Dari
acara di Kemang Timur. Sebagai tuan rumah, adalah pemilik rumah sendiri tentu
saja, Dhenok Wahyudi. Yoih, si
“Dalam Kelembutan Pagi” itu. Undangan jam 18.00-an. Dan saya datang terlalu
pagi, sebelum jam 19.00. Baru satu tamu yang datang, Eros Djarot saja! Hahahayyy....
Saya
dapat kabar dari Kadri Mohammad,
akan ada “ben-benan” nanti. Ada alat-alat dan sound minimal didrop DSS nya Donny Hardono. Nanti jammin’lah
tamu-tamu yang datang, begitu tulis Kadri di messagenya.
Saya
pikir ada stage, walau kecil mungkin.
Pasti ada sedikit penerangan. Well, ya kayaknya “home-party”. Lebih ke seru-seruanlah. Dan begitu saya lihat, oho no lighting! Maksudnya tak di pasang
lampu-lampu panggung apapun.
Penerangan
yang ada itu, hanya sebuah lamput gantung kristal, di tengah ruangan yang
dipakai untuk meletakkan alat-alat band dan sound.
Blocking untuk stage relatif gelap
sih, hanya menandalkan saja bias sinar lampu kristal yang untungnya lumayan
juga terangnya.
Asyiknya
kan? Seru bener nih. Jadinya gimana? Ga usah motret? Kalau gelap, pake flash ya, kan bisa tuh? Iya, saya suka.
Seperti kata slogan Damkar, alias Pemadam Kebakaran, Pantang Pulang Sebelum
Padam tuh.
Kalau
saya, Pantang Masukkan Kamera Sebelum (dipakai) Memotret! Apapun sikon yang
ada. Betul, pakai flash bisa aja. Tapi masalah utama, saya tak biasa pakai
flash. Flash saya pakai hanyalah flash minim built-in flash kamera saya. Tak ada additional-nya. Mahal, itu aja sih alasannya!
Saya
sih senang banget melihat tantangan. Makin susah untuk memotret, yang dilihat
atau dianggap oleh orang lain, saya mah terbiasa ya sudah, what can I do, baby?. Tetap memotret. Gimana kek nanti. Iya,
bagaimana nanti. Bukan, nanti bagaimana.
Cukup
lihat dan perhatikan dulu, bagaimana suasana yang ada. Seberapa terang, larinya
kemana sinar yang ada. Posisi yang enak, lantas bisa ditentukan. Ah, itu
prosedur standarlah ya.
Coba
memotret. Bracketting saja, untuk speed dan diafragma. Kalau sudah bisa memahami dan mengerti situasi dan
kondisi dan, bagaimana mengatasinya, ya tinggal...eksekusi dengan pede saja.
Kalau tingkat kepedean rendah, lebih baik, jangan memotretlah.
Ah,
itupun juga prosedur standar para fotografer. Untuk fotografer, pasti sudah
otomatis lakukan hal itu. Buat fotografer, yang sudah sering memotret, baca
tulisan saya di atas itu yah bisa dianggap, bukanlah trick dan advice yang
baru. Betul sekali! Kan saya pernah tulis, di tulisan lainnya, saya memang
memilih jadi fotografer amatir sajalah.
Jadi
gini, kalau situasi di “TKA” (Tempat Kejadian Acara) kan, ada lampu gantung
kristal itu. Di tengah ruangan. Itu ruangan belakang, dengan pemandangan ruang
belakang cukup lapang, dengan ada kolam renangnya. Spot utama acara kemarin, ya
di ruang belakang itu.
Nah
sumber cahaya lampu gantung itu, sebenarnya mengganggu untuk kompisisi. Bukan
soal level sinar yang dipancarkan.
Kalau mengganggu, lalu minta dipindahkan? Yaelaaaaa,
kagak mungkin keleusss. Tapi kan
susah motret yang bagus? Ah, siapa bilang susah? Akalinlah. Kudu jalan pikiran
kita.
Alhasil,
justru manfaatin lampu kristal itu. Sebagai “property” yang akan “memperindah” hasil foto saya. Itu keputusan
“refleks” saya. Well, the (taking) photos
must go on.He he he he. Hajarrr
bleeeeeh! Abrakadabra....!
Memotret
itu proses. Belajar dan terus belajar. Tiap sikon adalah menjadi “pelajaran”
yang berharga. Pengalaman bertambah, untuk diingat dan diperhatiin. Betul kalau
dibilang,learning by doing, doing such a
process. Itu yang saya nikmati dari fotografi.
Pada
akhirnya adalah eksekusi sih. Itulah soul
dari fotografernya yang bisa keluar. Foto itu berkarakter atau tidak, khas atau
tidak. Bahkan soal apa ya, “berbicara” atau tidaknya foto yang kita buat, semuanya
tergantung pada mata, hati dan jiwa yang memotret.
Fotografi
itu mengasyikkan, buat saya. Asyiknya tuh di proses, bagaimana kita “latihan
dan latihan” terus buat mendapat hasil yang bagus. Hasil fotonya dong
maksudnya. Bagus dan menyenangkan hati saya dulu. Puas gitu ya? Ga sih,
ukurannya bukan puas.Kalau soal puas mah, ga akan pernah puas....
Ya
buat saya dulu aja, subyektif dong? Ya ga papa
Lha yang motret juga saya, yang pakai kamera dan lensa saya sendiri kan?
Nah, berikutnya nanti itu, syukur-syukur ada orang-orang lain yang
menganggapnya bagus juga. Ketika orang lain tertarik dan memberi apresiasi, itu
bonus yang “bikin hidup lebih hidup”.
Kalau
makin banyak orang suka dengan hasil foto saya, ah alhamdulillah. Kagak sia-sia
dah... Hehehehe. Itu memberi sedikit kepuasan. Ini baru puas. Tapi jangan
banyak-banyak puasnya. Kalau overdosis
tingkat kepuasan pribadi saya, bahaya! Iya, bahaya betul. Saya bisa trance, high sendiri. Mabuk kepayang. Ealaaaa.
Kan
di atas langit masih ada langit lagi bro and sis. Jadi berapa tingkat tu
langit? Ga jelas deh, belum pernah juga melayang tinggi dan tinggi sekali dan
tinggi sekali banget gitu. Maksudnya ya, jadi tetap “membumi”. Terus belajar
dan belajar. Terus bisa menikmati proses.
Ok
kembali ke acara itu. Oh ya, acara itu adalah Halal bi Halal dari para pendukung, penyelenggara, pelaksana dari
rangkaian konser Lomba Cipta Lagu Remaja
“plus” (LCLR+), yang lantas
berlanjut menjadi konser Badai Pasti
Berlalu “plus” (BPB+). Sudah
digelar di beberapa kota. ertama kali di Jakarta, pada 1 dan 2 Oktober 2015
berupa konser LCLR+. Dengan penyelenggaranya waktu itu, XI Creative.Ini organisasi dari
ex siswa-siswi SMAN 11 Bulungan, Jakarta.
Kemudian
digelar di Bandung, Surabaya dan Malang. menyertakan banyak penyanyi,
bergantian. Sementara musiknya oleh Indro
Hardjodikoro dan teman-temannya. Bandnya hanya satu, dilengkapi backing vocals. Penyanyinya lumayan
banyak. dengan sebagian diantaranya bergantian.
So
pasti dong, Yockie Suryoprayogo yang
adalah tokoh sentral, dari rangkaian “serial” konser itu juga hadir. Hadir dan
juga bermain piano tentu saja. Ada baby
grand electric piano yang disediain. Yockie dan Indro, tetap ddukung oleh member tetap band yaitu Yankjay Nugraha (gitar), Yo Iqball (drums) serta Didiet (violin).
Yang
lantas datang dan tampil menyanyi spontan adalah Che Cupumanik, Rian Ekky
Pradipta, Louise Hutauruk, Fryda Lucyana, Benny Soebardja. Mereka
memang yang terlibat dalam LCLR+ dan BPB+. Selain itu, tentu saja, Dhenok
Wahyudi sendiri. Serta Kadri Mohammad, yang merangkap menjadi MC. Ditambah
dengan tamu lain, Edwin Manansang,
ex Trio Libels itu.
Berlian
Hutauruk, yang juga hadir dan pendukung LCLR+ dan BPB+, tak ikut tampil
menyanyi. Ya banyak penyanyi lain,tak dapat hadir memenuhi undangan. Seperti
misalnya Andy /rif, Fadly PADI/Musikimia, Husein Idol, Dira Sugandhi, Harry
Sabar, Marcell, Once, Dian Pramana Poetra dan Deddy Dhukun, Keenan Nasution,
juga Debby Nasution. Serta tak datang juga, Tika Bisono, Ari Malibu, Raymond
Pattirane (Pahama) dan Redha. Tak
kelihatan juga, Sys NS.
Tapi
suasana lumayan meriah juga. Apalagi karena dibuka dengan penampilan Tony Wenas, Aa Sulaiman, Glenn Tumbelaka,
Emiel Kurnia dan Jodie Wenas, yang juga didukung oleh
Kadri Mohammad. Mereka adalah Solid 80,
yang diundang khusus oleh tuan rumah. Dhenok Wahyudi itu fans berat Queen!
Tamu-tamu
lain yang datang antara lain ada Miranda
Goeltom, Setiawan Djody,
Keluarga Bachrum Hamzah. Siapa lagi
ya. Oh ya ada, Ingrid “Ceu Ceu” Widjanarko
serta kolektor musik, Roi Rahmanto.
Serta
ada Toto Widjoyo, petinggi dari
major label, Warner Music. Hanny Soemadipraja dan Dadang Nugraha, Rina Novita dari XI Creative
bersama Nana Krit. Prima T Primadi dari Mahaya
Interact dan timnya, juga datang. Belakangan muncul juga, Sruti Respati, eh ketika acara baru
bubar....
Serial
acara LCLR+ dan BPB+, lantas memang menjadi semacam komunitas “tak resmi”. Jadi
teringat, ada komunitas sejenis, merangkul banyak sekali penyanyi. Tapi mereka
memiliki anggota musisi yang jauh lebih banyak lagi. Mereka adalah Indonesia
Kita, I.Ki. Dipimpin oleh Renny Djayoesman. Ini semacam
“paguyuban” artis penyanyi dan musisi, yang menggalang semangat Bela Negara.
I.Ki ini didukung oleh Kementrian Pertahanan.
I.Ki
juga mulai gencar tampil, menggelar konser di berbagai tempat dan berbagai
kota. Sementara “komunitas tak resmi” LCLR+ dan BPB+ yang dipimpin oleh Yockie
Suryoprayogo, bersifat lebih independen. Tanpa dukungan dari manapun, apalagi
dari kementrian tertentu. Serunya, setahu saya, awalnya tak direncanakan akan
menjadi semacam “serial konser”, menyinggahi kota demi kota.
Organisasi
demikian, resmi tak resmi, didukung pihak tertentu ataupun tidak, bagus sebagai
ajang silaturahmi. Mempererat persahabatan antar para musisi dan penyanyi.
Lebih sebagai paguyuban yang memayungi para penyanyi dan musisi, wadah
kreatifitas. Sekaligus ya juga tentunya, penting lho, “bagi-bagi rejeki” alias
order manggung.
Penting
dong, ngumpul-ngumpul aja ga ada keliatan bermusik beneran. Waduh, beratlah.
Bisa-bisa jadi ”perkumpulan tidak penting”. Yang positif, kedua “pergerakan”
sama-sama memberi alternatif hiburan musik yang menyegarkan untuk publik. Lebih
positif, punya kecenderungan sajian musik-musik outside mainstream industry..
Sama
persis, ya ga juga. Kedua pergerakan musisi dan penyanyi itu, punya karakter
spesifik yang berbeda. Fokusnya agak beda sih. Masing-masing punya maksud dan
tujuan, terutama dalam hal “implementasi”, yang berbeda. Ya itu sih pandangan
saya pribadi ya.
Ok
deh temans semua. Segini saja dulu share
saya. Jangan berpanjang-panjang, nanti takut jadi....”ga penting lagi”. Cilakaaa! Semoga menyenangkan dan
berfaedah buat semuanya. Minal Aidin
Walfaidzin. Salam! /*
No comments:
Post a Comment