Wednesday, March 16, 2016

Musik adalah Enerji Positif, Untuk STEVE THORNTON


-repost-
Prinsipnya, bermain musik buatnya adalah memberi dan berbagi. Musik mengandung enerji positif, karena menghibur dan menyenangkan hati orang. Dalam musik itu sejatinya, tak ada perbedaan. “Kalau anda musisi, maka rasakanlah musikmu, hargailah teman-temanmu, berkomunikasi dengan teman-teman mainmu. Musik adalah kegembiraan dan sukacita. Enerji positif,” ucapnya lancar.
Dengan media musik, lanjutnya, “Saya bergembira, teman main saya juga akan bergembira. Maka kita membagikan kegembiraan itu kepada penonton. Pada akhirnya sebenarnya, biarlah musik yang menuntunmu.Ikuti saja.”
Ia lantas memberi contoh, jam session pada dasarnya memang idealnya seperti itu. “Just feel the rhythm and let it flow. Follow it....,” Ia mengajarkan dengan antusias. Dan ia bilang, seperti itulah hidup bermusiknya yang dijalaninya selama ini. Sudah hampir 50 tahun ia berkarir musik, sebagai seorang perkusionis.
Steve Thornton adalah perkusionis berjam terbang tinggi. Ia kelahiran Brooklyn, 1 Agustus 1954. Dan saya, waktu itu sih msih di NewsMusik, menjumpainya kembali di Medan, dimana kami berkesempatan ngobrol panjang lebar di beberapa kesempatan. Di sela-sela persiapan, saat konser dan setelah acara berlangsung, dalam rangka pergelaran North Sumatra Jazz Festival 2014 (NSJF 2014).
Orangnya ramah banget. Dan ia senang berbagi cerita mengenai pengalaman bermusiknya. Kepada siapapun. Iapun tak pelit berbagi ilmu, “mengajarkan” dan mengarahkan musisi lain, terutama pada perkusionis muda. Hal itu juga terlihat jelas selama acara NSJF 2014 kemarin ini.
Rieka Roslan mengakui, Steve Thornton itu musisi profesional yang sangat humble dan bijaksana. Ia berterima kasih karena Steve mau membantunya, mengarahkan grup pengiringnya utuk tampil memeriahkan NSJF 2014 itu. “Aku pernah bertemu dengan Steve beberapa tahun lalu. Sekarang baru bertemu lagi. Ia turun tangan memimpin dan mengarahkan kelompok C-Man dari Medan, untuk bisa berkolaborasi dengan baik bersama Steve dan aku.”
Kalau tak ada Steve, sambung Rieka, apalagi ia mengajarkan dengan sabar lalu dengan bercerita mengenai Mongo Santamaria segala, “Aku ga tau akan bagaimana penampilanku. Karena saat latihan ternyata C-Man itu tak lengkap. Kasihan juga mas Erucakra itu, pemainnya ada yang absen. Bagaimana bisa bagus kan?”
Positif pada feeling, ucap Steve sambil senyum. Ketika ia ditanya, gimana latihan dengan Erucakra dan Rieka bersama Razak Rahman, saxophonis Malaysia. Dimana ternyata bassis grup C-Man tak hadir. “Well, the show must go on. Jalani saja dengan apa yang ada, Insya Allah lancar. Musisi memang harus punya atitude yang baik, itu menghargai teman-teman sesama musisi, sesama band.”
Tapi kalau ada kejadian, ternyata tak bisa latihan, “Ya sudah. Mau bagaimana lagi? Tetap jalan saja. Biarlah enerji positif yang akan menuntun saya, Rieka, Eru, Razak dan C-Man yang telah berlatih. Kami sudah berusaha...,” Ia berkata tetap dengan senyum.
Biar bagaimanapun, latihan sebelum show tersebut memang penting. Proses awal, bagaimana kita saling menjajaki satu sama lain, saling memahami. “Setelah berkenalan, mencoba dengan peralatan kita masing-masing. Lalu kita akan saling mengisi, saling menyalurkan enerji positif. Enerji itu juga nantinya yang akan diserap dan dirasakan penonton. Proses terbaik memang begitu,” terangnya lagi.
Ia lalu bercerita mengenai Mongo Santamaria. Perkusionis legendaris itu dianggapnya gurunya yang utama. “Karena saya selalu mendengarkan rekaman Mongo Santamaria nyaris tiap hari. So I grew up with Mongo’s music and also, Watermelon Man,” Ceritanya sambil tersenyum lagi. Steve yang berbadan gempal ini memang stok senyumnya segudang kelihatannya.
Sekedar catatan, Mongo Santamaria adalah seorang pemain perkusi legendaris. Ia bermain bersama Chick Corea lalu Herbie Hancock. Ia lantas memainkan lagi, dan merekam, karya Hancock,’ Watermelon Man’ ke dalam versi Latin. Lagu itu menjadi hits dan mengangkat lebih tinggi nama Mongo. Ia meninggal pada I April 2003 di Miami. Ia disebut sebagai master untuk rumba-quinto.
Begitulah, permainan Mongo, the legendary Cuban percussionist, itu menginspirasi dirinya untuk menjadi musisi. Terutama tentu saja perkusi. “Seringkali, mendengar rekaman Mongo itu, saya waktu kecil itu sering sambil memukul-mukul meja...” Ia memperagakan tangannya seperti sedang memukul-mukul conga-nya. Ia merasa spiritnya Mongo masuk perlahan ke dalam dirinya.
Nah saat ia kira-kira usia 17 tahun, ia melihat sebuah iklan kecil di koran. Mongo Santamaria bermain dengan band-nya di sebuah clubs tak begitu jauh dari rumahnya. “Saya lantas memohon-mohon kakak saya untuk membawa saya pergi ke clubs itu untuk berjumpa Mongo. This is the time, seru saya waktu itu. Kakak saya mau, ia juga suka perkusi soalnya.”
Walau sudah cukup usia untuk masuk clubs, tapi ia terpaksa harus ditemani sang kakak. Karena, ia tertawa lebar, “Badan saya terhitung kecil begini. Terlalu kecil atau pendek, nanti pasti dianggap anak-anak belum cukup umur...Hahahaha.” Ok, lalu ia menonton dengan takjub.
Kemudian ia memberanikan diri untuk ikut bermain, ia yang memintanya pada Mongo sendiri. Nekad aja, katanya. Intronya ya, dia bilang bahwa dia sudah mengagumi Mongo, sejak beberapa tahun lalu. Dan Mongo menyambut hangat lho, ia melanjutkan sambil berbinar-binar matanya. Ia membiarkan saya bermain dengannya. Kami bermain dengan band-nya ya, format full band Latin.”
Saat itu, sambungnya, ia merasa enak dan nyaman. Mongo hanya mengarahkannya, bermainlah dan ikuti sound, biarkan hatimu mengikuti rhythm-nya. “Saya main dan ia sering memperhatikan, sambil bermain juga. Setelah itu, ia memuji dan bilang saya berbakat kok. Teruskan saja musikmu.”

Cerita mengenai Mongo tersebut, diceritakannya pula pada Erucakra, Rieka Roslan dan teman-teman musisi dari C-Man saat latihan. Ketika itu, ia menyodorkan usul untuk membawakan ‘Afro Blue’. Lagu tersebut ditulis oleh Mongo Santamaria dan dipopulerkan oleh John Coltrane.
Ia menceritakan mengenai Afro Blue dan Mongo dengan ekspresif, penuh penjiwaan, begitu kata Rieka Roslan. “Steve bercerita mendalam dan meyakinkanku, bahwa lagu itu pasti bisa aku bawakan, bisa aku isi dengan vokalku. Ia menuntunnya dengan sabar. Cerita dia tentang Mongo itu yang menginspirasiku, merasakan spiritnya dan menuangkan dalam suaraku di lagu itu.”
Well, saat itu ia kepengen membawakan ‘AfroBlue’, ungkap Steve. “Saya ceritakan sedikit hal tentang Mongo dan hubungannya dengan saya, tentang lagu itu. Ketika mulai dimainkan, segala sesuatunya lancar. Saya membukanya dengan suara conga, persis seperti yang dilakukan Mongo. Dan saya rasa, spirit Mongo yang hidup dan hadir dalam lagu yang kita mainkan itu,” Steve pun tersenyum.
Ia bahkan merasakan seolah Mongo ada di antara mereka, ketikamereka mencoba membawakan lagu tersebut. Juga saat mereka mainkan di atas panggung. “Semoga saja,Mongo tersenyum di atas sana melihat saya memainkan lagunya kembali di sini. Ah dia pasti senang,” Steve tertawa lebar.
Ia sendiri, telah bermain musik dengan conga-nya sejak usia 14 tahun. Grup pertamanya adalah Young Explosive. Kakaknya juga bermain conga dan membentuk Latin Explosive, begitu nama grupnya. Dengan grupnya ia rutin mengisi sebuah program televisi di sebuah stasiun televisi lokal. Itu adalah karir musik profesional pertamanya.
Masa kecil Steve, memang penuh musik. Ia bercerita, ia dan teman-teman di kawasan rumah tinggalnya, seringkali bertemu di sebuah taman. Lalu mereka bermain musik bersama. “Kawasan rumah saya, terbilang kumuh dan banyak sekali anak-anak korban narkoba, minuman keras. Daerah yang keras. Saya memilih musik dan aktif di situ.”
Ia adalah anak ke 13 dari 14 bersaudara! Jadi bayangkanlah keadaan rumah tangga orang tuanya itu, bagaimana ramainya rumahnya setiap hari. “Ibu saya cukup relijius. Setiap hari ia selalu beribadah Minggu, tapi dengan tidak ke gereja. Ia memilih memutar musik gospel di rumah dan ikut bernyanyi, mengikuti lagu yang diputar. Ibu saya sebenarnya setiap hari juga pasti memutar lagu-lagu gospel.”
“Rumah saya, setiap hari pasti bersuasana musik. Ibu saya bukan musisi, bukan pula penyanyi. Tapi ia bisa menyanyi. Ia senang mendengar banyak musik. Dan ia selalu memutar piringan hitam atau radio. Saya besar dengan lagu-lagu Marvin Gaye, Aretha Franklin dan banyak penyanyi jazz dan blues ternama lain,” kenang Steve.
Dan kembali pada hubungannya dengan Mongo. Sejak saat itu, ia menjadi dekat dengan Mongo. Secara informal, ia banyak sekali belajar dengannya. “Mongo sangat baik, ia berbagi ilmu. Entah kenapa, ia merasa dekat dengan saya, saya  jadi seperti anaknya saja. Ilmu yang didapat dari Mongo lah, yang membesarkan dan membentuk musik dan permainan perkusi saya,” jelasnya lancar.
Betapa tak dekat, di 1997, ketika Steve memutuskan untuk pindah ke Kuala Lumpur bersama sang istri yang orang Malaysia. “Saya membawa istri saya menemuinya dan mau pamit. Pesan Mongo, pergilah. Kamu harus stay together with you family. Jangan pikirkan bagaimana karir musikmu di sana, kamu tetap akan berkarir musik dengan baik, dimanapun kamu berada,” ia mengenangnya dengan nada lirih.
Ia memang mengambil keputusan cukup berani, dengan pindah ke Kuala Lumpur. Meninggalkan New York, yang adalah pusat musik dunia. Kota yang membuatnya bisa berkarir musik secara mengagumkan. Dimana ia bisa mengenal dan bahkan bermain bersama dengan banyak nama besar.
Miles Davis misalnya. Lalu juga Mc Coy Tyner, kemudian Michel Petruciani, Marcus Miller, Mariah Carey, Roberta Flack, The Brecker Brothers, Phil Perry, Tracy Chapman sampai Tania Maria bahkan  Michael Jackson! Khusus untuk Michael Jackson, tahu ga, suara perkusi pada hits, ‘Blood on the Dance Floor’ itu yang mengisinya adalah Steve Thornton!
Mengenai Miles Davis, ia bercerita, ia diperkenalkan oleh George Butler, executive producer. Itu pada sekitar Juni 1984. Ia pertamanya melakukan jam session, untuk materi album You’re Under Arrest, yang dirilis resmi 1985. Dari situ, ia lantas ditarik masuk band-nya Mils Davis. Ia berjalan bareng Miles hingga Desember 1986.
Miles adalah pribadi yang unik. Para musisi yang mendukungnya, semua didapat dari teman-teman musisi yang sedang bermain bersamanya. Ia kerapkali ngobrol dengan teman-teman musisi, saat rehat latihan atau di backstage. Ngobrol macam-macam, banyak hal. Ia sangat menghargai teman-teman musisi se-band-nya.
Jadi, kalau ia sedang kepengen mencari musisi lain, ia bertanya pada teman musisinya. Termasuk juga pada sound engineer atau produsernya. Referensi nama-nama yang ia dengar dan dapatkan, biasanya langsung dipercayainya. Selanjutnya, musisi itu akan dipanggilnya untuk mencoba bermain dengannya. Kalau cocok, langsung masuk bandnya.
Di atas panggung, Miles memberikan banyak pelajaran. Bagaimana menyatukan enerji. Antara lain, cerita Steve, Miles akan berkeliling panggung selama ia tampil. Ia mendekati satu persatu musisinya. Untuk menyatukan enerji itu, memberi keyakinan dan ketenangan pada musisinya. Ia jadi sering membelakangi penonton, tapi ia tak peduli.
“Buat Miles, ia hadir membunyikan dan memperdengarkan musiknya yang berenerji. Kepada semua penonton. Penampilan figurnya, bukan utama, walau ia juga memperhatikan sisi performancenya ya seperti kostumnya. Maka ia menganggap ga papa, tidak tampil terus menerus menghadap penonton. Penonton datang untuk musiknya kok, bukan hanya ingin melihat penampilannya saja. Dan ia selalu menikmati pentasnya dimanapun,” kenang Steve.
Oh ya, Steve sebenarnya bisa dibilang salah satu bintang yang memberikannya banyak pengalaman di awal karir profesionalnya, adalah penyanyi legendaris, Herry Belafonte. Menjelang akhir 1970-an, ia masuk formasi grup pengiring Herry Belafonte, yang terkenal dengan mega-hitsnya, ‘Banana Boat Song’ (‘Day-O’).
Antara lain Steve ikut mendukung album Loving You is Where I Belong dan juga Turn the World Around. Bersama Herry Belafonte yang memperkenalkan calypso music itu, Steve melakuan perjalanan tur manca negara. “Herry memberikan saya pengalaman bermain dimana-mana, saya bisa melihat dunia,” jelas Steve.
Kemudian ia bercerita lagi, seputar pengalamannya bermain bersama para nama-nama populer. Tracy Chapman misalnya. “Saya merasakan tur kelas satu bersama Tracy. Wah, semuanya serba mewah. Menginap di hotel di berbagai negara, pasti masuk kelas kamar yang royal suite. Soal makanan dan minuman, seluruh rombongan tak pernah kawatir. Terjamin sepenuhnya!”
Ia merasakan asyiknya berkolaborasi dengan para musisi ternama seperti Tony Levin, Larry Klein (bass), Manu Katche dan Omar Hakim (drums), Vernon Reid (gitar), Mike Campbell (mandolin n gitar), Larry Williams (keyboard) sampai juga Alex Acuna dan Mino Cinelu (perkusi) dan lain-lain.
At that time, Tracy Chapman adalah seorang selebritis yang sangat kaya. Ia mampu mengajak musisi kelas dunia manapun. Ia sangat memperhatikan para musisnya. Dan ia tak pernah membeda-bedakan anggota rombongannya. “Pokoknya ya, tur bersama Tracy itu wah first class banget. Bayaran sangat bagus. Fasilitas super mewah.”
Yang ia sangat ingat dari Tracy, setiapkali manggung dimanapun, penonton semua tahu lagu-lagunya. Lagu-lagu Tracy itu bisa dibilang hits semua. Penonton tahu dan hafal semua lagunya. Sayangnya ia punya sisi agak gelapdalam kehidupannya, yang ia simpan rapat-rapat.
Lanjut Steve, maka sampai pada satu masa, Tracy bahkan tak mau di foto oleh siapapun. Bahkan oleh media massa, dimanapun. Siapapun akan sulit memotretnya. Ketika kami, rombongannya berfoto-foto misalnya ya, iapun tak mau gabung. Ia juga enggan tampil di televisi,” ceritanya lagi. Lalu perlahan, ia bahkan seperti menjauh dari panggung. Sayang memang, lanjut Steve lagi, padahal ia sedang di puncak popularitasnya.
“Hubungan saya dengan Tracy tetap baik hingga saat ini. Kami masih sering berkomunikasi by email atau skype. Ia sedang drop popularitasnya. Ga ada lagi hits darinya. Kesempatan manggung minim. Saya pengen sekali mengajaknya bisa berkonser di Malaysia atau nanti bisa lanjut ke Indonesia. Supaya ia bangkit lagi. Ia tak terlibat narkoba kok, ada masalah saja dalam kehidupannya.”
Steve sempat membuka kepada NM masalah yang dihadapi Tracy, tapi ia berpesan sebaiknya tidak ditulis untuk umum. “Saya kasihan soalnya. Itu masalah serius yang harusnya bukan lagi masalah besar saat ini, tapi ia menutup diri untuk publik mengetahuinya. Makanya, ia juga menjauhi pers.”
Padahal, Tracy sangat berbakat. Suaranya amazing, ia sangat bertalenta. Ia bisa menulis lagu dengan sangat baik. Ia juga kharismatik. “Sayang, kalau ia lantas hilang. Ia mungkin tak lagi sekaya dulu, tapi ya ia tidak jatuh miskin. Cuma memang ga lagi sering manggung seperti dulu. Tempatnya dia di panggung, untuk penonton musik! Fansnya masih banyak, dan banyak yang merindukannya,” jelas Steve.

Steve memang memilih pindah ke negeri istrinya, Malaysia. Dan setelah ia bermukim di Kuala Lumpur, ia lantas mendukung Sadao Watanabe. Selain dengan Sadao, ia juga mengatakan bahwa hal yang penting lain dalam karir musiknya adalah, “Saya bermain bersama kelompok nasyid terkemuka Malaysia, Raihan. Sebuah kolaborasi relijius yang menyenangkan. Memberikan warna tersendiri yang lain. Saya sangat menyenanginya dan Raihan juga menyukainya.”
Ia juga mendukung rekaman dan pentas dari penyanyi Malysia terkemuka, Sheila Madjid. Nah ketika ia tinggal di Kuala Lumpur, di penghujung 1990-an ia berkesempatan berkolaborasi dengan Krakatau Band. “Saya bertemu Dwiki Dharmawan lalu Dwiki mengajak saya bermain bersama. Saya bertemu dengan pemain-pemain perkusi tradisi Sundanese yang sangat luar biasa seperti kang Ade Rudiana.”
Pertemuan dan kolaborasi itu sangat dikenangnya. Karena saat itu, wawasannya makin terbuka bahwa memang musik itu bahasa universal. “Bunyikan saja nada, dan kita bisa berkomunikasi. Saya kagum dengan musik tradisi di Indonesia, dengan para musisi hebatnya. Indonesia itu begitu kaya. Ya saya makin tahu, setelah bertemu dan bergaul hingga main bareng Dwiki dan Krakatau nya.”
Setelah itu, ia lantas sering bertemu Dwiki dan kerapkali melakukan kolaborasi. Di berbagai kota di Indonesia. Orang-orang Indonesia juga ramah dan mengasyikkan, serunya. Ia telah keliling ke banyak kota di Indonesia karena musik, dan ia bertemu banyak musisi dan penggemar musik yang asyik dan keren semua!
Karena Java Jazz Festival, ia juga jadi sering menyinggahi Jakarta. Bertemu dengan banyak musisi. “Saya juga bisa bertemu teman-teman musisi lain yang pernah bekerjasama dulu, saat saya masih di New York. Saya juga bertemu Santana, Stevie Wonder. Dengan Stevie akhirnya bisa jammin’. Dan oh ya, tentu saja bertemu lagi dengan Tania Maria, sahabat saya yang tetap luar biasa itu!” Seru Steve.
Indonesia, khususnya Jakarta, sangat beruntung punya festival jazz yang begitu besar seperti Java Jazz Festival. “Bayangkan, setiap tahun bisa menonton banyak musisi jazz ternama, dan musisi dari seluruh dunia. Sebuah pengalaman luar biasa yang sangat mengagumkan,” puji Steve.
Dan saat ditemui di Medan, selepas tampil di North Sumatra Jazz Festival keempat, NM menanyakan pendapatnya tentang festival tersebut. “Ini festival yang bagus. NSJF memadukan musik dari berbagai etnis, dari banyak negara di dunia. Temanya bagus banget. Musik adalah bahasa universal, itu dasar utamanya. Sangat terbuka dan hasilnya sangat mengasyikkan, musik dari mana-mana bisa dipersatukan di atas panggung.”
Ia menyukai momen di Medan, saat bertemu Jamal Mohamed, Jonathan Jones, selain sahabatnya dari Malaysia, Razak Rahman. Apalagi bisa bertemu dan ngobrol sampai tampil dengan para musisi dan penyanyi Indonesia yang bagus semua. “Indonesia penuh dengan musisi yang sangat berbakat. Erucakra misalnya, saya suka melihat dan menikmati permainannya. Apalagi Rieka Roslan! She’s amazing!” Serunya.
Ia juga melihat, terpesona dan sangat menikmati penampilan Fusion Stuff yang enerjik serta Bintang Indrianto dengan trio-nya. Musik yang dimainkan Bintang Indrianto dengan kelompoknya itu, sangat orisinal. Membuat penonton bergoyang. Jazz bertemu dengan dangdut, luar biasa. Jazz memang adalah dasar dari world music, dan NSJF membuktikan hal itu,” terangnya dengan bersemangat.
Ia lantas mengungkapkan soal jam session, sebagai penutup acara festival itu. “Kami naik ke panggung, sebenarnya karena happy, ingin bermain bersama. Feel the energy together. Tak ada halangan. Bebas. Kebebasan yang mengasyikkan sekali. Lihat ya,kami mainkan bersama 3, 4 bahkan mungkin 5 lagu ya spontan saja. Bintang yang memimpin di depan, dia beri sedikit not, dan semua otomatis mengikutinya, meresponnya.”
Tanpa perlu dijelaskan sebelumnya dengan kata-kata. “Kami hanya perlu mendengar dan melihat dengan sebaik-baiknya. Saling melihat saja. Hati dan batin kita yang menyambung dan terkoneksi. Dan semua jalan, semua bermain, semua bergembira. Musik itu memang menyenangkan, spirit yang membuat kita menjadi lebih hidup,” ucap Steve panjang.
Sebuah momen indah mengenai cross culture, sesuai tema dari NSJF, begitu ucap Steve Thornton. Ga ada border, tak ada batas wilayah negara, semua bisa bertemu. “Lalu berinteraksi dan berkomunikasi dengan baik. Ya, itulah jazz. Dan momen kemarin di NSJF, tak akan terlupakan sepanjang hidup saya,” ucap Steve yakin.
Menurutnya, ia selanjutnya berniat membuat sebuah album rekaman yang bertema tribute to Miles Davis. Ia ingin mengajak beberapa musisi untuk bisa bekerja bareng. “Saya tinggal kontak mereka melalui email kan, lalu berdiskusi dan meminta mereka mengisi. Memberikan guideline musik dasar dan mereka tinggal mengisi. Tak perlu bertemu. Tinggal nanti dilakukan mixing dan mastering.”
Lanjutnya lagi, “Spirit Miles terus hidup dan saya ingin lebih menghidupkan lagi. Dengan suasana saat ini. Saya kepengen banget mewujudkan rencana itu, mungkin nanti Erucakra misalnya bisa terlibat. Atau beberapa musisi Indonesia lain, selain musisi yang pernah bekerjasama dengan Miles. Saya tinggal mencari record label, yang mau mendistribusikan hasil rekaman itu.”
Miles adalah nama penting dalam sejarah jazz dunia, karya-karya terus hidup dan hadir dimana-mana. “Saya ingin memainkannya lagi, bersama teman-teman yang appreciate dan respect terhadap Miles. Sebuah penghargaan untuk ketokohannya. Bentuk kekaguman saya terhadapnya, tentu juga kekaguman banyak orang yang tetap tinggal di banyak sekali musisi. Bukan hanya yang pernah menonton atau bermain bersama dia.”
Kapan waktu, rasanya saya akan berjumpa lagi dengannya. Dan mudah-mudahan, ada pengalaman-pengalaman lain yang akan diceritakannya lagi. Well, thank you for the time and for this interview. Good Luck, always, Steve! /*













1 comment:

Unknown said...

Akan tampil di BANDA Aceh tgl 26-30 Agustus 2016