-repost-
Prinsipnya,
bermain musik buatnya adalah memberi dan berbagi. Musik mengandung enerji
positif, karena menghibur dan menyenangkan hati orang. Dalam musik itu
sejatinya, tak ada perbedaan. “Kalau anda musisi, maka rasakanlah musikmu,
hargailah teman-temanmu, berkomunikasi dengan teman-teman mainmu. Musik adalah
kegembiraan dan sukacita. Enerji positif,” ucapnya lancar.
Dengan
media musik, lanjutnya, “Saya bergembira, teman main saya juga akan bergembira.
Maka kita membagikan kegembiraan itu kepada penonton. Pada akhirnya sebenarnya,
biarlah musik yang menuntunmu.Ikuti saja.”
Ia
lantas memberi contoh, jam session
pada dasarnya memang idealnya seperti itu. “Just
feel the rhythm and let it flow. Follow it....,” Ia mengajarkan dengan
antusias. Dan ia bilang, seperti itulah hidup bermusiknya yang dijalaninya
selama ini. Sudah hampir 50 tahun ia berkarir musik, sebagai seorang
perkusionis.
Steve Thornton
adalah perkusionis berjam terbang tinggi. Ia kelahiran Brooklyn, 1 Agustus
1954. Dan saya, waktu itu sih msih di NewsMusik, menjumpainya kembali di Medan,
dimana kami berkesempatan ngobrol panjang lebar di beberapa kesempatan. Di
sela-sela persiapan, saat konser dan setelah acara berlangsung, dalam rangka
pergelaran North Sumatra Jazz Festival
2014 (NSJF 2014).
Orangnya
ramah banget. Dan ia senang berbagi cerita mengenai pengalaman bermusiknya.
Kepada siapapun. Iapun tak pelit berbagi ilmu, “mengajarkan” dan mengarahkan
musisi lain, terutama pada perkusionis muda. Hal itu juga terlihat jelas selama
acara NSJF 2014 kemarin ini.
Rieka
Roslan mengakui, Steve Thornton itu musisi profesional yang sangat humble dan bijaksana. Ia berterima kasih
karena Steve mau membantunya, mengarahkan grup pengiringnya utuk tampil
memeriahkan NSJF 2014 itu. “Aku pernah bertemu dengan Steve beberapa tahun
lalu. Sekarang baru bertemu lagi. Ia turun tangan memimpin dan mengarahkan
kelompok C-Man dari Medan, untuk bisa berkolaborasi dengan baik bersama Steve
dan aku.”
Kalau
tak ada Steve, sambung Rieka, apalagi ia mengajarkan dengan sabar lalu dengan
bercerita mengenai Mongo Santamaria
segala, “Aku ga tau akan bagaimana penampilanku. Karena saat latihan ternyata
C-Man itu tak lengkap. Kasihan juga mas Erucakra itu, pemainnya ada yang absen.
Bagaimana bisa bagus kan?”
Positif
pada feeling, ucap Steve sambil
senyum. Ketika ia ditanya, gimana latihan dengan Erucakra dan Rieka bersama Razak Rahman, saxophonis Malaysia.
Dimana ternyata bassis grup C-Man tak hadir. “Well, the show must go on. Jalani saja dengan apa yang ada, Insya Allah
lancar. Musisi memang harus punya atitude
yang baik, itu menghargai teman-teman sesama musisi, sesama band.”
Tapi
kalau ada kejadian, ternyata tak bisa latihan, “Ya sudah. Mau bagaimana lagi?
Tetap jalan saja. Biarlah enerji positif yang akan menuntun saya, Rieka, Eru,
Razak dan C-Man yang telah berlatih. Kami sudah berusaha...,” Ia berkata tetap
dengan senyum.
Biar
bagaimanapun, latihan sebelum show tersebut memang penting. Proses awal,
bagaimana kita saling menjajaki satu sama lain, saling memahami. “Setelah
berkenalan, mencoba dengan peralatan kita masing-masing. Lalu kita akan saling
mengisi, saling menyalurkan enerji positif. Enerji itu juga nantinya yang akan
diserap dan dirasakan penonton. Proses terbaik memang begitu,” terangnya lagi.
Ia
lalu bercerita mengenai Mongo Santamaria. Perkusionis legendaris itu
dianggapnya gurunya yang utama. “Karena saya selalu mendengarkan rekaman Mongo
Santamaria nyaris tiap hari. So I grew up
with Mongo’s music and also, Watermelon Man,” Ceritanya sambil tersenyum
lagi. Steve yang berbadan gempal ini memang stok senyumnya segudang
kelihatannya.
Sekedar
catatan, Mongo Santamaria adalah seorang pemain perkusi legendaris. Ia bermain
bersama Chick Corea lalu Herbie Hancock. Ia lantas memainkan lagi, dan merekam,
karya Hancock,’ Watermelon Man’ ke dalam versi Latin. Lagu itu menjadi hits dan
mengangkat lebih tinggi nama Mongo. Ia meninggal pada I April 2003 di Miami. Ia
disebut sebagai master untuk rumba-quinto.
Begitulah,
permainan Mongo, the legendary Cuban
percussionist, itu menginspirasi dirinya untuk menjadi musisi. Terutama
tentu saja perkusi. “Seringkali, mendengar rekaman Mongo itu, saya waktu kecil
itu sering sambil memukul-mukul meja...” Ia memperagakan tangannya seperti
sedang memukul-mukul conga-nya. Ia merasa spiritnya Mongo masuk perlahan ke
dalam dirinya.
Nah
saat ia kira-kira usia 17 tahun, ia melihat sebuah iklan kecil di koran. Mongo
Santamaria bermain dengan band-nya di sebuah clubs tak begitu jauh dari rumahnya. “Saya lantas memohon-mohon
kakak saya untuk membawa saya pergi ke clubs itu untuk berjumpa Mongo. This is the time, seru saya waktu itu.
Kakak saya mau, ia juga suka perkusi soalnya.”
Walau
sudah cukup usia untuk masuk clubs, tapi ia terpaksa harus ditemani sang kakak.
Karena, ia tertawa lebar, “Badan saya terhitung kecil begini. Terlalu kecil
atau pendek, nanti pasti dianggap anak-anak belum cukup umur...Hahahaha.” Ok, lalu ia menonton dengan
takjub.
Kemudian
ia memberanikan diri untuk ikut bermain, ia yang memintanya pada Mongo sendiri.
Nekad aja, katanya. Intronya ya, dia bilang bahwa dia sudah mengagumi Mongo,
sejak beberapa tahun lalu. Dan Mongo menyambut hangat lho, ia melanjutkan
sambil berbinar-binar matanya. Ia membiarkan saya bermain dengannya. Kami
bermain dengan band-nya ya, format full
band Latin.”
Saat
itu, sambungnya, ia merasa enak dan nyaman. Mongo hanya mengarahkannya,
bermainlah dan ikuti sound, biarkan
hatimu mengikuti rhythm-nya. “Saya main dan ia sering memperhatikan, sambil
bermain juga. Setelah itu, ia memuji dan bilang saya berbakat kok. Teruskan
saja musikmu.”
Cerita
mengenai Mongo tersebut, diceritakannya pula pada Erucakra, Rieka Roslan dan
teman-teman musisi dari C-Man saat latihan. Ketika itu, ia menyodorkan usul
untuk membawakan ‘Afro Blue’. Lagu tersebut ditulis oleh Mongo Santamaria dan
dipopulerkan oleh John Coltrane.
Ia
menceritakan mengenai Afro Blue dan Mongo dengan ekspresif, penuh penjiwaan,
begitu kata Rieka Roslan. “Steve bercerita mendalam dan meyakinkanku, bahwa
lagu itu pasti bisa aku bawakan, bisa aku isi dengan vokalku. Ia menuntunnya
dengan sabar. Cerita dia tentang Mongo itu yang menginspirasiku, merasakan spiritnya dan menuangkan dalam suaraku
di lagu itu.”
Well,
saat itu ia kepengen membawakan ‘AfroBlue’, ungkap Steve. “Saya ceritakan
sedikit hal tentang Mongo dan hubungannya dengan saya, tentang lagu itu. Ketika
mulai dimainkan, segala sesuatunya lancar. Saya membukanya dengan suara conga,
persis seperti yang dilakukan Mongo. Dan saya rasa, spirit Mongo yang hidup dan
hadir dalam lagu yang kita mainkan itu,” Steve pun tersenyum.
Ia
bahkan merasakan seolah Mongo ada di antara mereka, ketikamereka mencoba
membawakan lagu tersebut. Juga saat mereka mainkan di atas panggung. “Semoga
saja,Mongo tersenyum di atas sana melihat saya memainkan lagunya kembali di
sini. Ah dia pasti senang,” Steve tertawa lebar.
Ia
sendiri, telah bermain musik dengan conga-nya sejak usia 14 tahun. Grup
pertamanya adalah Young Explosive.
Kakaknya juga bermain conga dan membentuk Latin
Explosive, begitu nama grupnya. Dengan grupnya ia rutin mengisi sebuah
program televisi di sebuah stasiun televisi lokal. Itu adalah karir musik
profesional pertamanya.
Masa
kecil Steve, memang penuh musik. Ia bercerita, ia dan teman-teman di kawasan
rumah tinggalnya, seringkali bertemu di sebuah taman. Lalu mereka bermain musik
bersama. “Kawasan rumah saya, terbilang kumuh dan banyak sekali anak-anak
korban narkoba, minuman keras. Daerah yang keras. Saya memilih musik dan aktif
di situ.”
Ia
adalah anak ke 13 dari 14 bersaudara! Jadi bayangkanlah keadaan rumah tangga
orang tuanya itu, bagaimana ramainya rumahnya setiap hari. “Ibu saya cukup
relijius. Setiap hari ia selalu beribadah Minggu, tapi dengan tidak ke gereja.
Ia memilih memutar musik gospel di rumah dan ikut bernyanyi, mengikuti lagu
yang diputar. Ibu saya sebenarnya setiap hari juga pasti memutar lagu-lagu
gospel.”
“Rumah
saya, setiap hari pasti bersuasana musik. Ibu saya bukan musisi, bukan pula penyanyi.
Tapi ia bisa menyanyi. Ia senang mendengar banyak musik. Dan ia selalu memutar
piringan hitam atau radio. Saya besar dengan lagu-lagu Marvin Gaye, Aretha
Franklin dan banyak penyanyi jazz dan blues ternama lain,” kenang Steve.
Dan
kembali pada hubungannya dengan Mongo. Sejak saat itu, ia menjadi dekat dengan
Mongo. Secara informal, ia banyak sekali belajar dengannya. “Mongo sangat baik,
ia berbagi ilmu. Entah kenapa, ia merasa dekat dengan saya, saya jadi seperti anaknya saja. Ilmu yang didapat
dari Mongo lah, yang membesarkan dan membentuk musik dan permainan perkusi
saya,” jelasnya lancar.
Betapa
tak dekat, di 1997, ketika Steve memutuskan untuk pindah ke Kuala Lumpur
bersama sang istri yang orang Malaysia. “Saya membawa istri saya menemuinya dan
mau pamit. Pesan Mongo, pergilah. Kamu harus stay together with you family. Jangan pikirkan bagaimana karir
musikmu di sana, kamu tetap akan berkarir musik dengan baik, dimanapun kamu
berada,” ia mengenangnya dengan nada lirih.
Ia
memang mengambil keputusan cukup berani, dengan pindah ke Kuala Lumpur.
Meninggalkan New York, yang adalah pusat musik dunia. Kota yang membuatnya bisa
berkarir musik secara mengagumkan. Dimana ia bisa mengenal dan bahkan bermain
bersama dengan banyak nama besar.
Miles
Davis misalnya. Lalu juga Mc Coy Tyner,
kemudian Michel Petruciani, Marcus Miller, Mariah Carey, Roberta Flack,
The Brecker Brothers, Phil Perry, Tracy Chapman sampai Tania
Maria bahkan Michael Jackson! Khusus untuk Michael Jackson, tahu ga, suara perkusi pada hits, ‘Blood on
the Dance Floor’ itu yang mengisinya adalah Steve Thornton!
Mengenai
Miles Davis, ia bercerita, ia diperkenalkan oleh George Butler, executive producer.
Itu pada sekitar Juni 1984. Ia pertamanya melakukan jam session, untuk materi album You’re Under Arrest, yang dirilis resmi 1985. Dari situ, ia lantas
ditarik masuk band-nya Mils Davis. Ia berjalan bareng Miles hingga Desember
1986.
Miles
adalah pribadi yang unik. Para musisi yang mendukungnya, semua didapat dari
teman-teman musisi yang sedang bermain bersamanya. Ia kerapkali ngobrol dengan
teman-teman musisi, saat rehat latihan atau di backstage. Ngobrol macam-macam,
banyak hal. Ia sangat menghargai teman-teman musisi se-band-nya.
Jadi,
kalau ia sedang kepengen mencari musisi lain, ia bertanya pada teman musisinya.
Termasuk juga pada sound engineer
atau produsernya. Referensi nama-nama yang ia dengar dan dapatkan, biasanya
langsung dipercayainya. Selanjutnya, musisi itu akan dipanggilnya untuk mencoba
bermain dengannya. Kalau cocok, langsung masuk bandnya.
Di
atas panggung, Miles memberikan banyak pelajaran. Bagaimana menyatukan enerji.
Antara lain, cerita Steve, Miles akan berkeliling panggung selama ia tampil. Ia
mendekati satu persatu musisinya. Untuk menyatukan enerji itu, memberi keyakinan
dan ketenangan pada musisinya. Ia jadi sering membelakangi penonton, tapi ia
tak peduli.
“Buat
Miles, ia hadir membunyikan dan memperdengarkan musiknya yang berenerji. Kepada
semua penonton. Penampilan figurnya, bukan utama, walau ia juga memperhatikan sisi
performancenya ya seperti kostumnya.
Maka ia menganggap ga papa, tidak tampil terus menerus menghadap penonton.
Penonton datang untuk musiknya kok, bukan hanya ingin melihat penampilannya
saja. Dan ia selalu menikmati pentasnya dimanapun,” kenang Steve.
Oh
ya, Steve sebenarnya bisa dibilang salah satu bintang yang memberikannya banyak
pengalaman di awal karir profesionalnya, adalah penyanyi legendaris, Herry Belafonte. Menjelang akhir
1970-an, ia masuk formasi grup pengiring Herry Belafonte, yang terkenal dengan mega-hitsnya, ‘Banana Boat Song’
(‘Day-O’).
Antara
lain Steve ikut mendukung album Loving
You is Where I Belong dan juga Turn
the World Around. Bersama Herry Belafonte yang memperkenalkan calypso music itu, Steve melakuan
perjalanan tur manca negara. “Herry memberikan saya pengalaman bermain
dimana-mana, saya bisa melihat dunia,” jelas Steve.
Kemudian
ia bercerita lagi, seputar pengalamannya bermain bersama para nama-nama
populer. Tracy Chapman misalnya. “Saya merasakan tur kelas satu bersama Tracy.
Wah, semuanya serba mewah. Menginap di hotel di berbagai negara, pasti masuk
kelas kamar yang royal suite. Soal
makanan dan minuman, seluruh rombongan tak pernah kawatir. Terjamin
sepenuhnya!”
Ia
merasakan asyiknya berkolaborasi dengan para musisi ternama seperti Tony Levin,
Larry Klein (bass), Manu Katche dan Omar Hakim (drums), Vernon Reid (gitar),
Mike Campbell (mandolin n gitar), Larry Williams (keyboard) sampai juga Alex
Acuna dan Mino Cinelu (perkusi) dan lain-lain.
At
that time, Tracy Chapman adalah seorang selebritis yang sangat kaya. Ia mampu
mengajak musisi kelas dunia manapun. Ia sangat memperhatikan para musisnya. Dan
ia tak pernah membeda-bedakan anggota rombongannya. “Pokoknya ya, tur bersama
Tracy itu wah first class banget.
Bayaran sangat bagus. Fasilitas super mewah.”
Yang
ia sangat ingat dari Tracy, setiapkali manggung dimanapun, penonton semua tahu
lagu-lagunya. Lagu-lagu Tracy itu bisa dibilang hits semua. Penonton tahu dan
hafal semua lagunya. Sayangnya ia punya sisi agak gelapdalam kehidupannya, yang
ia simpan rapat-rapat.
Lanjut
Steve, maka sampai pada satu masa, Tracy bahkan tak mau di foto oleh siapapun.
Bahkan oleh media massa, dimanapun. Siapapun akan sulit memotretnya. Ketika
kami, rombongannya berfoto-foto misalnya ya, iapun tak mau gabung. Ia juga
enggan tampil di televisi,” ceritanya lagi. Lalu perlahan, ia bahkan seperti
menjauh dari panggung. Sayang memang, lanjut Steve lagi, padahal ia sedang di
puncak popularitasnya.
“Hubungan
saya dengan Tracy tetap baik hingga saat ini. Kami masih sering berkomunikasi by email atau skype. Ia sedang drop
popularitasnya. Ga ada lagi hits darinya. Kesempatan manggung minim. Saya
pengen sekali mengajaknya bisa berkonser di Malaysia atau nanti bisa lanjut ke
Indonesia. Supaya ia bangkit lagi. Ia tak terlibat narkoba kok, ada masalah
saja dalam kehidupannya.”
Steve
sempat membuka kepada NM masalah yang dihadapi Tracy, tapi ia berpesan
sebaiknya tidak ditulis untuk umum. “Saya kasihan soalnya. Itu masalah serius
yang harusnya bukan lagi masalah besar saat ini, tapi ia menutup diri untuk
publik mengetahuinya. Makanya, ia juga menjauhi pers.”
Padahal,
Tracy sangat berbakat. Suaranya amazing,
ia sangat bertalenta. Ia bisa menulis lagu dengan sangat baik. Ia juga
kharismatik. “Sayang, kalau ia lantas hilang. Ia mungkin tak lagi sekaya dulu,
tapi ya ia tidak jatuh miskin. Cuma memang ga lagi sering manggung seperti
dulu. Tempatnya dia di panggung, untuk penonton musik! Fansnya masih banyak,
dan banyak yang merindukannya,” jelas Steve.
Steve
memang memilih pindah ke negeri istrinya, Malaysia. Dan setelah ia bermukim di
Kuala Lumpur, ia lantas mendukung Sadao
Watanabe. Selain dengan Sadao, ia juga mengatakan bahwa hal yang penting
lain dalam karir musiknya adalah, “Saya bermain bersama kelompok nasyid
terkemuka Malaysia, Raihan. Sebuah
kolaborasi relijius yang menyenangkan. Memberikan warna tersendiri yang lain.
Saya sangat menyenanginya dan Raihan juga menyukainya.”
Ia
juga mendukung rekaman dan pentas dari penyanyi Malysia terkemuka, Sheila Madjid. Nah ketika ia tinggal di
Kuala Lumpur, di penghujung 1990-an ia berkesempatan berkolaborasi dengan Krakatau Band. “Saya bertemu Dwiki Dharmawan lalu Dwiki mengajak
saya bermain bersama. Saya bertemu dengan pemain-pemain perkusi tradisi Sundanese yang sangat luar biasa seperti
kang Ade Rudiana.”
Pertemuan
dan kolaborasi itu sangat dikenangnya. Karena saat itu, wawasannya makin
terbuka bahwa memang musik itu bahasa universal. “Bunyikan saja nada, dan kita
bisa berkomunikasi. Saya kagum dengan musik tradisi di Indonesia, dengan para
musisi hebatnya. Indonesia itu begitu kaya. Ya saya makin tahu, setelah bertemu
dan bergaul hingga main bareng Dwiki dan Krakatau nya.”
Setelah
itu, ia lantas sering bertemu Dwiki dan kerapkali melakukan kolaborasi. Di
berbagai kota di Indonesia. Orang-orang Indonesia juga ramah dan mengasyikkan,
serunya. Ia telah keliling ke banyak kota di Indonesia karena musik, dan ia
bertemu banyak musisi dan penggemar musik yang asyik dan keren semua!
Karena
Java Jazz Festival, ia juga jadi sering menyinggahi Jakarta. Bertemu dengan
banyak musisi. “Saya juga bisa bertemu teman-teman musisi lain yang pernah
bekerjasama dulu, saat saya masih di New York. Saya juga bertemu Santana,
Stevie Wonder. Dengan Stevie akhirnya bisa jammin’.
Dan oh ya, tentu saja bertemu lagi dengan Tania Maria, sahabat saya yang tetap
luar biasa itu!” Seru Steve.
Indonesia,
khususnya Jakarta, sangat beruntung punya festival jazz yang begitu besar
seperti Java Jazz Festival. “Bayangkan, setiap tahun bisa menonton banyak
musisi jazz ternama, dan musisi dari seluruh dunia. Sebuah pengalaman luar
biasa yang sangat mengagumkan,” puji Steve.
Dan
saat ditemui di Medan, selepas tampil di North Sumatra Jazz Festival keempat,
NM menanyakan pendapatnya tentang festival tersebut. “Ini festival yang bagus.
NSJF memadukan musik dari berbagai etnis, dari banyak negara di dunia. Temanya
bagus banget. Musik adalah bahasa universal, itu dasar utamanya. Sangat terbuka
dan hasilnya sangat mengasyikkan, musik dari mana-mana bisa dipersatukan di
atas panggung.”
Ia
menyukai momen di Medan, saat bertemu Jamal Mohamed, Jonathan Jones, selain
sahabatnya dari Malaysia, Razak Rahman. Apalagi bisa bertemu dan ngobrol sampai
tampil dengan para musisi dan penyanyi Indonesia yang bagus semua. “Indonesia
penuh dengan musisi yang sangat berbakat. Erucakra misalnya, saya suka melihat
dan menikmati permainannya. Apalagi Rieka Roslan! She’s amazing!” Serunya.
Ia
juga melihat, terpesona dan sangat menikmati penampilan Fusion Stuff yang enerjik serta Bintang Indrianto dengan trio-nya.
Musik yang dimainkan Bintang Indrianto
dengan kelompoknya itu, sangat orisinal. Membuat penonton bergoyang. Jazz
bertemu dengan dangdut, luar biasa. Jazz memang adalah dasar dari world music,
dan NSJF membuktikan hal itu,” terangnya dengan bersemangat.
Ia
lantas mengungkapkan soal jam session,
sebagai penutup acara festival itu. “Kami naik ke panggung, sebenarnya karena
happy, ingin bermain bersama. Feel the energy together. Tak ada halangan.
Bebas. Kebebasan yang mengasyikkan sekali. Lihat ya,kami mainkan bersama 3, 4
bahkan mungkin 5 lagu ya spontan saja. Bintang yang memimpin di depan, dia beri
sedikit not, dan semua otomatis mengikutinya, meresponnya.”
Tanpa
perlu dijelaskan sebelumnya dengan kata-kata. “Kami hanya perlu mendengar dan
melihat dengan sebaik-baiknya. Saling melihat saja. Hati dan batin kita yang
menyambung dan terkoneksi. Dan semua jalan, semua bermain, semua bergembira.
Musik itu memang menyenangkan, spirit yang membuat kita menjadi lebih hidup,”
ucap Steve panjang.
Sebuah
momen indah mengenai cross culture,
sesuai tema dari NSJF, begitu ucap Steve Thornton. Ga ada border, tak ada batas
wilayah negara, semua bisa bertemu. “Lalu berinteraksi dan berkomunikasi dengan
baik. Ya, itulah jazz. Dan momen kemarin di NSJF, tak akan terlupakan sepanjang
hidup saya,” ucap Steve yakin.
Menurutnya,
ia selanjutnya berniat membuat sebuah album rekaman yang bertema tribute
to Miles Davis. Ia ingin mengajak beberapa musisi untuk bisa bekerja
bareng. “Saya tinggal kontak mereka melalui email kan, lalu berdiskusi dan
meminta mereka mengisi. Memberikan guideline
musik dasar dan mereka tinggal mengisi. Tak perlu bertemu. Tinggal nanti
dilakukan mixing dan mastering.”
Lanjutnya
lagi, “Spirit Miles terus hidup dan saya ingin lebih menghidupkan lagi. Dengan
suasana saat ini. Saya kepengen banget mewujudkan rencana itu, mungkin nanti
Erucakra misalnya bisa terlibat. Atau beberapa musisi Indonesia lain, selain
musisi yang pernah bekerjasama dengan Miles. Saya tinggal mencari record label, yang mau mendistribusikan
hasil rekaman itu.”
Miles
adalah nama penting dalam sejarah jazz dunia, karya-karya terus hidup dan hadir
dimana-mana. “Saya ingin memainkannya lagi, bersama teman-teman yang appreciate dan respect terhadap Miles. Sebuah penghargaan untuk ketokohannya. Bentuk
kekaguman saya terhadapnya, tentu juga kekaguman banyak orang yang tetap
tinggal di banyak sekali musisi. Bukan hanya yang pernah menonton atau bermain
bersama dia.”
Kapan
waktu, rasanya saya akan berjumpa lagi dengannya. Dan mudah-mudahan, ada
pengalaman-pengalaman lain yang akan diceritakannya lagi. Well, thank you for
the time and for this interview. Good
Luck, always, Steve! /*
1 comment:
Akan tampil di BANDA Aceh tgl 26-30 Agustus 2016
Post a Comment