Ah,
paling kreatif? Edan ah. Ga juga, kata dia. Masih banyak banget bassis lain,
sekarang ini, yang lebih bagus-bagus. Asyik-asyik dan keren semua. Tapi tunggu
dulu, paling kreatif kan ya, hanya satu? Jawab dia, ah kamu aja kurang gaul....
Sebelum
nerusin lagi, saya pengen balik ke masa lalu. Ah, masa lalu banget nih. Ketemu
dengan sang ayah, begitulah ya.
Anak
Saya juga pemain bass, kata Dicky
Prawoto. Oom Dick ini, bassis. Senior so pastilah. Dan omongan itu sih,
dikatakan sekitar 32 atau 33 tahun lalu, kira-kira begitulah. Saat itu, ketemu
dimana dan omongan itu keluar kenapa, maaf, maaf beud. Saya lupa! 32-an tahun lalu. Tapi saya ingatnya, saya sempat
bertanya-tanya, kayak apa sih anaknya?
Sebentar
dulu ya. Dicky Prawoto itu adalah tercatat sebagai bassis pertama dari Gold Guys Band. Itu lho yang mengisi
reguler di Green Pub, Jakarta Theatre. Oom Dicky kemudian juga bermain di
beberapakafe atau pub di Jakarta, lewat jaringan agency, Ireng Maulana Associates. Ia bermain dengan jazzer-jazzer terkemuka
lain di jaman itu.
Eh
ga lama lho, sekitar setahun setelah itu, ketemulah dengan putranya itu. Memang
pemain bass. Cungkring banget. Agak pendiam, tapi kalau diajak ngobrol sih
lumayan ramah sebetulnya. Kenalan sempat, tapi ya sudah. Nah ini juga, lupa
dimana!
Gimana
nih, mau cerita terus, tengsin sebetulnya. Cerita kok ya lupa. Tapi ini kan
soal yang sudah “masalampau”. Dan, pake banget. Kalau memori saya ternyata,
saat ini, sudah terbatas. Ga tau nih, karena storage-nya sudah terlalu penuh. Harus upgrade dong? Enaknya naik ke berapa terabyte ya?
Ok,
kemudian di 1988, lihat lagi anaknya Dicky Prawoto itu main lagi. Itu yang saya
inget ajalah ya. Pokoknya, dia main dengan Dwiki
Dharmawan’s Quartet. Bersama Ary
Ayunir, drums. Dan gitarisnya, Robin
Aristotenas, ini gitaris asal Filipina Robin sempat meramaikan pentas jazz
di sini di sekitar 1980-1990an. Kabarnya kini ia di Eropa.
Setelah
itu, nama Bintang Indrianto itu muncul lagi mendukung Spirit Band-nya, Eramono
Soekaryo. Ia masuk menggantikan bassis, Ilyas Muhadji. Bintang, dulu sempat ditulis namanya sebagai Bintang
Prawoto, hadir mulai album Mentari.
Album itu dirilis tahun 1992.
Saat
itu, selain Eramono dan Bintang, Spirit Band didukung Deddy Permanasakti (vokal), Dewa
Budjana (gitar), alm. Uce Haryono
(drummer), Rita Silalahi (keyboard,
piano) dan Didiek SSS (Saxophone).
Di
sekitar awal 1990-an itu juga, Bintang Indrianto ditarik masuk formasi grup
pop-rock, Dimensi. Waktu itu ia menggantikan posisi Yuke Sumeru. Dalam grup itu, Bintang bermain bersama Donny Suhendra, Rudy Subekti dan Erwin
Badudu. Mereka menjadi grup pengiring rocker, mulai dari Renny Djayusman,
Harry Mukti sampai Bangkit Sanjaya.
Terus
lagi, ini asli semata-mata mengandalkan daya ingat saya saja. Kalau misal terlupa,
ada yang terlewat. Ya, sudilah memaafkan ya. Maklumlah, sekali lagi, storage
saya kayaknya harus di upgrade deh. Tapi ok, di 1990-an itu juga Bintang sempat
memperkuat Bhaskara Band juga.
Ada
lainnya, masih seputaran 1990-an juga ini. Bintang dimintai tolong oleh Ahmad
Dhani. Khusus main fretless-bass,
buat isi intro lagu, ‘Kangen’-nya Dewa 19. Itu hits pertamanya Dewa 19 kan?
Isian khas itu, lantas jadi terasa pas banget, sampai sekarang. Jadi kayak, signature tune gitu lho.
Ia
kemudian juga banyak membantu, rekaman dan show grup pop. Juga para penyanyi
pop. Antara lain seperti Kris Dayanti, Reza Artamevia, Tere, Titi DJ, bahkan
hingga kelompok KLa Project.
Ok,
kemudian loncat sajalah ya, masuk 2000-an. Nah mulailah saya jadi sering banget
ketemu. Lumayan sering, atau kelewat sering? Mulai dari ia membantu saya,
menjadi band reguler program Jazz..Jazz...Jazz
di TamanKafe. Formasi trio, dengan Krisna
Balagita dan Uce Haryono. Mereka
tampil dengan mengiring penyanyi bergantian gitu.
Setelah
itu, masih di TamanKafe, Bintang juga tampil dengan kelompoknya, Matahari. Dari situlah, ia mengajak
saya sowan dan mampir di studionya. Mampir-mampir dong, aku lagi bikin album.
Hasilnya,
album bass, instrumental pula. JazzyBass
– Light Jazz Instrumental. Diterusin lagi dengan JazzyDuet. Dalam JazzyBass, sebetulnya dimulai degan proyek
bass-nya yaitu kolaborasi 3 orang bassis, Bintang mengajak serta Indro Hardjodikoro dan Ananda Soetrisno Mates. Waktu itu
namanya sih sempat jadi B-3
(Bass-3). Sementara dalam JazzyDuet, itu albumnya bersama saxophonis, Husein Arief Setiadi.
Seputaran
itu, ia memang seperti tenggelam dalam studionya. Ia menjadi produser berbagai
album, ataupun mengisi dan membantu melakukan rekaman. Ia memproduksi album
JazzySax, yang mengetengahkan sahabat baiknya, Husein Arief Setiadi. Berlanjut dengan sebuah proyek rekaman lain,
dimana ia ikut memproduksi 3 album sekaligus. Yang di launching sekaligus bersamaan.
Ketiga
album itu adalah, Idang Rasjidi – Play
at Four Season (sebuah album live).
Lalu album, It’s Me dari Soegeng Sarjadi. Serta album, Life! dari Margie Segers. Ketiga album, seperti juga album-album sebelumnya
yang di atas itu, dirilis oleh Victorius Music.
Di
waktu itu pula, ia lumayan dekat dengan Dewa Budjana. Tak heran, ia diajak
mendukung Budjana Trio, dengan drummernya, Arie
Ayunir. Pernah juga menyertakan Arief Setiadi, sebagai bintang tamu
saxophone.
Oh
ya, hampir aja kelewatan. Di 2004, masih dengan Victorius, Bintang merilis
album “fenomenal”. Sound of Belief –
Jazzy Ramadhan dengan Idang Rasjidi. Bersama banyak musisi yang
mendukungnya, antara lain Dian HP, Joel Achmad, Netta, Nya’ Ina Raseuki atau
Ubiet, Bagu Rae. Lalu juga Gerry Herb, Marwan, Lunggo, Didit Maruto, Rayendra
Soentio, Hendri Lamiri, Agam Hamzah, Mates, Bang Sa’at dan Imam Prass.
Album
fenomenal memang, karena baru kali itu, lagu-lagu untuk “menemani” bulan suci
Ramadhan itu, bertema jazz(y). Dan juga, berlirik bahasa Inggris. Ia dan Idang
berupaya menghadirkan suasana beda, yang tak lagi hanya bernuansa “Arabian
Music”. Tak juga lagu memuji Tuhan seperti karya-karya Bimbo. Jazz tapi Islami,
kenapa tidak? Idang dan Bintang, didukung penuh oleh Soegeng Sarjadi pula saat
itu.
Perlu
diketahui, bahwa Soegeng Sarjadi adalah salah satu tokoh penting, dari Generasi
muda 1966. Almarhum Soegeng Sarjadi menjadi seorang tokoh politik dan ekonomi,
lewat grup Kodel-nya, serta Soegeng Sarjadi Syndicates. Almarhum yang meninggal
pada 30 Oktober 2014, memang penggemar jazz dan pemain gitar.
Nah
ini uniknya, ada “tanda-tanda” memang akan “sangat kreatif”nya seorang Bintang
Indrianto, karena ia sempat pula menghasilkan album Jazzy Christmas. Album itu mengetengahkan penyanyi kawakan, Margie
Segers. Musiknya dibantu pula oleh Gerry Herb, Arief Setiadi dan Idang Rasjidi.
Kemudian
berlanjutlah memasuki pertengahan 2000-an, Bintang bersama Denny Chasmala,
menghasilkan solo album kedua dari Soegeng Sarjadi. Dalam album bertajuk,
Talking to You itu, Denny selain ikut bermain, juga “bertugas” menjadi penulis
lagu-lagunya, yang dimainkan oleh Soegeng Sarjadi.
Kemudian
dirilis ulang, Sound of Belief – repackaged. Dengan beberapa mixing ulang selain menyertakan lagu,
‘Talking to You’ yang diambil dari album Talking to You-nya Soegeng Sarjadi
itu. Namun, tampilan akhir rekaman itu menjadi “luar biasa”, karena dalam lagu "tambahan" itu bermainlah 5 gitaris! Selain Soegeng Sarjadi dan Denny Chasmala, juga ikut Tohpati, Wayan Balawan dan Dewa Budjana!
Proses
rekaman juga terbilang unik. Saya saat itu, makin mengakui “ke-gila-an” Bintang
ini. Etapi, gila dalam pengertian positif. Kreasinya itu, aduh...luar biasaaa!
Karena waktu itu, ketiga gitaris awalnya hanya dipanggil bantu rekaman.
Datangnya tidak berbarengan, tapi satu persatu. Sedari awal, mereka
masing-masing tak mengetahui, bahwa di lagu itu akan ada gitaris lain yang ikut
mengisi.
Kebetulan,
saat itu, Trisum yang menampilkan kolaborasi tiga gitaris yaitu, Budjana,
Tohpati dan Balawan, baru saja jalan. Trisum merilis album dan menggelar
konser. Tapi diam-diam, ternyata ketiga Trisum, “sempat-sempatnya” kayak
berbelok ke album Sound of Belief. Saya geleng-geleng kepala saja dan
senyam-senyum.... Saya hadir di proses rekaman album tersebut, terutama lagu
fenomenal dengan 5 gitaris itu.
Ya
bikin yang beda aja, begitu alasan Bintang saat itu. Dan semangat untuk “selalu
bikin yang beda” itu, rasanya lantas menjadi karakter khas seorang Bintang.
Saat itu, saya juga sudah merasakan betul, Bintang ini memang bassis yang
idenya ya sebut saja, kagak ade yang
ngalahin dah! Bassis paling kreatif? Ga salah dong?
Gini
deh, saya kasih tahu. Ok mulai dari Talking to You dan Sound of Belief kan,
Bintang mengajak saya menjadi labelnya. Kebetulan saya “iseng” (modal saya, dan
beberapa teman itu hanya,modal nekad!) membuat indiejazzINDONESIA. Karena kreatifitas Bintang, dengan ide-ide
albumnyalah, indiejazzINDONESIA lantas menjadi record label.
Sejarahnya
indiejazzINDONESIA menjadi label rekaman indie, memang dari Bintang Indrianto.
Diawali sebenarnya dengan album Rhyo-J,
ini band ibukota yang memainkan jazzy
tunes 80-an, membawakan karya orisinal. Rhyo-J merilis Rhythm of Jakarta. Karya orisinal itu dibuat oleh musisi, ia
bassis, yang banker, Rendra Syailendra.
Itu terjadi tahun 2004. Bintang bertindak sebagai produser, juga ikut mengisi
bass, pada beberapa lagu.
Selanjutnya,
ya kerjasama berjalan terus. Bahkan sampai album Yaiyo, milik Sujiwo Tejo.
Dimana Bintang menggarap musiknya. Setelah itu juga kerjasama Bintang dan
Sujiwo Tejo, berlanjut, untuk show maupun rekaman. Sebelumnya dengan album Phylosophy dari Trio ABG yaitu Arief Setiadi, Bintang dan Gerry Herb.
Album
trio bernuansa free jazz yang kental
ini, ada juga lho cerita uniknya. Ada lagu yang rekamannya dilakukan di stasiun
kereta api Manggarai. Rekaman dengan direct-sound
itu, bisa berhasil dilakukan dengan agak “ngumpet-ngumpet”. Berakhir, karena
akhirnya mereka tertangkap basah oleh sekuritistasiun, dan tak diijinkan
melakukan rekaman lagi.
Waktu
mau rekaman, Bintang semangat bercerita. Hayiuks, harus ikutan ya. Seru nih.
Kita rekaman saja nanti, ga usah minta ijinlah, nanti repot. Itu ajakannya ke
saya via telephone. Dan saya ga ikutan! Itu sayangnya, karena waktu itu saya
ada jadwal lain yang ga bisa ditinggalin.
Baik
Arief dan Gerry, setelah itu, sempat saya tanya gimana rekamannya itu? Mereka
berdua hanya tertawa lebar. Wah edunlah, belum pernah terjadi, pengalaman
pertama seumur hidup kita. Rekaman di antara suara kereta lewat, dan rekaman
ngumpet gitu, akhirnya ya ketahuan juga! Mungkin petugas stasiun juga bingung,
ini grup terlalu gila kali ya, begitu cerita Arief yang diiyakan Gerry.
Lha,
kalau Bintang sendiri, cerita apaan tentang rekaman itu? Seru deh, males mau
cerita banyak, kan kamu ga ikutan mas. Harusnya dialami sendiri, jangan
dengerin cerita. Itu lebih seru jadinya. Baru abis itu, dengerin hasil
rekamannya. Jawaban begituan ah khasnya Bintang sih....
Bintang
memang baik, dan peduli dengan musisi lain. Ia banyak membantu musisi, untuk
bisa merealisasikan impian untuk bikin album rekaman.Rendra dengan Rhyo-J nya
misalnya, Arief Setiadi. Ia juga sempat membantu rekaman dari penyanyi asal
Bali, Sherly’O. Sherly Octaviani,
begitu nama lengkapnya, dibantu sampai bisa merilis debut albumnya, Terima Kasih, di tahun 2007. Juga
diedarkan oleh indiejazzINDONESIA.
Beberapa
tahun setelah itu, ia juga membantu Bianglala
Voices untuk bisa merilis debut albumnya, S.A.T.U. Sebelumnya, ia juga
lantas membantu penyanyi yang juga pesinden asal Solo, Sruti Respati untuk merilis solo album. Selftitled album Sruti itu dikemas dalam warna world music yang jazzy. Salah satu album menarik dan unik. Apalagi
memuat satu lagu yang mempertemukan Sruti dengan Margie Segers dalam, ‘Gambang
Suling’.
Mengutak-atik
jazz beraroma world music yang kental itu, sudah dicoba Bintang lewat Matahari.
Dalam grup itu, ia mengajak serta perkusionis, Jalu Pratidina. Itu juga grup yang memperkenalkan pemain suling asal
Kalimantan, Bang Saat “Borneo” Syah. Lanjut dengan rekaman Yaiyo untuk
SujiwoTejo itu.
Kita
bikin apaan lagi nih? Pertanyaan itu kerapkali ditanya Bintang ke saya. Paling
sering lewat telephone. Moodnya suka
gampang dapat, kalau ngobrol via telephone. Kalau lewat message seperti whats app
gitu, kadang-kadang saja. Kadang mood juga sih, kalau sudah gitu, cukup panjang
kita berbalas-balasan. Tapi beberapa jam kemudian, tetap Bintang akan menelefon
saya...
Ada
nih cerita ya. Satu ketika ia mengundang saya datang ke studionya di Coda
Studio, Lebak Bulus. Ada rekaman apaan? Datang deh ya. Begitu datang, saya
disuruh masuk dalam ruang take di
studionya. Ia bilang, sekali-sekali kamu tuh menyanyi direkam. Elo becanda nih,
kata saya tertawa. Ga kok, beneran. Ia ternyata tak main-main, ia merekam saya
menyanyi! Astaga!! Itu pengalaman pertama saya rekaman!
Oh
iya, Bintang adalah putra pertama dari 4 orang bersaudara, dari pasangan Dicky
Prawoto dan Indriati Prawoto. Kelahiran Jakarta, 2 Juni 1966. Ayah dari Kevin
dan Keegan. Kevin, sudah mulai mengikuti jejak ayahnya menjadi bassis.
Sementara Keegan, tengah mulai mengenal musik.
Kalau
untuk anak-anaknya, Bintang terlihat cukup moderat. Terserah mereka. Tapi ia
terkesan bersyukur, kalau ada yang bisa mengikuti jejaknya, sebagai musisi
profesional. Asal serius dan harus menjadi musisi yang benar. Kalau soal musik,
ah terserahlah, kalau tak suka bermain jazz, tidak jadi masalah buat Bintang.
Harus
punya kreasi seperti ayahnya? Bintang pernah ditanya begitu, ia hanya tertawa.
Kreatif yang bagaimana dulu ya? Kreatif tapi sangat idealis? Seperti apa yang
jadi penilaian orang terhadapnya. Tapi toh, satu ketika ia pernah melansir
album February.
Bayangin,
gimana tak terperanjat, kalau ia mengatakan begini,”Album berikutnya, aku tuh
mau bikin album dengan lagu-lagunya bersyair. Ada liriknya. Dan nanti dirilis
saja untuk Valentine....”
Dalam
album yang dirilis Februari 2012 tersebut, Bintang mengajak serta bintang tamu Anda Perdana, Matthew Sayersz, Zahra dan
Joel Achmad, sebagai penyanyi. Lantas mengundang Imam Garmansyah, Saat Syah dan
Arief Setiadi untuk mendukung musiknya.
Ia
kemudian mengisi program Jazz Buzz di Komunitas Salihara, membawakan
karya-karyanya dalam album February itu. Namun, ia melebarkan konsepnya.
Sehingga ada Bonar Sihombing dengan rombongan koor dari AMA-HKBP Menteng.
Nuansa pementasannya pun teatrikal. Dengan juga didukung Fadly
“PADI/Musikimia”.
Soal
teatrikal, Bintang juga terbiasa tampil dengan suasana panggung berbeda.
Semisal saat tampil dengan kelompok “ajaib”nya, Band Desa. Bayangin aja, namanya
aja udah ajaib. Musiknya? Yang pasti Joel Achmad dan Bertha, satu ketika harus
berani tampil seperti di desa. Lengkap dengan dandanannya, tikar, makan dari rantang
di panggung!
Itu
terjadi saat Band Desa, tampil mengisi program New Friday Jazz Night di Pasar Seni Ancol. Settingan panggung sudah
beda. Sebelumnya, ia juga menyulap panggung bak hutan, penuh pepohonan ketika
ia mengisi program yang sama, namun dengan Akordeon.
Ini
juga kelompok musiknya yang lain lagi. Ada album. Unik karena hanya memasang
foto ibu dari seorang musisi dan itupun foto tahun 1970-an! Ketika di panggung,
Akordeon itu dilebarkan dengan melibatkan dua bassis lain, Roedyanto Wasito (Emerald) dan Rindra
Risyanto (PADI, sekarang di Musikimia). Ini seperti meneruskan konsep B-3
pada awal 2000-an itu.
Kelompok
Akordeon ini juga tampil unik ketika tampil di Java Jazz Festival tahun 2009.
Ia menempatkan perangkat gamelan di depan sisi panggung. Ia juga tampil khusus,
karena mengajak serta alm. Ricky
Johannes lalu Fadly PADI (yang
sekarang di Musikimia) dan Margie Segers.
Ah
mutar sedikit. Soal Band Desa. Band ini pertama kali main di tahun 2003, di
Panggung Hiburan Jakarta Fair. Langsung heboh dan membuat orang
terpingkal-pingkal. Karena mereka “merusak” lagu dengan rapihnya. Rusak tapi
rapi? Ga kusutlah dan tidak jadi terlalu “main-main”. Becanda banget tapi
musiknya, tetap “benar”.
Band
Desa berawal dari Funky Thumb yang pernah dimasukinya di akhir 1990-an.
Kemudian Band Desa vakum karena kesibukan para personilnya. Tapi band ini, yang
konon menginspirasi beberapa “band humor” yang muncul belakangan, memang kadung
dirindukan. Itu membuat Bintang sesekali kembali menampilkannya.
Joel
Achmad dan Bertha, yang diandalkan sebagai frontman, seringkai juga memang
dituntut harus “gila”. Dan kegilaan keduanya memang lantas menjadi andalan di
depan. Kegilaan yang seru, yang jelaslah menjadi kejutan yang menghebohkan
penonton!
Konsep
Band Desa itu apaan sebenarnya? Saya pernah iseng tanya begitu ke Bintang.
Jawabannya santai, becanda aja kok. Nge jazz ga harus selalu serius dong,
lanjutnya. Dan yang saya tahu, sebetulnya konsepnya sepertinya terjadi secara
sontan saja. Tanpa skenario, ataupun tak diawali konsep “jelas”. Tetiba di
panggung, ya “meledak” dan menghebohkan!
Bintang
juga pernah terlibat dalam album kompilasi 12 Bassis, Bass Heroes. Ia tampil di album rekaman. Serta juga di konsernya di
Graha Bhakti Budaya, tahun 2006. Seperti biasalah, “kelakuan” usilnya muncul.
Ia tampil dari penonton, dengan digiring....satpam! Aksinya spontan saja. spontan yang menggelitik
penonton.
Saya
pernah mengalami sedikit “kepusingan”. Ketika menggelar Fusion Trio Explosion
di Graha Bhakti Budaya pula. Itu tontonan menampilkan trio-trio jazz-fusion
seperti Bintang Trio (Phylosophy ABG), Nikita Dompas Trio, Donny Suhendra Trio
dan Indro Hardjodikoro Trio. Tetiba Bintang menggulirkan ide usil, bagaimana
kalau VW kodoknya Arief Setiadi naik ke panggung jadi background?
Pusinglah.
Pihak GBB-TIM agak keberatan, karena dikawatirkan merusak lantai panggungnya
nanti. Tapi setelah disiasati, mobil kodok berhasil nongkrong dengan sukses, menjadi
property panggung. Dan mobil itu
dihidupkan mesinnya, ketika Bintang, Arief Setiadi dan Gerry Herb tampil. Jadi
bagian “sound” dari lagu yang mereka
bawakan. Lengkap dengan lampu yang dinyalakan pula!
Ah
saya asli menulis ini, sampai sejauh ini, tahu ga? Ya pasti ga tahu, karena
harus saya bilang nih. Gini, saya jadi bingung nerusinnya. Karena terlalu
banyak cerita. Yoih jack, susah punya memilah-milah nih, mana yang layak
ditulis, masuk dalam tulisan ini, mana yang ga usahlah. Tapi ya gitu, susah milih-milihnya.
Gimana ya, baiknya?
Udah
kepanjangan pula nih. Takut pada capek aja bacanya. Tapi sejatinya, masalah
terbesar adalah, saya itu merasa ah masih ada lagi yang harus ditulis soal
Bintang ini. Nah lho! Bingung kan? Katanya, kalau bingung, ya pegangan. Saya
pilih, bingung ya istirahat, rebahan dulu. Dan itu, memang saya lakukan! He he
he he....
Ok,
ini balik lagi, buka notebook dan
melanjutkan menulis. Sudah rebahan? Iya dong, udah cukup segarlah. Maksudnya
meluruskan dulu otot-otot pinggang dan tulang belakanglah. Tulang belikat juga.
Sendi-sendi juga. Biar lemas otot-ototnya, jadi bisa lancar mengetik lagi. Apa
hubungannya?
Yah
gini nih, apa juga hubungannya dangdut koplo sama jazz? Jangan bingung, tanya
ke Bintang. Jadinya adalah Bintang
Indrianto Trio ++. Pake “++” (iya bacanya, plus-plus) segala? Pijat? Itu
usulan usil saya sih sebenarnya. Soalnya gini, formatnya kan disebut Trio. Tapi
yang ada, lengkapnya 6 orang! Itu sebut deh, jadi + pertama.
Kemudian,
ya itu tadi tuh, jadi + kedua karena jazz mereka itu, gimana
mendeskripsikannya? Gini deh, personil Trio “pertama” ada Bintang, Denny
Chasmala dan Mohamad “Yoiqball” Iqbal.
Lalu didukung “trio kedua” yaitu Mohamad
“Madun” (gendang), Kiki Dunung
(kendang Jawa, cengceng) dan Muhamad
“Sofie” Sophyan (suling). Jadinya?
Eits
tunggu. Dengerin cerita ini dulu. Jadi satu ketika, Denny Chasmala mendapat job tetap tampil di program musik pagi
di salah satu stasiun televisi swasta.Karena waktu itu jamannya dangdut koplo,
Denny pun mengajak serta Madun dan Sofie sebagai 2 orang musisi yang memang
bermain di orkes dangdut. Mereka langganan program televisi lain, yang musiknya
memang dangdut.
Ndilala,
Bintang kok “naksir” dengan Madun dan Sofie. ah ini sebenarnya “kecelakaan”.
Jadi, awalnya Bintang Trio mendapat slot
di Java Jazz Festival 2012 Bintang sudah menyiapkan konsep, trio itu dengan
didukung 2 penyanyi. Sayangnya, ke 2 penyanyi ternyata tak bisa tampil di
jadwal yang sudah ditetapkan pihak Java Jazz Festival.
Tahu-tahunya
ide nakal bin usil binti badung, khas banget dari Bintang, eh muncul. Konsep
baru muncul, ya sudah Madun dan Sofie diajak tampil di Java Jazz Festival. Kiki
Dunung juga diajak, biar ada unsur etniknya. Hasilnya? Hebohlah. Dangdut koplo
jazz kok ya bisa-bisanya menggoyang penonton Java Jazz Festival?
Penonton
itu goyang, bahkan ada beberapa yang tak lagi malu-malu, berjoget di depan
panggung. Trio ++ itu lantas menggoyang beberapa festival jazz lain seperti
Ngayogjazz, Jazz Gunung sampai North Sumatra Jazz Festival. Menggoyang di sini,
dalam arti yang sesungguhnya, karena penontonnya pada...joged!
Joged
asli. Ternyata, pada doyan dangdut juga ya, penonton jazz itu? Itu fenomena
unik yang asoy juga melihatnya. Lantas Trio++ ini menghasilkan album rekaman,
bertajuk Festival. Dan cover album dikerjakan khusus oleh Rhesa Aditya dari duo Endah & Rhesa. Karena respek dan
apresiasinya terhadap ide gokil Bintang dengan Trio ++ nya itu.
Lalu
gimana kabar Trio ++ itu selanjutnya? Bintang gitu lho. Ide-ide mengalir deras
terus. Terus sudah kayak keran air mengucurkan airnya. Dan jadinya, ia tetiba
tampil lagi dengan konseptrio murni.Hanya,musisi pendukungnya berganti-ganti.Ia
lebih suka menyebutnya saja sebagai Bintang Indrianto. Tak usah pakai “Trio”
deh, begitu ia meminta.
Maka
ia bisa mengajak siapapun untuk mendukung trio-nya itu. Formatnya memang trio.
Membawakan karya-karyanya. Sekali tempo, ia kembali tampil dengan Phylosophy
ABG-nya, seperti di TP Jazz Festival di Bandung. Tapi di Jazz Traffic di
Surabaya serta Jazz Kota Tua di Jakarta, trionya berubah personil, jadi hanya
dengan nama Bintang Indrianto saja.
Apa
lagi dong, ide segar barumu, yang berbeda, yang unik, yang ajaib, yang aneh,
yang...yang apa ya? Yang bassis-bassis lain mungkin ga kepikiran? Oh ya, ia
sempat memotori event kompetisi Jazz
Hijau. Untuk mencari materi tambahan album Jazz Hijau dari WALHI. Album jazz yang mengajak orang
untuk peduli dengan lingkungan hidup. Ada album Jazz Hijau dan ada penampilan
video dari Jazz Hijau itu.
Dalam
video itu, lihat saja di youtube deh. (search dengan : JAZZ HIJAU WALHI),
Bintang berkolaborasi dengan macam-macam penyanyi dan musisi. Antara lain ada
dengan Margie Segers, Bonita & the Hus-Band serta Iwa K ditambah Bianglala Voices. Itu
memang diambil dari album Jazz Hijau WALHI.
Tapi
ia lantas juga mengajak MARGINAL dan
menduetkan Margie Segers dengan Bonita. Dua lagu tersebut, diambil dari album
kompilasi yang diproduksi WALHI juga, yang dirilis beberapa tahun sebelumnya.
Video tersebut dikerjakan oleh iCanStudioLive,
yang lokasi studionya di bilangan Senopati itu lantas dihijaukan bak hutan. Ya
ya ya, siapa lagi kalau bukan ide dari Bintang Indrianto?
Terakhir
ini Bintang, di akhir tahun kemarin, menggulirkan ide lain lagi. Ia bermaksud
bermain dengan kelompok perkusi. Kali ini adalah dengan kelompok Svara Samsara, yang adalah anak didik
dari alm. Inisisri. Ia sudah merancang konsep detil dan mengatakan ia coba
berjalan dengan konsep bass dengan perkusi ini di tahun 2016.
Ia
kepengen bisa tampil pertama kali di Java Jazz Festival. Sayangnya, ketika
konsep tersebut diajukan ke pihak Java Jazz Festival, tak ada sambutan sama
sekali. Bahkan tak ada jawaban apapun. Mungkinkah karena Bintang, sebelumnya
sudah diberi kesempatan terus tampil sejak 2013? Ga jelas juga ya. Karena kan,
memang tak ada jawaban.
Saya
sendiri tergelitik juga untuk bertanya-tanya, kenapa Bintang tak lagi diberi
kesempatan? Karena sudah 3 tahun berturutan dapat kesempatan? Kenapa ada musisi
lain, atau grup lain, toh bisa dapat kesempatan untuk tampil nyaris saban tahun?
Susahnya untuk memahami, keputusan pemilihan talent-talent yang bisa tampil di
festival jazz akbar tersebut ya?
Kenapa
ya? Bintang pernah mencoba mendiskusikannya dengan saya, soal Java Jazz
Festival itu. Berakhir dengan “kesimpulan”, Java Jazz Festival terlalu besar.
Banyak hal yang mereka harus pikirkan. Apalagi tahun ini divisi program dan
Talent lokal-nya, berganti orang baru yang lain. Ah sudahlah, Java Jazz
Festival lupakan saja. Toh, konsep itu tak jadi mati dan hilang gegara tak
tampil di JJF?
Padahal
pada kesempatan sebelumnya, dengan Trio++, Bintang mungkin salah satu performers yang unik dan menarik kan? Ya
gitu deh, penilaian pihak JJF itu emang rada sulit juga dipahami dan
dimengerti. Maklum sajalah, festivalnya sudah terlampau besar, sudah sangat
menginternasional. Fokusnya sudah harus “mendunia”....
Iya
saya setuju, begitu ucap Bintang. Konsep dengan perkusi ini harus jalan. Walau
kendala utama, mungkin sulit tour jauh-jauh seperti dengan Trio++. Ia
mengemukakan, perabotan yang dibawa itu banyak dan pasti merepotkan. Walau
begitu, ia tetap ingin bisa jalan dengan para perkusionis muda, ada 5 pemain
perkusi, dari Svara Samsara tersebut.
Apalagi
ya? Ia juga akan tampil kembali dengan Sinden
Republik, yang digarap oleh Sujiwo Tejo dan Agus Noor itu. Untuk musik yang
bertema dekat dengan world music, bernuansa etnik kental, Bintang memang
menjadi salah satu musisi yang juga intens bermain di wilayah itu.
Ada
beberapa konsep lain, yang dia tengah coba jalankan. Termasuk rekaman. Tapi,
menurutnya, nanti deh kalau sudah jelas, pasti saya kabari. Memang begitu
Bintang, sesekali, ide “gila”nya suka mendadak saja muncul. Seperti menggarap
album rekaman Venche Manuhutu, album Natal Jazz, yang dirilis “kilat khusus” di
akhir 2015 lalu.
Sangat
“express” prosesnya. Dari
mengumpulkan materi bersama Gitaris senior yang juga dikenal sebagai guru gitar
itu, membahas musiknya. Lalu melakukan produksi rekamannya. Yang bahkan samai
ada sesi rekaman, yag dilakukan di salah satu kamar hotel di Bandung, waktu
Bintang tampil dengan Phylosophy ABG di TP Jazz Festival. Selesai sangat cepat,
dan bisa diedarkan persis sekitar seminggu sebelum Natal. Sayang, tak sempat
untuk dilakukan launching album
tersebut.
Ya
begitulah sedikit cerita tentang sahabat baik saya ini. Sedikit-sedikit, eh
segini banyakpun. Masak sedikit sih? Masih kurang? Mau ditambahin lagi?
Ditambahin bahwa ia juga doglovers?
Bersama sang istri terkasihnya, Ernie, ia adalah penyayang gukguk. Saking sayangnya, Ernie dan Bintang “merayakan” HUT kedua
Cozmo, sang gukguk kesayangan, dengan khusus membelikannya makanan spesial? Apa
itu? Burger!
Cozmo
didapatnya dari sahabat baiknya sesama bassis, yang dikenal sangat doglovers, sudah seperti ayah dari
gukguk peliharaannya. Yaitu, Roedyanto. Eh, Roedy juga sempat memberikan saya
seekor gukguk juga, kakak dari Cozmo itu.
Kalau begitu, kapan bikin album dengan tema, doglover?
Bintang
adalah musisi, bassis unik. Dan keunikannya sudah diperlihatkan lewat begitu
banyak hasil karyanya. Saking banyaknya, tak bisa dipungkiri, ia menjadi
seorang bassis paling produktif, dalam soal rekaman. Juga termasuk produktif
menghasilkan konsep, termasuk konsep untuk show.
Yang
saya tangkap memang ide-ide terus mengalir. Ia terhitung, tak mau menunda ide
yang melintas dalam pikirannya. Ide-ide segar yang sering muncul “mendadak”
itu, langsung direalisir. Ga ada satupun yang “mustahil” rasanya buatnya, dalam
soal musik ya. Saya suka curiga, mimpi-mimpi sebagai bunga tidurnya, mungkin
isinya ya konsep-konsep baru yang menari-nari di hadapannya ya? Hihihihi....
Tak
berhenti hanya menghasilkan ide untuk rekaman, membuat band dan penampilan
show. Ia juga memperhatikan betul soal bass. Dalam hal ini, ia kerap
mengeksplorasi permainan bassnya, teristimewa soal sound-nya. Memakai bantuan sound-effect, bukan hal tabu buatnya.
Baik ketika ia bermain dengan fretless atau
fretted bassnya.
Sementara
itu, ia juga selalu mencoba berupaya menyisihkan waktu untuk mengajari musisi
muda yang pengen belajar dengannya. Terutama, tentu saja, soal bermain bass. Ia
tak pernah menolak, bila ada bassis muda mendatanginya untuk menimba ilmu. Ia
peduli banget dengan para musisi muda.
Ia mainkan beragam musik, sejak awal karirnya. Di sekitar 1985-an sebelumnya, ia sempat gabung dengan kelompok rock, Hands Rockin. Lantas pertengahan 2000-an, ia mendukung grup pengiring Iwan Fals, khusus untuk program reguler di salah satu stasiun televisi. Relatif cukup nge-rock kan? Trionya dengan Denny Chasmala dan Iqbal, musiknya juga terdengar rada kencang, bertenaga. Aroma nge-rock cukup tercium sih...
Ia mainkan beragam musik, sejak awal karirnya. Di sekitar 1985-an sebelumnya, ia sempat gabung dengan kelompok rock, Hands Rockin. Lantas pertengahan 2000-an, ia mendukung grup pengiring Iwan Fals, khusus untuk program reguler di salah satu stasiun televisi. Relatif cukup nge-rock kan? Trionya dengan Denny Chasmala dan Iqbal, musiknya juga terdengar rada kencang, bertenaga. Aroma nge-rock cukup tercium sih...
Ngomong-ngomong,
Trio++ sudah bisa rekaman. Kalau Band Desa, sudah “dilupakan”? Kalau belum,
kapan rekaman? Biar kata dari desa sekalipun,bukan mustahil kalau “orang-orang
desa”, masuk studio rekaman dong? Masuk doang? Ya terusinlah, jadiin satu album
gitu. Seru kali, ‘tang?
Pernah
lho saya tanya begitu. Bintang menjawab, belum dipikirin, agak susah karena
para personilnya sibuk semua. Tapi, mungkin ada konsep saya yang lain nih.
Konsep apa lagi?
Ah
sudahlah, nanti saja diceritainnya ya. Salam Musiklah untuk semua! Cukup sekian
dulu, dan terima...jadi! Dan untuk Bintang, sehat selalu yooo..../*
.
5 comments:
pertama kali punya album bass indonesia ya mas bintang thn 99 masih kaset. dan terus koleksi amoe album selanjutnya belanjanya di aquarius atau duta suara. mas bintang bener2 panutan saya utk menjadi pribadi yg tahan banting dan tdk diperbudak oleh kebutuhan perut
Keren bgt. Dmn kita bs dapetin album2 kreatif nya mas Bintang?
Keren bgt. Dmn kita bs dapetin album2 kreatif nya mas Bintang?
Wah, wah, boeng Franky....Semoga Bintang baca komen ini. Pasti senyam-senyum doi dah...
Album-album nya Bintang? Mungkin Bintang bisa jawab. Ada sebagian besar di Wartajazz, mudah-mudahan mereka masih menualnya....
Post a Comment