Tulisan
ini saya tulis sejak 2005, eh bahkan sebelumnya. Ada beberapa bagian,
penelusuran akan jazz di Indonesia. Ini adalah bagian awal. Bagian dimana,
sayapun mendapatkannya dari ngobrol-ngobrol dengan para musisi senior (senior
banget, dan sebagian telah berpulang. Salah satu yang paling penting adalah
Bill Saragih), selain mendapatkannya dari beberapa tulisan lain.
Ada
beberapa bagian? Iya, karena saya pernah bercita-cita, kepengen bisa
menerbitkan buku catatan sejarah jazz Indonesia. Dengan fokus utama pada
1980-an ke sini. Dari apa yang saya alami, rasakan, lihat sendiri. Jadi
angle-nya memang lebih pada bentuk, catatan “saksi sejarah”.
Nah
sangat menarik, bahwa tulisan di bawah ini, bisa bertebaran dimana-mana.
Terutama di blog-blog. Dan rata-rata, bisa dibilang semua, tak ada yang
mencantumkan nama saya. Kalaupun lantas ada yang akhirnya menulis nama saya,
itu karena saya tegur terlebih dahulu. Ada juga yang setelah saya tegur,
memilih mendelete postingan tulisan ini.
Saya
mau mengangkatnya ke blog saya sendiri sekarang. Dan telah coba saya lengkapi
lagi....
Adalah sebagai khittah dari
“musik pinggiran”, semangat dan aktifitas bergairah terus dari pelaku dan
penggemarnyalah yang membuat “musik pinggiran” terus bernafas, walau keringat
terus meleleh. Begitupun adanya dengan jazz di tanah air kita. Ini cerita
mengenai jazz pada awal pergerakannya di Nusantara….
Jazz kabarnya, dari beberapa literature, disebutkan lahir seputar
tahun 1868, di Amerika Serikat. Berakar pada musik blues. Dan sampai beberapa
dekade, jazz dianggap sebagai seperti “musik asli” bangsa Amerika (Serikat). Mulai
lebih populer saat memasuki dekade 1900-an, apalagi kemudian bergeser dengan
bentuk ragtime. Di sisi lain, juga
bernuansa march. Jazz populer
kemudian karena masuk dance-hall,
terutama berawal dari kota New Orleans. Menjadi musik dansa.
Kabarnya jazz masuk tanah air
kita juga di seputaran waktu sekitar itu. Pada tahun 1920, tercatat ada band di
bawah pimpinan seorang musikus yang nasionalis, Wage Rudolf Supratman, Black
& White. Band tersebut terbentuk dan bermain di kota Makasar.
Pada waktu itu, jazz di
Indonesia pada jaman sebelum kemerdekaan memang dimainkan oleh musisi Indonesia
juga Belanda. Pergerakan lain juga terjadi dalam skala kecil di beberapa kota
besar di Jawa, semisal di Jakarta dengan terbentuknya Melody Makers yang ditokohi Jacob
Sigarlaki. Waktu itu Jacob didukung musisi lain seperti Bootje Pesolima, Hein Turangan, Nico
Sigarlaki hingga Tjok Sinsoe.
Melody Makers berdiri di era
1930an, sementara di tahun 1940an Hein Turangan kemudian juga membentuk grup
sendiri bernama Jolly Strings di
Jakarta. Di era 40an tersebut sudah muncul pula seorang kritikus jazz bernama Harry Liem, yang aktif menulis di Jazz Wereld.
Setelah selesainya Perang Dunia kedua, Harry Liem pindah ke Amerika dan tetap
meneruskan karir penulisan jazznya di sana.
Ada pula yang menulis, tahun
1930-an jazz sebenarnya mulai lebih dikenal di Indonesia. Dibawa oleh para
musisi asal Filipina, yang mencoba mencari pekerjaan sebagai musisi di
Indonesia. Mereka membawa jazz, dalam format bigband. Sehingga juga
memperkenalkan instrumentasi tiup, seperti saksofon, trumpet, trombone.
Para musisi Filipina ini lebih
condong pada sajian jazz dengan ritme Latin. Jazz yang kuat betul aroma musik
rhumba, boleros, samba dan sebangsanya itu. Nah, rasanya musik jazz mulai makin
menarik di saat itu. Apalagi memang kian dikenal sebagai musik dansa. Dimana
para musisi Filipina itu bermain di Jakarta, lantas ke Surabaya dan Bandung.
Catatan sejarah jazz di
Indonesia lebih lengkap memang akhirnya lebih dideteksi selepas Indonesia
merdeka. Setelah muncul nama-nama seperti Nick Mamahit, Bart Risakotta, Freddy
Montong, Didi Pattirane, Said Kelana, Mus Mualim, Bubi Chen, Jopie Chen, Jim
Espehana, Jack Lemmers (yang kemudian lebih dikenal sebagai Jack Lesmana)
hingga kemudian juga Didi Tjia, Benny Mustapha, Benny Likumahuwa, Maryono, Bill
“Amirsyah” Saragih, Lodi Item, Eddy Karamoy sampai Hasbullah, Kiboud Maulana
dan Ireng Maulana.
Ada pula catatan lain
menyebutkan, bahwasanya di tahun 1948 ada rombongan musisi Belanda datang ke
sini. Mereka berniat membentuk orkes simponi, yang maunya, mayoritas berisi
musisi lokal. Salah satu musisi Belanda yang dikenal pada masa itu adalah, Jos Cleber.
Nick
Mamahit di
pertengahan 1950an sempat merilis album Sarinande, yang mana Nick pada piano
didukung Bart Risakotta (drums) dan Jim Espehana (bass). Album tersebut
dianggap sebagai tonggak rekaman musik jazz di tanah air. Sebelumnya, Nicholas
Maximilian Mamahit, begitu nama lengkapnya, membentuk pula The Progressief, bersama Dick
Abel (gitar) dan Van der Capellen
(bass). Selanjutnya, Nick Mamahit bertemu Jos Cleber dan ikut membentuk, Metrapalita Orchestra.
Pada sekitar waktu yang sama atau
berdekatan, Amirsjah “Bill” Saragih
membentuk kelompok The Jazz Riders.
Tercatat para personilnya adalah Paul
Hutabarat (vokal), Herman Tobing
(bass), Yuse (drums), Didi Tjia (piano). Bill sendiri, sejak
itu memang sudah dikenal sebagai seorang multi-instrumentalis, ia memainkan
piano, vibes dan flute. Termasuk menyanyi.
Pada perjalanan berikutnya,
beberapa saat kemudian, salah satu kelompok jazz “tertua” di Indonesia
itu,mengalami pergantian formasi. masuk nama seperti Hanny Joseph (drums), Sutrisno
(tenor saxophone), Bob Tutupoli
(vokal) serta Thys Lopies (bass).
Tetap bersama Bill Saragih dan Didi Tjia. Kelompok ini bermain reguler di Hotel
Indonesia. Nama Didi Pattirane, juga
pernah mendukung kelompok ini.
Pada waktu berikut, masuk di
tahun 1967, muncul Indonesia All Stars.
Kelompok ini, sebenarnya dikumpulkan promotor dari Jerman, yang lantas juga
memberi nama tersebut. Kelompok ini
berlatih tekun dan gigih sepanjang 4 bulan-an.Itu memang syarat yang ditentukan
pihak promotor. Cerita dari Benny Mustafa van Diest, setelah 4 bulan kitorang
pikir, ah sudah nge-jazz lah. Pasti orang Jerman itu ok.
Kenyataannya, begitu mereka
datang, masih belum dianggap nge-jazz dengan baik. Maka mereka latihan lagi, 4
bulan lamanya. Latihan lebih giat lagi. Ada satu cerita lain, masih dari Benny
Mustafa van Diest, bahwa di tahun 1975 mereka itu pernah dikumpulkan orang
pemerintah. Mereka diminta untuk tidak memainkan musik jazz! Ternyata itu
adalah ide yang datang dari DN Aidit, bukan dari Soekarno.
Saat itu, mau tak mau mereka
harus mematuhinya. Nah ketika 2 tahun kemudian mereka rencana keliling Eropa
itu, sebetulnya “pelarangan” masih berlaku. Maka yang terjadi, mereka sempat di
Belanda, sampai di depan sebuah jazz club.
Ga ada yang berani masuk duluan, kepikiran bahwa mereka dilarang main jazz.
Padahal mereka sudah gatal pengen masuk, kepengen nonton dan siapa tahu bisa jammin.
Akhirnya mereka masuk, dan
mereka nekad untuk main jazz juga. Dari situlah kemudian mereka ke Berlin,
untuk ikut Berlin Jazz Festival. Pemunculan mereka mengagetkan di ajang tersebut.
Saat itu grup tersebut, yang telah berlatih susah payah dengan segala bentuk
keterbatasan saat itu, terdiri dari Bubi
Chen (piano), Jopie Chen (bass),
Jack Lesmana (gitar), Benny Mustapha Van Diest (drums) dan Maryono (saxophone). Mereka menyodorkan
“jazz Indonesia” seperti komposisi ‘Djanger Bali’ dan ‘Ku Lama Menanti’
(disingkat KLM, menjadi “ucapan penghargaan dan terima kasih” bagi dukungan
perusahaan penerbangan Belanda, KLM untuk keberangkatan grup tersebut)
Dalam kesempatan itu, Bubi Chen
mendapatkan respon sangat positif dari para penulis jazz internasional. Ia
lantas disebut sebagai pianis jazz terbaik di Asia, selain digelari sebagai
“Art Tatum of Asia”. Namun penampilan grup Indonesia All Stars juga mendapatkan
sambutan sangat hangat dari penonton.
Perlu diketahui Art Tatum bisa
disebut salah satu pianis jazz terbesar yang pernah ada. Pianis yang karena
gangguan katarak sejak kecil, hingga nyaris buta kedua matanya, tercatat sempat
menghasilkan sekitar 13 album solo. Ia dikenal luas lewat trionya bersama Tiny
Grimes (guitar) dan Slam Stewart (bass) di tahun 1943. Tatum yang meninggal
dunia di tahun 1956, pernah membuat Charlie Parker yang masih remaja mau
menjadi tukang cuci piring di clubs dimana Tatum bermain, untuk bisa terus
menyaksikan dan mendengar permainan Tatum.
Kelompok Indonesian All Stars
kemudian juga sempat melakukan rekaman. Dengan didukung musisi jazz Amerika
Serikat, Tony Scott. Mereka bertemu
dengan Tony Scott, klarinetist, di Jakarta sebenarnya, dan sudah mencoba
bermain di Jakarta sebelumnya. Tony saat itu memang tengah mempersiapkan album
rekamannya, dengan mengunjungi beberapa negara Asia. Tony adalah pemain
klarinet terbaik versi majalah jazz terkemuka, Down Beat,
Rekaman bertajuk Djanger Bali, Tony Scott and The Indonesian
All Stars. Dirilis tahun 1967 oleh label Jerman, Saba, dalam format vinyl
(piringan hitam). Memuat 6 tracks, ‘Djanger Bali’, ‘Mahlke for “Katz und
Maus”’, ‘Gambag Suling’, ‘Ilir Ilir’, ‘Burung Kakaktua’ dan sebuah nomer
standard, ‘Summertime’. Musik yang mereka mainkan memperkenalkan warna “east-jazz”, dimana ada bebunyian
instrumen etnik.
Ada beberapa repertoar yang
mengandung unsur musik tradisi Nusantara dalam album tersebut, tapi mereka
tidak memainkannya dengan menyertakan peralatan musik tradisi. Karena bebunyian
musik tradisi diwakili oleh petikan gitar Jack Lesmana atau pola tiupan
saxophone Maryono yang mengadaptasi pola glissando musik karawitan sunda.
Kemudian di tahun 1970 dalam
kesempatan Expo’70 di Jepang, tampil pula kolaborasi pianis Mus Mualim dan violis Idris Sardi. Mereka mencengangkan pula
penonton saat itu lewat sodoran konsep lain lagi dari apa yang disebut sebagai,
“jazz timur”nya pula, antara lain dengan memainkan ‘Es Lilin’.
Boleh juga disebut nama
kelompok musik Eka Sapta. Dimana
yang menjadi salah satu pendirinya adalah, Ireng Maulana. Bersama Bing Slamet, Eddy Tulis dan Idris Sardi.
Grup sebelumnya dari Ireng Maulana, antara lain ada Joes & His Band dan Gelora
Samudra. Menurut Ireng Maulana sendiri, Eka Sapta adalah grup pengiring dan
tidak memainkan jazz sebenarnya. Walau mereka,para musisinya, mulai menyukai
jazz saat itu. Tapi mereka adalah grup pop yang menjadi grup pengiring para
penyanyi di masa itu.
Memasuki dekade 70-an,
kehidupan jazz Indonesia dilanjutkan dengan aktifitas di beberapa kota besar.
Misalnya di Jakarta dengan Jack Lesmana didukung penuh sang istri, Nien
Lesmana. Mereka aktif menggelar jazz di panggung, terutama di areal Taman
Ismail Marzuki dan juga di layar kaca, TVRI. Tontonan rutin digelar, walau
seringkali minim penonton, konon pernah terjadi satu acara jazz di TIM hanya
disaksikan tiga orang penonton saja!
Pada tahun 1976, dalam acara
bertajuk Jazz Masa Dulu dan Kini,
30-31 Mei 1976 muncullah musisi belia. Dia bermain piano masih di atas pangkuan
Broery Marantika, dengan kaki belum
dapat menyentuh pedal. Dialah musikus masa depan, Indra Lesmana. Di waktu itu pula, Jack Lesmana memperkenalkan
kakak-beradik yang disebut musisi jazz sangat berbakat yang datang dari
Surabaya, Oele dan Perry Pattiselanno.
Pementasan Jazz Masa Lalu dan
Kini itu kemudian direkam dan dirilis ke publik. Merupakan rekaman live pertama di tanah air saat itu.
Dalam rekaman tersebut, seperti juga dalam pementasannya, tampil para musisi
papan atas seperti Bubi Chen, Benny Likumahuwa, Didi Tjia, Benny Mustapha,
Abadi Soesman, Margie Segers, Rien Djamain, Broery Marantika. Termasuk pula
Indra Lesmana dan kakak-beradik, Oele dan Perry Pattiselanno.
Di Bandung kegiatan jazz
digalang antara lain oleh para penikmat jazz dan termasuk Hasbullah bersama Sonata 47. Hasbullah adalah ayah kandung musisi
kakak-beradik, Elfa Secioria dan Hentriessa Yulmeda, yang pada waktu
kemudian lantas menjadi motor pergerakan lanjutan di Bandung. Perlu juga disebut
nama Eddy Karamoy, yang mendukung
kegiatan jazz di Bandung. Di mana pada masa berikutnya ada nama Ventje Manuhutu pula. Di Surabaya
terdapat tokoh-tokoh seperti Bubi Chen dan Maryono.
Menyangkut rekaman, di tahun
70-an, Jack Lesmana juga kerap menghasilkan album rekaman jazz. Selain album
solo, juga album dari beberapa penyanyi seperti Margie Segers, Rien Djamain,
Broery Marantika. Dan saat itu
terdapat label rekaman Hidayat,
sebagai label indie yang aktif memproduksi rekaman-rekaman jazz. Hidayat
kemudian ditemani label lain, Pramaqua.
Pramaqua antara lain merilis
album Jopie Item Combo & Idris Sardi
di tahun 1977, yang antara lain didukung pula musisi kawakan seperti Karim Suweilleh (drums), Abadi Soesman (drums) dan Wempy Tanasale (bass). Album ini
mengetengahkan duet permainan biola Idris Sardi dan raungan gitar Jopie Item.
Jopie Item sejak pertengahan
1970an muncul sebagai generasi lanjutan jazz Indonesia yang lumayan aktif
bermain di pentas clubs dan TVRI. Grupnya waktu itu yang terkenal adalah Jopie Item Combo antara lain dengan
Karim Suweilleh, bassist funky pertama, Wempy Tanasale. Dengan kibordisnya Alex Faraknimella, kerap juga Jopie
bermain dengan Rully Johan atau Abadi Soesman. Salah satu mata acara tetap,
program jazz di TVRI yang mereka isi adalah, Nada dan Improvisasi, yang dibuat oleh Jack Lesmana.
Sementara Abadi Soesman sendiri
juga memiliki proyek jazz rocknya yang lain, dengan kelompok The Eternals, yang juga bermain di
clubs. Abadi Soesman dikenal saat itu dengan penyanyinya, Mira Soesman.
Mulai juga berkelana di clubs
ataupun bar dan kafe di era 80-an beberapa nama jazzer lain, seperti Ireng
Maulana dan Kiboud Maulana. Kemudian lainnya adalah gitaris kawakan Victor Rompas, yang muncul di kafe-kafe
milik pasangan artis Frans Tumbuan dan Rima Melati, salah satunya, Jaya Pub. Victor Rompas bermain secara
rutin di Jaya Pub sepanjang 30 tahun! Ia terpaksa harus berhenti karena terkena
serangan stroke.
Di akhir 1970-an, tepatnya di
1978, berdirilah kafe yang lantas menjadi salah satu tempat trendy terpenting pergerakan jazz di era
80an, Green Pub, di gedung Djakarta
Theatre di pusat kota Jakarta. Waktu itu yang tampil dalam grup yang memakai
nama Gold Guys sebagai formasi perdana
adalah Armand Marah (kibor), Djoko Waluyo
Haryono (gitar), Dicky Prawoto
(bass), Karim Suweilleh (drums) dan Embong Rahardjo yang kerap digantikan Maryono (saxophone). Vokalisnya waktu
itu adalah Jackie Bahasoean, vokalis
jazz yang datang dari Surabaya.
Dekat dengan Green Pub, di
areal lobby hotelberbintang, The Jakarta Mandarin, ada tempat hang-out jazz
lain, Captain’s Bar. Disitu yang
menjadi leader adalah kibordis, Christ
Kayhatu, yang antara lain didukung oleh Jopie Item, Yance Manusama
dan drummer, Rully Bahri. Kelak
kemudian, para musisi kedua tempat itu, bersekutu dalam studio rekaman,
menghasilkan album-album rekaman yang sangat menonjol di era 1980-an.
Pada jaman 70-an tersebut, jazz
Indonesia juga didukung oleh beberapa penulis yang adalah penggemar jazz setia
seperti Soedibyo PR dari Bandung
selain Tim Kantoso DM yang keduanya
selain menulis juga membawakan acara jazz di radio. Ada pula mantan bassist Jim Espehana, yang lantas menjadi
penulis dan kritikus jazz di Bandung,.Selain Indra Malaon SH, yang di tahun 1980an kemudian mendirikan Perhimpunan Jazz Indonesia. Indra
Malaon kerap siaran jazz di radio bareng Tim Kantoso. Nama acara mereka, Jazz Vanguard.
Perlu diingat pula, di akhir
70-an tersebut mulai terdeteksi pergerakan jazz di lingkungan kampus. Yang
paling menonjol adalah Universitas Indonesia lewat para mahasiswa Fakultas
Ekonominya. Pada waktu itu muncul Chandra Darusman dengan kelompok vokalnya
bernama Chaseiro yang antara lain didukung teman-teman sekampusnya seperti
kakak beradik Helmie dan Rizali Indrakesuma, Edi Hudioro, Norman Sonisontani
atau Omen, selain anak fakultas kedokteran, Aswin Sastrowardoyo.
Dan Candra Darsuman dan
teman-temannya dari FE-UI kemudian menghasilkan pentas, Jazz Goes to Campus, yang mulai digulirkan sejak 1978. Acara
digelar di kampus mereka di Salemba. Dalam konsep sederhana, dan hanya diadakan
dari siang hari sampai sore hari saja.
Kembali ke Chaseiro, kelompok
ini di rekaman maupun di atas pentas kerap didukung musisi berbakat dari
lingkungan SMA antara lain dari SMA di kawasan Bulungan, Jakarta Selatan. Yang
kerap mendukung adalah adik kandung Edi Hudioro yaitu drummer Uce Haryono selain peniup klarinet, Rezky Ratulangi Ichwan. Serta rekan
sesama UI, dari Kedokteran, Iwang
Gumiwang (perkusionis).
Selain Chaseiro yang sejatinya
pada rekamannya lebih ke bentuk pop dengan sedikit aroma jazz, muncul pula
musisi muda lain Fariz Rustam Munaf.
Fariz merilis album yang lumayan tebal unsur jazz rocknya yaitu Sakura di tahun
1978. Fariz adalah wakil figur muda dari lingkungan SMA selain Uce dan Rezky di
atas, yang tampil ke permukaan meramaikan pergerakan jazz Indonesia. Walau pada
waktu itu, Fariz lebih dipandang sebagai musisi dan penyanyi pop. Fariz disusul
kelak oleh Addie MS juga Raidy Noor. Addie dan Raidy, membentuk AIR, dengan
Ikang Fawzy. Tapi trio itu, sebenarnya tidak memainkan jazz.
Di akhir periode 70-an
tersebut, juga kian banyak penyanyi-penyanyi yang aktif di lingkungan kafe,
menyanyikan lagu-lagu bertema jazz, jazz-pop seperti antara lain ada nama Hemi Pesolima, Henry Manuputty, Utha
Likumahuwa, Ria Likumahuwa, Aska Daulika hingga Vicky Vendi sampai juga, Mus Mujiono.. Termasuk berikutnya ada Nunung Wardiman, Jopie Latul.
Kelak pada periode berikutnya,
di tahun 1980-an, nama-nama seperti Candra Darusman, Chaseiro, hingga Jopie
Item, Ireng Maulana, Utha Likumahuwa dan termasuk Elfa Secioria dan Indra
Lesmana menjadi lebih besar dan menjadi motor utama penerus kehidupan jazz di
tanah air. Termasuk, seperti yang telah ditulis di atas, persekutuan para
musisi jazz(y) Green Pub dan Captain’s Bar.
Nama yang sebenarnya lebih
nge-pop, terutama di dunia rekaman, Fariz RM kemudian ditemani nama lain, Dian Pramana Poetra. Mereka menambah
kesemarakkan jazz di Indonesia, tentulah dengan jenis yang lebih "light", di era 1980-an tersebut. Sampai lantas membuat
anggapan bahwa jazz naik daun, menjadi trend musik lain di sini. Malah sempat
disebut sebagai bagian dari musik mainstream,
teristimewa untuk rekaman.
Segitu saja dulu ya. Nanti
dilanjutkan dengan jazz di Indonesia era berikutnya. Tulisan saya di atas ini,
pastilah belum lengkap. Bisa jadi,ada banyak nama yang belum ikut tertulis. Bahan-bahan
tulisan saya kumpulkan dari berbagai sumber, tapi terutama dari cerita para
musisi. Ketidaklengkapan, pasti sulit dielakkan, dikarenakan, sayapun tidaklah
mengalami masa itu secara langsung..../*
No comments:
Post a Comment