Cerita
ini berawal, setelah nonton dan seneng-seneng di Rock Zone, edisi Seni, 29
Februari 2016)
Pergerakan
dari kecil. Tapi dengan kontinuitas terjaga. Lalu juga dengan penyebaran.
Beberapa titik, yang menjadikan semacam hotspot
dari sebuah movement. Movement itu harusnya berfaedah buat semua pihak.
Ujung-ujungnya memang kebersamaan, berlandaskan persahabatan. Saling mendukung
satu sama lain.
Pergerakan
seperti itu, menunjukkan gejala meningkat, secara kuantitatif, signifikan.
Tentu diharapkan bahwa, peningkatan tersebut kelak diikuti dengan bertambahnya
kualitas. Kualitas menyeluruh, tak sebatas gigs-nya.
Juga, ini yang penting, kualitas meningkat dari para performers. Sebut saja, kaum praktisinya.
Karena
kan, keberadaan hotspot yang makin menyebar, cocok dan pas banget jadi arena
etalase. Tentunya buat para pelaku, ya band, ya musisinya, ya juga
penyanyi-penyanyinya. Etalase pas buat show-off,
walau di tahapan terawal. Show-off itu perlu dong, nunjukkin kemampuan, kasih
liat bakat mungkin, sekaligus juga mempertunjukkan niat, semangat en
kepercayaan diri!
Di
titik terawal, kayak sekali merengkuh dayung eh 2-3 pulaupun terlampaui. Show
off, dan itu ga dosa, sekaligus meraih atensi publik. Syukur-syukur, bisa
berdampak, bertambah deh fans nya. Makin banyak titik-titik “panas” yang
tersedia, maka kesempatan tampil kian banyak. Dan kesempatan itu, bisa
dijadikan ajang buat mengumpulkan penggemar kan? Penggemar makin banyak, so
pasti, bikin semangat tambah menyala. Setuju dong?
Ada
lagi, dampak positifnya. Karena dapat terjadinya acara-acara itu kan lantaran “kebersamaan
dan persahabatan”? Nah dalam acara begituan, bisa jadi arena mempererat
pertemanan, saling mengenal. Kalau sudah kenal, jadi lebih akrab. Nambah-nambah
teman “se-permainan” sama bagusnya kan dengan nambah fans. Bergaul makin luas,
mungkin bisa tuker-tukeran info job?
Sekaligus,
apa lagi, tukar-menukar pengalaman. Sharing satu sama lain. Yoih,belajar secara
informallah. Antar para musisi dan penyanyi yang tampil, termasuk antar
penonton atau fans dan juga para fans dengan idola-idolanya.
Sejauh
ini sisi positifnya kelihatan kan? Kalau negatifnya, apaan? Tergantung
individu-individunya sih. Ada yang menganggap, tak perlu bergaul terlalu luas.
Ada yang skeptis, bahwa pergerakan itu bisa bermanfaat buat banyak orang, atau
banyak pelaku-pelaku yang notabene adalah praktisi aktif. Ada juga kali yeee, yang curiga, ini cuma vehicle buat orang-orang tertentu, untuk
mendongkrak naik namanya.
Ga
apa-apa kok. Orang kan bebas lepas, buat berpendapat. Dalam rock ada demokrasi!
Ahay. Yak, rock itu uniknya, ya outside-mainstream
harusnya. Tapi jadi jenis musik yang “disukai” kaum industrialis musik. Karena
rock itu buanyaaak penggemarnya. Dianggap potensi fansnya itu sudah ga jauh
beda dengan musik pop! Tak heran, charts
dimana-mana relatif lebih welcome
pada rock, dibanding dengan musik-musik outside-mainstream lain.
Rock
itu bergerak dengan sangat aktif, sangat nyaring. Sangat berisik juga? Lebih
asyik dibilang, sangat bersemangat. Ya penontonnya, coba nonton rock diem-diem
doang, mana asoy? Rock itu selalu dianggap sebagai musik “pembebasan”, musik
pelampiasan ....
Nah
harusnya memang rock itu ga bakalan kekurangan penontonnya. Titik-titik panas
pergerakan, harusnya ga akan sepi penonton. Harusnya. Tapi kan ada proses.
Dikenalin dulu dong acaranya. Dijaga dulu kontinuitasnya. Keberagamannya juga
dijagain. Bikin orang tertarik dan suka. Tertarik untuk terus datang secara
rutin. Suka dengan sajian musiknya, pada tiap kali acaranya.
Itu
keluarnya. Kalau ke dalamnya, ditata terus soal sound-nya. Biar makin lama, makin enak dinikmatin musik yang
dimainin tiap performers-nya. Jangan
hanya nikmat didengerin, tapi juga harus makin enak dilihat. Makanya, tata
lampu kudu diperhatiin. Pelan-pelanlah diperbaiki, dirapihin, dibagusin. Udah
enak didenger, kan paling sip kalau juga enak dilihat? Sempurnalah sebagai
sebuah tontonan. Walau dalam skala kecil sekalipun.
Jangan
lupa, kalau lightingnya okeh, bagus
buat difoto-fotoin. Direkam untuk video. Hasilnya, foto-foto acara bertebaran
di socmed, dengan hasil foto yang keren. Bukan foto-foto yang relatif gelap, ga
terlalu kelihatan. Kalau foto-fotonya bagus, bisa jadi promo yang bagus banget
juga. Ga percaya?
Nah
gitu deh, bagaimana bikin si owner
dari clubs atau cafe atau bar, yang mau
berkerjasama bikin event model pergerakan, memahami dan mengerti juga. Gimana
bikin mereka percaya? Paham, bahwa sound-nya kudu lebih baik lagi? Lalu,
lighting, kudu lebih keren lagi. Janganlah pelit, maaf imejnya kan bisa kayak
gitu. Mau event tapi ogah keluar dokat. Karena ga punya duit lagi? Alamak!
Saya
tahu juga, yah ngebaca situasi. Ada kok tempat-tempat, yang mau banget event
dibikin di tempatnya. Tapi sangat “rapi” menjaga, event boleh asal mereka “jangan
sampai keluar duit banyak”! Susah ya? Bikin event
organizer-nya, bisa-bisa susah tidur nyenyak tiap kali abis event dong? Mau
event, buka pintu buat event-event reguler, tapi ogah keluar duit banyak? Salah
satunya, bikinin event dong, tapi mau ga ya band-bandnya dibayar transport
doang?
Dalam
catatan saya, pergerakan sporadis, tapi lantas berkembang di beberapa titik.
Adalah model pergerakan yang pernah terjadi di khasanah jazz, terutama di era
1970 akhir sampai 1980-an. Mulai dari
kafe-kafe atawa clubs tertentu, yang mulai mempercayai bahwa sajian “jazz(y)-entertainment” ada penontonnya.
Satu persatu kafe bersedia menerima jazz (walau jazz yang lebih light, jazzy tunes, istilah waktu itu). Jazz-clubs, dibikin di satu, dua
lantas tiga tempat. Bertambah-tambahlah.
Jazz-jazzan
diterusin di televisi juga. Berkembang menjadi tontonan event jazz yang makin
lama makin gede, dan digelar di luar kafe. Mulai pede, digelar di hall, atau venue lebih besar. Ujung-ujungnya, dibikin skala festival segala!
Festival yang relatif besar. Dari Sunday
Jazz, Sunday Jazz Clubs, Jazz on Sunday, Friday Jazz Night sampai ke lantas
Jakjazz. Belakangan malah bertambah
suangat buesaaarnya dengan Java Jazz
Festival itu, yang udah amat sangat membuka diri untuk musik non-jazz
sekalipun dan malah bikin jazzer sekalipun malah ga gampang bisa tampil di
situ. Hahahaha....
Tapi
gini, pergerakan dari bawah seperti itu, relatif sukses, pada masa itu. Membuat
banyak orang merasakan banget manfaatnya kan? Misalnya, jazz jadi banyak
penggemarnya. Sempat jadi kayak trend lah waktu itu. Kemana-mana ada jazz, jack!
Dan
pelan-pelan semua disempurnakan. Kemana-manapun yang ada jazznya,relatif enak
didengerin dan juga relatif enak untuk dilihat. Secara psikologis kan, membuat
jazz jadi lebih baik lagi imejnya. Jazz itu enak ya, asyik lho. Ya kayak
gitulah anggapan orang saat itu.
Rock
pada masa sekarang,bisa saja begitu. Mengulang apa yang terjadi di era silam.
Event-event jazz yang sporadis tapi aktif, sekaligus jadi ajang para musisi dan
penyanyi, berlatih dan berlatih terus. Belajar terus. Jadi makin baik saja,
satu demi satu. Lihat hasilnya, hari ini banyak dari antara mereka itu, jadi
musisi sukses.
Ga
bisa dong oom disamain. Jazz kan beda sama rock. Jazz itu lebih borju, mas.
Rock lebih merakyat. Eits, bukan itu yang kita bahas. Jangan lihat begitu,
walau itu juga salah kaprah sebetulnya. “Metode” pergerakannya itu lhooow, dari
bawah, setapak demi setapak. Kata New Kids on the Block, Step by Step.... Hah, kok NKOTB segala?
Sisi
positifnya kan jadi bertambah. Arena belajar. Setiap kali abis main, evaluasi.
Gimana ya bikin musik (rock) gw atau kita, dikenal orang? Gimana sih bikin
musik (rock) kita lalu disukai orang-orang. Jangan hanya yang suka dan
muja-muji, keluarga, kakak, ayah, ibu, oom2 dan tante2 kita saja. Juga jangan
cuma temen-temen kita doang yang suka sama musik dan penampilan kita dong. Ga
sah lah! Kurang afdol....
Rock Campus
atawa Rock Zone, dan model-model
acara Rock reguler event begituan, harusnya menjadi arena untuk memunculkan
potensi-potensi baru. Yang memang berbakat. Dan yang akan mewarnai,
menggairahkan rock tanah air secara lebih positif. Rock yang keren, mainnya
benar, tak hanya sekadar teriak-teriak, dan musiknya berisik dan kencang. Harus
bisa gini nih, berisik itu menyenangkan dan menggairahkan. Nonton rock nya
mereka itu, berisik, keras tapi bikin gw bersemangat. Kalau perlu malah,
rocknya mereka, berisik, kenceng tapi bisa bikin gw...horny!
Gimana
coba, elo nge-rock,bunyiin dengan kenceng musik rock elo, dan bikin ga cuma
penonton cowok gerah dan lepasin kaosnya! Gimana sampai bikin, penonton cewek
di depan elo, juga asyik dan seneng-seneng aja, lepasin tanktopnya....Lepasin bra-nya
kalau perlu. Hush! Jangan terlalu jauhlah. Pornoaksi nanti. Urusannya jadi
runyam, coy!
Saya
sudah datangi beberapa acara seperti itu. Yang jelas, enjoy kok. Dengan suasana, hiruk-pikuknya, ketawa-tiwinya, ketemuan,
silaturahmi dengan teman-teman, nambah-nambahin teman juga Merasakan sebagian besar penonton dan
performers penuh semangat. Asyik!
Tapi
saya juga pengen melihat begini. Pengen lihat, dengar, nonton Easy, Kanda, Daddy’s Day Out, ITZ, OMNI dan band-band lain, tampil dengan sound more n more better and lighting yang lebih bikin gairah bertambah.
So come on feel the noise
Girls rock your boys
We'll get wild, wild, wild
Wild, wild, wild.
Come on feel the noise
Girls rock your boys
We'll get wild, wild, wild
Baby!
(by Jim Lea,
Noddy Holder-SLADE,1973 / Quiet Riot, Metal Health, 1983)
*/
No comments:
Post a Comment