Jazz
or not Jazz?
Guru vokal, yang terbilang memang “vokal” itu
lantas bilang, mungkin ini adalah langkah awal. Ia punya sentuhan jazz yang
relatif berasa, pada warna suara. Juga pada taste-ya.
Tapi sebagai pengarah vokal, ia enggan untuk buru-buru mengarahkan muridnya ini
ke satu warna musik saja.
“Saya mendengar, merasakan, warna vokalnya memang
cenderung ke jazz. Blue tonality nya
terasa. Tapi biarlah ia berproses, mengenal lebih banyak musik. Mengalami
proses itu dengan baik. Maka ia juga diberikan musikyang lebih variatif, ada reggae, ada yang lebih upbeat, bernuansa rock,”papar sang guru,
Otti Jamalus namanya.
Pertemuan mereka, sang guru dan anak didiknya,
sebenarnya hanyalah sesaat saja. Pada 2 tahun lalu, ia bertemu saya, belajar
vokal hanya di saat ia libur pulang ke Jakarta. Kemudian, cerita Otti lagi,
mereka mencoba workshop beberapa lagu
yang ditulis si calon penyanyi sendiri. Berikutnya,”Ya proses rekaman. Dicoba
sih. Dilakukan live, ketika ia bisa ke Jakarta. Jadi, ketika ia datang,
musiknya sebagian sudah saya buatkan bersama Yance”
Yance
Manusama, bassis kawakan yang adalah
suami Otti Jamalus, mengemas musik dengan menyesuaikan pada suara si calon
penyanyi tersebut. Dibikin juga sesuai dengan selera dia. Intinya, musiknya
keluar, terbentukkarena diskusi degan dia juga. “Misal memahami dulu, maksud
lagu ini, bercerita tentang apa,” terang Yance.
Menurut Otti maupun Yance, sudah dibuat sekitar 8
lagu. Tapi akhirnya, diputuskan untuk melepaskan dulu single. Proses untuk
menyelesaikan album tetap diteruskan, kemungkinan dalam beberapa bulan ke depan
albumnya sudah bisa diselesaikan. “Single dulu, disesuaikan dengan waktu yang
tersedia. Kebetulan ia bisa pulang untuk waku sekitar seminggu, maka ia bisa
melaunch singleini,”ucap Otti.
Saya
Memang Menyukai Jazz
Ok, her name
is Dias. Full name, Diastika Logesworo. Just
21 years old now. Dia kelahiran San Diego, 11 April 1994. Suaranya memang
jazzy. Dan ia ketika ditanya, lagi mendengarkan siapa saat ini, mengaku lagi
sering menyimak lagu-lagu dari Erykah Badu, Esperanza Spalding dan Corinne
Bailey Rae. “Sebelumnya, sejak lama,
saya menyukai suara dan penampilan bintang lama seperti Ella Fitzgerald dan
sampai Frans Sinatra.”
Saya memang menyukai jazz, atau yang agak jazz
sejak dulu.”Kemudian saat ini, sejak beberapa tahun terakhir, mulai menyukai
yang apa ya, lebih modern. Terutama pada musiknya. Dan itu akhirnya yang juga
jadi inspirasi saya dalam pembuatan album saya,” jelas Dias. Kak Otti dan oom
Yance, begitu ia memanggil kedua gurunya tersebut, memahami dan mengerti akan
keinginan Dias. Mereka mengolah musiknya, mendekati dengan yang diinginkan
Dias,”Yang jelas, harus sesuai dan pas dengan karakter suaranya itu,” terang
Otti.
Lanjut Otti lagi, “Saya dan Yance juga memilih,
bukan sekedar mengikuti keinginan Dias. Tapi memberi kenyamanan saja buat dia
untuk menyanyi. Biar ia merasa enak untuk menyanyi. Suasana yang nyaman itu
penting, sejauh ia memang menyanyi dengan baik.”
Lalu, lagu, ‘Fire’ lah yang dipilih sebagai debut
single dari Diastika ini. Pada press-release
tertulis bahwa Dias beralasan menulis lagu balada ini untuk mencerminkan
emosinya, "Ada api di jalanan", begitu ujarnya. Api, sesuatu yang
panas, berbahaya,
mematikan adalah kemarahan yang disebabkan oleh
pria ini.
Jalan menjadi semiotika dari hidupnya. Ia merasa
tidak bisa terus dengan hidupnya yang seperti ini, tidak bisa terus berjalan di
jalan ini karena api dan kemarahan menghalangi.
Dirinya juga harus "mengakui kekalahan",
memaafkan pria ini. Biarkan api mati dengan sendirinya, biarkan kemarahan
memudar sehingga ia bisa berjalan di jalan ini lagi.
Pesan moral dari lagu yang diaransemen dengan
indah oleh Otti Jamalus dan Yance Manusama ini adalah siapapun
boleh saja merasa marah. Hal ini adalah sesuatu yang normal. Kemarahan adalah
bagian dari sifat manusia. Kemarahan adalah wajar selama kita bisa memaafkan
setelah itu. Merasa marah. Memaafkan. Memetik pelajaran. Move on! Begitulah yang diungkapkan dalam press release nya.
Modal suara bagus, taste juga bagus. Persoalan timbul, Diastika masih kuliah saat ini.
Dia menutut ilmu di Southern California Insitute of Architecture. Tahun ini
adalah tahun keempatnya. Insya Allah, tahun depan ia lulus. Ia menyukai seni,
maka ia juga memilih dunia arsitektur, yang dianggapnya juga seperti seni.
Membangun sesuatu gedung, dengan ada perhitungan tehnis tertentu yang presisi,
juga seni. Menuntut rasa juga.
Ia mengatakan, dengan telah rilisnya single perdananya,
ia memang berkomitmen untuk serius pula di musik. Ia mencoba menyiasati waktu
Kuliahnya terbilang lumayan sibuk, apalagi ia
masuk di sebuah sekolah terpandang di dunia arsitektur. Tapi, Diastika yang
belum lama ini sukses masuk Top-10 ASCA (Association of Collegiate Schools
of Architecture) Awards, mau tak mau
harus bisa menyediakan waktu untuk musik. Oh ya awarding tersebut adalah penghargaan untuk para arsitek muda. Salah
satu pembuktian keseriusannya pula, tentunya kan?
Ia berencana pada Mei mendatang, dapat kembali
pulang ke tanah air. Antara lain untuk menuntaskan proses rekaman album, selain
melakukan kelanjutan promosi single-nya. Ia berkeinginan untuk dapat banyak
kesempatan tampil live di panggung.
Dias, tentunya adalah brand new name yang punya potensi. Ia membuktikannya kemarin lewat
membawakan 3 lagu, saat launching single-nya
di iCanSudioLive. Didukung langsung oleh Otti Jamalus dengan kibor dan piano.
Yance Manusama pada bass. Tiyo Alibasjah
(electric guitar) dan Deska Anugrah
(drums). Dengan 4 pemain tiup dan 3 orang backing-vocals.
Intermezzo,
Mengenai Penyanyi-Penyanyi Jazz
Terlihat dan terasa, ia telah siap meramaikan
panggung musik. Serunya, Dias tampil di ranah musik jazzy, atau ke jazz-jazz
an, yang belakangan makin ramai saja. Terus lahir penyanyi-penyanyi baru,
dengan berbagai “cerita”nya dan dari mana-mana. Tidak jazz sejatinya, tapi
banyak lantas dianggap jazz(y). Ga terlalu jelas kenapa tetiba banyak penyanyi
muda, cantik, seksi, justru tampil memilih jazz. Jazz kan segmented?
Ngepop,
tapi lantas disebut ngejazz. Karena lahan pop terlalu padatnya, atau karena
wilayah jazz lebih banyak event atau gigs-nya? Menariknya, memang sebagian
besar itu, warna dasar vokalnya pop. Average
kok. Sedikit meliuk-liuk, pada beberapa lagu, jazz lah doi!
Dan
beberapa event jazz, termasuk festival jazz, lantas mengundang mereka main.
Atas nama, “bisa menjadi magnet untuk menarik banyak penonton”, makin “sah”
saja menjadi jazz-singer. Adapun sang
penyanyi, biasanya hanya tersenyam-senyum, mesam-mesem simple, dan tetap tak
mau disebut penyanyi jazz. Namun memilih, bersedia tampil di acara jazz. Sejauh
bayarannya bagus kan?
Ini
memang membuat ironi sendiri. Jazz yang katanya terbatas, tapi justru memiliki
daya tarik tersendiri. Kebetulan, jazz kayak perlu sosok-sosok “pemanis” yang antara
lain, ya gitu punya potensi jadi magnet. Tidak nge-jazz sebetulnya, jadi
dikesampingkan saja. Publik mungkin dianggap juga, tak terlalu ambil pusing.
Yang jelas, memang ironisnya, yang memilih secara sadar untuk nge-jazz “beneran”,
akhirnya kudu rela terpinggirkan....
Tak
hanya penyanyi saja. Apalagi musisi,
terutama yang berniat gede untuk jalan dengan solo-project. Kehadiran penyanyi-penyanyi “mendadak jazz”, jelas
menjadi saingan teramat serius untuk merebut kesempatan manggung.
Agak
berbeda dengan situasi tahun 1980-an. Beberapa penyanyi tampil, karena memang
sedari awal mereka memang nge-jazz. Baik secara sadar atau karena emang modal
dari “sono”-nya... Paling tidak mengawali
dari lingkungan pub, kafe atau clubs. Sebut saja semisal Cici Sumiaty, Kemala
Ayu, Emil S.Praja, Vonny Sumlang, Ermy Kullit. Sampai almh. Nunung Wardiman.
Atau yang lebih senior seperti Rien Djamain dan Margie Segers.
Dari
kafe, mereka ke panggung-panggung lebih besar, event-event jazz. Lantas
diteruskan dengan rekaman. Berbeda dengan sekarang ini, baru muncul langsung
diberi cap jazz. Stempel itu diberikan kalangan event organizer, promotor. Si
penyanyi pasrah dan rela saja. Penyanyi lantas lumayan “nyaman”, so tentunya
bikin mereka emoh untuk menolak stempel jazz itu. Sebagian ada juga yang sadar,
lalu mencoba untuk bisa nge-jazz dengan “lebih baik”. Belajar serius lagi
dengan guru olah vokal, misalnya.
Bukankah
di luar juga begitu? Ada juga yang “menyanggah” dengan pernyataan itu.
Persoalannya,bisa ditunjuk, siapa yang tidak nge-jazz tapi jadi nge-jazz, di
luar? Sulit pasti dicari. Karena pada dasarnya yang diberi cap jazz di sana,
memang punya kemampuan dasar jazz yang baik. Kalau di sini, menyanyi bahkan
model R n B, dengan meliak-liukkan vokalnya, eh itu dianggap jazz! Asyiknya....
Lalu
bagaimanakah sosok seorang Dias? Gambaran di atas, hanya menjadi informasi yang
mudah-mudahan saja, bermanfaat dan jadi tambahan wawasan bermusik Dias. Kalau
saya pikir, ia punya fondasi “baik dan benar” sebagai penyanyi jazz. Dari
penuturannya, jazz juga yang rasanya menjadi “zona nyaman”nya untuk menyanyi.
Apakah
lantas itu berarti Dias, yang terbiasa membuat lagu sendiri dengan menyanyikan
sambil memainkan juga ukulele, dianjurkan untuk menjadi penyanyi jazz saja? Ya
ga juga, saya pikir itu sebaiknya tak perlu disebutin oleh Dias sendiri. Cukup
Dias menyanyi dengan se-“nyaman-nyaman” dan sebaik-baiknya saja. Biar publik
menilai...
Lagi
pula,kalau menyebutnya langsung sendiri, sebagai penyanyi jazz. Adakah secara
positif memberi effect bagi karir
musiknya? Belum tentu kan, para penyelenggara event jazz, termasuk festival
jazz langsung beramai-ramai mengundangnya? Kan “ukuran”nya bukan, memang
dibutuhkan penyanyi jazz, tapi yang dicari penyanyi yang namanya bisa jadi magnet
untuk menarik penonton...?
Pengalaman
membuktikan, bakat bagus, suara lumayan baik, belum jadi jaminan utama membuat
festival jazz besar bersedia mengundang kok. Salah satu yang mendasar, namanya
sudah pernah terdengar atau dikenal oleh mereka (baca : kurator atawa
koordinator talent)? Ujung-ujungnya bukan semata-mata soal jazz, lebih pada
selera pihak yang “memilih dan menerima” itu kan ya? Aha!
Well,
sukses untuk Diastika. Selamat datang di dunia musik Indonesia. Semoga kamu
bergairah menyanyi dan kegairahan serta semangatmu, sanggup menggairahkan pula
para penonton, penikmat dan pendengar musik Indonesia.
But, jazz or not jazz?
Saya pilih, tanyain aja ke sahabat saya deh, mevrouw Otti Jamalus dan kakak
Yance Manusama..../*
Foto-foto : Indrawan / Koleksi Diastika
No comments:
Post a Comment