Thursday, March 3, 2016

Konser Badai Pasti Berlalu-LCLR+, Sebuah Era di Lintasan Sejarah Musik Kita



Satu ketika, saya pernah ngobrol dengan Keenan Nasution. Kami berdua, ngobrol soal bikin musik dan lagu dulu, di era 1970-an. “Jaman kita semua masih muda, wah kreatifitasnya gilalah. Kepengennya beda aja. Semangatnya ya lucu. Dan seru,” begitu cerita Keenan.
Era itu sangat “idealis”, begitu ya? Keenan tak menampiknya. “Kita bikin lagu dan musik,kepengen ya bikin aja. Tak terlalu mikir, ini bisa dinikmatin orang atau ga ya? Idealis sih, kita bikin lagu yang kita pengen bikin. Enak aja gitu. Belakangan baru gw pikir-pikir, kok dulu ternyata lagu-lagu gw tuh, susah-susah juga. Maininnya kok bisa-bisa aja dulu ya.” Kamipun tergelak. Masak sih?
Iya bener, jawab Keenan. Lirik atau syair juga ya kreatif banget yang bikin. “Kayak Guruh ya, bikin pakai bahasa sansekerta segala, bahasa Bali juga ada. Lirik-lirik lagunya jadi memang aneh-aneh. Sebenarnya,kalau ditanya sekarang, memang mau aneh begitu? Gw harus jawab, ga juga sih. Tapi ya jadinya begitu. Dulu kayaknya kita asyik-asyik aja...”
Kepikiran ga waktu mau bikin lagu macam ‘Nuansa Bening’ lah misalnya. Kepikiran bakal jadi hits, lantas beberapa puluh tahun kemudian eh jadi hits lagi? “Ga tuh. Ya bikin aja. Jadinya itu. Lalu orang-orang pada suka, ya syukurlah. Tapi kenapa mereka suka, ga ngerti. Aku aja kaget, apanya yang enak ya lagu itu?” Keenan tersenyum lebar.

Itu sekilas obrolan beberapa tahun lalu. Saya memang iseng mengamati, memang lagu-lagu tahun ini, pilihan liriknya itu lho. Aneh bin ajaib. Susah-susah gampang dicerna. Tapi seberapa susah atau apakah memang susah, toh sebagian di antaranya bisa menjadi lagu yang lumayan populer. Bahkan lantas, model lirik begitu, sempat menjadi trend di era itu.
Pada masa itu, memang genre musik yang diberi nama Art-Rock, sedang mulai naik daun. Dengan Genesis misalnya (terkhusus era 1970-an, album Foxtrot yang dirilis 1972. Selling England by the Pound, 173. Atau, The Lamb Lies Down on Broadway, 1974. A Trick of The Tail, 1976).
Ada juga Yes, sebagai contoh lain (misalnya, juga di era 1970-an, dengan The Yes Album atau Fragile, keduanya dirilis 1971. Close to the Edge, tahun 1972. Tales from Topographic Ocean, 1973. Relayer, 1974).
Art Rock, yang lantas pada dekade 1980-an mulai lebih sering disebut sebagai Progressive Rock, pada dasarnya adalah subgenre baru yang memang lahir sekitar penghujung 1960-an. Genre besarnya, sebagai payung utama, tentu saja, Rock. Nah, art rock atau prog rock itu, mengaduk rock dengan berbagai musik lain. Teristimewa adalah apa yang disebut, psychedelic rock, yang dianggap sebagai salah satu “sokoguru” utama dari art rock. Selain itu juga kuat mengandung elemen musik klasik. Selain juga jazz, hingga blues.
Art rock, mulai dikenal di dataran Eropa. Di Inggris, pada awalnya. Kemudian ke beberapa negara Eropa lain, di akhir dekade 1960-an. Art rock lantas juga masuk Indonesia. Ya memang terutama lewat musiknya Yes dan Genesis itu, yang menjadi “menu wajib” dengar banyak musisi di era 1970-an. Selain itu, ada juga grup-grup lain yang “memperkenalkan” art rock seperti The Moody Blues, Cream, Pink Floyd, Jethro Tull, King Crimson, Emerson, Lake & Palmer. Itu hanya sebagian kecil saja nama, yang masuk sebagai grup-grup pelopor subgenre ini.
Salah satu content utama pada bunyian musik art rock adalah instrumen keyboard. Dalam hal ini lewat perangkat organ, di era itu belum ada synthesizer yang digital itu. Tentu juga belum ada MIDI. Nah organ jadi salah satu yang paling vital. Ada Hammond B-2 Organ yang paling populer saat itu. Baru kemudian dikenal peralatan synthesizer, yang dulu itu dikenal Moog-Synthesizer, salah satu yang mulai dimainkan di era 1970-an.
Nah organ atau keyboard di depan, gitar juga penting sih. Drums lebih kaya dengan banyak fill-in. Dan ciri utama lain, dari lagu art rock adalah...Lagu dengan lirik yang “kompleks”. Saking kompleksnya itu lirik atawa syair, lagunya sampai bisa berdurasi di atas 20-an menit! Alhasil, yang mengandung kompleksitas tinggi itu ya musiknya, ya lagunya juga deh.
Dan art rock itu, dianggap musik yang menyanjung kemampuan musikalitas, skill, para musisinya. Itu juga yang dikedepankan. Ciri-ciri itu, tak ditemui di jenis musik lain, termasuk yang ada dalam genre Rock.
Ok, sorry ya, saya ga bermaksud mengupas soal art rock atawa prog rock kali ini sih. Saya kepengen mengangkat soal kompleksitas lirik atau syair lagu. Seberapa kompleksnya?

(Jurang Pemisah – Yockie Suryo Prayogo. Jurang Pemisah, 1977)
Dari puncak bukit megah ini
Sejenak pandangku terlempar
Nun jah dlembah di bawah sana
Terpisah dalalm
Dan curamnya jurang

Disana sobatku berkumpul
Bergumul dalam liatnya lumpur
Merangkak mencari jalan keluar
Terhuyung tersandung
Dan jatuh lagi
Bilakah saatnya
Kau datang dan berkumpul
Di bukit megah ini
Hai

Itu salah satunya. lagu ‘Jurang Pemisah’. Musiknya yang relatif kompleks dan mengandung unsur symphonic yang tebal. Liriknya, sebenarnya “terlalu pendek”. Salah satu lagu art rock atau prog rock, yang liriknya paling minimalis. Tapi telusuri saja pilihan kata dan juga temanya.

Lagu ini diambil jadi pembuka, pada pergelaran konser Badai Pasti Berlalu – LCLR + di kota Surabaya, akhir Februari kemarin. Dan pergelaran ini sarat betul dengan hidangan musik dan lagu, yang kental banget prog rock nya. Karena ya, lagu-lagu yang dibawakan itu semua datang dari era 1970-an akhir sampai 1980-an.
Musik serius ya? Kurang tepat. Serius memang, tapi ga lantas berarti “berat” dan terlalu bikin kening berkerut. Karena kalau kening kelewat lama berkerut, bisa memancing keriput dong? Sapa yang mau keriput? Biar kata umurnya udah banyak sekalipun. Artinya bro en sis, lagu serius tapi toh bisa populer.
Dari pergelaran yang relatif besar itu, sebagian lagu karya Yockie Suryo Prayogo. Yockie adalah bak macam Rick Wakeman-nya Indonesia,pada era 1970-an. Tony Banks juga kali ya?
Sebagian lagu lain, adalah lagu-lagu terbaik dari ajang Lomba Cipta Lagu Remaja, yang digelar Radio Prambors, Jakarta. Pada album dari kontes lagu yang bergengsi di era 1970-1980an itu, Yockie Suryo Prayogo kerapkali terpilih menjadi Music Director nya. Yockie yang membesut musik dari 10 Lagu Terbaik ajang tahunan itu. Pada konser di Surabaya, lagu pembuka dibawakan duet, Andy /rif dan Kadri Mohamad. Perpaduan rocker generasi 1990-an dan 1980-an.
Kental nuansa prog rock nya. Megah, terkesan anthemic. Musiknya relatif padat, penuh tenaga. Cocok sebagai opening. Tapi lagu berikutnya, ini yang datang dari ajang lomba cipta lagu, yang melahirkan banyak penulis lagu dan penyanyi, yang kemudian sukses. Lirik lagu tetap kuat, tapi terasa lebih light. Progressive pop, atau ballad? Ah, ga ada kali yeee, istilah prog ballad. Pop tapi lebih detil. Bisa disebut sebagai, awal dari apa yang kemudian dikenal sebagai “pop-kreatif”, yang sempat lumayan populer di era 1980-an.
Sesejuk bayu semilir berhembus /Lembut alunan melodimu berlagu/ Bangsa yang ramah Bertebar menyusuri / kedamaian yang rawan / Membuai buana  / lewat nada-nada cinta oh... (Kelana – Hotma Soehartono. 10 Lagu Terbaik, Lomba Cipta Lagu Remaja Prambors, 1977)

Dhenok Wahyudi yang menyuarakan lagu itu. Penyanyi orisinal. Aslinya yang menyanyikan lagu itu dalam album 10 Lagu Terbaik LCLR 1977. Dhenok kabarnya lantas menjadi salah satu leader, pada “rombongan” LCLR+. Dituakanlah,.Ia tampil sangat “70-an”, dengan rambut disasak! Suaranya teduh banget. Suasana nostalgia langsung kuat semerbak mewangi.
Unsur nostalgia,menjadi tawaran hidangan yang memikat. Maka dari itu, tak heran “paket” tontonan ini, lumayan laris manis karcisnya. Penonton memadati arena hall di Grand City Mall, Surabaya. Tak beda jauh dengan apa yang terjadi di kota Jakarta dan Bandung.
Jadi serunya begitu, “paket” ini tak dinyana bisa berkeliling. Jadi tour. Walau penyelenggaranya berbeda-beda. Sambung menyambunglah.1 & 2 Oktober di Balai Kartini Jakarta, digagas dan digelar oleh XI Creative, yang adalah para alumnus SMAN XI Bulungan. Di Bandung kemudian digelar di Sabuga, pada 23 Januari, oleh Mahana Live.

(Angin Malam – Keenan Nasution, Debby Nasution – Badai Pasti Berlalu, 1977)
angin malam
semerbak wangi bunga dalam hening khayalan asmara
hatiku rawan menanti kehidupan
dewi malam pancaran bahagia

kuingin selamanya
mendambakan khayalku 'tuk kau juwita
dalam hening dalam lamunan
menanti datang penghuni di malam

Lagu di atas dimainkan juga terus, di Jakarta, Bandung dan Surabaya.Cuma penyanyinya beda. Karakternya lain-lain. Di Jakarta dengan Once. Kota kembang, Bandung, dinyanyikan oleh Che Cupumanik. Nah di Surabaya, dipercayakan pada Marcell. Tetap bersama kibordis yang ikut menulis lagu ini, Debby Nasution, sebagai very special guest. Debby tentunya memainkan kibor.
Sebelumnya, ada nama “orisinal” lainnya, yang bisa disebut lahir pula dari ajang LCLR Prambors. Louise Hutauruk. Yang cantik, tetap enerjik, penuh keceriaan saat di panggung. Louise membawakan selalu lagu, ‘Kharisma Indonesia’, dan lagu, ‘Khayal’.

Ohh semesta... Simphonymu / Tiada pernah nyata / Paduan nada mengiringi / Hidupmu insan... Niskala  (Citra Hitam – Junaedi Salat, Yockie Suryo Prayogo, Chrisye. Sabda Alam, Chrisye, 1978)
Yockie Suryo Prayogo sendiri, juga ikut menyanyi. Setiap kota, Yockie menyanyikan lagu, ‘Citra Hitam’, yang dulu dinyanyikan Chrisye. Perlu diketahui, Yockie juga sebenarnya ikut menyanyi pula di lagu, ‘Dalam Kelembutan Pagi’, versi asli 1977. Dan ya, silahkan diamati sendiri,pilihan lirik lagunya.
Mungkin boleh dibilang, pilihan kaa yang sudah terhitung langka. Tak lagi ada di lagu-lagu pada jaman sekarang. Puitis nya beda. Tak terlampau sulit dipahami sih sebetulnya, walau tak lantas berarti sederhana.
Cuma catatan sedikit, bukan berarti saya bilang, yang sederhana itu mudah. Maksudnya dalam isi syair lagu. Semisal, contoh beda ya, lagu-lagu karya Koes Plus (atau Koes Bersaudara). Relatif sederhana sebenarnya. Terasa ringan dan renyah. Tapi apa lantas berarti, mudah gitu? Oho, faktor “kesulitan”nya ada, tapi tentunya beda ya dengan lagu-lagu dalam konser ini.
Jalan berliku dalam kehidupan / Dua remaja kehilangan / Penawar rindu kasih pujaan / Menempuh cobaan (Kala Sang Surya Tenggelam – Guruh Soekarno Putra. Sabda Alam, Chrisye, 1978)

Lagu ‘Kala Sang Surya Tenggelam’ memang menghanyutkan. Apalagi di Surabaya kemarin dibawain oleh Rian Ekky Pradipta, vokalis D Masiv. Salah satu vokalis muda yang ekspresif pada suaranya. Saking ekspresifnya, berasa daleeeem deh.  Dan bayangkanlah, menyanyikan dengan lirik yang seperti itu.
Tak kalah menghanyutkan adalah kehadiran Dian Pramana Putra. Terutama lewat lagu, ‘Selamat Jalan Kekasih’. Bikin penonton seolh masuk “mesin waktu”, kembali ke jaman SMA, atau mungkin SMP. Eeeeh pasti ada juga ya kan, yang sudah kuliah? Pas pacaran, cowoknya harus terbang keluar negeri,melanjutkan study misalnya. Welcome, LDR! Berat nian. Begitulah.... Dian pula, suaranya itu lho, gimana ya menyebutnya.
Dian jangan-jangan menenebarkan aroma kerinduan penonton pada...”kekasih-kekasih lama”? Ahay. Pengaruh liriknya itu lho, yang juga relatif kuat. Betul ga? Jadi, teringat dengan pacaran pertama ya? Dengan siapa? Hush!
Dian mengawali dengan, 'Kau Seputih Melati' yang berasal dari album berjudul sama, keluaran 1986. Dalam album itu, Dian memang bekerjasama dengan Yockie Suryo Prayogo. Dan lagu itu juga, ah, bikin keplek-keplek penonton...


 
(Apatis – Ingrid Wijanarko. Dasa Tembang Tercantik, Lomba Cipta Lagu Remaja Prambors, 1978)
Terik embun sejuta sentuhan
Pahit mengajuk pelengkap
Seribu satu perasaan
Bergabung setangkup senada

Jurang curam berkeliaran
Tanda bahaya sana sini
Padang rumput lembut hijau
Itupun tiada tertampak
 

Kita amati lirik lagu di atas ini. Salah satu ciri lagu, dengan tema lirik yang kuat. ’Apatis’ juga salah satu lagu dari ajang LCLR. Yang menulis adalah Ingrid ”Ceu ceu’ Wijanarko. Tidak ballad, tidak lembut. Malah terkesan ada tegas dan...rada gahar gimana ya. Lagu ini terus dibawakan oleh duet, Kadri Mohamad bersama gitaris cum penyanyi, Benny Soebardja.
Selanjutnya ada lagi lagu berlirik khas, ‘Sesal’. Masih dengan Benny Soebardja, yang kali ini berduet dengan penulis lagu itu sendiri, Harry Sabar. Harry juga salah satu nama yang banyak menghasilkan karya lagu yang mewarnai jaman 80-an dulu.

(Nuansa Bening – Keenan Nasution, Rudy Pekerti. Di Batas Angan-Angan, 1978)
masa pertalian terjalin sudah
ada yang menarik bayang-bayangmu
tak mau pergi

menatap nuansa nuansa bening
tulusnya doa bercinta

kini terasa sungguh
semakin engkau jauh
semakin terasa dekat

akan ku kembangkan
kasih yang kau tanam
di dalam hatiku

Keenan Nasution juga hadir lagi. Selalu hadir di tiap kota. Walau dengan pilihan lagu yang berbeda. Hits-nya, ‘Nuansa Bening’ ini dinyanyikan lagi. dan berhasil mengharu-biru penonton. Jangan-jangan tak hanya biru, tapi juga ungu, magenta, kuning. Gold atau silver, boleh ga? Terserah sih. Terserah aja, lagi terkenang-kenang dengan apa dan....dengan siapa? He he he he.
Eh penonton sing a long ga? Oh iya. Salah satu alasan penonton mau datang menonton, dengan membeli tiket yang di ketiga kota itu bisa dibilang, bukan harga yang murah ya. Ya gitu deh, salah satu alasannya pastinya, nostalgia dan...mau “karaoke”-an massal tentu saja! Bener ga? Hayoooo lah mengaku saja.....
Dan hebatnya, sekaligus bisa juga “mengharukan”, lagu-lagu yang bisa membuat para penonton asyik nyanyi bareng, termasuk lagu-lagu yang rada “kompleks” itu. Ya baik lirik maupun musik atau lagunya. Jadi, lirik yang “tak mudah” itu ternyata sudah dapat dihafal dengan lumayan mudah. So, bukan lagu yang sulit dong ya?
Uusannya bukan semata-mata lagunya atau liriknya sulit atau tidak, tapi terpenting, menyangkut sejarah kan? Bahwa pada suatu masa, lagu-lagu itu menemani publik. Dimanapun dan sedang bagaimanapun mereka. Sukses kan, menjadi “wakil” jaman? Kira-kira bisalah ya dibilang begitu?
Termasuk lagu lain, ada kayak, ‘Anak Jalanan’. Kali ini dibawakan oleh Andy /rif. “Anak jalanan” yang ngerock nya dapat banget. Dan seolah menyempurnakan hiburan yang disajikan pada konser itu. Kostum Andy mendukung, rada glam-rock, jadi sadaaappp ditangkap mata. Belum lagi dengan stage-act khasnya...
Publik jadi akrab, dengan lirik atau syair lagu, yang apa ya, sebut saja tidak...”straight”. Puitis, berbahasa “berbunga-bunga”. Tapi tetap indah dan jadi “kuat”. Prog rock, oho pastinya, sebagian besar! Tapi bisa jadi inspirasi, prog rock, tak harus lantas jadi kelewat berat, terlalu skillful. Jadinya, hanyalah bisa dicerna kalangan tertentu saja.
Pada akhirnya, Konser yang bisa jadi “tour” yang tak disengaja itu, menjadi salah satu konser yang memajang cukup “lengkap” lagu-lagu bertema prog rock. Konser prog rock terbesar? Saya suka juga menyebutnya begitu! Mana pernah, ada konser yang “pede and gagah”nya, mengandalkan lagu-lagu beraroma prog rock?
Walau, catatan nih, publik yang menonton dengan beli tiket, tak terlalu ambil pusing jenis musiknya apa. Mewaklili jaman mudanya, sudah itu saja! Untuk bernostalgia “sepuas-puasnya”. That’s it! Iya, musiknya sebagian besar itu art rock atau prog rock lho. Oh gitu,apaan sih itu?

(Badai Pasti Berlalu – Eros Djarot dan Yockie Suryo Prayogo. 1977)
awan hitam di hati yang sedang gelisah
daun-daun berguguran
satu satu jatuh ke pangkuan
kutenggelam sudah ke dalam dekapan
semusim yang lalu sebelum ku mencapai
langkahku yang jauh

kini semua bukan milikku
musim itu telah berlalu
matahari segera berganti

gelisah kumenanti tetes embun pagi
tak kuasa ku memandang dikau matahari

kini semua bukan milikku
musim itu telah berlalu
matahari segera berganti

badai pasti berlalu
badai pasti berlalu
badai pasti berlalu
badai pasti berlalu

Dan tentunya, anthem,’Badai Pasti Berlalu’ yang berenerji maksimal, dibawakan juga dong. Oleh penyanyi aslinya, tentu saja, Berlian Hutauruk. Dan saya yang menyaksikan di ketiga kota bisa mengatakan, lagu ini punya enerji sangat luar biasa. Apalagi dengan suara indah dan “membuat merinding” dari Berlian Hutauruk.
Sebuah penutup yang pas. Lagu ini menyerap semua enerji, kemudian semua enerji itu dilampiaskannya lagi keluar. Semua penonton terhenyak. Terpaku. Diam dan mungkin agak merenung. Lagu ini selalu “menyihir” penonton dimanapun dibawakan, teristimewa oleh Berlian Hutauruk!
Kembali lagi, amati lirik lagunya. Lirik yang terus terang, cukup kompleks itu. Ternyata bisa terasa abadi. Terus “kontekstual”, sesuai perkembangan jaman. Tak lagi perlu, harus ada kekinian segala. Kekinian, jadi hal yang terkesan “ga perlu”, untuk lagu itu.
Penutup yang pas banget! Walau nyatanya, masih dihadirkan, ‘Juwita’ oleh penyanyi paling muda, Gilang “Idol” Samsoe. Penonton memang ahay, berjoged massal! Semua berdiri dan bergoyang, Gilang menghampiri penonton, mengajak semua bergoyang. Sukses! Seolah melepaskan kepenatan.
Tapi saya pikir sih, ‘Juwita’ akan lebih “haceppp”, kalau saja ditaruh sebelum ‘Badai Pasti Berlalu’. Sesuai tema atau judul konser juga kan? Bukan berarti ‘Juwita’ tak bagus. Musiknya memang menggoyang habis. Tapi ‘Badai’itu lagu yang lebih inspiratif, bukan menggoyang tapi menggugah. Bahkan menyadarkan.... Bisa ga, ditangkap, “perbedaan”nya secara “hakikat”nya? Kok saya, lantas jadi berat juga menulisnya, pakai hakikat segala.... Kalau secara syariat?

Dan konser akhirnya, ditutup, kali ini benar-benar ditutup dan habis. Dengan seluruh penyanyi membawakan bersama, ‘Lilin Lilin Kecil’. Penonton berdiri dan ikut menyanyi. Sebagian penonton, selain ikut menyanyi, mulai bergerak mendekati panggung. Kamera-kamera dikeluarkan, handphone, tentu dengan kamera phonenya,juga disiapkan. Ogah kehilangan momen terpenting lainnya dong. Wefie dengan artis-artis penyanyi pendukung konser ini!
Puas dong ya penonton? Saya lihat dan rasakan, bisa dibilang, penonton tetap terus mengikuti konser. Walau makan waktu lumayan panjang, 3 jam lebih! Bayangkanlah 24 lagu yang dihidangkan. Kenyang banget dong? Ga ada yang terlalu kekenyangan, sampai mual-mual atau atit peyut kan? Ga kayaknya sih. Semuanya tersenyum lebar dan memberi respon positif....

Penonton puas. Musisinya aja puasss. Capek? Ya so pasti. 24 lagu, coy! Indro Hardjodikoro, bassis yang jadi kumendan alias korlap. Lalu Eggy (kibor), Muhamad Iqbal (drums), Yankjay Nugraha (gitar), Didiet Violin. Eh iya masih ditambah, Devi Nurulita, Merry dan Dewi Eggy sebagai trio backing-vocals. Capek ga terlalu kayaknya. Cuma,abis main sih...kelaparan berats aja. Begitupun halnya dengan host tetap, terus host di 3 kota, Sys NS.
Termasuk penonton VVIP yang malam itu adalah Wagub Jatim, Saifullah Yusuf atau yang biasa dipanggil,Gus Ipul. Serta Menteri Agraria dan Tata Ruang, sekaligus Ketua Badan Pertanahan Nasional, Ferry Mursyidan Baldan. Mereka ditemani langsung oleh Eros Djarot. Mereka juga memberi respon positif dan antusias banget.
Tamu VVIP nya sih santai betul dan menikmati konser panjang ini. Yang kurang santai adalah para tenaga sekuriti acara sebenarnya. Yang sempat menegur saya, untuk jangan duduk di tengah, duduk lesehan di bawah ya untuk positioning angle memotret sih. Ga enak ada Gus Ipul mas. Saya sempat kembali ke posisi tengah, diplototin dan dipanggil lagi. Sayapun melempar senyum lebar, ngeloyor justru ke tempat Pak Wagub dan Pak Menteri, mengajak mereka salaman dan ngobrol....
Akhirul kata, ini konser yang sehat, baik dan perlu. Memberikan enerji, selain pengetahuan atau wawasan yang menyehatkan bagi publik. Bahwa ada musik Indonesia penuh gizi yang beginian nih. Pernah hadir, tapi tetap kontekstual dan sebut saja juga, teteup asyik! Asyik juga untuk dinikmati hari ini, walau sebagian besar publik yang datang menonton tak terlalu peduli, musiknya berjenis atau disebut apa.
Setelah kejadian akhirnya mampir di Surabaya karena IKASMADA, lalu rencana selanjutnya kemana lagi? Saya diajak lagi ga? Ajak secara resmi maksudnya ya....

(Lilin Lilin Kecil – James F. Sundah – 10 Lagu Terbaik, Lomba Cipta Lagu Remaja Prambors, 1977)
Oh manakala
Mentari tua lelah berpijar
Oh manakala
Bulan nan genit enggan tersenyum

Berkerut-kerut tiada berseri
Tersendat-sendat merayap
Dalam kegelapan..

Hitam kini, hitam nanti
Gelap kini akankah berganti

Dan kau lilin-lilin kecil
Sanggupkah kau mengganti
Sanggupkah kau member
Seberkas cahaya

Dan kau lilin-lilin kecil
Sanggupkah kau berpijar
Sanggupkah kau menyengat
Seisi dunia
Oh Manakala
Mentari lelah semakin tua
Oh manakala
Bintang-bintangpun turut menangis
Meratap langit yang makin pekat
Perlahan-lahan memudar
Lalu semua musnah



(Trims berats untuk Roi Rahmanto dan Kadri Mohamad)

No comments: