Selamat berjumpa, sidang pembaca blog saya yang budiman...
Kali
ini saya pengen share soal promosi
musik. Dalam hal ini adalah mengenai mempromosikan satu bentuk album rekaman.
Audio terutama, tapi bisa juga video.
Perlu
diketahui, ini tulisan panjang, lumayan detil. Siap-siap aja membacanya. Mungkin
perlu “sedikit” enerji, untuk bisa membaca sampai selesai. Saya berharap sih
punya faedah, bisa jadi pegangan dasar, dalam hal mempromosikan album rekaman.
Cuma
berpegangnya, jangan terlalu kuatlah. Agak santai sedikit. Jangan tegang. Kalau
terlalu kuat dipegang, bisa robek nanti. Yoih, seolah-olah kertas kan, terlalu
kuat digenggam, bisa lecek, nanti ga
bisa kebaca isinya....
Isinya,
bertolak dari sebagian besarnya adalah pengalaman saya sendiri. Iya, saya juga
sekian waktu menjalani promosi, sebenarnya promosi ya album rekaman, konser
musik. Mulai dari strategic-plan
sehingga menjadi as a strategic partner.
Atau menjadi moderator. Suka juga sambil menjadi koordinator wartawan. Hanya
“dimintai tolong” membuatkan press-release
pun sering.
Sebagian
dari kegiatan promosi tersebut, saya lakukan juga untuk produksi label saya
sendiri. IndiejazzINDONESIA, label
kecil independen, nan bebas merdeka saya itu. Ataupun juga, kegiatan-kegiatan
macam acara musik, konser, festival jazz yang ditangani atau dibuat oleh
indiejazzINDONESIA. Label dan organizer
cum promotor tersebut, sekaligus strategic partner company kecil itu dibangun saya bersama beberapa teman dekat.
Sebagai
catatan saja, saya memulai promosi musik ini, sebenarnya sih sejak...ah sejak
kapan ya? Sebentar, boleh inget-inget dulu? Ngh,
gini sebenarnya saya meng-arrange press-conference itu sejak pertengahan
1980an.
Saya
membuat dan menjadi koordinator, sekaligus moderator jumpa pers itu, mulai
dengan 2 event di Jakarta. Tahunnya kebetulan berdekatan. Ya di pertengahan dekade
80-an itu.
Tapi
udahlah kita fokus ya, ke promosi hasil rekaman dulu ya. Ini pengembangan atau
kelanjutan dari rangkaian tulisan saya sebelum ini. Baik mengenai event management ataupun band/artist management.
Ok
so, kalau untuk rekaman musik, terkait dengan “pos-pos” promosi. Seperti media
cetak, radio-station (FM station,
terutama), media elektronik seperti televisi. Juga di dalamnya termasuk media online.
Dan yang utama harus
diketahui. Terutama pastinya menyangkut budget.
Nah budget untuk promosi ini, bisa mencapai jumlah “tak terhingga”. Pernah ada
produk album rekaman, mengeluarkan biaya promosi sampai...lebih dari 1 M!
Hasilnya? Ada yang nyungsep-sep.
Buang uang dong? Mending beli mobil, atau rumah... Hehehe.
Tapi
ada, ada kok, yang lumayan sukses. Promosi segitu besar, angka penjualan
albumnya memang ternyata terbilang sukses. Cuma kudu tahu ya, itu terjadi udah
lama, lebih dari 10-an tahun silam.
So,
seberapa sih sebenarnya biaya promosi itu? Untuk keseluruhan ya. Gini deh, pada
hari ini, bilangan yang standar saja, 1 album dipromoin dengan budget 100-an
juta, itu angka standard yang terhitung minimal.
Ah,
100-an, masak? Kalau angka 100-an itu dianggap mahal, mendingan lupakan promosi
deh. Karena memang, nanti pada realisasinya, angka 100-an itu bisa saja
bergerak, misal jadi 125-an, jadi 150-an,bahkan...tau-tau eh udah lebih dari
200-an.
Tau
ga ya, angka bisa bergerak menaik itu, sebenarnya bisa datang dari...artis
penyanyi atau grup band bersangkutan. Atau, bisa juga dari “penyandang
dana”nya. Tanpa sadar, minta tambah ini dan itu. Ketika angka makin menjulang,
eh kaget sendiri. Nah lho!
Sementara
hasil akhir sebenarnya, albumnya sukses ga? Ini pertanyaan paling sulit.
Jawabannya apa ya? Jawabannya mungkin gini, Only
God knows.... Tapi yang penting udah usaha kan?
Kita
bisa mulai dari media cetak. Koran atau surat kabar,harian ataupun mingguan.
Tabloid. Majalah, baik mingguan atau
bulanan. Lalu juga belakangan, paling tidak mulai sekitar 5-6 tahun belakangan,
media online. Dulu ada juga yang
menyebutnya sebagai, cybermedia.
Ok
lantas gimana caranya sampai media mau menulis tentang album rekaman kita
ataupun aktifitas band dan artis kita? Ya kudu pinter dong, mencuri perhatian. Ambil
perhatian itu, curi, bawa pulang, jack!
Media Cetak dan Media
Online
Ok
kita mulai ya. Siap-siap bro n sis.
Sudah santai kan? Bacanya kudu “serius tapi santai”. Santai jangan kelewat
santai juga, tar malah ga mudeng.
Santai tapi fokus? Ah, sudahlah. Mulaiin
aja buruan. Siaaaaap!
Bikin
media kesengsem sama tampilan bandmu. Bikin sampai, syukur-syukur nih,
wartawan-wartawan terutama wartawan musik merasa harus menulis tentang bandmu,
tentang rekamanmu. Menulisnya dengan semangat, dengan sebaik-baiknya, lantas
muat di medianya.
Caranya?
Harus berteman. Saya lebih memilih kata, “berteman”. Bukan dekati wartawan dan
“sekedar” berhubungan, terkoneksi, antara artis atau band dengan wartawan.
Jangan sebatas kenal “begitu aja” sih. Itu yang terbaik buat kedua belah pihak
sih sebenarnya.
Nah
untuk artis penyanyi ataupun grup band, bergaul rapat dengan wartawan (musik),
ga ada salahnya. Saya malah menyarankan. Bisa jadi teman diskusi. Wartawan,
tentunya yang mampu mengarahkan dengan baik, akan berguna buat akan jadi apa
dan bagaimana, artis penyanyi ataupun grup band itu.
Well, wartawan itu
kan saktinya adalah, dia bisa mengatakan bagus sebuah band, dan orang banyak
percaya! Padahal sih, ga “sebagus apa yang dituliskannya”. Dia juga bisa bilang
jelek, dan orang lantas menilai si penyanyi atau band itu jelek. Padahal,
artisnya mah, sebenar-benarnyalah, ya baik-baik saja. Sebetulnya sih, ga
parah-parah amat...
Intermezo
dikit, ini menyebabkan adanya penulis atau wartawan musik yang suka “berseteru”
dengan penggemar musik. Hehehehe. Ga terang-terangan. Tapi bisa timbul tetiba
ada kelompok haters wartawan anu,
walau dia juga punya lovers pastinya!
Kenapa ada haters, ya gitu, orang-orang tertentu yang sebel deh dengan tulisan
si wartawan, yang dianggap “tak obyektif”, terlalu berpihak gitulah.
Jadi,
bisa ditulis dan dimuat media-media itu, bermanfaat banyak. Apalagi kalau
ditulis oleh wartawan atawa penulis musik yang memang “disegani”. Atau ada juga
kaum wartawan musik yang populer. Seleb? Beda ga yang populer dan disegani?
Saya
pilih, ah kita baliklah yiuks ke soal promosi saja. Eits, ini bukan pengen
membahas soal wartawan musik kan? Urusannya, bisa-bisa nanti nyenggal-nyenggol teman-teman
sepejuangan. Agak gimana gituuu... Well
bro n sis, nobody’s perfect. Manusiawilah yauw....
Nah
bisa ditulis awalnya, memperkenalkan dulu. Profil perkenalan singkatlah gitu.
Biasanya, berita “selipan”, cuma kira-kira “sekotak korek api atau sekotak
rokok” sajalah. Terus eksis, mulai banyak main. Mungkin mulai rekaman, berarti
ada berita. Bisa dimuat profile lengkapnya. Atau, bisa juga diberitakan
kembali, masih berita pendek. Tapi lumayan lho.
Lumayan
untuk, istilah saya, “mengerek bendera”. Makin bisa dikenal orang. Kan namanya
ditulis, semakin sering ditulis, publik mulai jadi tahu namanya. Ga papa, baru
tahu namanya. Itu ya potensinya, buat menggiring orang-orang supaya mau
menonton penampilan band tersebut.
Apalagi,
kalau lantas bisa di”berita”kan oleh lebih dari 1 atau 2 media. Potensi untuk
sukses memperkenalkan nama menjadi makin terbuka lebar. Ada pentingnya
“memilihkan” media. Media mana yang kira-kira memiliki pembaca “terbesar”.
Walau,
itu juga harus diingat, lihat juga siapa penulis atau wartawannya. Artinya di
sini adalah, apakah si penulis bisa membuat tulisan yang baik? Yang maksudnya
adalah, bisa memperkenalkan dengan maksimal si band atau artis penyanyi
tersebut. Dan ya seperti dibilang di atas juga, membuat orang lantas tertarik
untuk menonton pentas grup atau penyanyi bersangkutan.
Well,
memang persoalannya sih itu. Ga banyak penulis musik, yang bisa menulis dengan
“baik dan benar”. Sebagian ada yang dikenal lebih sebagai penulis copas. Ada pula yang belum juga jauh beranjak
dari, “kepengen menjadi penulis musik”. Atau, ada yang hanya kuat dan luas
dalam pergaulan, padahal jarang menulis.
Belum
lagi, ada penulis-penulis musik yang relatif muda, di jaman sekarang ini, lebih
suka menulis musik yang disukainya saja. Atau, ini perlu dipertimbangkan, ada
yang getol menulis band atau penyanyi yang memang kenal dekat dengannya. So,
kalau memang dia penulis dengan banyak pembaca, sebenarnya sih lumayan dong
potensinya?
Lha
jadi nyenggol lagi en lagi soal
teman-teman wartawan musik dong? Eh iya. Maaf. Tapi ini kayaknya perlu
diketahui. Kan supaya dapat gambaran menyeluruh, scene ini seperti apa. Apa manfaatnya. Adakah faedahnya? Dengan
kata lain, seberapa pentingnya sih...
Tapi
coba singkirkan soal dunia ke-wartawan-an musik itu. Jadi memang kalau bisa
ditulis di media akan lebih baik. Pengharapannya jelas, at least namanya banyak ditemui dimana-mana, sebuah modal penting.
Jadi berpotensi, bisa “nyangkut” tuh di mata dan hati orang-orang.
Melalui
media tulis, sekarang ini berkembang pula ke media online. Sebagian wartawan
media cetak, beralih ke online. Atau, jadi jalan di “dua dunia” itu.
Dikarenakan, medianya memang punya jalur media cetak, dilengkapi media
online-nya.
Karena
kan, saat ini sejak beberapa tahun silam, media-media cetak berguguran. Publik
perlahan mulai meninggalkan membaca koran dan majalah. Menenteng koran
berlebar-lembar, atau majalah, makin dianggap kurang asyik. Kurang trendy. Ah!
Sekarang
publik beralih membaca berita via gadgetnya.
Karena itulah media online bertumbuhan. Tapi, apakah memang banyak ya orang mau
membaca berita, terutama berita musik? Saya pribadi melihatnya, tetap saja ada.
Masih banyak orang mau membaca.
Walau
minat membaca bangsa ini, sedari lama dulu, ditengarai “harus ditingkatkan”
gitu. Namun belakangan makin digaungkan juga, perlu dan pentingnya membaca.
Jadi, ditulis, masuk media dan bisa dibaca banyak orang, tetaplah penting. Ya,
masih banyak kok yang mau membaca. Setuju?
Kemudian
diasumsikan band atau artis penyanyi itu rekaman, dan produk rekaman itu
dirilis. Alias disebarluaskan ke pasar musik. Perlu promosi lagi? Perlu ngeluarin berapa duit lagi?
Gini
nih ye sobat-sobit, perlu aja sih
dipromoin. Bayangin ginilah, rekaman capek-capek, jadi lantas jual. Tapi
orang-orang banyak, ga pada tau? Mubazir
amat? Yang tau hanya keluarga, teman dekat, kerabat. Yang pastinya, hampir bisa
dipastikan akan menilai, bagus, cool,
keren banget, gw suka nih, sukses ya!
Kalau
banjir pujian, cuma datang dari keluarga dan temen dekat, ah...onani dong?
Lagipula, biasanya kan, mereka hanya menunggu saja. Nungguin dikasih. Beli? Ya kagaklah! Hehehehe.
Ok,
hasil album rekaman dipromoin.
Caranya, kalau ke media cetak juga online, gimana? Salah satunya, menggelar press gathering, atau press conference. Ya yang sejenis
itulah. Undang wartawan, jamu makan siang kek, makan malam kek, atau
ngopi-ngopi “setengah berat”lah gitu.
Dalam
jumpa pers itu, band atau artis menjelaskan bla..bla...bla soal rekaman.
Jelasin ke wartawan yang datang. Bisa juga nanti diterusin, jumpa one-on-one dengan wartawan-wartawan
tertentu. Setelah acara rampung. Tinggallah menanti, media-media memuatnya.1
atau 2 hari ke depan, atau seminggu-an setelah acara itu. Publikpun bisa
membacanya.
Ada
sejumlah dana dikeluarkan di situ, yaaa so pastilah. Nah efektif ga? Efektif
itu ada beberapa hal bray. Efektif
dimuat? Rasanya sih iya, dimuat, tersebar luas. Efektif untuk memperkenalkan
nama, menggaungkan nama dan produk albumnya? Harusnya. Paling ga kan,
potensinya jelas ada dong.
Semakin
banyak wartawan yang datang, kayaknya akan makin tersebar luas dengan maksimal.
Tapi kan, ya kalau medianya itu banyak dibaca orang? Kalau medianya, diragukan,
siapa aja pembacanya sih? Ah, paling tidak tersebar luas dong....
Kalau
sampai tanya, apakah pembaca media itu, memang pasar yang dituju oleh produk
musik yang telah dihasilkan. Itu jadi “kejauhan” sih. Perlu analisa mendalam.
Bagusnya, pakai survey. Jangan berasumsi. Artinya, makan waktu ga sih? Eh,
album udah kelar nih, mau dipromoin dong. Lalu, perlu analisa mendalam dulu,
media-media mana paling efektif?
Belanda
keburu datang, dengan senjata lengkap dong. Kelamaan! Hahahaha. Makanya, ya
harusnya dari awal diperhitungkan masak-masaklah. Berapa duit di kocek. Mau
gimana nih bagusnya ya? Lha mendasar bingits
dong. Yaeyalaaaah, harus ada dokat-nya. Kalau ga ada, gimana mau
susun rencana promo kesana kemari?
Iya
ini perlu disiapin beneran. Pendapat saya, kalau mau promoin sebuah produk
album rekaman, hanyalah bergantung semata-mata pada media cetak. Misalnya,
lewat bikin sebuah jumpa pers. And,
that’s all! Jangan mimpi terlalu jauh. Jumpa pers hanya satu langkah doang.
Bila tanpa didukung promosi lainnya, ah...efektifkah?
Jumpa
pers juga, hareee geneee ye coy. Di
atas saya sudah tulis kan, soal teman-teman wartawan yang bisa menulis dengan
“baik dan benar” soal musik itu. Mau berapa yang datang deh. 20 media? 30
sampai 40-an? Makin banyak yang datang, bisa-bisa bikin pengharapan
menggelembung.
Kalau
menggelembungnya kegedean,bisa meletus. Dorrr!
Dan, nyatanya, ini banyak dijumpai, masih banyak publik belum kenal! Karena ya
banyak orang, ga baca media itu. Babak belurlah? Udah rogoh kocek soalnya....
Kalau
kata saya mah, sebenarnya gini. Lihat
dan pikir-pikir banyak dulu. Musik elo,
yang ada di dalam album elo itu, emang layak ga masuk banyak media? Musiknya
apa, ada nilai tambah apa sebagai news?
Musik-musik
tertentu, pop misal, boleh aja pakai acara jumpa pers. Non-pop, sebaiknya
pikir-pikir. Pikir dulu pendapatan, sesal kemudian tiada guna, itu petuah
orang-orang bijak. Jangan ikutin nepsong
atawa nafsu. Jangan juga kelewat gedein ego.
Karena
ya kan sudah saya jabarin tuh di atas. Musiknya dulu apaan? Ada nilai tambahnya
apaan? Kalau musiknya, outside-mainstream,
nama penyanyi atau band kurang populer, bahkan mengundang banyak wartawanpun,
belum tentu juga wartawan-wartawan itu mau datang! Eh beneran. Dan, ini
mirisnya, apalagi yang namanya “wartawan musik”.
Yang
namanya wartawan musik itu....hmmm, pemilih banget. Pendekatannya kudu spesial
kali ya? Gitu deh. Padahal, melihat yang wartawan (musik) yang kayaknya punya
“kwalitas” itu sih, gampang bener. Kalau mereka mau datang, misal lihat konser
tertentu, padahal ga diundang. Itu bagus harusnya. Bukan hanya datang, karena
diundang...ada tuh apa ya, ada “apa-apa”nya.
Ada
apaan,maksudnya? Iya,maksudku, diundang karena nanti kan ketemu, makan-makan
kenyang. Dapat press release. Lalu,
so simple lah, tinggal copas aja dari press release itu. Well,you know what I mean laaaaah...
Eh,
tau ga ya, diwawancara aja nih. Udah interview,panjang lebar lho.
Ketawi-ketiwa, becanda-becando. Kelar interview, tunggu 1,2 minggu. 1,3 bulan.
Itu tulisan tetap saza, ga muncul-muncul! Ini juga sesekali terjadi. Kenapa
bisa begitu? Badung nih wartawannya, ga asoy ah! Saya ga tau sih, kenapa bisa
begitu. Tapi point-nya itu tuh, bisa
begitu lhoooo.... Mustinya ya jangan begitu lah. Masak udah wawancara, ga
nongol-nongol juga?
Kebadungan
begitu ya bisa aja sih. Bukan medianya yang salah, atau jadi terkesan belagu. Ah ini oknumlah. Sebut saja begitu. Oknum wartawannya saja yang kurang asyik.
Main cuek bebek, ga bisa muat
tulisannya, meneng ae. Bikin orang
nunggu. Menunggu Godot dong!
Ok,
soal per-media-an, saya dapat info juga. Eh, info apa gosip? Sekarang ini,
banyak “wartawan-wartawan” muda, bukan dari media! Ga punya media, tapi mereka
punya...blog! Yoih, wartawan blog, coy. Lha saya, udah ga punya media
sekarang, hanya ada blog ini doang....
Dulu,
eh sampai sekarang juga masih. Ada kaum pers yang disebut wartawan bodrex. Ga diundang, karena medianya
juga ga jelas. Biasanya memang dari media “antah berantah”. Ciri khasnya jelas
bener. Abis presscon, kasak-kusuk
mengejar artis atau penyelenggara jumpers
tersebut. Buat apaan? Buat minta duit...transport. Rada memaksa. Padahal kan ga
diundang?
Ga
diundang, kok ya datang. Tapi nanti saya akan menulis kok, begitu alasan
mereka. Ya dijanjiin, tulisannya bakal keluar di medianya. Lanjutnya, ya kalau
saya menuliskannya yaaaa kita sama-sama tahu-menahulah, saling menghargai saja.
Itu
wartawan bodrex. Kalau wartawan blog, ga tau kenapa, kabarnya mereka sekarang
itu lebih aktif dan berani. Langsung mencharge
nilai tertinggi tertentu. Jaminannya, ya mereka tulis. Persoalannya adalah,
bagaimana sih tulisannya? Nilainya berapa? Hehehe. Emangnya nulisnya bener?
Daaaan....emang bisa jamin, pembacanya banyak?
Itulah
masalahnya!
Tapi
mereka kabarnya, lebih “atraktif”. Lebih gesit. Dan pandai betul, melakukan approaching. Penampilan meyakinkan.
Kalau balik ke konteks, soal promo efektif dan tak efektif, silahkan menilai
sendiri. Feeling aja, efektif ga
memakai mereka?
Memang
bloggers makin menjamur. Banyak blog,
yang diserbu pembaca. Pembacanya banyak.
Tapi kayaknya sih, lihat-lihat juga kan, tulisannya apaan, isinya gimana sih?
Blog bisa aja sukses untuk menarik banyak orang nge-view atau nge-hit. Well, blog memang lagi nge-trend juga, makin
nge-trend lah sekarang ini. Karena itu, saya jadi nge-blog aja?
Hahaha,
hush! Kalau saya mah, blog itu kebebasan broer!
Kagak ada batasannya. Semacam media, nan “sangat independen”. Sak karepku! Tapi menyoal blog, pada
konteks ya promosi album, pegimane?
Ga jamin juga kok, apalagi yang blogger-blogger muda, segesit apapun mereka.
Setuju? Jam terbang? Emang pilot?
Hehehe...
Oh
ya, di media cetak, ada juga sarana promosi yang bisa dipakai. Pemasangan
iklan, kayak spot gitu. Kalau di
online media, bisa termasuk banner.
Ukuran tampilan bisa dipilih. Harga? Yang tergantung besarannya, seberapa
sering mau ditampilin, seberapa lama pengen nongolnya. Mahal?
Mahal
atau murah, relatif. Ya saya pilih ngingetin
lagi, pikir baik-baiklah. Kalau saja misal punya banyak duitpun, seriuskah,
uang yang ada mau dihambur-hamburkan? Sampai pasang banner segala di website gitu? Ya tapi kalau mau pakai
sih, ga papa. Apalagi kalau yakin, itu akan efektif.
Cuma
memang, hari gini sih, udah jarang produk rekaman, pasang iklan begitu. Baik di
cetak maupun di online. Dana, bilapun ada, dialokasikan untuk pos promosi lain.
Radio, Interview dan
Playlist
Berikutnya,
soal radio. Balik lagi nih, musik artis penyanyi itu atau grup band itu, apaan?
Gini ya, kalau yang nge-pop, terbuka untuk lebih mudah diputar radio-radio.
Dimanapun dan kapanpun. Ingat, yang nge-pop lho!
Kalau
non-pop? Apa ya, misalnya yang dance
banget. Atau rock banget, apalagi metal. Termasuk ini nih, lagu anak-anak
misalnya. Perlu nih diketahui, sebagian besar radio itu agak-agak “alergi”
dengan musik di luar pop. Kenapa? Katanya, listeners
mereka, memang ga request.
Yang
menentukan siapa sih, lagu-lagu diputar di radio? Ada Music Director, atau MD
namanya. Dialah keyperson, yang
menerima, mendengar, mikir-mikirin, bisa diputar apa ga lagu dalam album itu. Ooh
jadi ditentuin sama MD?
Keyperson
sangat penting itu, lantas membuat beberapa MD memang seperti menjadi “dewa
penentu”. Kayak, dewa yang nentuin panjang atau pendeknya karir musik seorang
penyanyi atau sebuah grup band. Wuih! Ngeriiiii!
Sadar
atau tidak, ada MD lantas memang bersikap seperti dewa begitu. Tak mudah
didekati. Susah dihubungi. Kayaknya emoh
lah untuk mudah ditemui orang-orang yang berkepentingan dengannya. Harus
dikejar-kejar, dengan usaha keras!
Posisinya
menjadi, ia sangat dibutuhkan. Ia bisa saja lupa juga, MD-kan bukan hanya dia
seorang. Artinya, radionya kan bukan satu-satunya stasiun radio? Iya, tapi ada
yang lupa soal begitu. Apalagi, kalau radionya memang terbilang radio “papan
atas”. Radio yang dianggap punya pendengar banyak ya.
Sementara
sebetulnya, kalau saya lihat-lihat ya, bukan juga MD yang menjadi penentu
tunggal, di sebuah stasiun radio. Ada pemilik radio, alias, ya sebut saja, bigboss. Atau apa ya, bisa disebut
semacam board of commisioner nyalah.
Mereka juga, pada beberapa radio, lebih menentukan daripada MD.
Eh
repotnya, ada juga MD keburu menanjak “kelewat tinggi”. Merasa sudah di “menara
gading”. Tak mudah ditemui banyak orang. Tak perlu juga bergaul. Bergaul? Untuk
apa? Tak terlalu perlu kok, mengetahui musik apa yang berkembang, akan
berkembang, berpotensi berkembang nantinya. Posisi doski udah di atas banget soalnya.
Ironisnya
itu, padahal ada boss-boss besar itu, yang ikut turun tangan langsung, gegara
merekalah yang menjalankan roda bisnisnya radio tersebut. Ini bisnis bro n sis,
bukan sekedar putar lagu-lagu, wawancara, ngobrol-ngobrol apaan gitu. Lebih
dari itu dong. Harus ada profit. Kalau profitnya ga ada, tutup aje.
MD
nya, kalau gitu ceritanya, dimana dong? Ya menjalankan sepenuhnya saja, juklak
dari para bossnya. Susah dibantahlah “titah” para boss. Boss kan yang pegang uang,
dan merasa lebih tahu selera pasar! Gawat ya?
Nah
perlu diketahui, akhirnya ada radio yang memastikan posisinya sebagai hits-player. Dan ada yang hits maker. Terus terang, hari ini,
lebih banyak yang memilih posisi hits player. Itu posisi “teraman”. Putarkan
hanya lagu-lagu yang sudah dikenal orang. Itu juga sama dengan, lagu-lagu yang
memang diminta pendengarnya untuk diputarkan.
Dulu,
banyak radio menjadi hits maker. Mereka asyik untuk memilih lagu baru tertentu.
Lantas mencoba “mengolah”nya. Memperkenalkannya ke publik, ke para pendengarnya.
Sampai pendengarnya suka, dan kemudian akan meminta untuk diputarkan.
Itu
terjadi di era 1980-an hingga 1990-an. Beranjak ke 2000-an, perlahan tapi
pasti, radio-radio bergeser. Mulai “kawatir” pada posisi, “pembuat hits”.
Terlalu beresiko. Jadi, yang paling aman, biarlah putarkan saja lagu-lagu yang
sudah dikenal. Dijaminlah gitu, pendengarnya pasti ga akan protes!
Beruntunglah,
tak semua radio kok yang dijalankan atas titah atau kemauan boss-nya. Masih ada
yang berani mencoba tetap menjadi, hits maker. Walau mungkin tak sepenuhnya
lagi, untuk bebas “bermain” sebagai hits maker tersebut. Tapi, sekali lagi ya,
masih ada.
Cuma
tetap ya, selektif dari jenis musiknya. Rock, apalagi metal, kalaupun diterima.
Pasti susah masuk playlist harian.
Mungkin bisa, sesekali menyelip. Dengan frekwensi sangat terbatas.
Atau,masuk
di program khusus. Misalnya, mata acara khusus rock. Biasanya 1 atau 2 kali
dalam seminggu. Ya masuk di situ. Termasuk juga, wah apalagi ya, untuk jazz, blues
dan musik lain. Termasuk, lagu untuk anak-anak.
Ga
bisa sama sekali? Misal gini deh, lagu untuk anak, dengan penyanyinya anak-anak
ya. Kapan diputarnya? Pendengar yang mereka tuju, bukan anak-anak. Merekapun
juga tak punya program khusus lagu anak-anak. Seperti juga, ya musik-musik non mainstream lainnya itu.
Misalnya
nih, kalau bayar, bisa ga? Lainlah ceritanya. Radio-radio tuh punya penawaran
promosi. Misalnya gini, dengan membayar jumlah tertentu, bisa diputarkan 1 atau
2 kali sehari, artinya masuk playlist.
Untuk jangka waktu sebulan. Dapat bonus, sekali kesempatan live interview.
Bonus
lain, ikut mereka sebarkan di sosial media radio tersebut, biasanya di twitter. Bisa juga ditambah masuk charts radio tersebut. Masuk charts-nya,
“diolah” untuk bertahan sampai mungkin ya, 6 atau 7 atau 10 minggu bertahan.
Kalau lagu itu, lalu di-request pendengar radio itu, bisa saja lagu itu
bertahan lebih lama di charts.
Kalau
yang meminta lagu tersebut diputar lebih banyak, ya bertahan lebih lama di
charts dan makin tinggi saja posisinya di tangga lagu-lagu radio itu. Bisa kok,
sampai nomer satu misalnya ya. Mungkin saja.
Tapi,
ya kayaknya juga harus lihat posisi radio tersebut. Misal, radio itu peringkat
berapa sih? Dalam hitungan lembaga yang menentukan rating atau peringkat. Kan
ada ya, lembaga seperti itu. Jadi, kalau rating radio itu, ga tinggi, ya masuk
tangga lagu radio tersebut, mungkin tak terlalu banyak manfaatnya kali yeee?
Ok
deh,kalau bayar, berapa kira-kira. Variatif, tergantung rating radio, tergantung
juga kok dengan kota dimana radio itu berdomisili. Tapi kisaran kasar, antara
2, 2,5 juta sampai 4, atau 5 jutaan. Bisa juga lebih.
Ada
juga MD yang ikut menentukan. Sebenarnya, mengarahkan. Walau mau atau bisa
membayar, berapapun, si MD akan menentukan dulu. Lagu atau musik ini,bisa ga
diputarkan di radionya. Kalau “tidak sesuai dengan segmen pendengar” radionya,
MD bisa mengatakan, mending jangan deh. MD tersebut tak berani, kalau sudah
membayar, tapi ternyata ga bisa sering diputar.
Diputar
saja jarang, apalagi masuk tangga lagu! Ya ada MD yang berani menolak. Dengan
alasan itu. Ya, masuk akal sih. Daripada
buang uang percuma kan? Etapi,
memangnya lagu rock, hard rock, heavy metal, jazz, blues dan lagu anak-anak itu
ga mungkin jadi populer? Ga bisa jadi lagu yang diminta diputar oleh pendengar?
Well,
ya kalau mungkin sih, ya mungkin saja. Tapi gimana ya, radio itu “ga terbiasa”
putar musik “relatif keras” gitu? Gimana dong? Mungkin saja bisa, asal yang
minta memutarkannya, begitu banyak orang?
Persoalannya
kan, ironisnya ya, musik rock misalnya, pasarnya di dunia itu kan ditengarai
juga salah satu yang terbesar. Selain, musik pop! Masalahnya, lagu-lagu “musik
keras” itu di sini sudah kadung dianggap bukanlah musik populer, coy!
Jazz
nih, kan ga keras. Lihat deh, festival jazz begitu banyak lho di sini. Masak
sih, tetap”tak memenuhi persyaratan” untuk bisa diputar lebih sering di stasiun
radio? Festival jazz boleh bejibun,
cuma emangnye itu nunjukkin penggemar jazz itu bertambah
banyak di sini? Hihihi, lha festival jazz itu kebanyakan juga, lebih
mengandalkan artis atau grup non-jazz kok....
Ya
salah satu “jalan keluar” memang, kalau saja ada radio khusus rock, radio
khusus jazz, atau radio khusus lagu anak-anak. Pernah ada, eh kayaknya juga
masih ada sih. Tapi jumlahnya, masih teramat minim. Radio nge-rock misalnya, ga
mungkin rock tulenlah. Jazz juga gitu. Apalagi radio untuk anak-anak....
Anak-anak
juga, apalagi. Seberapa banyak anak-anak sekarang, yang mendengarkan radio?
Etapi, anak-anak umur berapa dulu? Balita, atau 7-9 tahun, ya di bawah 10
tahun? Mendekati remaja, sekitar 10-12 tahun? Beda-beda lho. Makin besar anak
itu, musik yang didengarkannya, malah lebih memilih yang “lebih dewasa”.
Aduh,
kalau bahas soal radio itu relatif panjang nih. Nanti jadi terlalu lebar,
tulisan saya ini. Maaf ya, nanti saja dibahas tersendiri deh ya. Kita tetap
fokus dengan promosi saja saat ini. Boleh ya?
Nah
kembali ke promosi album di radio, bisa saja pasang spot juga. Dengan nilai
tertentu, bayar, maka ada spot diputarkan. Sehari bisa berapa kali ya, 2 kali,
3 kali, 5 kali mungkin? Mungkin kok. Nilainya berapa? Wah, mending tanya
langsung ke radio-radio tersebut deh. Hitungannya lain lagi soalnya. Mungkin saja,
bisa lebih dari 5 jutaan...
So,
baca lagi baik-baik dari atas deh. Terutama
soal radio ini. Jadi, pertimbangkan banget, lihat musiknya, lagunya.
Sebenarnya, kalau soal radio, memang perhatikan baik-baik soal kota.
Jadi
kudu cermati, musik begini, lagunya beginian, bisa ga diputar di kota Jakarta
misalnya? Gimana kalau, jangan langsung Jakarta dulu, kota di luar Jakarta
dulu? Atau kota-kota yang sebut saja, kota di second city or third city?
Gini ya, kalau ada lagu yang ternyata populer di daerah duluan ya, bukan tak
mungkin radio di kota-kota lebih besar, lantas menerima dan mau memutarkannya.
Lha
kan sudah dibilang di atas tuh, soal radio hits maker dan hits player itu? Ya,
kalau lagu itu ternyata bisa jadi hits di radio-radio di kota kabupaten, kota
kecamatan lebih dulu gitu. Kan bisa saja radio di ibukota propinsi, bahkan di
Jakarta lantas menerima. Setelah mereka mengetahui, oh lagu dari penyanyi ini
atau grup band ini, eh sukses lho di kota-kota...Jawa Barat deh misalnya.
Tambahan
lagi, bisa juga nanti mendengar kesan dari seorang music director radio atas
satu produk album rekaman. Penyanyinya, suaranya adult ya? Susah nih, aku di sini memutarnya yang penyanyinya
mudaan. Atau ya, ini terlalu teenager
kesan suaranya, kami di sini lebih memilih yang adult...
Jangan
lupa juga, mulai bertumbuhan radio-radio streaming
juga. Mereka didengarkan bisa juga di laptop, gadget. Misal dengan download
aplikasi radio itu. Mereka tak ada frekwensi di jalur radio standar. Tapi bisa
didengerin juga. Beberapa radio, mulai mampu mengumpulkan penggemar.
Ya
masih terbatas, belumlah booming.
Artinya, pendengarnya mungkin saja masih terbatas. Belum juga masuk jangkauan
pengamatan dari lembaga survey untuk rating. Tapi mungkin bisa mulai
diperhitungkan. Bisa saja, di 3, 4 atau 5 tahun ke depan, menjadi trend kan?
Mendekati
pihak radio, terutama MD. Bisa juga salah satunya dengan mengundang mereka hearing. Dibuat sebuah session khusus,kumpulkan MD radio-radio,
mereka diperdengarkan langsung materi lagu sebagai single, atau lagu-lagu dalam album. Mereka langsung ditanyakan
pendapatnya, berkomentar. Lalu, tanyakan mungkinkah lagu itu diputarkan di
radio mereka masing-masing?
Beberapa
tahun lalu, cara ini lumayan sering dilakukan, tak hanya oleh pihak major label. Ataupun label produser, ataupun distributor
besar. Tapi, rasanya sekarang ini, sudah tak terlalu jadi penting lagi. Mungkin
karena, kenyataannya, sebagian besar radio yang diundang hearing itu, teryata
juga tak memutarkan lagu-lagu tersebut di radionya? Ya bisa jadi begitu.
Salah
MD nya ya? Ga juga sih. Ya MD nya mungkin mau memutarkan, bisa saja mencoba
memutarkan 2 atau 3 kali lah. “Tes pasar”, ceritanya ya. Tapi kan ya lihat
dulu, balik lagi nih, lagunya kayak apa dan musiknya gimana? Bossnya berkenan
ga, kalau si MD memutar lagu-lagu baru yang, anggap saja, “ga biasa” itu?
Sekedar
masukan. Ini jadi bahan pertimbangan lain. Cukup banyak grup band, atau artis
penyanyi sekarang. Lagu dan musiknya, tidak diputar radio-radio. Tapi band atau
penyanyi itu, eh bisa naik juga namanya. Makin populer. Ada yang begitu.
Personil band dan menejer band itu, beberapa di antara mereka, sempat curhat ke
saya.
Musik
kami, dianggap kayak ga radioable,
oom. Eh, mas. Susah. Paling-paling yang mau memutar, radio di daerah kami
sendiri, di kota mereka gitu. Itupun karena pertemanan. Ya sudah, kita mau
gimana lagi? Jalan saja. Nanti-nanti bisa saja kok mereka putarin, ga tertutup
kemungkinan itu.
Kenyataannya
ya begitu, ada menejer yang bilang, mulai ada 1 atau 2 radio tau-taunya
mengundang bandku untuk interview lho. Hehehehe, akhirnya mereka mengundang.
Dulunya, waktu kita kontak MD-nya, susahnya minta ampun, kayak ga dianggap
deh....
Lantas,
mereka bertanyalah ke saya. Sebenarnya, syarat satu lagu bisa diputar radio
itu, gimana sih? Saya hanya senyum-senyum manis. Bingung euy jawabnya. Kan itu bukan wilayah sayalah. MD atau radio, punya
hak prerogatif untuk meloloskan satu lagu, untuk diputerin di radionya.
Oom eh mas, kan radio
itu butuh lagu untuk diputer ke pendengarnya ya? Kok kita kirim gratis, usaha
susah payah lho, ga digubris. Mungkin ditengok aja ga, apalagi didengerin.
Boro-boro diputar atau dipasang? Apa kami tuh harus bayar, supaya bisa diputar
lagu kami? Kalau harus bayar, ya susah deh, kami band indie begini.
Syukur-syukur nih bisa rekaman dan selesai, dan sampai jadi CD album ini....
Media
cetak sudah, radio sudah nih. Sejauh ini, bisa dipahami kan? Bisa dimengerti ga
ya? Saya lanjut, boleh kan? Ke televisi nih... Panjang lho tulisan saya
ini. Jangan capek ya bacanya.... Mau sruput kopi atau teh dulu?
Televisi dan
Infotainment
Nah,
pembiayaan atawa budgetting terbesar
dari promosi di sektor televisi ini. Berapa besarnya? Mungkin saja bisa lebih
dari 50-60an juta. Untuk membeli slot
tayang klip. Hitungan dalam sebulan.
Tapi,
saat ini sudah tak banyak lagi stasiun televisi menyediakan waktunya untuk
menayangkan klip. Sudah tak seperti 10, 15 tahun-an lalu. Waktu itu, terutama
era 1990-an, bisa dibilang seluruh stasiun televisi menyediakan waktu tayang
lumayan banyak, buat video klip. Masih ditambah dengan program-program
tambahan, khusus menayangkan klip.Jam tayang juga menyebar. Bisa juga menembus prime time.
Hari
ini, sudah sangat terbatas. sejak 8, 9 atau 10 tahun terakhir, televisi
menyediakan slot khusus untuk promo produk musik di program pagi hari.
Tayangannya berisi live performance
(ga live beneran sih,bisa minus one, tapi kebanyakan playback. Tapi disiarkan langsung). Dan
disisIpkan tayangan videoklip.
Namun
belakangan,pamor acara pagi hari itu rasanya makin menyusut. Sehingga memang,
televisi menjadi makin sempit waktunya untuk bisa dipergunakan promo album.
Pihak televisipun kemudian makin selektif.
Produk-produk
musik non mainstream, bisa dibilang makin susah mendapat kesempatan berpromosi
di layar kaca. Acara-acara televisi, yang masih memungkinkan untuk “diselipkan”
promosi album rekaman baru, lantas makin dikuasai hanya oleh pihak major-label saja.
Eh
masih ada stasiun televisi yang menyediakan waktu khusus menayangkan klip.
Itupun sangat terbatas. Entah mengapa, jam tayang klip dibatasi, bahkan
dihilangkan. Padahal dari dulu juga, itu bisa menjadi sumber pemasukan bagi
stasiun televisi sih.
Mungkin
karena jam atau durasi per-klipnya dianggap relatif panjang ya? Bisa 3
menit-an, atau 4 bahkan 5 menit-an perlagu. Mungkin dilihat, dengan durasi
begitu, kalau spot iklan biasa, sudah dapat berapa spot ya? Bisa jadi begitu.
Dulu
memang, klip sempat menjadi salah satu primadona, dalam hal mempromosikan album
rekaman. Banyak artis penyanyi dan grup band, membuat klip untuk televisi.
Bermunculan banyak klipper-klipper,
yang bersaing untuk membuatkan klip. Harga atau rate para klipper pun lantas menjulang tinggi.
Sekarang,
banyak sekali klip dibuat, hanya untuk ditayangkan “terbatas”. Yaitu di media youtube saja. Karena untuk menembus
televisi, makin sulit. Harga tayangin klip juga relatif tinggi. Membuat banyak
album rekaman saat ini, tak lagi mengalokasikan dana untuk membuat klip, dan
mengambil slot penayangannya di stasiun televisi.
Bisa
saja, memanfaatkan program “khusus” promosi album. Di acara pagi hari itu. Tapi
persyaratannya, stasiun televisi memberi syarat, lagu itu harus menembus tangga
lagu atau charts di radio-radio ternama. Jadi lebih selektif.
Maka
dari itu, rasanya hanyalah produk rekaman dari major label saja, yang bisa
tampil. Lebih jelasnya lagi, hanya sebatas lagu-lagu pop. Ada beberapa stasiun
televisi, membuka pintu, untuk musik di luar pop, tapi terbilang sangat
terbatas.
Kabarnya,
tarif penayangan promosi di televisi juga makin tinggi. Persisnya berapa,
silahkan di check langsung ke stasiun televisi bersangkutan deh. Memang yang
jelas, kudu rogoh kocek lebih dalam lagi sih...
Persoalannya
juga kemudian, siapa saja pemirsa siaran stasiun televisi di sini. Baik swasta
maupun TVRI. Pemirsanya, dianggap tertentu, sehingga tak lagi potensial untuk
jenis musik-musik yang tidak pop.
Masuk
televisi, bisa juga melalui pintu infotainment.
Wartawan dari infotainment meliput, misalnya kegiatan press conference, ataupun launching
sebuah album rekaman. Membayar? Ada juga kok. Tapi silahkan check lagi untuk
detilnya ke production house dari
program infotainment itu. Walaupun, biasanya pihak infotainment sangat selektif
dalam mendatangi sebuah acara launching album.
Hanya
sebatas pada nama-nama yang sudah populer saja. Kalaupun ada newcomer ingin diliput, biasanya kudu
disiasati tuh. Misal, harus ada duet dengan artis penyanyi atau grup band yang
sudah populer.
Ini ada juga siasat
lain, usahakan dalam launching itu, dihadiri oleh seleb tertentu. Nanti si
seleb, bisa penyanyi, bisa aktris atau aktor yang sudah dikenal luas, datang
dan akan diwawancarai. Kan backgroundnya
itu, acara launching album? Jadi, si penyanyi atau grup band yang melakukan
launching, tidak diwawancarai?
Ya
gimana ya. Diwawancarai sih. Tapi soal ditayangkan atau tidak, masih .... fifty-fifty lah. Nah lho? Kalau tidak
diwawancarai, jadi efektif atau ga ya? Gini nih, masalahnya, banyak artis penyanyi
baru atau grup band, pengen bisa muncul di televisi. Tampil di infotainment
pun, sudah jadi kebanggaan...
Jadinya,
bisa dipahamikan? Sikonnya membuat, kudu pinter-pinter membuat strategi, atau
siasat, biar bisa ditayangkan di televisi atau di proram infotainment itu. Ga
gampang sih, terutama buat nama-nama yang tidak populer itu. Susah ya?
Well,
saran saya sih, pikir dan pertimbangkan baik-baiklah. Urusannya kan, ini butuh
biaya tambahan tak sedikit ya. Tentu saja, pikirkan baik-baik manfaatnya.
Efektif atau tidak?
Ya
kalau mengundang, itu belum tentu pihak infotainment mau datang. Kalaupun
datang, lalu nanti akan ditayangkan seperti apa? Berapa lama? Kalaupun
ditayangkan, nantinya yang menonton siapa? Mungkin ga, pemirsa program itu,
bisa mengapresiasi musik dari album yang dipromosikan?
Beberapa
band atau penyanyi yang memainkan musik jenis outside mainstream industry berpendapat, siapa sih penonton
televisi kita? Dengan banyak yang telah memilih mengakses cable-TV, pastilah akan lebih menekan channel film-film misalnya. Atau, kalaupun musik, ya musik luar
negeri.
Jadinya,
kalau kami masuk televisi, tentu dengan musik kami ini, siapa yang menonton?
Apa mereka bisa mengapresiasi dengan baik? Bisa jadi sih ya, begitu lihat
sebentar, langsung pilih ganti channel. Kalaupun menonton terus, mungkin ya
keluarga kita, teman-teman kita sendiri, kerabat kita sendiri tuh.....
Yaaaa
gitu deh, sikonnya. So, gimana dong, televisi penting ga? Televisi, video klip.
Tampil di program-program musik tertentu. Penting juga sih, untuk lebih
memperluas jangkauan, buat promo nama. Itu yang saya sebut, untuk “mengerek
bendera” itu lho.
Tapi
memang, kalau harus membayar, apalagi dengan budget yang harus dikeluarin itu
ga kecil, ya pastinya jadi problemo.
Lupain ajalah. Ya abis gimana lagi? Eh iya, seberapa banyak sih, album rekaman
yang bisa meraih angka penjualan tinggi saat ini, karena promosi gencar via
televisi? Maksudnya, yang mengandalkan tayangan di televisi?
Promosi Gratisan,
Alternatif Yang Kekinian
Radio
butuh biaya, media cetak ada biayanya. Televisi, wah apalagi yang itu. Yang kira-kira
ya, dananya minimal banget. Ada ga?
Dana
minimal? Seminimal berapa? Ada nih. Kekinian banget kalau sektor ini. Hehehehe.
Apalagi kalau bukan, memanfaatkan semaksimal mungkin yang namanya, sosial
media. Alias, social media atawa socmed. Sebut deh, facebook, twitter, instagram, path and so on.
Bisa
gratis malah. Cuma ya kudu aktif aja. Aktif postinglah. Kudu nongkrongin. Nah
ini nih, mainan beginian, sering dianggap, gampang. Siapapun bisa. Ga perlu
orang khusus ini mah. Ada mungkin yang bilang, ah anak-anak juga bisa. Begituan
sih, bini gw ajalah. Selesai! Atau, kalau yang socmed, si ini sih juga bisa
kok, dia ajalah.
Gampang
ya? Bisa dibilang gampang. Karena, siapa ya, yang hari ini tidak bermain
socmed? Dari 100-an orang, mungkin hanya ada 1 atau 2 orang, yang malas
berkeliaran di socmed. Ga mau, karena berbagai alasannya ya.
Sekedar
eksis di sosmed, yang penting nongol. Semua bisa. Iya, itu betul. Betul banget.
Tapi kalau lantas urusannya sudah, main dan eksis di sosmed, yang efektif untuk
promosi? Bisa gampang, bisa susah juga. Susah dikit kali ya.
Kuncinya
hanya satu, sebagai dasar utama. Aktif aja. Kalau bisa, setiap hari. Setap
hari, posting, 1 atau 2 kali lah Terus
menerus. Konsisten. Terjaga tuh. Ya isitilahnya, kudu “cerewet” aja.
Tapi
perhatikan detil lainnya. Cerewet, konsisten dan terus menerus. Harus bisa
tersebar luas. Salah satu jalannya, tagging.
Fasilitas tagging, kan ada nyaris di semua sosial media. Cuma harus diingat,
yang ditagging, jangan hanya nama itu ke itu saja.
Ingat,
bahwa ketika posting itu kan untuk “menyebarluaskan” informasi. Perhatiin,
bukan hanya kasih info, misal tentang album baru rilis, tapi..haruslah .”tersebar
luas”. Ya, usahakan seluas-luas mungkin. Kemana-mana dah.
Bisa pake tag person. Tapi jangan keseringan.
Banyak orang juga gerah, kalau kita main tag namanya itu, apalagi kalau infonya
ga kreatif. Cuma ya itu ke itu lagi.
Atau gini, tagging nama kita untuk misal satu bentuk info. Tapi tag di path,
instagram, facebook semua sama.
Bagus
sih kalau begitu. Biar bener-bener bisa nempel di kepala dan hati. Tapi, kalau
keseringan, orang bisa bosen. Kalau sudah bosen, bisa kesel. Kalau sudah kesel,
apalagi kalau bukan...lama-lama jadi benci! Boro-boro mau beli, lihat aja ogah.
Bahkan mau buka postingannya itu saja sudah malas. Repot kan?
Naikkan
video di youtube, lalu sebar-sebarin ke media-media sosial, shared link itu. Persoalannya, berapa
banyak video yang mau disebarin? Kalau hanya 1 atau 2, dan itu terus menerus
disebarin, orang-orang bisa jenuh. Kagak
ada nyang laen, coy?
Kreatiflah.
Iya, ujung-ujungnya emang juga dituntut kreatifitas. Kreaif menyediakan
video-videonya, yang variatif. Mungkin juga ditambah kata-kata dalam posting
yang juga variatif. Intinya, postingan promosinya, harus bisa banyak macamnya.
Kan
ya teteup atuh, gimana caranya, orang
mau cari tahu. Ini apaan sih? Eh, ini apaan lagi? Liat ah.... Informatif,
menghibur juga, rada menggelitik kalau perlu. Sehingga meningkatkan rasa curious orang. Dan ketika dibaca atau
dibuka, memang menarik.
Sehingga
penting banget, pertemanan sebanyak mungkin di sosial media, untuk
menyebarluaskan informasi, ataupun promosi. Friends,
harus sebanyak-banyaknya. People who Liked,
harus terus ditambah dan ditambah jumlahnya. Followers juga demikian halnya. Makin banyak, akan bisa berpotensi
untuk tersebar luasnya informasi yang ingin disampaikan.
Paling
asyik, kalau saja di setiap sosial media yang diikuti, sebagian besar
teman-teman berbeda-beda. Artinya memang kan, informasi tersampaikan
kemana-mana. Tak sekedar terbatas hanya di kalangan terdekat, teman yang
terbatas “dia lagi dia lagi”.
Mencegah
untuk sekedar mengundang komen-komen “standar” lah seperti, cool bro, kereeeen banget, gw suka
banget, asyiiiik, good luck bro, atau sejenis itu. Atau
gambar hati, jempol saja.
Yang belum tahu,
harus jadi tahu. Kalau sudah tahu, mudah-mudahan jadi penasaran pengen tahu.
Kalau sudah pengen tahu, semoga beli CD nya. Kalau sudah beli CD nya, yaaaaa
sangat diharapkan, suka lantas suka banget dan jadi fans deh!
So,
liat ya, susahkah? Gampangkah? Ada “tata cara permainannya tersendiri” sih. Ini
kalau ingin dipergunakan sebagai promotion
tool yang efektif. Kalau pengennya, ya yang penting eksis saja, sekedar
media untuk menunjukkan eksistensi, ga papa juga sih. Tapi plisss deh sob, jangan berharap terlalu banyak....
Soalnya,
kalau sekedar menuai atau “mengundang” komen-komen pujian, gimana ya. Kok ya
masturbasi kelihatannya. Hati-hati. Nanti jadi terbuai. Tau-taunya jadi terbang
melayang-layang. Lupa jack, lha yang
muji kan temen-temen deketnya sendiri....
Catet
juga, aktif di socmed itu, bukan sekedar aktif cerewet update status doang. Sering aja nongol koman-komen di postingan orang lain, terutama di
teman-teman atau orang yang kita kenal. Misal nih, kalau di tag nama kita, oleh
teman kita, respon aja. Take and give
bray. Nanti kurang asoy kan kelihatannya, kalau nge-tag nama kita, apalagi
dalam tag massal aja rajin tuh. Tapi males dan ga respon apapun, kalau di tag
nama kita, oleh teman kita.
Sepele
kelihatannya. Mungkin ada nih yang baca di atas bilang, ah masak sampai
segitunya, ga perlu kali ah. Eits, kan namanya juga “berteman”. Kalau bisa
jangan “satu arah”, itu akan sangat bagus rasanya. Setuju? Kalau setuju,
silahkan pesen cemilan deh... Hihihihi. Nyemil sambil baca, enak juga. Bikin ga
berasa mbaca tulisan panjang
beginian...
Oh
ya, di semua sosial media tuh, ada juga “jalan pintas”. Untuk perbanyak
langsung followers, friends, like,
viewers. Bayar sejumlah tertentu, bisa dapat tetiba bertambah 1000 teman,
atau ada sampai 5000 teman. Bahkan bisa 10.000 followers. Ada juga yang
memanfaatkan fasilitas itu. Ga terlalu mahal kok.
Tapi
hati-hati, cermati baik-baik. Ada “teman-teman baru” ribuan jumlahnya itu,
akun-akun beneran? Akun aktif? Atau hanyalah akun “abal-abal”. Atau account yang pasif? Makanya ya,
disarankan sih, manual sajalah. Jangan potong kompas, “membeli” teman-teman di
dumay alias dunia maya. Lha, temen kok yo
dibeli, ono-ono ae...
Well,
hari begini, pastilah begitu banyak orang sudah terbiasa main sosial media.
Untuk sekedar main, punya akun, itu banyak. Yang ga banyak itu, yang mampu
bermain dengan “lincah dan gesit”nya di sosial media.
Dalam
hal, memanfaatkan sosial media tersebut, sebagai sarana untuk berpromosi. Nah,
kalau di sisi itu, terus terang aja ga semua bisa. Walau bisa dipelajari. Yang
penting, tekun dan intens sih. Untuk belajar bisa, tapi jelas perlu waktu.
Catatan
terpenting, kalau omong hari begini, banyak sebenarnya grup band atau penyanyi,
sukses gegara mampu memanfaatkan maksimal sosial media itu. Mumpung kan gretongan say. Yaaaa, dikulik ajalah.
Dana minimal soalnya, sangat terbatas. Harus pandai bersiasat!
Iya,
bisa kok. Jadi, dikarenakan terkendala pada sektor keuangan, maka cari caralah
untuk bisa “berjualan”. Mau tak mau, lupakan media cetak, radio-radio, apalagi
televisi. Kalau misal sukses, nanti-nantinya juga, justru pihak radio atau
televisi mengundang kok. Tanpa susah-susah meminta, tau-taunya eh lagu-lagunya
diputar.
Iya
kan, juga wartawan media cetak dan online, pasti akan nguber juga. Kalau sukses-ses, jadi seleb, ya jadi sumber berita
kan? Gimana ya, tergantung nasib sih. Hihihihi, ya gitu deh.
So,
kesimpulan dari pesan berbagi saya, nan lumayan panjaaaaang ini, apa sebenarnya
sih? Pikir dahulu pendapatan, susah kemudian bakal nelangsa. Yoih, ti ati deh. Duit adapun, kelolalah
dengan sebaik-baiknya. Jaga betul ego, atau nafsu.
Tak
ada yang bisa menjamin, kalau promosi gencar itu, pasti sukses. Soalnya,
sederhananya gini, promosi gencar itu, segencar apa? Ukuran “gencar” itu sangat
relatif. Kalau gencarnya nanggung, begitu sekilas kelihatannya ya, tapi
ternyata lho sukses?
Seperti
yang saya tulis di awal banget di atas, bila mengukur dari sisi nilai budgetnya
ya. Mungkin 300 sampai 400an juta, boleh jadi dianggap “rada nanggung” kali ya?
Yang gencar banget, seberapa ya, di atas 700 apa 800 juta? Atau, semilyar? Oho.
Eh
gini ya, ada teman-teman yang bisa “menolong” untuk menjalankan promosi
tersebut. Ada “pemain-pemain”nya. Yang seru, sebagian besar dari antara mereka,
berani menjamin bisa sukses! Dan “client”-nya
percaya! Sakti!
Duit
digelontorkan terus menerus. Eala, ujung-ujungnya aaaah, gatot bray! Gagal total. Band atau penyanyi, atau penyandang
dananya, gigit jari. Senyum kecut. Lalu yang membantu jalanin promosi bilang
apa dong? Sampai sejauh mana tanggung jawabnya? Angkat tangan, tarik nafas. Tapiiii,
dompetnya udah penuh kan...
Seringkali,
dari informasi yang saya dapat, kelihatannya budget yang disusun atau diajukan
itu memang waow! Yoih, waow nya tuh ukurannya, “fee” yang menjalankan promosi itu, bisa diatas....100-an juta! Itu
dari nilai total yang diajukan bermain dikisaran, 500-600an juta!
Sadap
betul! Kalau sukses, pasti klien itu ok-ok saja. Kalau kejeblos? Ini nih jadi
perkara. Saya sempat mengalami, beberapa pihak ya, datang ke saya. Niatnya
minta tolong, bisa ga diterusin promosi mereka? Kami sudah habis-habisan dengan
si “anu” mas. Kata si “doi” dengan dana sebesar gitu, bisa sukses oom, ternyata ga kedengeran juga.
Ironisnya,
mereka lantas berkeluh kesah deh. Panjang juga. Ujung-ujungnya, duit kami
sekarang tinggal segini-segininya mas. Mungkin ga dibantuin terusin deh? Saya
bingung euy jawabnya. Nasib dah,
dapat....”sisa”!
Ada
pula kasus begini nih. Ada yang datang, minta saran, petunjuk untuk promosi
yang “bagus dan sukses”. Udah kayak dukun aje, dimintai petunjuk? Hehehehe.
Saya sarankan begini, begitu. Dan terpenting, saya sarankan, jangan boros.
Tenang saja. Jangan keburu nafsu ya. Mereka iyakan. Mengangguk-angguk.
Tapi
ternyata, mereka tak “puas”. Karena dianggap saya tak bisa menjamin. Tak puas
dengan arahan saya. Mereka cari orang lain. Dapat tuh. Dan jalanlah. Lumayan
juga, dana mereka memang lumayan besar.
Beberapa
bulan kemudian, eh mereka mendatangi saya lagi. Iya, balik ke saya. Untuk
menumpahkan curhat panjang lebar. Intinya, mereka ga berhasil. Katanya begini,
katanya begitu, ternyata...? Ah iya mas, ternyata apa yang mas bilang tempo
hari itu benar adanya. So?
Kami
sudah habis-habisan nih, yah kami teringat mas dan saran-sarannya. Masih
mungkin ga mas membantu kami saat ini? Dana kami sih sudah habis sebenarnya....
Ya ampuuuuun! Nasib dah!
Jadi
titik masalah utamanya memang di situ. Berani menjaminkan, kalau keluarkan uang
segini, segini ya, pasti sukses. “Pasti” di sini ini, yang jadi biang keroknya
kan? Tapi biar gimanapun, saya pikir teman-teman itu hebat sebenarnya. Pandai
betul meyakinkan orang, dan sangat pede untuk memberi jaminan.
Oh
ok, jadi gimana baiknya dong? Ya saran sih, diingetin lagi. Bahwa itu hanya
usaha, dan ga ada yang bisa memastikan. Jadi, sangat perlu mempertimbangkan
masak-masak. Welldone kan lebih
siiiip, itu buat selera saya sih. Bolehlah, sambil ya coba pelajari dulu
situasi dan kondisi “pasar” yang ada.
Ada
baiknya, promosi tersebut, sekali lagi dan lagi ya, lihat kocek. Ketika tau
kocek ada seberapa, coba jalani dengan hati-hati. Boleh, pakai saja “tenaga
sendiri”. Pilih dan rekrut, orang-orang tertentu, yang kira-kira bisa mengerti
promosi gimana-gimananya.
Tapi
eits bentar deh. Ini ironi atau apa ya, saya melihatnya. Pada sebagian kasus
ya, lucu deh. Anak-anak bandnya sih, fine-fine aja. Mungkin gini, yang penting
kita udah nongol dan dikenal. Gitu kali?
Yang
babak belur itu, si pendana. Apa ya namanya, investor a.k.a bigboss a.k.a executive producer ya. Koceknya sampai....”bolong”
en jadi susah tidur, ga enak makan juga. Aha, runyam juga. Ga banyak yang
begitu sih. Sebagian besar kasus, ya anak-anak band yang didanai biar bisa
rekaman dan “nongol ke permukaan” itu, ber-empati juga dengan pihak investornya
kok.
Walau
hati-hati juga, banyak orang pasti mampu untuk sekedar kontak media, kontak
radio. Kontak orang televisi. Membuat sebuah jumpa pers. Relatif mudah sih,
kalau sekedar gini ya, bisa kontak. Karena kan kenal ya? Iya, saya kenal dan
tau kok.
Oh
dia juga kenal orang-orang radio, wartawan-wartawan. Cukup bergaulnya. Bisa
diandalkan dong? Bisa iya, bisa tidak. Kenapa? Ya kan tak sekedar kontak karena
kenal? Apalagi kenal, ya kenal sekilas lah gitu.
Soalnya,
tujuannya itu promosi yang efektif bukan? Efektif itu, ya seperti yang saya
jabarkan di atas. Situasi media cetak saat ini gimana? Radio-radio itu
sebenarnya bagaimana sih?
Betul
banget men-temens, di sisi ini perlu jam terbang juga. Ah, semacam pramugari
atawa pramugaralah ya. Hehehehe, intermezzo dikit. Permisiii yooo, biar teteup
rileks dong ah.
Memahami
betul akan medan sesungguhnya. Kudu itu mah. Jadi, mampu membangun semacam “media-planing” yang baik dan benar.
Mudah? Atau susah? Silahkan pikirkan sendiri masak-masak. Jangan setengah
masak, kadang-kadang bisa bikin sakit perut....
Banyak
orang bisa, itu benar. Tapi untuk “pendalaman”nya, untuk memahami detilnya? Perlu
proses dulu sejatinya. Artinya, tak sekedar, dia kenal kok dan bisa kontak....
Perlu skill ya? Ah, jauh amat pakai
disebut skill segala? Bukan skill lah. Intuisi kali ya?
Intuisi
yang bukan sekedar “good feelings”.
Tapi lebih dikarenakan, kemampuan membaca “peta” atau sikon terkini itu, memang
pengalaman berkecimpung di dunia itu. Sekian waktu, intens. Satu lagi tambahan
yang penting, pengalaman, dikenal luas dan “tidak punya story kurang baik”.
Hahahaha....kalau
pernah punya cerita kurang sedap, ahay, dunia beginian pan sempit jack! Ya ga sih? Etapi, iya juga, orang boleh dong
bertaubat. Ada juga, niat memperbaiki diri? Bisa kan?
Iya
juga, itu benar. Tapi lebih berhati-hati, boleh dong? Kalau misal nih, misalnya
ada cerita-cerita kurang asyik sebelumnya, boleh juga ditelusuri kebenaran
berita “miring” itu. Siapa tahu, itu gosip menjatuhkan?
Sudahlah,
pokoknya ya gitu deh ya. Pesan dan kesan saya kan mudah-mudahan jelas, bisa
dipahami dengan sebaik-baiknya. Kalau ternyata puyeng bacanya, memahaminya,
mungkn kurang cemilan? Udah makan siang belum sih?
Dan
pesan saya juga, ini penting banget untuk terus diulangi lagi. Pikirin
baik-baik sebelum berpromosi. Beneran deh. Jangan terlalu percaya juga dengan
intuisi sendiri. jangan kelewat yakin, musiknya dan lagunya bisa jalan, kalau
lewat jalan ini. Kalaupun gagal, dan tak menyesal, ya karena kan itu juga datang
dari keinginan dirinya sendiri?
Iya,
tapi orang lain melihatnya kan bisa miris juga. Aduh, dia terlalu berani sih.
Ah, nekad padahal ga terlalu memahami pasar. Ya kayak gitulah kira-kira kata
orang-orang.
So,
berpromosi boleh. Tapi berhati-hati. Tanpa promosi, ya mungkin saja. Bisa juga
gini sih, upayakan sebisa mungkin banyak tampil dimana-mana. Itu juga bagian
dari promosi kok. Promosi langsung, jalani sendiri. Lebih bisa dijamin
kesuksesannya ya?
Yaaaaa,
ga juga. Sama dong. Ga bisa dipastikan juga. Konteksnya kan, promosi. Ya
upayakan promosi saja. Sesuaikan dengan kemampuan. Tampil di gigs atau showcases, itu juga jalan promosi sih. Bingung gimana caranya? Baca
tulisan saya yang lain, sebelum ini deh. Terutama soal band atau artist management.
Sedikit
deh, ditambahin ya, bahwa tampil sering-sering, dimana-mana, kalau bisa
keliling ya. Itu bisa juga jadi satu alat promosi. Asal harus ditujukan, yang
nonton upayakan jangan kalangan sendiri. Jangan teman-teman yang sudah kenal.
Agak percuma sih. Kan mereka sudah tau? Jangan-jangan mereka datang juga,
karena sekedar “ga enak ati ah kita nonton deh”.
Ada
grup band dan penyanyi, perlahan tapi pasti sukses. Makin dikenal, tambah
dikenal luas. Gegara banyak tampil. Pede dan yakin aja. Bahkan kalau perlu, tak pikir soal “zona
aman”. Aman gimana?
Iya,
aduh diulang-ulang lagi nih. Kan supaya orang-orang atawa publik tau, bukan?
Kalau hanya teman-teman yang sudah dikenal yang nonton terus, yaaa itu sih
namanya private party aja. Bukan
promosi dong? Cuma untuk seneng-seneng bisa main, nge-gig bareng teman-teman baik doang.
Banyak
kok yang datang dari kalangan indie, bisa sukses juga. Dan karena sukses,
argometer-nya bisa naik dan naik terus. Eh iya, kudu inget, soal indie dan
major. Kalau untuk distribusi atau penjualan ya itu berlaku.
Tapi major dan indie,
ada “garis tegas” di sekitar 10 – 15 tahun lalu. Tidak lagi sekarang ini,
menurut saya. Apalagi menyangkut show atau panggung. Sudah tak ada lagi
perbedaan antara artis-artis atau grup band indie dan major.
Artis
dan grup band indie sekarang, banyak kok yang sudah pede. Mereka sudah sukses,
inget ya sukses dengan “jalannya sendiri” lho. Karena mereka sukses, mereka
pede pasang bandrol tinggi. Banyak band-band indie itu juga berani mengajukan
permintaan-permintaan banyak dan “aneh-aneh” untuk show lho, muatan dalam riders-nya. Pede jack. Karena kan mereka
emang dikejar-kejar event organizer atau promotor?
Artis
penyanyi dan grup band dari indie, bandrolnya sudah “bersaing” dengan yang
major. Itu bukti bahwa ya indie dan major untuk show mah, ga ada lagi bedanya.
Malah makin banyak grup band indie, rate-nya
tinggi, di atas yang major. Dan teteup,
demand untuk show mereka, ya relatif
tinggi.
Bandrol
tinggi, permintaan tinggi. Melejit ke atas popularitasnya. Lantas jadi headliners deh di ajang-ajang festival,
bahkan bisa di festival musik yang sebenar-benarnya sih musiknya itu, bukan
musik yang di festival itu. Hahahaha. Festival jazz yang menjamur di sini itu
tuh, yang ga peduli itu artis atau grup band jazz atau bukan. Yang penting,
dianggap populer dan bisa jadi magnet untuk mendatangkan penonton.
Well,
yang harus digaris bawahi adalah, popularitas bisa melejit, tapi dengan cara
“gerilya” promosi tersendiri lho, pada awal-awalnya.
Sekian
dulu sahabat-sahabat saya sekalian. Semoga, tulisan panjang lebar ini
bermanfaat untuk banyak orang. Berpromosilah dengan cerdas dan berakal sehat. Mulailah
melangkah, dengan mengenal dulu “medan”nya. Akur ya?
Salam
Musik! /*
Keterangan Foto :
Permisiiiiii...beberapa foto saya ambil dari google. Tapi sebagian besar, foto-foto sebagai illustrasi, adalah karya jepretan saya sendiri.
5 comments:
sangat real byk di alami saat berpromosi.. makasih kang jadi ada pencerahan sebelum saya promosi musik. boleh minta no kontaknya kang.. klo berkenan bisa kirim ke obboybandmanager@gmail.com
makasih
Aduh, maaaf banget! Saya baru liat message comment ini. Bro @Obboy silahkan kontak saya saja di diongm2015@gmail.com. Trims dan Salam!
Nice article....bernas dan penuh pencerahan..sy paling suka statement (yg emang betul banget) : namanya festival jazz tp peserta artis nya bukan dari genre jazz..makjleb banget...
Klo sy liat festival2 rock & metal di Indonesia jarang banget menampilkan artis penyanyi/band yg selain genre Rock & Metal alias tetap konsisten dgn nama festivalnya yg jelas2 ROCK / METAL...
Salam kenal buat Bang Dion Momongan & Salam Musik Indonesia...Telah dirilis Single terbaru dari REGI WEKING (Ex-Vocalist GARUDA FORCE Band) yang berjudul “MANIEZ” (MANIS) ber-genre POP Ballad https://itunes.apple.com/album/id1304637464 (sudah ada juga di SMULE) Terimakasih
Hai, salam kenal @regiweking. Aduh, saya jarang buka-buka komen, jadi telat banget ya responnya.
Tetapi trims banyak, sudah mau komen. Trims berat untuk apresiasi terhadap tulisan2 saya. Semoga saja, ada manaatnya....
Dan begitulah mas, inilah....INDONESIA kita.
Salam Musik INDONESIA!
Post a Comment