Saturday, August 13, 2016

Mengenai Foto. Panggung, Lampu Kristal dan Silaturahmi





Dari acara di Kemang Timur. Sebagai tuan rumah, adalah pemilik rumah sendiri tentu saja, Dhenok Wahyudi. Yoih, si “Dalam Kelembutan Pagi” itu. Undangan jam 18.00-an. Dan saya datang terlalu pagi, sebelum jam 19.00. Baru satu tamu yang datang, Eros Djarot saja! Hahahayyy....
Saya dapat kabar dari Kadri Mohammad, akan ada “ben-benan” nanti. Ada alat-alat dan sound minimal didrop DSS nya Donny Hardono. Nanti jammin’lah tamu-tamu yang datang, begitu tulis Kadri di messagenya.

Saya pikir ada stage, walau kecil mungkin. Pasti ada sedikit penerangan. Well, ya kayaknya “home-party”. Lebih ke seru-seruanlah. Dan begitu saya lihat, oho no lighting! Maksudnya tak di pasang lampu-lampu panggung apapun.
Penerangan yang ada itu, hanya sebuah lamput gantung kristal, di tengah ruangan yang dipakai untuk meletakkan alat-alat band dan sound. Blocking untuk stage relatif gelap sih, hanya menandalkan saja bias sinar lampu kristal yang untungnya lumayan juga terangnya.
Asyiknya kan? Seru bener nih. Jadinya gimana? Ga usah motret? Kalau gelap, pake flash ya, kan bisa tuh? Iya, saya suka. Seperti kata slogan Damkar, alias Pemadam Kebakaran, Pantang Pulang Sebelum Padam tuh.

Kalau saya, Pantang Masukkan Kamera Sebelum (dipakai) Memotret! Apapun sikon yang ada. Betul, pakai flash bisa aja. Tapi masalah utama, saya tak biasa pakai flash. Flash saya pakai hanyalah flash minim built-in flash kamera saya. Tak ada additional-nya. Mahal, itu aja sih alasannya!

Saya sih senang banget melihat tantangan. Makin susah untuk memotret, yang dilihat atau dianggap oleh orang lain, saya mah terbiasa ya sudah, what can I do, baby?. Tetap memotret. Gimana kek nanti. Iya, bagaimana nanti. Bukan, nanti bagaimana.
Cukup lihat dan perhatikan dulu, bagaimana suasana yang ada. Seberapa terang, larinya kemana sinar yang ada. Posisi yang enak, lantas bisa ditentukan. Ah, itu prosedur standarlah ya.
Coba memotret. Bracketting saja, untuk speed dan diafragma. Kalau sudah bisa memahami dan mengerti situasi dan kondisi dan, bagaimana mengatasinya, ya tinggal...eksekusi dengan pede saja. Kalau tingkat kepedean rendah, lebih baik, jangan memotretlah.


Ah, itupun juga prosedur standar para fotografer. Untuk fotografer, pasti sudah otomatis lakukan hal itu. Buat fotografer, yang sudah sering memotret, baca tulisan saya di atas itu yah bisa dianggap, bukanlah trick dan advice yang baru. Betul sekali! Kan saya pernah tulis, di tulisan lainnya, saya memang memilih jadi fotografer amatir sajalah.
Jadi gini, kalau situasi di “TKA” (Tempat Kejadian Acara) kan, ada lampu gantung kristal itu. Di tengah ruangan. Itu ruangan belakang, dengan pemandangan ruang belakang cukup lapang, dengan ada kolam renangnya. Spot utama acara kemarin, ya di ruang belakang itu.

Nah sumber cahaya lampu gantung itu, sebenarnya mengganggu untuk kompisisi. Bukan soal level sinar yang dipancarkan. Kalau mengganggu, lalu minta dipindahkan? Yaelaaaaa, kagak mungkin keleusss. Tapi kan susah motret yang bagus? Ah, siapa bilang susah? Akalinlah. Kudu jalan pikiran kita.
Alhasil, justru manfaatin lampu kristal itu. Sebagai “property” yang akan “memperindah” hasil foto saya. Itu keputusan “refleks” saya. Well, the (taking) photos must go on.He he he he. Hajarrr bleeeeeh! Abrakadabra....!



Memotret itu proses. Belajar dan terus belajar. Tiap sikon adalah menjadi “pelajaran” yang berharga. Pengalaman bertambah, untuk diingat dan diperhatiin. Betul kalau dibilang,learning by doing, doing such a process. Itu yang saya nikmati dari fotografi.
Pada akhirnya adalah eksekusi sih. Itulah soul dari fotografernya yang bisa keluar. Foto itu berkarakter atau tidak, khas atau tidak. Bahkan soal apa ya, “berbicara” atau tidaknya foto yang kita buat, semuanya tergantung pada mata, hati dan jiwa yang memotret.

Fotografi itu mengasyikkan, buat saya. Asyiknya tuh di proses, bagaimana kita “latihan dan latihan” terus buat mendapat hasil yang bagus. Hasil fotonya dong maksudnya. Bagus dan menyenangkan hati saya dulu. Puas gitu ya? Ga sih, ukurannya bukan puas.Kalau soal puas mah, ga akan pernah puas....
Ya buat saya dulu aja, subyektif dong? Ya ga papa  Lha yang motret juga saya, yang pakai kamera dan lensa saya sendiri kan? Nah, berikutnya nanti itu, syukur-syukur ada orang-orang lain yang menganggapnya bagus juga. Ketika orang lain tertarik dan memberi apresiasi, itu bonus yang “bikin hidup lebih hidup”. 





Kalau makin banyak orang suka dengan hasil foto saya, ah alhamdulillah. Kagak sia-sia dah... Hehehehe. Itu memberi sedikit kepuasan. Ini baru puas. Tapi jangan banyak-banyak puasnya. Kalau overdosis tingkat kepuasan pribadi saya, bahaya! Iya, bahaya betul. Saya bisa trance, high sendiri. Mabuk kepayang. Ealaaaa.
Kan di atas langit masih ada langit lagi bro and sis. Jadi berapa tingkat tu langit? Ga jelas deh, belum pernah juga melayang tinggi dan tinggi sekali dan tinggi sekali banget gitu. Maksudnya ya, jadi tetap “membumi”. Terus belajar dan belajar. Terus bisa menikmati proses.

Ok kembali ke acara itu. Oh ya, acara itu adalah Halal bi Halal dari para pendukung, penyelenggara, pelaksana dari rangkaian konser Lomba Cipta Lagu Remaja “plus” (LCLR+), yang lantas berlanjut menjadi konser Badai Pasti Berlalu “plus” (BPB+). Sudah digelar di beberapa kota. ertama kali di Jakarta, pada 1 dan 2 Oktober 2015 berupa konser LCLR+. Dengan penyelenggaranya waktu itu, XI Creative.Ini  organisasi dari ex siswa-siswi SMAN 11 Bulungan, Jakarta.



Kemudian digelar di Bandung, Surabaya dan Malang. menyertakan banyak penyanyi, bergantian. Sementara musiknya oleh Indro Hardjodikoro dan teman-temannya. Bandnya hanya satu, dilengkapi backing vocals. Penyanyinya lumayan banyak. dengan sebagian diantaranya bergantian.
So pasti dong, Yockie Suryoprayogo yang adalah tokoh sentral, dari rangkaian “serial” konser itu juga hadir. Hadir dan juga bermain piano tentu saja. Ada baby grand electric piano yang disediain. Yockie dan Indro, tetap ddukung oleh member tetap band yaitu Yankjay Nugraha (gitar), Yo Iqball (drums) serta Didiet (violin).

Yang lantas datang dan tampil menyanyi spontan adalah Che Cupumanik, Rian Ekky Pradipta, Louise Hutauruk, Fryda Lucyana, Benny Soebardja. Mereka memang yang terlibat dalam LCLR+ dan BPB+. Selain itu, tentu saja, Dhenok Wahyudi sendiri. Serta Kadri Mohammad, yang merangkap menjadi MC. Ditambah dengan tamu lain, Edwin Manansang, ex Trio Libels itu.



Berlian Hutauruk, yang juga hadir dan pendukung LCLR+ dan BPB+, tak ikut tampil menyanyi. Ya banyak penyanyi lain,tak dapat hadir memenuhi undangan. Seperti misalnya Andy /rif, Fadly PADI/Musikimia, Husein Idol, Dira Sugandhi, Harry Sabar, Marcell, Once, Dian Pramana Poetra dan Deddy Dhukun, Keenan Nasution, juga Debby Nasution. Serta tak datang juga, Tika Bisono, Ari Malibu, Raymond Pattirane (Pahama) dan Redha.  Tak kelihatan juga, Sys NS.
Tapi suasana lumayan meriah juga. Apalagi karena dibuka dengan penampilan Tony Wenas, Aa Sulaiman, Glenn Tumbelaka, Emiel Kurnia dan Jodie Wenas, yang juga didukung oleh Kadri Mohammad. Mereka adalah Solid 80, yang diundang khusus oleh tuan rumah. Dhenok Wahyudi itu fans berat Queen!

Tamu-tamu lain yang datang antara lain ada Miranda Goeltom, Setiawan Djody, Keluarga Bachrum Hamzah. Siapa lagi ya.  Oh ya ada, Ingrid “Ceu Ceu” Widjanarko serta kolektor musik, Roi Rahmanto.
Serta ada Toto Widjoyo, petinggi dari major label, Warner Music. Hanny Soemadipraja dan Dadang Nugraha, Rina Novita dari XI Creative bersama Nana Krit. Prima T Primadi dari Mahaya Interact dan timnya, juga datang. Belakangan muncul juga, Sruti Respati, eh ketika acara baru bubar....




Serial acara LCLR+ dan BPB+, lantas memang menjadi semacam komunitas “tak resmi”. Jadi teringat, ada komunitas sejenis, merangkul banyak sekali penyanyi. Tapi mereka memiliki anggota musisi yang jauh lebih banyak lagi. Mereka adalah Indonesia Kita, I.Ki. Dipimpin oleh Renny Djayoesman. Ini semacam “paguyuban” artis penyanyi dan musisi, yang menggalang semangat Bela Negara. I.Ki ini didukung oleh Kementrian Pertahanan.

I.Ki juga mulai gencar tampil, menggelar konser di berbagai tempat dan berbagai kota. Sementara “komunitas tak resmi” LCLR+ dan BPB+ yang dipimpin oleh Yockie Suryoprayogo, bersifat lebih independen. Tanpa dukungan dari manapun, apalagi dari kementrian tertentu. Serunya, setahu saya, awalnya tak direncanakan akan menjadi semacam “serial konser”, menyinggahi kota demi kota.




Organisasi demikian, resmi tak resmi, didukung pihak tertentu ataupun tidak, bagus sebagai ajang silaturahmi. Mempererat persahabatan antar para musisi dan penyanyi. Lebih sebagai paguyuban yang memayungi para penyanyi dan musisi, wadah kreatifitas. Sekaligus ya juga tentunya, penting lho, “bagi-bagi rejeki” alias order manggung.
Penting dong, ngumpul-ngumpul aja ga ada keliatan bermusik beneran. Waduh, beratlah. Bisa-bisa jadi ”perkumpulan tidak penting”. Yang positif, kedua “pergerakan” sama-sama memberi alternatif hiburan musik yang menyegarkan untuk publik. Lebih positif, punya kecenderungan sajian musik-musik outside mainstream industry..

Sama persis, ya ga juga. Kedua pergerakan musisi dan penyanyi itu, punya karakter spesifik yang berbeda. Fokusnya agak beda sih. Masing-masing punya maksud dan tujuan, terutama dalam hal “implementasi”, yang berbeda. Ya itu sih pandangan saya pribadi ya.
Ok deh temans semua. Segini saja dulu share saya. Jangan berpanjang-panjang, nanti takut jadi....”ga penting lagi”. Cilakaaa! Semoga menyenangkan dan berfaedah buat semuanya. Minal Aidin Walfaidzin. Salam! /*



 












No comments: