Wednesday, August 31, 2016

Gambaran mengenai Belantara Promosi Musik di sini, di Saat ini




Selamat berjumpa, sidang pembaca blog saya yang budiman...
Kali ini saya pengen share soal promosi musik. Dalam hal ini adalah mengenai mempromosikan satu bentuk album rekaman. Audio terutama, tapi bisa juga video.
Perlu diketahui, ini tulisan panjang, lumayan detil. Siap-siap aja membacanya. Mungkin perlu “sedikit” enerji, untuk bisa membaca sampai selesai. Saya berharap sih punya faedah, bisa jadi pegangan dasar, dalam hal mempromosikan album rekaman.
Cuma berpegangnya, jangan terlalu kuatlah. Agak santai sedikit. Jangan tegang. Kalau terlalu kuat dipegang, bisa robek nanti. Yoih, seolah-olah kertas kan, terlalu kuat digenggam, bisa lecek, nanti ga bisa kebaca isinya....
Isinya, bertolak dari sebagian besarnya adalah pengalaman saya sendiri. Iya, saya juga sekian waktu menjalani promosi, sebenarnya promosi ya album rekaman, konser musik. Mulai dari strategic-plan sehingga menjadi as a strategic partner. Atau menjadi moderator. Suka juga sambil menjadi koordinator wartawan. Hanya “dimintai tolong” membuatkan press-release pun sering.
Sebagian dari kegiatan promosi tersebut, saya lakukan juga untuk produksi label saya sendiri. IndiejazzINDONESIA, label kecil independen, nan bebas merdeka saya itu. Ataupun juga, kegiatan-kegiatan macam acara musik, konser, festival jazz yang ditangani atau dibuat oleh indiejazzINDONESIA. Label dan organizer cum promotor tersebut, sekaligus strategic partner company kecil itu dibangun saya bersama beberapa teman dekat.
Sebagai catatan saja, saya memulai promosi musik ini, sebenarnya sih sejak...ah sejak kapan ya? Sebentar, boleh inget-inget dulu? Ngh, gini sebenarnya saya meng-arrange press-conference itu sejak pertengahan 1980an.
Saya membuat dan menjadi koordinator, sekaligus moderator jumpa pers itu, mulai dengan 2 event  di Jakarta. Tahunnya  kebetulan berdekatan. Ya di pertengahan dekade 80-an itu.

Tapi udahlah kita fokus ya, ke promosi hasil rekaman dulu ya. Ini pengembangan atau kelanjutan dari rangkaian tulisan saya sebelum ini. Baik mengenai event management ataupun band/artist management.
Ok so, kalau untuk rekaman musik, terkait dengan “pos-pos” promosi. Seperti media cetak, radio-station (FM station, terutama), media elektronik seperti televisi. Juga di dalamnya termasuk media online.

Dan yang utama harus diketahui. Terutama pastinya menyangkut budget. Nah budget untuk promosi ini, bisa mencapai jumlah “tak terhingga”. Pernah ada produk album rekaman, mengeluarkan biaya promosi sampai...lebih dari 1 M! Hasilnya? Ada yang nyungsep-sep. Buang uang dong? Mending beli mobil, atau rumah... Hehehe.

Tapi ada, ada kok, yang lumayan sukses. Promosi segitu besar, angka penjualan albumnya memang ternyata terbilang sukses. Cuma kudu tahu ya, itu terjadi udah lama, lebih dari 10-an tahun silam.
So, seberapa sih sebenarnya biaya promosi itu? Untuk keseluruhan ya. Gini deh, pada hari ini, bilangan yang standar saja, 1 album dipromoin dengan budget 100-an juta, itu angka standard yang terhitung minimal.
Ah, 100-an, masak? Kalau angka 100-an itu dianggap mahal, mendingan lupakan promosi deh. Karena memang, nanti pada realisasinya, angka 100-an itu bisa saja bergerak, misal jadi 125-an, jadi 150-an,bahkan...tau-tau eh udah lebih dari 200-an.
Tau ga ya, angka bisa bergerak menaik itu, sebenarnya bisa datang dari...artis penyanyi atau grup band bersangkutan. Atau, bisa juga dari “penyandang dana”nya. Tanpa sadar, minta tambah ini dan itu. Ketika angka makin menjulang, eh kaget sendiri. Nah lho!
Sementara hasil akhir sebenarnya, albumnya sukses ga? Ini pertanyaan paling sulit. Jawabannya apa ya? Jawabannya mungkin gini, Only God knows.... Tapi yang penting udah usaha kan?
Kita bisa mulai dari media cetak. Koran atau surat kabar,harian ataupun mingguan. Tabloid.  Majalah, baik mingguan atau bulanan. Lalu juga belakangan, paling tidak mulai sekitar 5-6 tahun belakangan, media online. Dulu ada juga yang menyebutnya sebagai, cybermedia.
Ok lantas gimana caranya sampai media mau menulis tentang album rekaman kita ataupun aktifitas band dan artis kita? Ya kudu pinter dong, mencuri perhatian. Ambil perhatian itu, curi, bawa pulang, jack!


Media Cetak dan Media Online

Ok kita mulai ya. Siap-siap bro n sis. Sudah santai kan? Bacanya kudu “serius tapi santai”. Santai jangan kelewat santai juga, tar malah ga mudeng. Santai tapi fokus? Ah, sudahlah. Mulaiin aja buruan. Siaaaaap!
Bikin media kesengsem sama tampilan bandmu. Bikin sampai, syukur-syukur nih, wartawan-wartawan terutama wartawan musik merasa harus menulis tentang bandmu, tentang rekamanmu. Menulisnya dengan semangat, dengan sebaik-baiknya, lantas muat di medianya.
Caranya? Harus berteman. Saya lebih memilih kata, “berteman”. Bukan dekati wartawan dan “sekedar” berhubungan, terkoneksi, antara artis atau band dengan wartawan. Jangan sebatas kenal “begitu aja” sih. Itu yang terbaik buat kedua belah pihak sih sebenarnya.
Nah untuk artis penyanyi ataupun grup band, bergaul rapat dengan wartawan (musik), ga ada salahnya. Saya malah menyarankan. Bisa jadi teman diskusi. Wartawan, tentunya yang mampu mengarahkan dengan baik, akan berguna buat akan jadi apa dan bagaimana, artis penyanyi ataupun grup band itu.

Well, wartawan itu kan saktinya adalah, dia bisa mengatakan bagus sebuah band, dan orang banyak percaya! Padahal sih, ga “sebagus apa yang dituliskannya”. Dia juga bisa bilang jelek, dan orang lantas menilai si penyanyi atau band itu jelek. Padahal, artisnya mah, sebenar-benarnyalah, ya baik-baik saja. Sebetulnya sih, ga parah-parah amat...

Intermezo dikit, ini menyebabkan adanya penulis atau wartawan musik yang suka “berseteru” dengan penggemar musik. Hehehehe. Ga terang-terangan. Tapi bisa timbul tetiba ada kelompok haters wartawan anu, walau dia juga punya lovers pastinya! Kenapa ada haters, ya gitu, orang-orang tertentu yang sebel deh dengan tulisan si wartawan, yang dianggap “tak obyektif”, terlalu berpihak gitulah.
Jadi, bisa ditulis dan dimuat media-media itu, bermanfaat banyak. Apalagi kalau ditulis oleh wartawan atawa penulis musik yang memang “disegani”. Atau ada juga kaum wartawan musik yang populer. Seleb? Beda ga yang populer dan disegani?

Saya pilih, ah kita baliklah yiuks ke soal promosi saja. Eits, ini bukan pengen membahas soal wartawan musik kan? Urusannya, bisa-bisa nanti nyenggal-nyenggol teman-teman sepejuangan. Agak gimana gituuu... Well bro n sis, nobody’s perfect. Manusiawilah yauw....

Nah bisa ditulis awalnya, memperkenalkan dulu. Profil perkenalan singkatlah gitu. Biasanya, berita “selipan”, cuma kira-kira “sekotak korek api atau sekotak rokok” sajalah. Terus eksis, mulai banyak main. Mungkin mulai rekaman, berarti ada berita. Bisa dimuat profile lengkapnya. Atau, bisa juga diberitakan kembali, masih berita pendek. Tapi lumayan lho.

Lumayan untuk, istilah saya, “mengerek bendera”. Makin bisa dikenal orang. Kan namanya ditulis, semakin sering ditulis, publik mulai jadi tahu namanya. Ga papa, baru tahu namanya. Itu ya potensinya, buat menggiring orang-orang supaya mau menonton penampilan band tersebut.
Apalagi, kalau lantas bisa di”berita”kan oleh lebih dari 1 atau 2 media. Potensi untuk sukses memperkenalkan nama menjadi makin terbuka lebar. Ada pentingnya “memilihkan” media. Media mana yang kira-kira memiliki pembaca “terbesar”.
Walau, itu juga harus diingat, lihat juga siapa penulis atau wartawannya. Artinya di sini adalah, apakah si penulis bisa membuat tulisan yang baik? Yang maksudnya adalah, bisa memperkenalkan dengan maksimal si band atau artis penyanyi tersebut. Dan ya seperti dibilang di atas juga, membuat orang lantas tertarik untuk menonton pentas grup atau penyanyi bersangkutan.

Well, memang persoalannya sih itu. Ga banyak penulis musik, yang bisa menulis dengan “baik dan benar”. Sebagian ada yang dikenal lebih sebagai penulis copas. Ada pula yang belum juga jauh beranjak dari, “kepengen menjadi penulis musik”. Atau, ada yang hanya kuat dan luas dalam pergaulan, padahal jarang menulis.
Belum lagi, ada penulis-penulis musik yang relatif muda, di jaman sekarang ini, lebih suka menulis musik yang disukainya saja. Atau, ini perlu dipertimbangkan, ada yang getol menulis band atau penyanyi yang memang kenal dekat dengannya. So, kalau memang dia penulis dengan banyak pembaca, sebenarnya sih lumayan dong potensinya?

Lha jadi nyenggol lagi en lagi soal teman-teman wartawan musik dong? Eh iya. Maaf. Tapi ini kayaknya perlu diketahui. Kan supaya dapat gambaran menyeluruh, scene ini seperti apa. Apa manfaatnya. Adakah faedahnya? Dengan kata lain, seberapa pentingnya sih...
Tapi coba singkirkan soal dunia ke-wartawan-an musik itu. Jadi memang kalau bisa ditulis di media akan lebih baik. Pengharapannya jelas, at least namanya banyak ditemui dimana-mana, sebuah modal penting. Jadi berpotensi, bisa “nyangkut” tuh di mata dan hati orang-orang.

Melalui media tulis, sekarang ini berkembang pula ke media online. Sebagian wartawan media cetak, beralih ke online. Atau, jadi jalan di “dua dunia” itu. Dikarenakan, medianya memang punya jalur media cetak, dilengkapi media online-nya.
Karena kan, saat ini sejak beberapa tahun silam, media-media cetak berguguran. Publik perlahan mulai meninggalkan membaca koran dan majalah. Menenteng koran berlebar-lembar, atau majalah, makin dianggap kurang asyik. Kurang trendy. Ah!

Sekarang publik beralih membaca berita via gadgetnya. Karena itulah media online bertumbuhan. Tapi, apakah memang banyak ya orang mau membaca berita, terutama berita musik? Saya pribadi melihatnya, tetap saja ada. Masih banyak orang mau membaca.

Walau minat membaca bangsa ini, sedari lama dulu, ditengarai “harus ditingkatkan” gitu. Namun belakangan makin digaungkan juga, perlu dan pentingnya membaca. Jadi, ditulis, masuk media dan bisa dibaca banyak orang, tetaplah penting. Ya, masih banyak kok yang mau membaca. Setuju?
Kemudian diasumsikan band atau artis penyanyi itu rekaman, dan produk rekaman itu dirilis. Alias disebarluaskan ke pasar musik. Perlu promosi lagi? Perlu ngeluarin berapa duit lagi?

Gini nih ye sobat-sobit, perlu aja sih dipromoin. Bayangin ginilah, rekaman capek-capek, jadi lantas jual. Tapi orang-orang banyak,  ga pada tau? Mubazir amat? Yang tau hanya keluarga, teman dekat, kerabat. Yang pastinya, hampir bisa dipastikan akan menilai, bagus, cool, keren banget, gw suka nih, sukses ya!

Kalau banjir pujian, cuma datang dari keluarga dan temen dekat, ah...onani dong? Lagipula, biasanya kan, mereka hanya menunggu saja. Nungguin dikasih. Beli? Ya kagaklah! Hehehehe.
Ok, hasil album rekaman dipromoin. Caranya, kalau ke media cetak juga online, gimana? Salah satunya, menggelar press gathering, atau press conference. Ya yang sejenis itulah. Undang wartawan, jamu makan siang kek, makan malam kek, atau ngopi-ngopi “setengah berat”lah gitu.
Dalam jumpa pers itu, band atau artis menjelaskan bla..bla...bla soal rekaman. Jelasin ke wartawan yang datang. Bisa juga nanti diterusin, jumpa one-on-one dengan wartawan-wartawan tertentu. Setelah acara rampung. Tinggallah menanti, media-media memuatnya.1 atau 2 hari ke depan, atau seminggu-an setelah acara itu. Publikpun bisa membacanya.
Ada sejumlah dana dikeluarkan di situ, yaaa so pastilah. Nah efektif ga? Efektif itu ada beberapa hal bray. Efektif dimuat? Rasanya sih iya, dimuat, tersebar luas. Efektif untuk memperkenalkan nama, menggaungkan nama dan produk albumnya? Harusnya. Paling ga kan, potensinya jelas ada dong.

Semakin banyak wartawan yang datang, kayaknya akan makin tersebar luas dengan maksimal. Tapi kan, ya kalau medianya itu banyak dibaca orang? Kalau medianya, diragukan, siapa aja pembacanya sih? Ah, paling tidak tersebar luas dong....
Kalau sampai tanya, apakah pembaca media itu, memang pasar yang dituju oleh produk musik yang telah dihasilkan. Itu jadi “kejauhan” sih. Perlu analisa mendalam. Bagusnya, pakai survey. Jangan berasumsi. Artinya, makan waktu ga sih? Eh, album udah kelar nih, mau dipromoin dong. Lalu, perlu analisa mendalam dulu, media-media mana paling efektif?
Belanda keburu datang, dengan senjata lengkap dong. Kelamaan! Hahahaha. Makanya, ya harusnya dari awal diperhitungkan masak-masaklah. Berapa duit di kocek. Mau gimana nih bagusnya ya? Lha mendasar bingits dong. Yaeyalaaaah, harus ada dokat-nya. Kalau ga ada, gimana mau susun rencana promo kesana kemari?

Iya ini perlu disiapin beneran. Pendapat saya, kalau mau promoin sebuah produk album rekaman, hanyalah bergantung semata-mata pada media cetak. Misalnya, lewat bikin sebuah jumpa pers. And, that’s all! Jangan mimpi terlalu jauh. Jumpa pers hanya satu langkah doang. Bila tanpa didukung promosi lainnya, ah...efektifkah?
Jumpa pers juga, hareee geneee ye coy. Di atas saya sudah tulis kan, soal teman-teman wartawan yang bisa menulis dengan “baik dan benar” soal musik itu. Mau berapa yang datang deh. 20 media? 30 sampai 40-an? Makin banyak yang datang, bisa-bisa bikin pengharapan menggelembung.

Kalau menggelembungnya kegedean,bisa meletus. Dorrr! Dan, nyatanya, ini banyak dijumpai, masih banyak publik belum kenal! Karena ya banyak orang, ga baca media itu. Babak belurlah? Udah rogoh kocek soalnya....
Kalau kata saya mah, sebenarnya gini. Lihat dan pikir-pikir banyak dulu. Musik elo, yang ada di dalam album elo itu, emang layak ga masuk banyak media? Musiknya apa, ada nilai tambah apa sebagai news?

Musik-musik tertentu, pop misal, boleh aja pakai acara jumpa pers. Non-pop, sebaiknya pikir-pikir. Pikir dulu pendapatan, sesal kemudian tiada guna, itu petuah orang-orang bijak. Jangan ikutin nepsong atawa nafsu. Jangan juga kelewat gedein ego.
Karena ya kan sudah saya jabarin tuh di atas. Musiknya dulu apaan? Ada nilai tambahnya apaan? Kalau musiknya, outside-mainstream, nama penyanyi atau band kurang populer, bahkan mengundang banyak wartawanpun, belum tentu juga wartawan-wartawan itu mau datang! Eh beneran. Dan, ini mirisnya, apalagi yang namanya “wartawan musik”.

Yang namanya wartawan musik itu....hmmm, pemilih banget. Pendekatannya kudu spesial kali ya? Gitu deh. Padahal, melihat yang wartawan (musik) yang kayaknya punya “kwalitas” itu sih, gampang bener. Kalau mereka mau datang, misal lihat konser tertentu, padahal ga diundang. Itu bagus harusnya. Bukan hanya datang, karena diundang...ada tuh apa ya, ada “apa-apa”nya.
Ada apaan,maksudnya? Iya,maksudku, diundang karena nanti kan ketemu, makan-makan kenyang. Dapat press release. Lalu, so simple lah, tinggal copas aja dari press release itu. Well,you know what I mean laaaaah...

Eh, tau ga ya, diwawancara aja nih. Udah interview,panjang lebar lho. Ketawi-ketiwa, becanda-becando. Kelar interview, tunggu 1,2 minggu. 1,3 bulan. Itu tulisan tetap saza, ga muncul-muncul! Ini juga sesekali terjadi. Kenapa bisa begitu? Badung nih wartawannya, ga asoy ah! Saya ga tau sih, kenapa bisa begitu. Tapi point-nya itu tuh, bisa begitu lhoooo.... Mustinya ya jangan begitu lah. Masak udah wawancara, ga nongol-nongol juga?
Kebadungan begitu ya bisa aja sih. Bukan medianya yang salah, atau jadi terkesan belagu. Ah ini oknumlah.  Sebut saja begitu.  Oknum wartawannya saja yang kurang asyik. Main cuek bebek, ga bisa muat tulisannya, meneng ae. Bikin orang nunggu. Menunggu Godot dong!

Ok, soal per-media-an, saya dapat info juga. Eh, info apa gosip? Sekarang ini, banyak “wartawan-wartawan” muda, bukan dari media! Ga punya media, tapi mereka punya...blog! Yoih, wartawan blog, coy. Lha saya, udah ga punya media sekarang, hanya ada blog ini doang....
Dulu, eh sampai sekarang juga masih. Ada kaum pers yang disebut wartawan bodrex. Ga diundang, karena medianya juga ga jelas. Biasanya memang dari media “antah berantah”. Ciri khasnya jelas bener. Abis presscon, kasak-kusuk mengejar artis atau penyelenggara jumpers tersebut. Buat apaan? Buat minta duit...transport. Rada memaksa. Padahal kan ga diundang?

Ga diundang, kok ya datang. Tapi nanti saya akan menulis kok, begitu alasan mereka. Ya dijanjiin, tulisannya bakal keluar di medianya. Lanjutnya, ya kalau saya menuliskannya yaaaa kita sama-sama tahu-menahulah, saling menghargai saja.
Itu wartawan bodrex. Kalau wartawan blog, ga tau kenapa, kabarnya mereka sekarang itu lebih aktif dan berani. Langsung mencharge nilai tertinggi tertentu. Jaminannya, ya mereka tulis. Persoalannya adalah, bagaimana sih tulisannya? Nilainya berapa? Hehehe. Emangnya nulisnya bener? Daaaan....emang bisa jamin, pembacanya banyak?
Itulah masalahnya!


Tapi mereka kabarnya, lebih “atraktif”. Lebih gesit. Dan pandai betul, melakukan approaching. Penampilan meyakinkan. Kalau balik ke konteks, soal promo efektif dan tak efektif, silahkan menilai sendiri. Feeling aja, efektif ga memakai mereka?
Memang bloggers makin menjamur. Banyak blog, yang diserbu  pembaca. Pembacanya banyak. Tapi kayaknya sih, lihat-lihat juga kan, tulisannya apaan, isinya gimana sih? Blog bisa aja sukses untuk menarik banyak orang nge-view atau nge-hit.  Well, blog memang lagi nge-trend juga, makin nge-trend lah sekarang ini. Karena itu, saya jadi nge-blog aja?
Hahaha, hush! Kalau saya mah, blog itu kebebasan broer! Kagak ada batasannya. Semacam media, nan “sangat independen”. Sak karepku! Tapi menyoal blog, pada konteks ya promosi album, pegimane? Ga jamin juga kok, apalagi yang blogger-blogger muda, segesit apapun mereka. Setuju? Jam terbang?  Emang pilot? Hehehe...



Oh ya, di media cetak, ada juga sarana promosi yang bisa dipakai. Pemasangan iklan, kayak spot gitu. Kalau di online media, bisa termasuk banner. Ukuran tampilan bisa dipilih. Harga? Yang tergantung besarannya, seberapa sering mau ditampilin, seberapa lama pengen nongolnya. Mahal?
Mahal atau murah, relatif. Ya saya pilih ngingetin lagi, pikir baik-baiklah. Kalau saja misal punya banyak duitpun, seriuskah, uang yang ada mau dihambur-hamburkan? Sampai pasang banner segala di website gitu? Ya tapi kalau mau pakai sih, ga papa. Apalagi kalau yakin, itu akan efektif.
Cuma memang, hari gini sih, udah jarang produk rekaman, pasang iklan begitu. Baik di cetak maupun di online. Dana, bilapun ada, dialokasikan untuk pos promosi lain.


Radio, Interview dan Playlist


Berikutnya, soal radio. Balik lagi nih, musik artis penyanyi itu atau grup band itu, apaan? Gini ya, kalau yang nge-pop, terbuka untuk lebih mudah diputar radio-radio. Dimanapun dan kapanpun. Ingat, yang nge-pop lho!
Kalau non-pop? Apa ya, misalnya yang dance banget. Atau rock banget, apalagi metal. Termasuk ini nih, lagu anak-anak misalnya. Perlu nih diketahui, sebagian besar radio itu agak-agak “alergi” dengan musik di luar pop. Kenapa? Katanya, listeners mereka, memang ga request.
Yang menentukan siapa sih, lagu-lagu diputar di radio? Ada Music Director, atau MD namanya. Dialah keyperson, yang menerima, mendengar, mikir-mikirin, bisa diputar apa ga lagu dalam album itu. Ooh jadi ditentuin sama MD?

Keyperson sangat penting itu, lantas membuat beberapa MD memang seperti menjadi “dewa penentu”. Kayak, dewa yang nentuin panjang atau pendeknya karir musik seorang penyanyi atau sebuah grup band. Wuih! Ngeriiiii!
Sadar atau tidak, ada MD lantas memang bersikap seperti dewa begitu. Tak mudah didekati. Susah dihubungi. Kayaknya emoh lah untuk mudah ditemui orang-orang yang berkepentingan dengannya. Harus dikejar-kejar, dengan usaha keras!
Posisinya menjadi, ia sangat dibutuhkan. Ia bisa saja lupa juga, MD-kan bukan hanya dia seorang. Artinya, radionya kan bukan satu-satunya stasiun radio? Iya, tapi ada yang lupa soal begitu. Apalagi, kalau radionya memang terbilang radio “papan atas”. Radio yang dianggap punya pendengar banyak ya.

Sementara sebetulnya, kalau saya lihat-lihat ya, bukan juga MD yang menjadi penentu tunggal, di sebuah stasiun radio. Ada pemilik radio, alias, ya sebut saja, bigboss. Atau apa ya, bisa disebut semacam board of commisioner nyalah. Mereka juga, pada beberapa radio, lebih menentukan daripada MD.
Eh repotnya, ada juga MD keburu menanjak “kelewat tinggi”. Merasa sudah di “menara gading”. Tak mudah ditemui banyak orang. Tak perlu juga bergaul. Bergaul? Untuk apa? Tak terlalu perlu kok, mengetahui musik apa yang berkembang, akan berkembang, berpotensi berkembang nantinya. Posisi doski udah di atas banget soalnya.

Ironisnya itu, padahal ada boss-boss besar itu, yang ikut turun tangan langsung, gegara merekalah yang menjalankan roda bisnisnya radio tersebut. Ini bisnis bro n sis, bukan sekedar putar lagu-lagu, wawancara, ngobrol-ngobrol apaan gitu. Lebih dari itu dong. Harus ada profit. Kalau profitnya ga ada, tutup aje.
MD nya, kalau gitu ceritanya, dimana dong? Ya menjalankan sepenuhnya saja, juklak dari para bossnya. Susah dibantahlah “titah” para boss. Boss kan yang pegang uang, dan merasa lebih tahu selera pasar! Gawat ya?
Nah perlu diketahui, akhirnya ada radio yang memastikan posisinya sebagai hits-player. Dan ada yang hits maker. Terus terang, hari ini, lebih banyak yang memilih posisi hits player. Itu posisi “teraman”. Putarkan hanya lagu-lagu yang sudah dikenal orang. Itu juga sama dengan, lagu-lagu yang memang diminta pendengarnya untuk diputarkan.

Dulu, banyak radio menjadi hits maker. Mereka asyik untuk memilih lagu baru tertentu. Lantas mencoba “mengolah”nya. Memperkenalkannya ke publik, ke para pendengarnya. Sampai pendengarnya suka, dan kemudian akan meminta untuk diputarkan.
Itu terjadi di era 1980-an hingga 1990-an. Beranjak ke 2000-an, perlahan tapi pasti, radio-radio bergeser. Mulai “kawatir” pada posisi, “pembuat hits”. Terlalu beresiko. Jadi, yang paling aman, biarlah putarkan saja lagu-lagu yang sudah dikenal. Dijaminlah gitu, pendengarnya pasti ga akan protes!

Beruntunglah, tak semua radio kok yang dijalankan atas titah atau kemauan boss-nya. Masih ada yang berani mencoba tetap menjadi, hits maker. Walau mungkin tak sepenuhnya lagi, untuk bebas “bermain” sebagai hits maker tersebut. Tapi, sekali lagi ya, masih ada.
Cuma tetap ya, selektif dari jenis musiknya. Rock, apalagi metal, kalaupun diterima. Pasti susah masuk playlist harian. Mungkin bisa, sesekali menyelip. Dengan frekwensi sangat terbatas.
Atau,masuk di program khusus. Misalnya, mata acara khusus rock. Biasanya 1 atau 2 kali dalam seminggu. Ya masuk di situ. Termasuk juga, wah apalagi ya, untuk jazz, blues dan musik lain. Termasuk, lagu untuk anak-anak.

Ga bisa sama sekali? Misal gini deh, lagu untuk anak, dengan penyanyinya anak-anak ya. Kapan diputarnya? Pendengar yang mereka tuju, bukan anak-anak. Merekapun juga tak punya program khusus lagu anak-anak. Seperti juga, ya musik-musik non mainstream lainnya itu.
Misalnya nih, kalau bayar, bisa ga? Lainlah ceritanya. Radio-radio tuh punya penawaran promosi. Misalnya gini, dengan membayar jumlah tertentu, bisa diputarkan 1 atau 2 kali sehari, artinya masuk playlist. Untuk jangka waktu sebulan. Dapat bonus, sekali kesempatan live interview.
Bonus lain, ikut mereka sebarkan di sosial media radio tersebut, biasanya di twitter. Bisa juga ditambah masuk charts radio tersebut. Masuk charts-nya, “diolah” untuk bertahan sampai mungkin ya, 6 atau 7 atau 10 minggu bertahan. Kalau lagu itu, lalu di-request pendengar radio itu, bisa saja lagu itu bertahan lebih lama di charts.

Kalau yang meminta lagu tersebut diputar lebih banyak, ya bertahan lebih lama di charts dan makin tinggi saja posisinya di tangga lagu-lagu radio itu. Bisa kok, sampai nomer satu misalnya ya. Mungkin saja.
Tapi, ya kayaknya juga harus lihat posisi radio tersebut. Misal, radio itu peringkat berapa sih? Dalam hitungan lembaga yang menentukan rating atau peringkat. Kan ada ya, lembaga seperti itu. Jadi, kalau rating radio itu, ga tinggi, ya masuk tangga lagu radio tersebut, mungkin tak terlalu banyak manfaatnya kali yeee?
Ok deh,kalau bayar, berapa kira-kira. Variatif, tergantung rating radio, tergantung juga kok dengan kota dimana radio itu berdomisili. Tapi kisaran kasar, antara 2, 2,5 juta sampai 4, atau 5 jutaan. Bisa juga lebih.
Ada juga MD yang ikut menentukan. Sebenarnya, mengarahkan. Walau mau atau bisa membayar, berapapun, si MD akan menentukan dulu. Lagu atau musik ini,bisa ga diputarkan di radionya. Kalau “tidak sesuai dengan segmen pendengar” radionya, MD bisa mengatakan, mending jangan deh. MD tersebut tak berani, kalau sudah membayar, tapi ternyata ga bisa sering diputar.

Diputar saja jarang, apalagi masuk tangga lagu! Ya ada MD yang berani menolak. Dengan alasan itu.  Ya, masuk akal sih. Daripada buang uang percuma kan? Etapi, memangnya lagu rock, hard rock, heavy metal, jazz, blues dan lagu anak-anak itu ga mungkin jadi populer? Ga bisa jadi lagu yang diminta diputar oleh pendengar?
Well, ya kalau mungkin sih, ya mungkin saja. Tapi gimana ya, radio itu “ga terbiasa” putar musik “relatif keras” gitu? Gimana dong? Mungkin saja bisa, asal yang minta memutarkannya, begitu banyak orang?
Persoalannya kan, ironisnya ya, musik rock misalnya, pasarnya di dunia itu kan ditengarai juga salah satu yang terbesar. Selain, musik pop! Masalahnya, lagu-lagu “musik keras” itu di sini sudah kadung dianggap bukanlah musik populer, coy!
Jazz nih, kan ga keras. Lihat deh, festival jazz begitu banyak lho di sini. Masak sih, tetap”tak memenuhi persyaratan” untuk bisa diputar lebih sering di stasiun radio? Festival jazz boleh bejibun, cuma emangnye itu nunjukkin penggemar jazz itu bertambah banyak di sini? Hihihi, lha festival jazz itu kebanyakan juga, lebih mengandalkan artis atau grup non-jazz kok....


Ya salah satu “jalan keluar” memang, kalau saja ada radio khusus rock, radio khusus jazz, atau radio khusus lagu anak-anak. Pernah ada, eh kayaknya juga masih ada sih. Tapi jumlahnya, masih teramat minim. Radio nge-rock misalnya, ga mungkin rock tulenlah. Jazz juga gitu. Apalagi radio untuk anak-anak....
Anak-anak juga, apalagi. Seberapa banyak anak-anak sekarang, yang mendengarkan radio? Etapi, anak-anak umur berapa dulu? Balita, atau 7-9 tahun, ya di bawah 10 tahun? Mendekati remaja, sekitar 10-12 tahun? Beda-beda lho. Makin besar anak itu, musik yang didengarkannya, malah lebih memilih yang “lebih dewasa”.
Aduh, kalau bahas soal radio itu relatif panjang nih. Nanti jadi terlalu lebar, tulisan saya ini. Maaf ya, nanti saja dibahas tersendiri deh ya. Kita tetap fokus dengan promosi saja saat ini. Boleh ya?

Nah kembali ke promosi album di radio, bisa saja pasang spot juga. Dengan nilai tertentu, bayar, maka ada spot diputarkan. Sehari bisa berapa kali ya, 2 kali, 3 kali, 5 kali mungkin? Mungkin kok. Nilainya berapa? Wah, mending tanya langsung ke radio-radio tersebut deh. Hitungannya lain lagi soalnya. Mungkin saja, bisa lebih dari 5 jutaan...
So, baca lagi baik-baik dari atas deh. Terutama  soal radio ini. Jadi, pertimbangkan banget, lihat musiknya, lagunya. Sebenarnya, kalau soal radio, memang perhatikan baik-baik soal kota.
Jadi kudu cermati, musik begini, lagunya beginian, bisa ga diputar di kota Jakarta misalnya? Gimana kalau, jangan langsung Jakarta dulu, kota di luar Jakarta dulu? Atau kota-kota yang sebut saja, kota di second city or third city? Gini ya, kalau ada lagu yang ternyata populer di daerah duluan ya, bukan tak mungkin radio di kota-kota lebih besar, lantas menerima dan mau memutarkannya.

Lha kan sudah dibilang di atas tuh, soal radio hits maker dan hits player itu? Ya, kalau lagu itu ternyata bisa jadi hits di radio-radio di kota kabupaten, kota kecamatan lebih dulu gitu. Kan bisa saja radio di ibukota propinsi, bahkan di Jakarta lantas menerima. Setelah mereka mengetahui, oh lagu dari penyanyi ini atau grup band ini, eh sukses lho di kota-kota...Jawa Barat deh misalnya.
Tambahan lagi, bisa juga nanti mendengar kesan dari seorang music director radio atas satu produk album rekaman. Penyanyinya, suaranya adult ya? Susah nih, aku di sini memutarnya yang penyanyinya mudaan. Atau ya, ini terlalu teenager kesan suaranya, kami di sini lebih memilih yang adult...

Jangan lupa juga, mulai bertumbuhan radio-radio streaming juga. Mereka didengarkan bisa juga di laptop, gadget. Misal dengan download aplikasi radio itu. Mereka tak ada frekwensi di jalur radio standar. Tapi bisa didengerin juga. Beberapa radio, mulai mampu mengumpulkan penggemar.
Ya masih terbatas, belumlah booming. Artinya, pendengarnya mungkin saja masih terbatas. Belum juga masuk jangkauan pengamatan dari lembaga survey untuk rating. Tapi mungkin bisa mulai diperhitungkan. Bisa saja, di 3, 4 atau 5 tahun ke depan, menjadi trend kan?


Mendekati pihak radio, terutama MD. Bisa juga salah satunya dengan mengundang mereka hearing. Dibuat sebuah session khusus,kumpulkan MD radio-radio, mereka diperdengarkan langsung materi lagu sebagai single, atau lagu-lagu dalam album. Mereka langsung ditanyakan pendapatnya, berkomentar. Lalu, tanyakan mungkinkah lagu itu diputarkan di radio mereka masing-masing?
Beberapa tahun lalu, cara ini lumayan sering dilakukan, tak hanya oleh pihak major label.  Ataupun label produser, ataupun distributor besar. Tapi, rasanya sekarang ini, sudah tak terlalu jadi penting lagi. Mungkin karena, kenyataannya, sebagian besar radio yang diundang hearing itu, teryata juga tak memutarkan lagu-lagu tersebut di radionya? Ya bisa jadi begitu.
Salah MD nya ya? Ga juga sih. Ya MD nya mungkin mau memutarkan, bisa saja mencoba memutarkan 2 atau 3 kali lah. “Tes pasar”, ceritanya ya. Tapi kan ya lihat dulu, balik lagi nih, lagunya kayak apa dan musiknya gimana? Bossnya berkenan ga, kalau si MD memutar lagu-lagu baru yang, anggap saja, “ga biasa” itu?



Sekedar masukan. Ini jadi bahan pertimbangan lain. Cukup banyak grup band, atau artis penyanyi sekarang. Lagu dan musiknya, tidak diputar radio-radio. Tapi band atau penyanyi itu, eh bisa naik juga namanya. Makin populer. Ada yang begitu. Personil band dan menejer band itu, beberapa di antara mereka, sempat curhat ke saya.
Musik kami, dianggap kayak ga radioable, oom. Eh, mas. Susah. Paling-paling yang mau memutar, radio di daerah kami sendiri, di kota mereka gitu. Itupun karena pertemanan. Ya sudah, kita mau gimana lagi? Jalan saja. Nanti-nanti bisa saja kok mereka putarin, ga tertutup kemungkinan itu.
Kenyataannya ya begitu, ada menejer yang bilang, mulai ada 1 atau 2 radio tau-taunya mengundang bandku untuk interview lho. Hehehehe, akhirnya mereka mengundang. Dulunya, waktu kita kontak MD-nya, susahnya minta ampun, kayak ga dianggap deh....
Lantas, mereka bertanyalah ke saya. Sebenarnya, syarat satu lagu bisa diputar radio itu, gimana sih? Saya hanya senyum-senyum manis. Bingung euy jawabnya. Kan itu bukan wilayah sayalah. MD atau radio, punya hak prerogatif untuk meloloskan satu lagu, untuk diputerin di radionya.
Oom eh mas, kan radio itu butuh lagu untuk diputer ke pendengarnya ya? Kok kita kirim gratis, usaha susah payah lho, ga digubris. Mungkin ditengok aja ga, apalagi didengerin. Boro-boro diputar atau dipasang? Apa kami tuh harus bayar, supaya bisa diputar lagu kami? Kalau harus bayar, ya susah deh, kami band indie begini. Syukur-syukur nih bisa rekaman dan selesai, dan sampai jadi CD album ini....

Media cetak sudah, radio sudah nih. Sejauh ini, bisa dipahami kan? Bisa dimengerti ga ya? Saya lanjut, boleh kan? Ke televisi nih... Panjang lho tulisan saya ini.  Jangan capek ya bacanya.... Mau sruput kopi atau teh dulu?


Televisi dan Infotainment

Nah, pembiayaan atawa budgetting terbesar dari promosi di sektor televisi ini. Berapa besarnya? Mungkin saja bisa lebih dari 50-60an juta. Untuk membeli slot tayang klip. Hitungan dalam sebulan.
Tapi, saat ini sudah tak banyak lagi stasiun televisi menyediakan waktunya untuk menayangkan klip. Sudah tak seperti 10, 15 tahun-an lalu. Waktu itu, terutama era 1990-an, bisa dibilang seluruh stasiun televisi menyediakan waktu tayang lumayan banyak, buat video klip. Masih ditambah dengan program-program tambahan, khusus menayangkan klip.Jam tayang juga menyebar. Bisa juga menembus prime time.

Hari ini, sudah sangat terbatas. sejak 8, 9 atau 10 tahun terakhir, televisi menyediakan slot khusus untuk promo produk musik di program pagi hari. Tayangannya berisi live performance (ga live beneran sih,bisa minus one, tapi kebanyakan playback. Tapi disiarkan langsung). Dan disisIpkan tayangan videoklip.
Namun belakangan,pamor acara pagi hari itu rasanya makin menyusut. Sehingga memang, televisi menjadi makin sempit waktunya untuk bisa dipergunakan promo album. Pihak televisipun kemudian makin selektif.
Produk-produk musik non mainstream, bisa dibilang makin susah mendapat kesempatan berpromosi di layar kaca. Acara-acara televisi, yang masih memungkinkan untuk “diselipkan” promosi album rekaman baru, lantas makin dikuasai hanya oleh pihak major-label saja.
Eh masih ada stasiun televisi yang menyediakan waktu khusus menayangkan klip. Itupun sangat terbatas. Entah mengapa, jam tayang klip dibatasi, bahkan dihilangkan. Padahal dari dulu juga, itu bisa menjadi sumber pemasukan bagi stasiun televisi sih.
Mungkin karena jam atau durasi per-klipnya dianggap relatif panjang ya? Bisa 3 menit-an, atau 4 bahkan 5 menit-an perlagu. Mungkin dilihat, dengan durasi begitu, kalau spot iklan biasa, sudah dapat berapa spot ya? Bisa jadi begitu.

Dulu memang, klip sempat menjadi salah satu primadona, dalam hal mempromosikan album rekaman. Banyak artis penyanyi dan grup band, membuat klip untuk televisi. Bermunculan banyak klipper-klipper, yang bersaing untuk membuatkan klip. Harga atau rate para klipper pun lantas menjulang tinggi.
Sekarang, banyak sekali klip dibuat, hanya untuk ditayangkan “terbatas”. Yaitu di media youtube saja. Karena untuk menembus televisi, makin sulit. Harga tayangin klip juga relatif tinggi. Membuat banyak album rekaman saat ini, tak lagi mengalokasikan dana untuk membuat klip, dan mengambil slot penayangannya di stasiun televisi.
Bisa saja, memanfaatkan program “khusus” promosi album. Di acara pagi hari itu. Tapi persyaratannya, stasiun televisi memberi syarat, lagu itu harus menembus tangga lagu atau charts di radio-radio ternama. Jadi lebih selektif.
Maka dari itu, rasanya hanyalah produk rekaman dari major label saja, yang bisa tampil. Lebih jelasnya lagi, hanya sebatas lagu-lagu pop. Ada beberapa stasiun televisi, membuka pintu, untuk musik di luar pop, tapi terbilang sangat terbatas.
Kabarnya, tarif penayangan promosi di televisi juga makin tinggi. Persisnya berapa, silahkan di check langsung ke stasiun televisi bersangkutan deh. Memang yang jelas, kudu rogoh kocek lebih dalam lagi sih...

Persoalannya juga kemudian, siapa saja pemirsa siaran stasiun televisi di sini. Baik swasta maupun TVRI. Pemirsanya, dianggap tertentu, sehingga tak lagi potensial untuk jenis musik-musik yang tidak pop.
Masuk televisi, bisa juga melalui pintu infotainment. Wartawan dari infotainment meliput, misalnya kegiatan press conference, ataupun launching sebuah album rekaman. Membayar? Ada juga kok. Tapi silahkan check lagi untuk detilnya ke production house dari program infotainment itu. Walaupun, biasanya pihak infotainment sangat selektif dalam mendatangi sebuah acara launching album.
Hanya sebatas pada nama-nama yang sudah populer saja. Kalaupun ada newcomer ingin diliput, biasanya kudu disiasati tuh. Misal, harus ada duet dengan artis penyanyi atau grup band yang sudah populer.

Ini ada juga siasat lain, usahakan dalam launching itu, dihadiri oleh seleb tertentu. Nanti si seleb, bisa penyanyi, bisa aktris atau aktor yang sudah dikenal luas, datang dan akan diwawancarai. Kan backgroundnya itu, acara launching album? Jadi, si penyanyi atau grup band yang melakukan launching, tidak diwawancarai?

Ya gimana ya. Diwawancarai sih. Tapi soal ditayangkan atau tidak, masih .... fifty-fifty lah. Nah lho? Kalau tidak diwawancarai, jadi efektif atau ga ya? Gini nih, masalahnya, banyak artis penyanyi baru atau grup band, pengen bisa muncul di televisi. Tampil di infotainment pun, sudah jadi kebanggaan...
Jadinya, bisa dipahamikan? Sikonnya membuat, kudu pinter-pinter membuat strategi, atau siasat, biar bisa ditayangkan di televisi atau di proram infotainment itu. Ga gampang sih, terutama buat nama-nama yang tidak populer itu. Susah ya?
Well, saran saya sih, pikir dan pertimbangkan baik-baiklah. Urusannya kan, ini butuh biaya tambahan tak sedikit ya. Tentu saja, pikirkan baik-baik manfaatnya. Efektif atau tidak?
Ya kalau mengundang, itu belum tentu pihak infotainment mau datang. Kalaupun datang, lalu nanti akan ditayangkan seperti apa? Berapa lama? Kalaupun ditayangkan, nantinya yang menonton siapa? Mungkin ga, pemirsa program itu, bisa mengapresiasi musik dari album yang dipromosikan?

Beberapa band atau penyanyi yang memainkan musik jenis outside mainstream industry berpendapat, siapa sih penonton televisi kita? Dengan banyak yang telah memilih mengakses cable-TV, pastilah akan lebih menekan channel film-film misalnya. Atau, kalaupun musik, ya musik luar negeri.
Jadinya, kalau kami masuk televisi, tentu dengan musik kami ini, siapa yang menonton? Apa mereka bisa mengapresiasi dengan baik? Bisa jadi sih ya, begitu lihat sebentar, langsung pilih ganti channel. Kalaupun menonton terus, mungkin ya keluarga kita, teman-teman kita sendiri, kerabat kita sendiri tuh.....

Yaaaa gitu deh, sikonnya. So, gimana dong, televisi penting ga? Televisi, video klip. Tampil di program-program musik tertentu. Penting juga sih, untuk lebih memperluas jangkauan, buat promo nama. Itu yang saya sebut, untuk “mengerek bendera” itu lho.
Tapi memang, kalau harus membayar, apalagi dengan budget yang harus dikeluarin itu ga kecil, ya pastinya jadi problemo. Lupain ajalah. Ya abis gimana lagi? Eh iya, seberapa banyak sih, album rekaman yang bisa meraih angka penjualan tinggi saat ini, karena promosi gencar via televisi? Maksudnya, yang mengandalkan tayangan di televisi?


Promosi Gratisan, Alternatif Yang Kekinian

Radio butuh biaya, media cetak ada biayanya. Televisi, wah apalagi yang itu. Yang kira-kira ya, dananya minimal banget. Ada ga?
Dana minimal? Seminimal berapa? Ada nih. Kekinian banget kalau sektor ini. Hehehehe. Apalagi kalau bukan, memanfaatkan semaksimal mungkin yang namanya, sosial media. Alias, social media atawa socmed. Sebut deh, facebook, twitter, instagram, path and so on.
Bisa gratis malah. Cuma ya kudu aktif aja. Aktif postinglah. Kudu nongkrongin. Nah ini nih, mainan beginian, sering dianggap, gampang. Siapapun bisa. Ga perlu orang khusus ini mah. Ada mungkin yang bilang, ah anak-anak juga bisa. Begituan sih, bini gw ajalah. Selesai! Atau, kalau yang socmed, si ini sih juga bisa kok, dia ajalah.
Gampang ya? Bisa dibilang gampang. Karena, siapa ya, yang hari ini tidak bermain socmed? Dari 100-an orang, mungkin hanya ada 1 atau 2 orang, yang malas berkeliaran di socmed. Ga mau, karena berbagai alasannya ya.

Sekedar eksis di sosmed, yang penting nongol. Semua bisa. Iya, itu betul. Betul banget. Tapi kalau lantas urusannya sudah, main dan eksis di sosmed, yang efektif untuk promosi? Bisa gampang, bisa susah juga. Susah dikit kali ya.
Kuncinya hanya satu, sebagai dasar utama. Aktif aja. Kalau bisa, setiap hari. Setap hari, posting, 1 atau 2 kali lah  Terus menerus. Konsisten. Terjaga tuh. Ya isitilahnya, kudu “cerewet” aja.
Tapi perhatikan detil lainnya. Cerewet, konsisten dan terus menerus. Harus bisa tersebar luas. Salah satu jalannya, tagging. Fasilitas tagging, kan ada nyaris di semua sosial media. Cuma harus diingat, yang ditagging, jangan hanya nama itu ke itu saja.
Ingat, bahwa ketika posting itu kan untuk “menyebarluaskan” informasi. Perhatiin, bukan hanya kasih info, misal tentang album baru rilis, tapi..haruslah .”tersebar luas”. Ya, usahakan seluas-luas mungkin. Kemana-mana dah.
Bisa pake tag person. Tapi jangan keseringan. Banyak orang juga gerah, kalau kita main tag namanya itu, apalagi kalau infonya ga kreatif.  Cuma ya itu ke itu lagi. Atau gini, tagging nama kita untuk misal satu bentuk info. Tapi tag di path, instagram, facebook semua sama.
Bagus sih kalau begitu. Biar bener-bener bisa nempel di kepala dan hati. Tapi, kalau keseringan, orang bisa bosen. Kalau sudah bosen, bisa kesel. Kalau sudah kesel, apalagi kalau bukan...lama-lama jadi benci! Boro-boro mau beli, lihat aja ogah. Bahkan mau buka postingannya itu saja sudah malas. Repot kan?


Naikkan video di youtube, lalu sebar-sebarin ke media-media sosial, shared link itu. Persoalannya, berapa banyak video yang mau disebarin? Kalau hanya 1 atau 2, dan itu terus menerus disebarin, orang-orang bisa jenuh. Kagak ada nyang laen, coy?
Kreatiflah. Iya, ujung-ujungnya emang juga dituntut kreatifitas. Kreaif menyediakan video-videonya, yang variatif. Mungkin juga ditambah kata-kata dalam posting yang juga variatif. Intinya, postingan promosinya, harus bisa banyak macamnya.
Kan ya teteup atuh, gimana caranya, orang mau cari tahu. Ini apaan sih? Eh, ini apaan lagi? Liat ah.... Informatif, menghibur juga, rada menggelitik kalau perlu. Sehingga meningkatkan rasa curious orang. Dan ketika dibaca atau dibuka, memang menarik.
Sehingga penting banget, pertemanan sebanyak mungkin di sosial media, untuk menyebarluaskan informasi, ataupun promosi. Friends, harus sebanyak-banyaknya. People who Liked, harus terus ditambah dan ditambah jumlahnya. Followers juga demikian halnya. Makin banyak, akan bisa berpotensi untuk tersebar luasnya informasi yang ingin disampaikan.
Paling asyik, kalau saja di setiap sosial media yang diikuti, sebagian besar teman-teman berbeda-beda. Artinya memang kan, informasi tersampaikan kemana-mana. Tak sekedar terbatas hanya di kalangan terdekat, teman yang terbatas “dia lagi dia lagi”.
Mencegah untuk sekedar mengundang komen-komen “standar” lah seperti, cool bro, kereeeen banget, gw suka banget, asyiiiik, good luck bro, atau sejenis itu. Atau gambar hati, jempol saja.

Yang belum tahu, harus jadi tahu. Kalau sudah tahu, mudah-mudahan jadi penasaran pengen tahu. Kalau sudah pengen tahu, semoga beli CD nya. Kalau sudah beli CD nya, yaaaaa sangat diharapkan, suka lantas suka banget dan jadi fans deh!



So, liat ya, susahkah? Gampangkah? Ada “tata cara permainannya tersendiri” sih. Ini kalau ingin dipergunakan sebagai promotion tool yang efektif. Kalau pengennya, ya yang penting eksis saja, sekedar media untuk menunjukkan eksistensi, ga papa juga sih. Tapi plisss deh sob, jangan berharap terlalu banyak....
Soalnya, kalau sekedar menuai atau “mengundang” komen-komen pujian, gimana ya. Kok ya masturbasi kelihatannya. Hati-hati. Nanti jadi terbuai. Tau-taunya jadi terbang melayang-layang. Lupa jack, lha yang muji kan temen-temen deketnya sendiri....
Catet juga, aktif di socmed itu, bukan sekedar aktif cerewet update status doang. Sering aja nongol koman-komen di postingan orang lain, terutama di teman-teman atau orang yang kita kenal. Misal nih, kalau di tag nama kita, oleh teman kita, respon aja. Take and give bray. Nanti kurang asoy kan kelihatannya, kalau nge-tag nama kita, apalagi dalam tag massal aja rajin tuh. Tapi males dan ga respon apapun, kalau di tag nama kita, oleh teman kita.
Sepele kelihatannya. Mungkin ada nih yang baca di atas bilang, ah masak sampai segitunya, ga perlu kali ah. Eits, kan namanya juga “berteman”. Kalau bisa jangan “satu arah”, itu akan sangat bagus rasanya. Setuju? Kalau setuju, silahkan pesen cemilan deh... Hihihihi. Nyemil sambil baca, enak juga. Bikin ga berasa mbaca tulisan panjang beginian...


Oh ya, di semua sosial media tuh, ada juga “jalan pintas”. Untuk perbanyak langsung followers, friends, like, viewers. Bayar sejumlah tertentu, bisa dapat tetiba bertambah 1000 teman, atau ada sampai 5000 teman. Bahkan bisa 10.000 followers. Ada juga yang memanfaatkan fasilitas itu. Ga terlalu mahal kok.
Tapi hati-hati, cermati baik-baik. Ada “teman-teman baru” ribuan jumlahnya itu, akun-akun beneran? Akun aktif? Atau hanyalah akun “abal-abal”. Atau account yang pasif? Makanya ya, disarankan sih, manual sajalah. Jangan potong kompas, “membeli” teman-teman di dumay alias dunia maya. Lha, temen kok yo dibeli, ono-ono ae...
Well, hari begini, pastilah begitu banyak orang sudah terbiasa main sosial media. Untuk sekedar main, punya akun, itu banyak. Yang ga banyak itu, yang mampu bermain dengan “lincah dan gesit”nya di sosial media.
Dalam hal, memanfaatkan sosial media tersebut, sebagai sarana untuk berpromosi. Nah, kalau di sisi itu, terus terang aja ga semua bisa. Walau bisa dipelajari. Yang penting, tekun dan intens sih. Untuk belajar bisa, tapi jelas perlu waktu.
Catatan terpenting, kalau omong hari begini, banyak sebenarnya grup band atau penyanyi, sukses gegara mampu memanfaatkan maksimal sosial media itu. Mumpung kan gretongan say. Yaaaa, dikulik ajalah. Dana minimal soalnya, sangat terbatas. Harus pandai bersiasat!
Iya, bisa kok. Jadi, dikarenakan terkendala pada sektor keuangan, maka cari caralah untuk bisa “berjualan”. Mau tak mau, lupakan media cetak, radio-radio, apalagi televisi. Kalau misal sukses, nanti-nantinya juga, justru pihak radio atau televisi mengundang kok. Tanpa susah-susah meminta, tau-taunya eh lagu-lagunya diputar.
Iya kan, juga wartawan media cetak dan online, pasti akan nguber juga. Kalau sukses-ses, jadi seleb, ya jadi sumber berita kan? Gimana ya, tergantung nasib sih. Hihihihi, ya gitu deh.


So, kesimpulan dari pesan berbagi saya, nan lumayan panjaaaaang ini, apa sebenarnya sih? Pikir dahulu pendapatan, susah kemudian bakal nelangsa. Yoih, ti ati deh. Duit adapun, kelolalah dengan sebaik-baiknya. Jaga betul ego, atau nafsu.
Tak ada yang bisa menjamin, kalau promosi gencar itu, pasti sukses. Soalnya, sederhananya gini, promosi gencar itu, segencar apa? Ukuran “gencar” itu sangat relatif. Kalau gencarnya nanggung, begitu sekilas kelihatannya ya, tapi ternyata lho sukses?
Seperti yang saya tulis di awal banget di atas, bila mengukur dari sisi nilai budgetnya ya. Mungkin 300 sampai 400an juta, boleh jadi dianggap “rada nanggung” kali ya? Yang gencar banget, seberapa ya, di atas 700 apa 800 juta? Atau, semilyar? Oho.

Eh gini ya, ada teman-teman yang bisa “menolong” untuk menjalankan promosi tersebut. Ada “pemain-pemain”nya. Yang seru, sebagian besar dari antara mereka, berani menjamin bisa sukses! Dan “client”-nya percaya! Sakti!
Duit digelontorkan terus menerus. Eala, ujung-ujungnya aaaah, gatot bray! Gagal total. Band atau penyanyi, atau penyandang dananya, gigit jari. Senyum kecut. Lalu yang membantu jalanin promosi bilang apa dong? Sampai sejauh mana tanggung jawabnya? Angkat tangan, tarik nafas. Tapiiii, dompetnya udah penuh kan...
Seringkali, dari informasi yang saya dapat, kelihatannya budget yang disusun atau diajukan itu memang waow! Yoih, waow nya tuh ukurannya, “fee” yang menjalankan promosi itu, bisa diatas....100-an juta! Itu dari nilai total yang diajukan bermain dikisaran, 500-600an juta!

Sadap betul! Kalau sukses, pasti klien itu ok-ok saja. Kalau kejeblos? Ini nih jadi perkara. Saya sempat mengalami, beberapa pihak ya, datang ke saya. Niatnya minta tolong, bisa ga diterusin promosi mereka? Kami sudah habis-habisan dengan si “anu” mas. Kata si “doi” dengan dana sebesar gitu,  bisa sukses oom, ternyata ga kedengeran juga.
Ironisnya, mereka lantas berkeluh kesah deh. Panjang juga. Ujung-ujungnya, duit kami sekarang tinggal segini-segininya mas. Mungkin ga dibantuin terusin deh? Saya bingung euy jawabnya. Nasib dah, dapat....”sisa”!


Ada pula kasus begini nih. Ada yang datang, minta saran, petunjuk untuk promosi yang “bagus dan sukses”. Udah kayak dukun aje, dimintai petunjuk? Hehehehe. Saya sarankan begini, begitu. Dan terpenting, saya sarankan, jangan boros. Tenang saja. Jangan keburu nafsu ya. Mereka iyakan. Mengangguk-angguk.
Tapi ternyata, mereka tak “puas”. Karena dianggap saya tak bisa menjamin. Tak puas dengan arahan saya. Mereka cari orang lain. Dapat tuh. Dan jalanlah. Lumayan juga, dana mereka memang lumayan besar.
Beberapa bulan kemudian, eh mereka mendatangi saya lagi. Iya, balik ke saya. Untuk menumpahkan curhat panjang lebar. Intinya, mereka ga berhasil. Katanya begini, katanya begitu, ternyata...? Ah iya mas, ternyata apa yang mas bilang tempo hari itu benar adanya. So?
Kami sudah habis-habisan nih, yah kami teringat mas dan saran-sarannya. Masih mungkin ga mas membantu kami saat ini? Dana kami sih sudah habis sebenarnya.... Ya ampuuuuun! Nasib dah!
Jadi titik masalah utamanya memang di situ. Berani menjaminkan, kalau keluarkan uang segini, segini ya, pasti sukses. “Pasti” di sini ini, yang jadi biang keroknya kan? Tapi biar gimanapun, saya pikir teman-teman itu hebat sebenarnya. Pandai betul meyakinkan orang, dan sangat pede untuk memberi jaminan.


Oh ok, jadi gimana baiknya dong? Ya saran sih, diingetin lagi. Bahwa itu hanya usaha, dan ga ada yang bisa memastikan. Jadi, sangat perlu mempertimbangkan masak-masak. Welldone kan lebih siiiip, itu buat selera saya sih. Bolehlah, sambil ya coba pelajari dulu situasi dan kondisi “pasar” yang ada.
Ada baiknya, promosi tersebut, sekali lagi dan lagi ya, lihat kocek. Ketika tau kocek ada seberapa, coba jalani dengan hati-hati. Boleh, pakai saja “tenaga sendiri”. Pilih dan rekrut, orang-orang tertentu, yang kira-kira bisa mengerti promosi gimana-gimananya.
Tapi eits bentar deh. Ini ironi atau apa ya, saya melihatnya. Pada sebagian kasus ya, lucu deh. Anak-anak bandnya sih, fine-fine aja. Mungkin gini, yang penting kita udah nongol dan dikenal. Gitu kali?
Yang babak belur itu, si pendana. Apa ya namanya, investor a.k.a bigboss a.k.a executive producer ya. Koceknya sampai....”bolong” en jadi susah tidur, ga enak makan juga. Aha, runyam juga. Ga banyak yang begitu sih. Sebagian besar kasus, ya anak-anak band yang didanai biar bisa rekaman dan “nongol ke permukaan” itu, ber-empati juga dengan pihak investornya kok.
Walau hati-hati juga, banyak orang pasti mampu untuk sekedar kontak media, kontak radio. Kontak orang televisi. Membuat sebuah jumpa pers. Relatif mudah sih, kalau sekedar gini ya, bisa kontak. Karena kan kenal ya? Iya, saya kenal dan tau kok.
Oh dia juga kenal orang-orang radio, wartawan-wartawan. Cukup bergaulnya. Bisa diandalkan dong? Bisa iya, bisa tidak. Kenapa? Ya kan tak sekedar kontak karena kenal? Apalagi kenal, ya kenal sekilas lah gitu.
Soalnya, tujuannya itu promosi yang efektif bukan? Efektif itu, ya seperti yang saya jabarkan di atas. Situasi media cetak saat ini gimana? Radio-radio itu sebenarnya bagaimana sih?
Betul banget men-temens, di sisi ini perlu jam terbang juga. Ah, semacam pramugari atawa pramugaralah ya. Hehehehe, intermezzo dikit. Permisiii yooo, biar teteup rileks dong ah.
Memahami betul akan medan sesungguhnya. Kudu itu mah. Jadi, mampu membangun semacam “media-planing” yang baik dan benar. Mudah? Atau susah? Silahkan pikirkan sendiri masak-masak. Jangan setengah masak, kadang-kadang bisa bikin sakit perut....
Banyak orang bisa, itu benar. Tapi untuk “pendalaman”nya, untuk memahami detilnya? Perlu proses dulu sejatinya. Artinya, tak sekedar, dia kenal kok dan bisa kontak.... Perlu skill ya? Ah, jauh amat pakai disebut skill segala? Bukan skill lah. Intuisi kali ya?

Intuisi yang bukan sekedar “good feelings”. Tapi lebih dikarenakan, kemampuan membaca “peta” atau sikon terkini itu, memang pengalaman berkecimpung di dunia itu. Sekian waktu, intens. Satu lagi tambahan yang penting, pengalaman, dikenal luas dan “tidak punya story kurang baik”.
Hahahaha....kalau pernah punya cerita kurang sedap, ahay, dunia beginian pan sempit jack! Ya ga sih? Etapi, iya juga, orang boleh dong bertaubat. Ada juga, niat memperbaiki diri? Bisa kan?
Iya juga, itu benar. Tapi lebih berhati-hati, boleh dong? Kalau misal nih, misalnya ada cerita-cerita kurang asyik sebelumnya, boleh juga ditelusuri kebenaran berita “miring” itu. Siapa tahu, itu gosip menjatuhkan?
Sudahlah, pokoknya ya gitu deh ya. Pesan dan kesan saya kan mudah-mudahan jelas, bisa dipahami dengan sebaik-baiknya. Kalau ternyata puyeng bacanya, memahaminya, mungkn kurang cemilan? Udah makan siang belum sih?
Dan pesan saya juga, ini penting banget untuk terus diulangi lagi. Pikirin baik-baik sebelum berpromosi. Beneran deh. Jangan terlalu percaya juga dengan intuisi sendiri. jangan kelewat yakin, musiknya dan lagunya bisa jalan, kalau lewat jalan ini. Kalaupun gagal, dan tak menyesal, ya karena kan itu juga datang dari keinginan dirinya sendiri?
Iya, tapi orang lain melihatnya kan bisa miris juga. Aduh, dia terlalu berani sih. Ah, nekad padahal ga terlalu memahami pasar. Ya kayak gitulah kira-kira kata orang-orang.
So, berpromosi boleh. Tapi berhati-hati. Tanpa promosi, ya mungkin saja. Bisa juga gini sih, upayakan sebisa mungkin banyak tampil dimana-mana. Itu juga bagian dari promosi kok. Promosi langsung, jalani sendiri. Lebih bisa dijamin kesuksesannya ya?
Yaaaaa, ga juga. Sama dong. Ga bisa dipastikan juga. Konteksnya kan, promosi. Ya upayakan promosi saja. Sesuaikan dengan kemampuan. Tampil di gigs atau showcases, itu juga jalan promosi sih. Bingung gimana caranya? Baca tulisan saya yang lain, sebelum ini deh. Terutama soal band atau artist management.

Sedikit deh, ditambahin ya, bahwa tampil sering-sering, dimana-mana, kalau bisa keliling ya. Itu bisa juga jadi satu alat promosi. Asal harus ditujukan, yang nonton upayakan jangan kalangan sendiri. Jangan teman-teman yang sudah kenal. Agak percuma sih. Kan mereka sudah tau? Jangan-jangan mereka datang juga, karena sekedar “ga enak ati ah kita nonton deh”.
Ada grup band dan penyanyi, perlahan tapi pasti sukses. Makin dikenal, tambah dikenal luas. Gegara banyak tampil. Pede dan yakin aja.  Bahkan kalau perlu, tak pikir soal “zona aman”. Aman gimana?
Iya, aduh diulang-ulang lagi nih. Kan supaya orang-orang atawa publik tau, bukan? Kalau hanya teman-teman yang sudah dikenal yang nonton terus, yaaa itu sih namanya private party aja. Bukan promosi dong? Cuma untuk seneng-seneng bisa main, nge-gig bareng teman-teman baik doang. 


Banyak kok yang datang dari kalangan indie, bisa sukses juga. Dan karena sukses, argometer-nya bisa naik dan naik terus. Eh iya, kudu inget, soal indie dan major. Kalau untuk distribusi atau penjualan ya itu berlaku.
Tapi major dan indie, ada “garis tegas” di sekitar 10 – 15 tahun lalu. Tidak lagi sekarang ini, menurut saya. Apalagi menyangkut show atau panggung. Sudah tak ada lagi perbedaan antara artis-artis atau grup band indie dan major.
Artis dan grup band indie sekarang, banyak kok yang sudah pede. Mereka sudah sukses, inget ya sukses dengan “jalannya sendiri” lho. Karena mereka sukses, mereka pede pasang bandrol tinggi. Banyak band-band indie itu juga berani mengajukan permintaan-permintaan banyak dan “aneh-aneh” untuk show lho, muatan dalam riders-nya. Pede jack. Karena kan mereka emang dikejar-kejar event organizer atau promotor?
Artis penyanyi dan grup band dari indie, bandrolnya sudah “bersaing” dengan yang major. Itu bukti bahwa ya indie dan major untuk show mah, ga ada lagi bedanya. Malah makin banyak grup band indie, rate-nya tinggi, di atas yang major. Dan teteup, demand untuk show mereka, ya relatif tinggi.


Bandrol tinggi, permintaan tinggi. Melejit ke atas popularitasnya. Lantas jadi headliners deh di ajang-ajang festival, bahkan bisa di festival musik yang sebenar-benarnya sih musiknya itu, bukan musik yang di festival itu. Hahahaha. Festival jazz yang menjamur di sini itu tuh, yang ga peduli itu artis atau grup band jazz atau bukan. Yang penting, dianggap populer dan bisa jadi magnet untuk mendatangkan penonton.
Well, yang harus digaris bawahi adalah, popularitas bisa melejit, tapi dengan cara “gerilya” promosi tersendiri lho, pada awal-awalnya.
Sekian dulu sahabat-sahabat saya sekalian. Semoga, tulisan panjang lebar ini bermanfaat untuk banyak orang. Berpromosilah dengan cerdas dan berakal sehat. Mulailah melangkah, dengan mengenal dulu “medan”nya. Akur ya?
Salam Musik! /*




Keterangan Foto  :
Permisiiiiii...beberapa foto saya ambil dari google. Tapi sebagian besar, foto-foto sebagai illustrasi, adalah karya jepretan saya sendiri.















5 comments:

obboy said...

sangat real byk di alami saat berpromosi.. makasih kang jadi ada pencerahan sebelum saya promosi musik. boleh minta no kontaknya kang.. klo berkenan bisa kirim ke obboybandmanager@gmail.com
makasih

Gideon Momongan said...

Aduh, maaaf banget! Saya baru liat message comment ini. Bro @Obboy silahkan kontak saya saja di diongm2015@gmail.com. Trims dan Salam!

regiweking said...

Nice article....bernas dan penuh pencerahan..sy paling suka statement (yg emang betul banget) : namanya festival jazz tp peserta artis nya bukan dari genre jazz..makjleb banget...
Klo sy liat festival2 rock & metal di Indonesia jarang banget menampilkan artis penyanyi/band yg selain genre Rock & Metal alias tetap konsisten dgn nama festivalnya yg jelas2 ROCK / METAL...

regiweking said...

Salam kenal buat Bang Dion Momongan & Salam Musik Indonesia...Telah dirilis Single terbaru dari REGI WEKING (Ex-Vocalist GARUDA FORCE Band) yang berjudul “MANIEZ” (MANIS) ber-genre POP Ballad https://itunes.apple.com/album/id1304637464 (sudah ada juga di SMULE) Terimakasih

Gideon Momongan said...

Hai, salam kenal @regiweking. Aduh, saya jarang buka-buka komen, jadi telat banget ya responnya.
Tetapi trims banyak, sudah mau komen. Trims berat untuk apresiasi terhadap tulisan2 saya. Semoga saja, ada manaatnya....
Dan begitulah mas, inilah....INDONESIA kita.
Salam Musik INDONESIA!