Saya
diajak Sruti Respati, untuk
menemaninya. Pas dengar eventnya dan lokasinya, Prambanan Jazz Festival. Wuaaaah, imajinasi inipun menari-nari
liar, indah dan warna-warni. Bayanganku kan, ini seru nih! Prambanan itu
wuih...eksotis betul. Agung, gagah, mistis, mempesona.
Saya
teringat, ada beberapa acara, skala lumayan besar ya, digelar di pelataran
Prambanan itu. Menarik betul. Indah sekali. Dimana areal kompleks candi
betul-betul dimanfaatkan menjadi lokasi tak terpisahkan dari acara. Sebagai background oh indahnya.
Keren
banget. Pasti asyik kalau di foto-foto. Angle
bisa dari mana-mana. Kalau jadinya begitu, kudu bawa lensa-lensa nih, kalau
perlu 2 kamera deh. Ya saya bayanginnya pasti saya bakal “kalap” untuk
memotret!
Ya
candi Prambanan sebelum ini sudah kerap digunakan berbagai acara musik. Baik
skala nasional, ataupun internasional. Candi yang bernama lain Candi Roro
Jonggrang, yang adalah candi Hindu terbesar di Indonesia, yang dibangun pada
abad ke 9 Masehi. telah masuk sebagai situs warisan dunia Unesco. Dan dipilih
sebagai salah satu candi terindah di Asia Tenggara.
Dan
setiap bulan purnama, dalam areal candi, disajikan penampilan sendratari
Ramayana. Kabarnya, sendratari tersebut, digelar rutin sejak 1960-an. Yang
lantas menambah pesona Prambanan, sebagai salah satu destinasi penting para
wisatawan, asing maupun domestik.
Saya
sampai di Yogyakarta, sehari sebelum festival berlangsung. Kemudian di hari
pertama event, saya sudah bersama
Sruti Respati, mulai sekitar 13.30 wib. Sruti pun bertemu dengan grup musik The Doctor and the Professor. Ia memang
akan menjadi bintang tamu khusus, dalam penampilan grup tersebut.
Oh
ya nama acara selengkapnya adalah Prambanan
Jazz International Festival. Diadakan oleh Rajawali Indonesia Communication. Dan tahun ini adalah tahun kedua
penyelenggaraannya. Tahun kemarin,mengetengahkan headliners Kenny G dan Trisum yang adalah Tohpati – Dewa Budjana – Wayan Balawan.. Tahun ini nampaknya format
festival diperbesar. Dan menampilkan lebih banyak lagi artis penyanyi, musisi
dan grup band.
Sruti
Respati bertemu dengan “the doctor”, Teuku Adifitrian, lebih dikenal sebagai
Tompi. Serta “the professor”, Tjut Nyak Deviana Daudsjah. Grup
tersebut didukung pula oleh bassis muda, Shadu
Shah Rasjidi. Dan drummer, Wahyu
Prastya. Mereka berlima siang terik itu, memanfaatkan jadwal untuk sound check, selama sekitar 60 menit.
Sedap
betul nih pemandangannya. Langsung deretan candi dalam areal Candi Prambanan,
terlihat sebagai background dari
stage utama, yang diberi nama Panggung Brahma itu. Oh ya ada disediakan 2 stage. Stage lain adalah Panggung Wisnu,
disebut BNI Stage. Latar belakangnya juga pemandangan eksotis candi tersebut.
Keren betul nih. Ngebayang malamnya pasti indah dan menarik banget.
Saya
pilih stay dan berkeliling areal
festival saja, selepas Sruti menyelesaikan sound check dengan Tompi, Tjut Nyak
Deviana serta Shadu hah dan Wahyu Prastya. Terik matahari sih lumayan
menyengat. Saya putuskan, saya bertahan saja di venue. Biar bisa menonton,
tentu dong sambil memotret, sejak performers
pertama tampil.
Ya
saya puaskan berkeliling, sambil memotret. Lantas sekalian mencoba
mengira-ngira angle untuk foto-foto.
Well, yah supaya menghemat tenaga gitu deeeh, saya pilih posisi areal dekat
stage sajalah. Artinya, ada dalam barikade di bibir panggung saja. Soalnya,
penonton makin banyak, perlahan tapi pasti terus bertambah jumlahnya.
Ok back to the stage.
Emang syuuuur kali pemandangannya.
Saat Everyday, kelompok jazzy dari
Yogyakarta membuka acara. Rada telat hampir sejam, dari jadwal yang ada dalam
rundown. Kelompok ini sanggup membuai penonton dengan musiknya. Belum begitu
banyak sih penontonnya.
Reagina Maria a.k.a
Riri, ahay suaranya itu. Ah, kamu,
‘ri! Itu aja sih komen saya untuk Everyday. He he he. Yang penting, saya
terhibur. Kayaknya penonton juga deh. Selanjutya, ada Dinno Alshan, juga dari Yogyakarta. Kalau Riri cewek, nah ini Dinno
ya cowok. Lumayanlah. Lumayan?
Yaeyalaaaah,
daripade lumanyun? Eh bentar, maksud saya, penonton toh ga ada yang keliatannya
manyun gimana gitu deh, pas Dinno dan band-nya tampil kok. Ada juga yang
kayaknya sih tau Dinno dengan musiknya itu, jadi cukup antusias menyambut musik
yang disajikan.
Saya
terus terang menikmati pemandangan panggung dan deretan candi sebagai latar
belakangnya. Asyik nih. Sementara waktu makin sore, mendekati Maghrib.
Pemandangan makin eksotis tuh. Lembayung senja membuat suasana terkesan, romantic. Uhuy!
Pas
deh dengan suguhan lagu-lagu dari performer selanjutnya. Yiatu Marcellius Kirana Hamonangan Siahaan,
alias Marcell. Penampilannya minimalis saja. Cukup kibordis
dan saxophonis. Udah, itu aja. Plus 2 backing
vocal. Cukup ga ya, dengan format
“hanya” segitu itu?
Marcell
yang memakai stelan merah-merah ternyata yaaaa....minimalis, kenapa tidak? Gitu
deh. Yang penting memang...pede aje! Penonton luluh juga. Terasa sih tak begitu
peduli, mau Marcell didukung band penuh atau band “mini”. Hits-nya itu, bikin penonton asli “klepek-klepek”. Rela nyanyi bareng dong, so pastilah! Lebih luluh, kalau Marcell berbisik-bisik gitu...?
Selesai
Marcell. Break time Maghrib dulu.
Setelah break, panggung Wisnu itu
diisi solo singer lain, Rio Febrian. Nah Rio formatnya band. Agak
aneh sih rundown-nya. Dari Marcell ke
Rio. Jenis musik poppish mereka itu,
bisa dibilang “satu keluarga”lah. Mirip gitu.
Tapi
apa penonton peduli soal itu? Ga yakin juga ya. Toh mereka tetap antusias
menyambut Rio Febrian kan? Nyanyi bareng juga. Keplek-keplek juga. Hanyut juga.
Yaaaa nampaknya, tak terlalu masyalahlah.
Well, so far, ok ya
jazzy jazzy and pop pop. Jazz festival ini nampak makin
menaik tensi pertunjukkannya. Lantas muncul, Shaggydog! Suasana menjadi riang gembira. Shaggydog mengajak ber-pogo eh ber-skanking penonton. Aha, sudah tak lagi penting-penting amat,
nge-jazz atau bukan. Yang penting suasana tambah meriah.
Setuju?
Akurlah. Inilah festival. Jazznya, kan ada nama jazz-nya juga? Jazz masa kini
itu, bisa cem-macem, sob. Musik apapun
bisa dianggap jazz. Kalaupun tidak ya, jezz lah, atau...apa ya, jesss kali?
Maksudnya apa?
Maksudnya
gini, setelah Shaggydog yang asal Yogyakarta itu, tampillah Trio Lestari! Penonton makin sukacita
coy. Yoih dong. Tompi, Sandhy Sondoro dan Glenn Fredly, what can u say
about them? Totally entertain. That’s it. Penonton enjoy, so pastilah!
Baik
itu ketika mereka tampil bertiga, sebagai Trio Lestari seutuhnya. Eh iya dengan
iringan band lengkap ya, format combo dengan dua kibordis dan saxophonist juga.
Atau ketika mereka satu persatu membawakan lagu-lagu hits mereka masing-masing.
Trio Lestari itu, aaaah...lestari alamku, lestari negeriku.. Lestari
ketiganyalah.... Penonton kan jadinya, “adil dan lestari” juga adanya. Ngerti ora son?
Dan
panggung Wisnu pun selesai. Giliran panggung Brahma, untuk special show. Oh ya
sementara pemandangan belakang panggung ah, sayang! Spotnya kurang euy untuk ke candi-candi itu. Spot ke candi
tipis-pis. Agak di luar ekspektasi saya sih. Saya pikir ya, ada titik-titik
lampu yang bakal memunculkan lebih tegas suasana pesona candi Prambanan itu.
Yah
sudahlah, apa mau dikata? Oh saya sempat pikir, mungkin di panggung Brahma,
karena panggung utama kan. Suasana background akan lebih menarik ya? Who knows,bro? Boleh dong berharap?
Nyatanya?
Muncullah Rick Price. Sendirian.
Gitar akustik dimainkannya sambil menyanyi. Ia tampil sekitar 30-an menit saja.
Hitsnya dibawakannya ya, ‘Heaven Knows’ lah pastinya. Apalagi coba? ‘Nothing can
Stop Us Now’, ‘If You Were My Baby’, ya pastinya juga.
Karena
musiknya adem-tentrem begitu, maka penonton juga terkesan adem? Ada kok yang
ikut menyanyi. Tapi saya pikir, kalau saja diriingi full-band, Kalau saja.... Rick Price yang asal Australia itu kayaknya akan lebih
menarik. Ya iya dong, dulu sih gondrong keren. Itu kan yang bikin banyak
perempuan kayak termehek-mehek sama ballad-hits nya....
Kalau
sekarang, Rick Price yang menetap di Tennessee, ya lihat saja karya
jeprat-jeprut saya. Ya dewasa betul. Dewasalah, masak dibilang...tuwir?
Suaranya itu masih membuai sih.
Berikutnya,
adalah tiga pria berkulit hitam, bersuara emas! Boys II Men. Dan....tanpa band pengiring juga. Mereka bertiga,
bernyanyi minus-one saja,
saudara-saudara sekalian! Untung bertiga, rajin goyang juga. Rajin “menata” blockinglah. Mondar-mandir gitu di atas
panggung.
Mereka
kan sekarang bertiga saja dengan Wanya
Morris, Nathan Morris dan Shawn Stockman. Mereka juga seperti
halnya RickPrice, adalah nama-nama yang melesat naik di era 1990-an. Boys II
Men lebih fenomenal sih. Ya iyalah, bayangin hits mereka, ‘End of The Road’
bisa menguasai tangga pertama Billbord
Top-100 selama 13 minggu saza! Lantas disusul hits lainnya, ‘I’ll Make Love
to You’, yang malah lebih sukses lagi, numero
uno di charts selama 14 minggu!
So
pasti hits mereka tersebut dibawain dong. Itu lagu yang bisa jadi....macam lullaby kaum muda di era 1990-an. Tak
cuma model lullaby tapi juga...lebay? Ah ga lah. Itu lagu romantis, coy. Siapa
yang ga “kebanting-banting” hatinya saat menikmati lagu itu? Hayooooo.....
Apalagi cewek!
Well,
bertiga saja, tanpa band juga. Tapi mereka lebih enak untuk dinikmati. Karena
reputasi sih ya? Pemenang Grammy Awards
kan, di tahun 1995. Merebut gelar Best
R&B Album serta juga Best
R&B Performance by a Duo or Group. Catatan record itu, kayaknya jadi
jaminan lah ya...?
Nah
selanjutnya, ini bener-bener pamungkas Prambanan Jazz Festival 2016. Penampilan
The Doctor and the Professor dengan bintang tamu spesial, Sruti Respati. Ini
nih akhirnya....aha, ada juga yang “paling nge-jazz”. Syukurlah ya. Ada yang
jazz juga lho. Walau entah kenapa, nama Sruti Respati hanya disebut sebagai Sruti
saja oleh semua MC yang ada di acara tersebut.
Sebelum
naik panggung, Annas Syahrul Alimi,
sebagai “komandan” utama dari Rajawali Indonesia sempat bergurau mengatakan
kepada Sruti, ya terakhir mainnya tapi lihat dulu siapa pembukanya dong, pemenang Grammy Awards lhooo! Sruti hanya
tersenyum. Saya juga sih, karena kebetulan berada di antara mereka.
Mereka
menghibur kok, ngejazz tapi tak lantas berkesan rumit. Penuh canda tawa.
Apalagi saat Sruti naik panggung, suasana Jawa langsung membuat suasana itu
beda deh. Eksotis, manis, kinyis-kinyis
gimanalah ya. Ya ga sih, buat yang sempet nonton? Penonton pasti setuju dengan
pendapat saya itu.... Yakin amat?
Sempat
dikawatirkan, mereka tampil terlalu larut malam, jangan-jangan penonton udah
pilih pulang? Ternyata, kekawatiran itu tak terbukti kok.Sebagian besar
penonton tetap bertahan. Antusias malah menyambut penampilan kelompok band
lengkap itu.
Apalagi
kemudian tetiba muncul juga Idang
Rasjidi. Yang diminta Tompi untuk naik panggung, mainkan satu lagu. Itu
lagu terakhir mereka. Penonton cukup surprised
dengan kejutan itu dan menyambut hangat.
Apalagi,
pada “segmen” terakhir Idang ber-jammin’
spontan, sempat terjadi atraksi piano-duet. Satu electric piano di”keroyok” oleh sang “master , the legendary”, Idang nan
Rasjidi. Serta professor lulusan pendidikan tinggi musik di Freiburg, Jerman
untuk piano klasik dan komposisi, Tjut Nyak Deviana Daudsjah. Pemandangan yang
mengasyikkan tentunya.
Sebelumnya,
Idang menjadi pianis, sementara Deviana serta Tompi, saling bersahut-sahutan
dengan scat-singin’. Spontanitas
begituan, menjadi gimmick yang
menyegarkan. Karena suasana penonton menjadi segarrrr, maka ribuan penonton
yang tetap bertahan menonton itu langsung aja deh kasih applause hangat.
Ya
begitulah cerita dari saya tentang jalannya Prambanan Jazz Festival. Tidak jazz
sih, iya ya, kenapa juga harus memakai nama jazz di situ? Kalau pendapat saya,
tak terlalu perlu memakai nama jazz, nanti dianggap latah lagi?
Prambanan
itu kompleks candi yang eksotis dan menawan. Musik bisa apapun, ya artinya ga
harus jazz kok. Apalagi kalau saja ya, keberadaan candi itu benar-benar
dieksploitir maksimal, sebagai pemandangan belakang panggung. Ah, mempesona
dan...sulit dicari tandingan keindahannya! Setuju?
Kemudian
juga, saya berandai-andai lainnya nih. Kalau saja tata lampu lebih maksimal.
Pasti lebih menarik untuk dinikmati mata. Jadi kan, sound bagus empuk deh ditangkap kuping. Lighting
yang bagus, enak untuk ditangkap mata. Akan menjadi sajian tontonan hiburan
musik yang komplit. Dan bikin penonton pulang dengan lega, puas dan bisa tidur
nyenyak.
Hehehe,maaf
ya. Maaf banget, saya rada cerewet kalau soal lighting. Urusannya kan untuk
jeprat-jeprot-jeprit juga sih. Biar hasil foto dari para fotografer itu
cemerlang lah gitu. Tapi gimana ya, saya juga maklumi, kalau mengejar isi
artistik yang “ideal”, bisa jadi perlu dukungan dana tambahan juga sih.
Pilihan
sulit jadinya. Pilih artistik lebih mendekati sempurna dan ideal kah? Atau
pilih, bisa memanggil nama-nama populer dan dikenal luas? Buat datangin
penonton banyak kan, ya “penawaran” penampilan nama-nama populer dong lebih
ampuh?
Di
malam berikutnya, yaitu malam kedua. Giliran tampil adalah MLD Jazz Project lalu Yura
Yuniar, Mocca kemudian Tulus dan Raisa, di panggung Wisnu. Sementara di panggung Brahma, muncul
sebagai pengisi special show nya adalah Glenn
Fredly, Krakatau dan Kahitna. Seru juga sih. Yang pasti,
ngeband banget!
Ya
jazz or not jazz. Seperti saya tulis
di atas kan, jazz hari ini cem-macemlah. Anggap saja jazz, toh mereka semua,
yang dianggap “tidak jazz”, kan juga tampil memeriahkan Java Jazz Festival?
Sebagai sebuah festival jazz akbar yang menjadi panutan, pemicu dan “role-model” bagaimana sebuah festival
jazz itu.
Pada
akhirnya kan, mereka juga tampil memeriahkan banyak panggung festival jazz
dimana-mana, yang menjamur terus pada beberapa tahun belakangan ini. Eh iya,
menjamur tapi toh juga sebagian festival itu hanya berumur 2 atau 3 tahun
saja.Lalu, selesai. Cheriooo and bye bye.
Prambanan
Jazz Festival relatif besar. Asyik juga lho lihatnya. Gimana ya, bikin festival
segede itu? Hahahaha. Secara dua festival jazz yang saya ikut jalankan dan bikin
yaitu Solo City Jazz dan North Sumatra Jazz Festival, tetap relatif mini. Wuah,
ga ada apa-apanya dibanding festival kayak Prambanan Jazz Festival itu.
Segitunyapun,
kedua festival itu sudah berlangsung 6 kali, akan masuk ketujuh kali. Lalu satunya
lagi, sudah lima kali lho. Tapi mungkin karena terhitung, eh atau dianggap
“terlalu kecil”, ya ga kelihatan. Itupun masih terus menerus harus
diperjuangkan maksimal.
Menarik
mengamati bahwa festival jazz seperti yang di Prambanan, ternyata bisa menarik
minat beberapa pihak BUMN. Berhasil mendapat atensi dari peusahaan besar
telekomunikasi, sehingga berkenan memberi support total.
Festival
jazz itu, sebagian besar belum tentu menarik pihak BUMN. Ataupun
perusahaan-perusahaan besar, ya baik telekomunikasi, bank atau rokok misalnya
ya. Bisa sih berharap, maksudnya ada peluang ya, meminta dukungan dana
pemerintah. Ambil “ceceran” dana dari dana pariwisata misalnya.
Tapi
urusannya tetap saja tak semudah membalik telapak tangan. Prosedur yang harus
ditempuh, ga mudah. Sudah tak mudah, ealaaaa...juga tak menjamin akan dapat
kucuran dana dukungan setiap tahunnya! Hahahayyy,
doski curcol dah....
Membuat
festival jazz, dengan konsep dicoba khas, punya identitas tersendiri,
diupayakan keunikannya. Dan, nah ini nih terpenting, dijaga baik-baiklah
ke-jazz-annnya. Ah ga juga menjamin, bahwa akan di “apresiasi” atau ya minimal,
“dilihat” orang.... Kudu berdarah-darah tuh. Ga tau sampai kapan
berdarah-darahnya.
Untung
saja,masih ada semangat, masih ada tekad. Masih tersisa “secuil” idealisme. Ya
jalani terus dan terus saja, terus berusaha cari sponsorlah. Cari dukungan dana
dari pemerintah misalnya. Ga mudah lho!
Itulah
sebabnya, jadi ga heran, kalau semata-mata bergantung dengan dana dari
pemerintah saja, sudah berapa festival jazz akhirnya....gulung tikar? Tak lagi
terdengar pergerakannya....
Apakah
memang festival jazz yang “ideal” di sini, memang harus mau “tidak jazz-oriented only”? Harus "jangan terlalu jazz, tapi yah jazzy-lah" Kudu buka pintu hati,
supaya mau mengambil nama-nama populer, biar penonton lebih banyak? Dan yang
terpenting, sponsor antusias mendukung?
Festival
jazz, ada yang sebagian dibikin memang lebih terkesan “sangat meriah”. Dengan
kata lain, jor-joran asli! Berusaha
menjadi yang terbesar. Skalanya yang dikejar. Jazz atau tidak jazz, lantas
menjadi nomer sekian. Jazzy ajalah. Eits sudah ah, soal festival jazz kan sudah pernah saya
bahas di tulisan saya sebelum ini.
Well,
cukup sekian dulu ya. Iya, maaf juga laporan pandangan mata saya hanya sehari
saja. Pada hari kedua, saya sudah harus pulang buru-buru. Pertama, karena
“jatah”nya memang hanya sehari, walau ternyata eh eh eh ga juga lho! Gimana
siiiih? Hihihihi...Tapi ya kedua, saya memang ada acara lain di Jakarta, yang
penting banget. Acara yang pengen banget saya bisa hadiri, walau
nyatanya.....ah telat juga!
Ok overall ya, Prambanan Jazz International Festival 2016 menghibur. Penonton kayaknya sih memang terhibur.... Hiburan alternatif yang memang sehat. Kalau sehat, ya memang sehat dan segar. Kayak minum vitamin, penambah darah dan tenaga. Bisa bikin awet muda juga? Insya Allah.....
Ok overall ya, Prambanan Jazz International Festival 2016 menghibur. Penonton kayaknya sih memang terhibur.... Hiburan alternatif yang memang sehat. Kalau sehat, ya memang sehat dan segar. Kayak minum vitamin, penambah darah dan tenaga. Bisa bikin awet muda juga? Insya Allah.....
Sampai
bertemu di Prambanan Jazz Festival tahun mendatang. Mudah-mudahanlah diundang
lagi. Semoga tahun mendatang lebih baik lagi. Salam Jazz Indonesia! Lebih
tepatnya, salam jazz di Indonesia kita.... /*
No comments:
Post a Comment