Sunday, March 13, 2016

Manajer Artis, Bag.Kedua. How to Build?


Pada tulisan pertama perkara Band-Management, sudah dikupas-abis segenap pernak-pernik en romantika mengelola sebuah band atau artis penyanyi di Indonesia, pada masa sekarang ini. Kesimpulan utama, memang menjadi manager sebuah band atau penyanyi, adalah lahan pekerjaan baru yang menggiurkan!
Tapi butuh pengetahuan dan wawasan yang luas. Kemampuan menejerial, yang bisa saja tidak harus keluaran sekolah tinggi menejemen, sebenarnya tetap saja harus ada at least “sedikit” pengetahuan. Namun dengan “spesifikasi” khusus. Soalnya memang benar adanya, There’s no Bussiness Like Show Bussiness...
Tapi pada tulisan pertama itu, NM mengungkap “belantara” dan strategi tertentu untuk menejemen band dan artis penyanyi, yang terbilang sukses. Ya sukseslah, kalau “argometer”-nya saja sudah menembus angka 50-an juta misalnya, untuk per-order show band atau penyanyi bersangkutan.
Sekarang, gimana kalau memenej band atau artis penyanyi yang baru? Album rekaman saja baru saja 1 dikeluarkan, malah sekarang ini banyak juga yang merilis single saja. Album belum bisa dibikin, coba dulu dengan single. Kalau single sukses, baru berani dibuatkan albumnya.
Single sukses, apa dong ukurannya? Paling tidak ya, sering dirikues pendengar radio-radio. Makin sering dirikues, akan jadi makin sering diputar satu demi satu radio. Lebih banyak radio yang sering memutar, maka itulah tanda kesuksesan itu. Artinya ya, makin dikenal publik.
So, begitulah ceritanya, kita bahas soal band-band atawa artis penyanyi baru. Nah dari sinilah sisi “unik”nya sebetulnya. Banyak teman, kerabat, sodara, bahkan ayah atau ibu atau kakak atau adik kandung sendiri, di”pinang” menjadi menejer. Karena alasan utama, belum ada uang cukup. Dana terbatas!
Dana terbatas, eh sebenarnya ga terbatas-terbatas amat. Seperti yang dibilang di atas itu, ini sisi uniknya. Ada saja band atau penyanyi baru, tau-taunya punya modal yang ajegile! Bisa mengongkosi biaya promosi, ini biaya terbesar dari album rekaman, bahkan hingga nilai milyar! Oho, believe it or not...
Puluhan juta itu biasa, ratusan juta aja ada. Bahkan yang berani “menginvest” sampai 1 milyar koma sekian juga ada. Biasanya orang tua yang “begitu sayang dan care” sama anaknya. Anaknya nge-band, atau anaknya penyanyi. Band-nya dianggap lumayan, dan ini kan kegiatan positif, daripada anaknya narkoba atau bergaya hidup yang tidak-tidak.
Suara penyanyinya terhitung bagus, selera juga bagus. Karena ortu sayang anak, begitu anaknya bilang kepengen jadi penyanyi, maka disokonglah sepenuhnya. Musisi sebagai produser dicari, diharapkan bisa menjadikan anaknya penyanyi beneran. Biasanya gini, yang penting anak saya bisa melampiaskan hobi dan kesenangannya. Sepertinya, anak kami punya potensi, kenapa tidak kita dukung saja. Dan kami tidak berhitung, namanya untuk anak sendiri...
Itu yang biasa terjadi, biasa ditemui. Banyak orang tua, awalnya mengatakan ga papa keluar uang yang “cukup” banyak, kan demi anak.... Mereka tidak akan berhitung untung dan rugi, itu yang dikatakan banyak orang tua. Tapi well, saudara-saudara sekalian... pada akhirnya sih, sejatinya tidak akan ada satu orang tuapun walau sayang anaknya kayak gimana, “rela” keluar uang terus dan...tidak kembali! Manusiawilah...
Banyak kok kejadian begitu. Album si anak, baik dengan band atau yang penyanyi solo, dikerjakan serius. Lalu mencari pihak yang bisa mempromosikan dengan “baik dan benar”. Bertemulah dengan pihak yang mengaku pandai mempromosikan album rekaman, keluarlah semacam quotation. Perhitungan rancangan biaya promosi, sudah termasuk radio, televisi, jumpa pers dan lain-lainnya.
Asyiknya, tak sedikit pihak yang mahir melakukan promosi itu, berjanji muluk-muluk. Ortu tertarik, ah tepatnya terlena! Mungkin berhasil membuat ortu itu bermimpi, anaknya sukses besar. Waow... maka kalau sudah begitu, apalagi kalau ortunya memang berkantong tebal, dana berapapun tak terlalu jadi masalah. Malah seringkali, pihak ortu yang minta frekwensi promosi ditingkatkan!
Sampai pada posisi ini ya, ortu masih menjadi sekaligus tuh, ya executive-producer alias “cukong” dan juga “menejer”. Nanti belakangan, begitu repot menghadapi jadwal promosi anaknya, ortu mulai mencari siapa yang bisa “membantu” menghandle anaknya. Nah itu dia, bisa saja mereka melihat eh ibu dan kakaknya saja deh.
Atau bisa juga, si anak yang mengusulkan, mendingan teman mereka atau sahabatnya saja yang membantu soal itu. Pada tahap ini, sebenarnya belum “menejer” yang dicari. Baru pendamping saja. Yang pada tahap berikut, si pendamping itu tau-taunya bisa menjadi menejer, “disadari atau tidak”. Sayangnya, dengan kemampuan yang rada terbatas sebetulnya.

Pada tahap inilah, mulai dibutuhkan menejer yang sebenarnya. Bagaimana mulai mengelola, mengarahkan dan membentuk imej band atau penyanyi tersebut. Karena, pergerakan awal itu harus diteruskan dengan sebaik-baiknya. Maksudnya adalah, melanjutkan akan langkah berikutnya setelah ada album, mulai promosi, publik mulai mengenal.
Bagaimana si menejer memanfaatkan “modal awal” promosi dengan album yang sudah selesai, untuk membawa band atau si penyanyi meneruskan karir musiknya yang sudah dibukakan pintunya. Eng ing eng...inilah tantangannya. Bisa tidak si menejer membawa band atau penyanyi itu, meningkat lagi popularitasnya. Ya kalau popularitas meningkat, artinya penjualan album makin tinggi dan kegiatan show bertambah.
Catatan yang harus diperhatikan adalah, menyangkut show, sudah bisa untuk mendapatkan fee. Tidak lagi, karena promosi maka tak ada fee. Hanya memperoleh kesempatan manggung saja. Tak ada fee apapun. Benefit hanya sebatas, dipromosikan saja agar ada penonton yang datang.
Pada awalnya memang begitulah, mencoba memperoleh kesempatan bisa manggung dulu, dimanapun. Dengan manggung, publikpun mulai mengenal. Tentu saja, kesempatan itu harus dimanfaatkan sebaik mungkin. Walau tanpa memperoleh bayaran. Manggung gratislah. Kalau penyanyi solo, mungkin bisa saja tampil dengan minus-one. Kalau band?
Ini memang harus disadari untuk semua bisa berkorban dulu, pada tahap-tahap awal, bersedia menerima kesempatan manggung tanpa bayaran. Syukur-syukur kemudian perlahan mulai mendapat kesempatan manggung dibayar walau kecil, hanyalah semacam “transport-fee” saja.
Karena belum memperoleh bayaran, bagaimana posisi menejer di tahap ini? Gimana bisa dapat bayaran? Tantangan memang banyak dan berat. Salah satunya ya usaha kiri-kanan, cari kesempatan main, tapi belum memperoleh apa-apa. Band atau penyanyi saja tak dibayar, bagaimana mungkin menejernya mendapat bayaran?
Posisi menejer tersebut bisa “cukup aman”, kalau saja ada boss tertentu yang bersedia menjadi penyandang dana band atau artis penyanyi tersebut, pada tahap awal. Seperti yang ditulis di atas itu, misal orang tuanya. Atau bisa saja, penyanyi itu yang ternyata punya dana mumpuni. Biasanya penyanyi solo cewek. Dapat dari mana duitnya, penyanyi cewek itu tajir? Ah sudahlah....
So lihat kan, tergantung nasib dah! Bisa saja, band atau penyanyi punya penyandang dana. Artinya, ceritanya ya bagus dong buat menejernya. Atau, tanpa penyandang dana, tapi semangat tinggi bangetlah yang menjadi modal utama. Mau ga ikutan berjuang dari “titik nol” dulu?
Di sini memang perlu kreatifitas dari menejer, mengemas artisnya menjadi “barang” yang bisa menghasilkan. Tapi harus dibantu sepenuhnya pengertian dari band atau penyanyi solonya. Mereka juga harus mau membenahi diri, memperbaiki terus kemampuannya, belajar terus dengan semangat, supaya bisa “layak” untuk dijual.
Sinerji antara menejer dengan band atau artis penyanyi solo itu sangat dibutuhkan. Terisimewa pada tahap terawal. Menejer sebagus apapun sebagai lobbyist, akan tak berarti apa-apa, bila artisnya sendiri memang tak berupaya maksimal untuk layak dijual.
Untuk menejer, ya begitu memang, punya kemampuan lobby yang baik. Tapi bisa juga memimpin “anak asuh”nya dengan sama baiknya. Bagaimana memotivasi mereka, untuk benar-benar serius berjuang bersama. Merekapun harus sama seriusnya dengan si menejer.
Menejer pada tahap awal ini, kelihatannya memang dituntut berjuang “ekstra”. Antara lain, mengupayakan “ongkos” sendiri. Untuk lobi kanan-kiri, promo lanjutan terus. Disarankan, sebaiknya menejer di tahapan ini sebaiknya memang memiliki pekerjaan lain. Pemasukan side-job nya yang diharapkan bisa menutupi ongkos “produksi” awal tersebut. Berat ya?
Iya dong, kan udah ditulis juga di atas keleeussss. Gimana, berani menerima tantangan? Itu memang tergantung apa ya, nyali, intuisi juga kayaknya. Kepercayaan diri berlipat. Sekali lagi memang apes, kalau menejer semangat berlipat-lipat tapi “anak-anak asuh”nya terkesan kelewat santai!
Santai karena mereka sebenarnya juga belum memahami arti kerjasama dan deskripsi seorang menejer. Pada banyak kasus, terutama bagi artis-artis solo baik perempuan maupun pria, menejer suka dianggap juga...”tukang bawa-bawain” barang-barang keperluan si artis. Runyamlah! Sering terjadi terutama bila si artis solo itu datang dari keluarga berkantong tebal.
So, sangat penting bagi kedua belah pihak memahami betul tugas dan tanggung jawab masing-masing dengan detil dan baik. Semua pihak punya kewajiban. Menejer yang dianggap failed atau ga “becus” ya kan bisa kena pecat? Tapi kalau band atau penyanyinya yang kelewat santai, gimana? Ya si menejer boleh pamit mundur ya? Silahkanlah mereka urus sendiri aja...
Yang perlu diketahui, banyak band-band yang besar pada saat ini, pada perjalanan mereka sempat berganti-ganti menejernya. Ya banyak hal yang jadi alasan dan pertimbangan. Tentu saja, kecocokkan ritme kerja dan kesamaan visi dan misi memang memerlukan waktu. Kalau proses itu ternyata ga ketemu-ketemu juga, pastinya ya perpisahanlah jalan keluarnya...
Mungkin saja, menejer A dianggap ga bisa “memimpin” dengan baik sampai sukses band B. Tapi ternyata ia bisa sukses dengan band A. Nah band B, bisa sukses setelah dipegang menejer C. Jodoh-jodohanlah namanya. Itu juga bisa diartikan, menejer yang sukses seperti apapun, bukanlah jaminan akan bisa membuat sebuah band baru, menjadi sama suksesnya seperti band yang telah dikelolanya sebelumnya!
Situasi dan kondisi lain juga bisa terjadi begini, band sukses pindah menejer. Ketemu dengan menejer sukses. Ternyata malah menjadi tidak sukses. Kok bisa? Sekali lagi, jodoh-jodohanlah namanya. Lebih ke faktor luck saja rasanya. Luck-nya si band atau artis bukan dengan si menejer itu, demikian pula sebaliknya.
Tapi eits, seberapa lama sih band atau artis penyanyi dari titik terawal karirnya mendaki karirnya, sampai mencapai tahap sukses? Ga ada yang bisa memastikan. Yang jelas, jalani dulu semua dengan keyakinan berikut kesabaran. Sinerji internal, saling mendukung dan saling mempercayai antara menejer dan artis. Kalau jalannya benar, insya Allah pintu menuju kesuksesan terbuka lebar.
Soalnya, selalu saya tegaskan, kalau soal sukses mah itu udah perkara rezeki. Ya rejekinya semua. Si menejer, si artis penyanyi. Ada penyanyi, baru sealbum, tetiba bisa meledak hebat. Langsung populer, padahal tiada disangka-sangka sebelumnya. Nah yang repot, banyak kasus beginian menjadi, menejer over-confidence coy. Itu “argometer” lantas saja menulang tinggi dengan cepatnya. Aji mumpung! Ini sudah dibahas di tulisan pertama....
Well, konsep dagang dah. Ada permintaan, ada tu barang. Mau barang bagus, adalah harganya. Harga pastinya baguslah, karena barangnya bagus pula. Dijaminlah. Elu boleh cek di toko sewelah, kalo elu ga pelcaya.... Eala, emang “barang musik” itu model barang kelontong, kayak consumer goods, atawa seperti barang...pecah belah kebutuhan rumah tangga? Atau, band atau penyanyi, emangnya kayak celana jeans atau apparel?
There’s no biznizzz like show-business, peeps! Ya sudah itu aja. Tapi, sekali lagi dan lagi, yang penting sinerjinya sih. Semua saling membantu saja, saling membutuhkan kan? Semua pada dasarnya, berarti bagi satu sama lain. Ketika kesuksesan dan datang duit terus dan terus, berkah itu layaklah dapat dinikmati semuanya. Toh semua ada usaha, ada tanggung jawab dan semoga memang semua juga berdoa yang sama.... /*
















No comments: