Panas
terik. Berjalan di bawah siraman hangatnya mentari. Jam 13.00 anlah. Oh
indahnya... Tenggorokan berasa, makin kering, kian kering. Masih kuat kaki-kaki
ini melangkah. Walau tenggorokan makin kering, dan itu akan makin mengganggu
perjalananku....
Apa
yang paling diperlukan, dalam situasi kondisi di atas itu? Pelepas dahaga!
Minuman dingin. Es batu. Manis-manis. Segar. Es teh manis? Tepat betul. Nikmati
teh es manis, membasahi tenggorokan. Seperti sekaligus membuka aliran-aliran
darah. Seperti ya, bukan kenyataannya memang begitu.
Kalau
berpanas-panas matahari, pasti teringat, minuman penyegar dingin. Lebih dingin,
yang dipikirin pasti adalah, lebih menyegarkan. Kalau saja, agak-agak hangat di
luar, masuk ruang berpendingin udara. Duduk santai. Bisa meluruskan kaki juga.
Dan terdengar musik keroncong. Bagaimana menurut anda?
Selendang sutra,
tanda mata darimu. Telah kuterima sebulan yang lalu. Selendang sutra mulai di
saat itu. Turut serentak di dalam baktimu...
Sosok
seorang penyanyi, menyuarakannya dengan manisnya. Kalem. Seperti menghembuskan
angin semilir. Langsung menerbangkan diri, ke tepian pantai, dalam sebuah cottage. Buka pintu, leyeh-leyeh di teras depan. Ombak
menggulung bergemuruh.
Sruti
Respati, penyanyi manis itu. Cantik nian. Berkebaya dan bersanggul. Di
belakangnya duduklah sederet musisi. Dari sebelah kiri ada pemain cuk atau
ukulele, di sebelahnya seorang musisi memetik dawai cello. Lalu sebelahnya ada
pemain tiup, flute dan saxophone, berkacamata. Kemudian seorang gitaris, mana
lagi berambut lurus panjang, melewati bahu.
Di
sebelah gitaris, dengan gitar listriknya, ada pemain bass.Senyum, sesekali
melihat partitur di depannya. Bermain tenang, kalem,menikmati, bass
elektriknya. Di sebelah kanan bassis itu, ada drummer. Bertubuh cukup subur.
Dan paling kanan adalah, seorang pemain piano, dengan piano elektriknya.
Dan
siang itu, adalah Sruti Respati,yang datang dari Solo itu. Wanita ayu yang
memang masih tetap setia berdomisili di kota Solo. Ia tak hendak meninggalkan
kota tercinta, kampung halaman, apalagi juga dengan predikat pegawai negeri
sipil dalam pemerintah kota Solo. Mengajar sekolah juga. Sebelumnya, sempat menjadi
presenter televisi lokal setempat, siaran berbahasa Jawa!
Saya
punya pengalaman lumayan panjang dengan Sruti ini. Namanya itu unik ya? Jawani
ya? Saya melihat, merasakan, menyaksikan semangatnya berkarya. Bagaimana ia
menjejakkan kaki, melangkahkan kakinya di dunia musik. Pentas ke pentas.
Pilihannya, terbilang lebar. Luas dan lapang! Masalahnya, ia mampu atau tidak?
Saya
nilai, ia punya kemampuan untuk itu. Ia terbuka. Untuk musik, ia sangat membuka
diri. Sehingga tak hanya keroncong saja.
Ia juga dikenal pula sebagai pesinden. Tapi tak berhenti sampai di situ.
Ayahnya
dalang wayang kulit, ibunya juga penari. Sedari kecil, ia terbiasa juga
berlatih tari. Olah gerak. Sampai balet. Ia juga berteater di masa sekolahnya
dulu. Ia memang datang dari keluarga seni. Kakak kandungnya adalah, Endah Sri Murwani, yang lebih dikenal
sebagai Endah Laras.
Lingkungannya
bagus dan mumpuni, menjadi modal bagus menempa jiwa berkeseniannya. Ia dan
Endah, sang kakak, menjadi penyanyi generasi muda terdepan dalam membawakan
keroncong. Selain itu juga, lagu-lagu tradisi Jawa. Sang kakak intens betul di
wilayah tradisi dan keroncong. Demikian pula halnya dengan sang adik. Walau
pada perjalanan kemudian, sang adik, memilih lebih berani mengembara
kemana-mana. Ke wilayah musik modern, misalnya.
Ketika
Sruti masuk mencoba mengakrabi musik modern, iapun bertemu dengan Bintang Indrianto. Bassis senior,
produser musik, arranjer. Di mata Bintang, Sruti itu eksotis tapi dianggap “belum
lengkap”. Maka Bintang melengkapinya. Ia dibentuk lebih kontemporer lagi. Agak
nakal, usil dan badung jadnya. Secara konsep musik ya.
Ia
juga ikut dibentuk seorang Sujiwo Tejo,
dalang jancukers itu. Makin kontemporerlah Sruti. Walau tak berarti, ia lantas
menjauh dari akar tradisinya. Dasar sinden dan keroncongnya, tidak dihilangkan.
Justru itulah modal dasar terpentingnya.
Baik
Bintang Indrianto dan Sujiwo Tejo, mengeksplorasi betul kemampuan menyanyinya
di sisi itu. Mereka bahkan kerap berkolaborasi bareng. Salah satunya adalah, Pesona Keroncong Indonesia atau Sinden Republik 2 di Grha Bhakti
Budaya, Taman Ismail Marzuki. Bahkan di acara tersebut, Endah Laras juga
tampil.
Bintang
Indrianto mengemas musik dalam debut album Sruti, dirilis sekitar 2010.
Musiknya lebar dan memang menjelajah dengan “liar”nya. Saking liarnya, Sruti
diduetkan dengan Margie Segers,
dalam lagu, ‘Gambang Suling’! Apa jadinya? Duet edun lah. Tak heran, album
tersebut masih banyak yang menanyakan sampai saat ini, masih ada saya mau beli
dong. Masih ada yang belum punya? Aaaah, salaaaam!
Ditambah
dengan “keliaran” lain, yang terus berlanjut bersama Bintang Indrianto. Sruti
disandingkan dengan Akordeon, ini kelompok musik yang mengetengahkan 3 orang
bassis. Tapi dilengkapi pemain kendang,pemain suling, saxophone. Ada kibor dan
drums juga.
Mereka
main di Jakarta, Bandung, Solo, bahkan Medan! Sruti tetap saja tampil khas,
berkebaya dan bersanggul. Di 2011, mungkin ia paling unik, menarik sekaligus
eksotis, tampil di Java Jazz Festival dengan kostum khasnya itu. Penonton
banyak terkesima dan terkagum-kagum. Siapa dia?
Eh
eh Siapa Dia? Udah seperti kuis di TVRI saja, puluhan tahun yang lampau. Ya dia
Sruti. Eksotis pada suara dan penampilan. Ia tak berhenti hanya dengan Bintang
Indrianto, Ia kemudian juga berkolaborasi dengan Dewa Budjana. Tentu saja, ia mengalami pengalaman berbeda lagi.
Makin lebarlah wawasan dan pengetahuan bermusiknya.
Ia
pernah juga mengecap kolaborasi dengan Emerald-BEX.
Bayangkan fusion yang “sangat modern” dan bertenaga, disandingkan dengan
seorang Sruti yang khas. Apa jadinya? Yang jelas, Emerald-BEX berkeinginan bisa
melakukan kolaborasi unik itu lagi, pada kesempatan mendatang.
Ia
juga lantas masuk ke ranah “pop”. Antara lain tampil dengan Trio Lestari yang berisikan Glenn Fredly, Sandhy Sondoro dan Tompi itu,
misalnya. Atau tampil bersama Erwin
Gutawa Orchestra. Ia pernah pula berduet dengan Kris Dayanti, diiringi musisi muda worldmusic, Viky Sianipar.
Atau tampil dengan para penyanyi keroncong lain, misalnya Sundari Soekotjo. Termasuk tampil dengan Opera Van Java, dan program televisi macam reality show lainnya.
Catatan
perjalanan bermusiknya sudah lumayan panjang. Dan lantas ia kemudian bertemulah
dengan Indro Hardjodikoro,bassis.
Merekapun melakukan pula kolaborasi “lintas musik”. Di tangan dan pandangan
seorang Indro Hardjodikoro, Sruti pun tentu saja mengalami lagi pengalaman
bermusik berbeda.
Ini
tulisan jadi kemana-mana begini nih? Gimana soal panas-panasan, minum teh es
manis, yang seger-seger dingin? Udahlah, kan hausnya sudah hilang? Masuk ruang
sejuk, duduk santai, minum teh es manis. Eh saya sih lebih memilih air putih
saja. Sama-sama menyegarkan kok. Lebih sehat? Ga tau juga, tanya dokter deh....
Eits,
jangan lari lagilah. Bacanya bingung ya? Sandaran aja dulu, tarik nafas. Ada
tembok ga? Etapi, jangan bersandar
pada tembok. Bersandarlah hanya pada Yang Maha Kuasa....
Saya
mau ke ranah musik keroncong saja. Karena konteksnya adalah Sruti, bertemu
Indro Hardjodikoro. Di Galeri Indonesia Kaya. Di acara tema Tujuh
Belasan, salah satu pengisi program bulan kemerdekaan Republik
Indonesia, sepanjang Agustus 2016.
Mereka
itu menamakannya sebagai Musim Keroncong. Kok “musim”? Musik Indah Menawan?
Aha. Jadi titlenya, Musim Keroncong –
Dongengan. Karena melibatkan pula penampilan seorang bernama Kak Rhesa, dengan Otan-nya. Ia menyelip
di tengah, berdongeng. Lengkaplah paket itu sebagai tontonan seluruh
keluarga...
Akar keroncong
berasal dari sejenis musik Portugis yang dikenal sebagai fado yang diperkenalkan oleh para pelaut dan budak kapal niaga bangsa itu sejak abad ke-16
ke Nusantara. Dari daratan India (Goa) masuklah musik ini pertama kali di Malaka dan kemudian
dimainkan oleh para budak dari Maluku. Melemahnya pengaruh Portugis pada abad ke-17 di Nusantara
tidak dengan serta-merta berarti hilang pula musik ini. Bentuk awal musik ini
disebut moresco (sebuah tarian asal Spanyol, seperti
polka agak lamban ritmenya), di mana salah satu lagu oleh Kusbini disusun
kembali kini dikenal dengan nama Kr. Muritsku, yang diiringi oleh alat musik
dawai.
Musik keroncong yang
berasal dari Tugu disebut keroncong Tugu. Dalam perkembangannya,
masuk sejumlah unsur tradisional Nusantara, seperti penggunaan seruling serta beberapa komponen gamelan. Pada sekitar abad ke-19 bentuk musik campuran ini sudah
populer di banyak tempat di Nusantara, bahkan hingga ke Semenanjung Malaya.
Masa keemasan ini berlanjut hingga sekitar tahun 1960-an, dan kemudian meredup
akibat masuknya gelombang musik populer (musik rock yang berkembang sejak 1950, dan
berjayanya grup musik Beatles dan sejenisnya sejak tahun 1961 hingga
sekarang). Meskipun demikian, musik keroncong masih tetap dimainkan dan
dinikmati oleh berbagai lapisan masyarakat di Indonesia dan Malaysia hingga sekarang.
(Maaf,
saya copas di atas itu dari wikipedia,
mengenai musik keroncong)
Nah
kalau soal keroncong ya. Mungkin terbilang lamban pergerakan atau evolusinya.
Dari sejak “ditemukannya” musik keroncong di era 1880-an sampai awal 1890-an.
Keroncong, dengan bentuk “asli”, langgam, stamboel. Sekian waktu dianggap
sebagai “musik orang tua”.
Ekstrim
juga. Kalau saya menganggapnya, musik santai, leyeh-leyeh, dengerin sambil mata
merem-melek gimana gitu. Sampai akhirnya, pulas tertidur. Tak dinamis, tak ada
hentakan. Lebih ke menyamankan otak,pikiran dan hati.
Dengerin
sambil ngopi atau ngeteh. Teh lagi, teh lagi. Teh es manis? Bukan, bukan kok.
Ini teh dalam cangkir, teh asli. Musik yang menyamankan jiwa juga,maka harus
pintar saja memilih waktu untuk menyimaknya.
Karena
sifatnya yang lebih “membelai-belai”. Bukan seperti mengajak loncat-loncat.
Ataupun mengajak...apa lagi, headbangin’.
Ataupun mengajak, tambah gelasnya, tambah gelasnya. Gelas doang? Isinya apaan?
Jadi
musik keroncong memang terasa jauh dari kedinamisan anak muda. Setelah Bondan Prakosa mencoba mengeksplorasi
keroncong ini, pada beberapa tahun silam, barulah kaum muda mulai
memperhatikannya. Tapi ya segitu saja, perhatiin musiknya Bondan lah. Waktu itu
kan Bondan masih dengan Fade2Black.
Sruti
mungkin saja bisa disebut, membawa kebaruan pada musik keroncong. Tak lagi
seolah stagnan, pada pakem-nya yang dikenal selama ini. Ia membuka pintu akan
kemungkinan eksplorasi lain dari keroncong. Tapi memang,seringkali pakem itu
adalah, “harga mati”.
Artinya,
lewati atau lupain pakem, dianggap “pamali”? Modernisasi pada musik,
teristimewa musik-musik zaman lampaoe, kerapkali terbentur pada soal pakem ini.
Padahal, ada soal “kelestarian” juga adanya kan?
Bagaimana
bisa melestarikan, kudu ada strategi khusus. Yang penting, jangan lantas
mencabut rohnya saja. Kan kalau roh kita tak ada, sudah terbang ke dunia lain
dong? Begitupun halnya dengan musik.Keroncong diantaranya.
Setuju
atau tidak? Ini akan jadi bahasan ekstra. Nanti saja ya. Saya kudu lihat
banyakliteratur soal keroncong dulu. Pahami betul-betul. Salah nulis, ah
bahaya. Akan bisa terjadi silang pendapat yang ruwet, dan bisa tak
selesai-selesai....
Ya
sudah, itu secuil gambaran mengenai keroncong.Mending kembali kepada Sruti
Respati dengan Indro Hardjodikoro saja. Indro seperti menasirkan lagi
keroncong. Ia melihat dari sudur berbeda. Pastinya akan berbeda penglihatannya,
termasuk pola pikir dan kreatifitasnya, dari Bintang Indrianto misalnya. Juga
seorang Dewa Budjana.
Catatan
saya, Budjana tak hendak membuat musik keroncong. Ia mengajak Sruti masuk pada
wilayah kreatifitas musiknya. Bintang,mencoba membentuk Sruti, memberi
pengalaman “baru” padanya. Tak perlu keluar dari koridor keroncong dan musik
Jawa-nya.
Dengan
Indro, pemikiran dasar mungkin juga sama dengan Bintang. Yaeyalaaaah, dua-duanya bassis sih. Indro kan juga mengakui Bintang
sebagai salah satu gurunya. Namun, Sruti “dimanfaatkan” Indro sedikit berbeda.
Ia lebih memberi ruang, yang disesuaikan dengan kemampuan olah vokal, serta
pengalaman dari Sruti selama ini.
Musik
dan interpretasi serta timbre dari
Sruti, berjalan berdampingan. Saling melengkapi. Itu yang sebut terkesan
santun, “saling menghormati”, lebih adem. Ada sentuhan jazz, misal pada pola
bass dan piano. Itu jadi latar saja. Jadi bingkainya. Sruti tak perlu lantas
berimprovisasi jazz....
Bisa
benar, bisa tidak penilaian saya nih. Mungkin Indro pasti yang bisa lebih tepat
menjelaskannya. Apalagi memberi penjelasan lebih tehnis. Menyoal bagaimana
Indro memanfaatkan segala kelebihan Sruti. Mungkin juga artinya, mencoba
menyiasati kekurangan-kekurangan Sruti.
Ya
iya dong, ada kelebihan pasti ada juga kekurangan, bukan? Manusiawilah. Nobody’s perfect. Even Sruti. And also,
Indro....
Indro
pada konser keroncong tersebut mengajak serta Wawan pada cello dan Ucenk,
yang memainkan ukulele. Ditambah juga dengan Yankjay Nugraha, gitaris. Lantas ada Dony Koeswinarno, saxophoe dan flute. Didukung pula oleh Stanley Khoewell, kibordis dan drummer
muda, Grady Boanegers.
Lagu-lagu
yang dibawakan antara lain, ‘Selendang Sutra’ sebagai pembuka. Lalu juga ada, ’Tanah
Airku’. Lantas, ‘Ibu Pertiwi’, ‘Melati di Tapal Batas’. Diselipkan pula lagu
yang dipopulerkan Slank, ‘Bendera Setengah Tiang’. Serta lagu legendaris, ini
jadi lagu penutup, ‘Rumah Kita’, yang adalah salah satu lagu “kebangsaan”nya
God Bless.
Oh
ya, memang ada Margie Segers yang
ikut tampil sebagai bintang tamu khusus. Sebagian besar lagu, dibawakan secara
duet, Sruti dan Margie. The Blues-woman
meet the Lady of keroncong”..... What
a Nice Moment! Inisiatif memang datang dari Sruti sendiri, untuk bisa
berduet lagi dengan “tante” Margie yang Segers itu.
Jadinya,
tontonan alternatif. Keroncong jazz, atau jazzy keroncong? Tapi ada nuansa
bluesy juga. Apapunlah namanya. Ini juga sah saja sebagai “pembaharuan” pada
musik keroncong. Tak bermaksud menulis ini sebagai usaha menimbulkan suasana
lebih “kekinian” pada keroncong.
Bukan
kekiniannya,sebagai point terpenting. Tapi adalah upaya kreatif untuk tetap
membunyikan musik keroncong. Kepada situasi dan kondisi jaman sekarang, yang
musik terus berkembang dan beranakpinak. Melebar kemana-mana. Keroncong masa
kini?
Keroncong
“pembaharuan”, mungkin ya? Ah saya menghindari bentuk istilah-istilah lain,
untuk menggambarkan apa yang disajikan Musim Keroncong kemarin itu. Yang pasti
sih, segar memang. Kita seperti dibawa ke perspektif yang lain lagi dari musik
keroncong.
Harus
ada suasana keroncong yang lebih tebal dong. Sruti kan diundang bisa
memeriahkan pentas Agustusan di Galeri Indonesia Kaya, dengan membawa musik
keroncong. Jadi, ya suasana keroncong harus lebih terasa ya. Tentu boleh dibumbui musik-musik lain apapun.
Bisa jazz, atau jazzy. Blues juga. Ya
memang terbuka...
Dan
penonton siang hingga sore itu, menampakkan raut muka puas. Mereka syukurlah dapat
mengapresiasi musik yang ditampilkan dengan baik.Yang lebih mengharukan,
sebagian besar itu datang menonton karena...Sruti Respati. Iya, Sruti sudah
banyak lho penggemarnya sekarang ini.
Pentas
berakhir. Salam-salam. Berlanjut suasana foto-foto. Selfi, wefie lah gitu.
Keluar gedung, eh ternyata hujan. Hujan yang membuat sebagian Jakarta basah.
Hujannya lumayan deras. Jadi, tak perlu es teh manis?
Paling
pas, teh hangat. Atau, ya kopi. Kopi lebih pas. Sruti sebelum tampil sempat
mengajak saya, jangan pulang buru-buru ya mas. Kita ngobrol-ngobrol dulu,
sambil ngopi yiuk nanti. Saya senyum dan mengangguk setuju.
Kamipun
meninggalkan gedung turun ke lantai bawah, masing-masing. Sruti ditemani oleh
keluarganya serta Dara Bunga Rembulan
Nan Indah, asisten pribadi yang mengatur seluruh jadwal manggung Sruti. Saya
ditemani pendamping tetap saya deh.
Kamipun
berpisah. Oh ya,Indro dan teman-teman musisi lain juga sudah tercerai berai,
pulang masing-masing. Oh ga jadi dong ngopi-ngopinya, dengan Sruti? /*
No comments:
Post a Comment