain melakukan kelanjutan promosi single-nya. Ia berkeinginan untuk dapat banyak kesempatan tampil live di panggung.
Dias, tentunya adalah brand new name yang punya potensi. Ia membuktikannya kemarin lewat membawakan 3 lagu, saat launching single-nya di iCanSudioLive. Didukung langsung oleh Otti Jamalus dengan kibor dan piano. Yance Manusama pada bass. Tiyo Alibasjah (electric guitar) dan Deska Anugrah (drums). Dengan 4 pemain tiup dan 3 orang backing-vocals.
  
Intermezzo, Mengenai Penyanyi-Penyanyi Jazz

Terlihat dan terasa, ia telah siap meramaikan panggung musik. Serunya, Dias tampil di ranah musik jazzy, atau ke jazz-jazz an, yang belakangan makin ramai saja. Terus lahir penyanyi-penyanyi baru, dengan berbagai “cerita”nya dan dari mana-mana. Tidak jazz sejatinya, tapi banyak lantas dianggap jazz(y). Ga terlalu jelas kenapa tetiba banyak penyanyi muda, cantik, seksi, justru tampil memilih jazz. Jazz kan segmented?
Ngepop, tapi lantas disebut ngejazz. Karena lahan pop terlalu padatnya, atau karena wilayah jazz lebih banyak event atau gigs-nya? Menariknya, memang sebagian besar itu, warna dasar vokalnya pop. Average kok. Sedikit meliuk-liuk, pada beberapa lagu, jazz lah doi!
Dan beberapa event jazz, termasuk festival jazz, lantas mengundang mereka main. Atas nama, “bisa menjadi magnet untuk menarik banyak penonton”, makin “sah” saja menjadi jazz-singer. Adapun sang penyanyi, biasanya hanya tersenyam-senyum, mesam-mesem simple, dan tetap tak mau disebut penyanyi jazz. Namun memilih, bersedia tampil di acara jazz. Sejauh bayarannya bagus kan?

Ini memang membuat ironi sendiri. Jazz yang katanya terbatas, tapi justru memiliki daya tarik tersendiri. Kebetulan, jazz kayak perlu sosok-sosok “pemanis” yang antara lain, ya gitu punya potensi jadi magnet. Tidak nge-jazz sebetulnya, jadi dikesampingkan saja. Publik mungkin dianggap juga, tak terlalu ambil pusing. Yang jelas, memang ironisnya, yang memilih secara sadar untuk nge-jazz “beneran”, akhirnya kudu rela terpinggirkan....
Tak hanya penyanyi saja. Apalagi  musisi, terutama yang berniat gede untuk jalan dengan solo-project. Kehadiran penyanyi-penyanyi “mendadak jazz”, jelas menjadi saingan teramat serius untuk merebut kesempatan manggung.
 
Agak berbeda dengan situasi tahun 1980-an. Beberapa penyanyi tampil, karena memang sedari awal mereka memang nge-jazz. Baik secara sadar atau karena emang modal dari “sono”-nya... Paling tidak mengawali dari lingkungan pub, kafe atau clubs. Sebut saja semisal Cici Sumiaty, Kemala Ayu, Emil S.Praja, Vonny Sumlang, Ermy Kullit. Sampai almh. Nunung Wardiman. Atau yang lebih senior seperti Rien Djamain dan Margie Segers.
Dari kafe, mereka ke panggung-panggung lebih besar, event-event jazz. Lantas diteruskan dengan rekaman. Berbeda dengan sekarang ini, baru muncul langsung diberi cap jazz. Stempel itu diberikan kalangan event organizer, promotor. Si penyanyi pasrah dan rela saja. Penyanyi lantas lumayan “nyaman”, so tentunya bikin mereka emoh untuk menolak stempel jazz itu. Sebagian ada juga yang sadar, lalu mencoba untuk bisa nge-jazz dengan “lebih baik”. Belajar serius lagi dengan guru olah vokal, misalnya.
Bukankah di luar juga begitu? Ada juga yang “menyanggah” dengan pernyataan itu. Persoalannya,bisa ditunjuk, siapa yang tidak nge-jazz tapi jadi nge-jazz, di luar? Sulit pasti dicari. Karena pada dasarnya yang diberi cap jazz di sana, memang punya kemampuan dasar jazz yang baik. Kalau di sini, menyanyi bahkan model R n B, dengan meliak-liukkan vokalnya, eh itu dianggap jazz! Asyiknya....

Lalu bagaimanakah sosok seorang Dias? Gambaran di atas, hanya menjadi informasi yang mudah-mudahan saja, bermanfaat dan jadi tambahan wawasan bermusik Dias. Kalau saya pikir, ia punya fondasi “baik dan benar” sebagai penyanyi jazz. Dari penuturannya, jazz juga yang rasanya menjadi “zona nyaman”nya untuk menyanyi.
Apakah lantas itu berarti Dias, yang terbiasa membuat lagu sendiri dengan menyanyikan sambil memainkan juga ukulele, dianjurkan untuk menjadi penyanyi jazz saja? Ya ga juga, saya pikir itu sebaiknya tak perlu disebutin oleh Dias sendiri. Cukup Dias menyanyi dengan se-“nyaman-nyaman” dan sebaik-baiknya saja. Biar publik menilai...
Lagi pula,kalau menyebutnya langsung sendiri, sebagai penyanyi jazz. Adakah secara positif memberi effect bagi karir musiknya? Belum tentu kan, para penyelenggara event jazz, termasuk festival jazz langsung beramai-ramai mengundangnya? Kan “ukuran”nya bukan, memang dibutuhkan penyanyi jazz, tapi yang dicari penyanyi yang namanya bisa jadi magnet untuk menarik penonton...?
Pengalaman membuktikan, bakat bagus, suara lumayan baik, belum jadi jaminan utama membuat festival jazz besar bersedia mengundang kok. Salah satu yang mendasar, namanya sudah pernah terdengar atau dikenal oleh mereka (baca : kurator atawa koordinator talent)? Ujung-ujungnya bukan semata-mata soal jazz, lebih pada selera pihak yang “memilih dan menerima” itu kan ya? Aha!
Well, sukses untuk Diastika. Selamat datang di dunia musik Indonesia. Semoga kamu bergairah menyanyi dan kegairahan serta semangatmu, sanggup menggairahkan pula para penonton, penikmat dan pendengar musik Indonesia.
But, jazz or not jazz? Saya pilih, tanyain aja ke sahabat saya deh, mevrouw Otti Jamalus dan kakak Yance Manusama..../*

Foto-foto : Indrawan / Koleksi Diastika



No comments: