A
photograph can be as striking and as haunting as a great painting or a fine poem – *
Memotret
lagi deh.
Iseng-iseng
lagi? Gini, memotret buat saya dibawa, santai-santai saja. Ga ngotot. Ga nepsong gimana gitu. Jangan lari ke arah
horny. Eh ini mau motret apaan sih?
Hahaha.
Maksudku,
ya santai saja. Tapi emang pengen. Niat. Dan jangan lupa, tau apa yang akan
dipotret.
Terima
kasih masBro EMIL ”DDO/SoG”, the Guitarist. Atas undangannya. Emil kirim eflyer acaranya, saya jawab, “Kereeeeeen. Sukses ya bro....”. Dia
pun segera respon, “See you there kan bro”.
Ya, diundang ga enak hati untuk menolak. Iya dong.
Tapi
selain rasa ga enak hati. Yang lebih “serius” itu, ya saya ok boleh juga motret
(lagi) State of Groove alias SoG. Juga Easy.
Kedua
band itu yang akan main. Easy dari Bandung membuka acara. Ditutup SoG.
Keduanya, saya sudah beberapa kali kok memotret. Seneng aja. Karena
keduanya itu, para personilnya rata-rata ekspresif di panggung. Enak aja untuk
difoto.
Karena
itu, saya merasa kenal dekat. Maksudnya, kamera dan lensa saya tuh, sudah
lumayan akrab dengan kedua grup itu.
Jadi,
ya 2 Agustus malam, saya sudah berada dekat sekali dengan venue. Isi perut
dulu, biar nanti minumnya enak! Minum apaan? Iya kan, abis makan, harus minum
dong. Nanti seretlah, tenggorokan ini? Sebetulnya, janjian untuk
ngobrol-ngibril dulu dengan EMIL, tapi waktu beliau mepet, abis sound-check.
So, hanya makan saja.Emil, urung untuk datang makan bareng.
Perabotan
tempur, sudah siap untuk menembakkan kiri-kanan nanti. Lensa pake yang zoom,
dari wide to medium saja. Cukuplah. Ga bawa yang lain-lain, lha emang ga punya!
Saya tuh, motret terbiasa pergunakan apa yang punya ajalah. Maksimalkan. Kalau
merasa ga bisa motret, dikarenakan terkendala alat, dalam hal ini lensa, ah ya
sudah ga usah motret. Jangan jadi fotografer. Simple!
Kamera,
dan lensa-lensa itu hanya alat kok. Medium. Foto adalah rasa, dan dengan
“sedikit” perhitungan. Adanya itu di benak pikiran dan hati, yang motret.
Katanya kan, depends on the man behind
the gun.
Kata
Yousuf Karsh, Armenian-Canadian portrait photographer, yang disebut Time sebagai
salah satu pemotret potret terbaik abad ini. Nah dia bilang, Look and Think before opening the shutter.
The heart and mind are the true lens of the camera. Sangat perlu diingat
tuh....
Itu
benar sih. Supaya jadi “the Man”,
maksudnya fotografer. Ya banyak-banyaklah memotret. Dengan digital-camera sekarang, ga susah untuk sebanyak-banyaknya
memotretlah. Zaman analog kan harus mikirin rol film, belum lagi cuci atau
prosesingnya. Abis itu cetak. Dengan digital, gambar kurang ok dikit, tinggal delete.
Buat
saya, memotret adalah kesenangan. Refreshing.
Dinikmati momen ke momennya. Jepret demi jepretnya. Tetap memotret, karena
senang. Tak terlalu peduli, saya terbatas peralatannya. Memotret adalah
ke-pede-an, keyakinan. Kalau tak pede, ga yakin, well...simpan kamera en lensa di rumah saja.
Biar
pede dan yakin, biasakan. Jalannya ya gitu, banyak-banyaklah memotret. Memotret
apapun. Jangan terlalu buru-buru ambil spesialisasi. Akan ada proses itu,
kelak. Ya bagusnya ada spesialisasi itu. Tapi paling asyik, kalau menjajal dulu
semua jenis fotografi.
Saya
menjalani proses itu juga, pastinya. Dari studio-works
segala. Memotret interior, eksterior, makanan-minuman. Tentu juga fashion atau mode. Still life, pernah. Portrait
juga. Saya memulainya dulu dengan potrat-potret iseng beneran. Kamera sederhana
betul, pocket jack!
Memulai
dari jelang pertengahan 1980-an, memotret acara-acara musik. Jadi, langsung
melangkah dengan menulis dan memotret sendiri. Dasarnya, saya suka aja. Ya suka
menulis, jadi penulis atau wartawan gitu. Memotretnya juga suka banget. Ga
pernah tuh mikir atau jadi rendah diri, karena kamera dan lensaku biasa banget.
Kemudian
ya memotret yang lain-lainnya itu. Akhirnya, balik lagi, memotret panggung. Ga
hanya acara musik, tapi juga teater, tari termasuk modern-dance, juga apa lagi ya? Oh ya, musikal juga.
Kalau
memotret panggung, apa sih yang saya persiapkan? Fisik dulu dong, harus relatif
fit. Jangan lemaslah, nanti jadi males bergerak untuk mencari angle. Mata juga kudu baik kerjanya.
Modal utama emang badan kita dulu.
Baru,
peralatan. Yang penting kamera dan lensa siap untuk dipergunakan. Oh ya, jangan
lupa, memory-card atau SD-card kosong deh. Reformat saja. Begitu harus saya lakukan, setiap akan memotret satu
acara.
Seperti
acara bertema Brotherhood, dengan
Easy dan SoG kemarin itu, di Lefty
Suites-Foodism. Datang lalu lihat gimana suasananya, gimana situasi
panggung. Besarnya, kira-kira blocking-nya.
Penempatan para musisi, begitu maksudnya. Lalu juga lampu-lampu panggung.
Ternyata
venue itu, baru direnovasi. Dulu sempit dan kurang nyaman. Baik untuk penonton
dan fotografer desain sekarang ini. Udah dipugar, eh jadi lega dan relatif
nyaman. Cuma kayaknya lightings untk
panggung, masih belum “dipugar”. Tetap terbatas, Hanya beberapa titik saja,
dengan memakai Par-LED.
Jumlah
lighting begitu, dengan penempatan terbatas, pada akhirnya, lebih ke flat spot saja. Tak ada nuansa, ga ada
kedalaman. Lighting dispotting
langsung ke stage, yang mana semua flat, jadi tak ada main-light, fill-in,
nuansa.
Tak
ada background lighting misalnya.
Atau untuk backlight. Tak dipakai moving light, sehingga ga ada nuansa.
Biasanya nuansa bisa dibangun, dibentuk lewat moving yang shower
jenisnya.
Yoih,
catatan saja dari saya. Kalau mau lebih asoy lagi panggungnya, pihak Foodism,
boleh pertimbangkan pemakaian tambahan 4-5 moving light. Tempat menggantungnya
sih saya lihat ada kok. Sehingga bisa bikin suasana live-show jadi lebih keren lagi.
Kalau
suasana panggung keren tata cahayanya, enak dan nyaman untuk fotografer
memotret. Alhasil, hasil foto-foto akan bagus, kaya variasi, warna-warni
siraman cahayanya lebih memikat. Orang akan senang melihatnya.
Jaman
social-media begini pula kan? Ketika
foto-foto itu lantas di upload ke
media-media sosial, bahkan dengan cukup kamera handphone saja. Akan cerah dan menarik dilihatnya. Kalau sudah
memikat begitu, effect bagusnya kan,
venue itu sendiri yang terangkat namanya.
Motret
di situ enak, foto-foto gw jadi
keliatan bagus-bagus deh. Bisa dipuja-puji di path atau facebook ya
misalnya. Bisa begitu nanti, orang-orang omonginnya...
Asyik kan image tempatnya?
Ya
jadi kemarin itu, lihat sesaat spotting lightingnya kemana. Mainnya warna apa
saja. Ternyata kan, lightingnya itu tidak didesign khusus, dimainkan secara manual
kayaknya. Eh atau flat saja ya, langsung di-locked
gitu? Tinggal speed saja, sedikit di adjust. Semua warna bergantian bersinar.
Ini
problem dikit dah. Lampu merah tuh ya, kalau untuk kamera, kurang asyik.
Jatuhnya, akan jadi nge-block.
Apalagi kan, seperti saya bilang di atas tuh, lampu terbatas. Ketika merah
menyala, ya ga ada fill yang mengimbangi, jadi pasti nge-block dengan rata.
Foto tuh jadi apa ya, mentah lah gitu.
Sebenarnya,
main satu warna begitu, ya pasti sifatnya nge-block rata. Menyeluruh. Kurang asyik
sih. Tapi terutama ya, ini menurut saya lho, khususnya untuk merah dan kuning
deh. Ga enak untuk ditangkap lensa kamera. Baik foto maupun video.
Walau
ya tata lampu di Lefty Suites itu,
masih lumayanlah. Kebanyakan venue lain, lebih terbatas lagi.Ya lebih bikin
fotografer “susah”lah gitu. Hehehehe. Ga tau ya, venue model cafe atau clubs, kenapa ya kurang peduli degan design lighting yang bagus.
Padahal tempat itu,sering menggelar event
music-show.
Karena
handicap itu, memang mau tak mau,
pelajari saja dulu lampu-lampunya. Arahnya kemana dan gimana pancaran sinarnya.
Setelah itu baru memotret. Ya ketika sudah memotret, saya pun terbiasa
“berkeliaran”. Tak terpaku hanya di satu titik angle. Ada close-up nya, medium close up,
medium long shot atau long shot.
Bagusnya,
kalau sudah tau band yang akan manggung, kita jadi punya modal bagus. Sudah
kenal gimana ekspresinya. Tungguin saja.... Kebiasaan stage-act nya misalnya, bisa ditungguin.
Itulah
yang saya tulis di lead tulisan ini.
Tau apa yang akan kita potret. Kita tau musiknya gimana. Supaya hasil foto
nanti, bisa “berbicara”. Kan kalau foto yang “baik dan benar” itu, harus bisa
menggambarkan “keadaan” apa yang kita abadikan tersebut. Baik dan benar, itu
utama. Bukan bagus. Karena foto yang bagus itu, relatif sifatnya.
Kalau
dalam musik, artinya memberi gambaran seperti apa musiknya. Ya kerasnya
musiknya, metal gimana, kalemnya seperti apa, jazz gimana. Yang bisa didapatkan dari ekspresi si penyanyi atau musisi
serta stage actnya. Kalau konsernya
besar, bisa didapatkan image itu dari tata panggungnya. Termasuk tata cahanya.
Perlu
banget diingat-ingat nih, bisa lewat berbagai tahapan. Tahapan latihan, dengan
jalan memotret terus dan terus. Hasil foto, lihat dan perhatikan saja. Selain,
biasakan membandingkan dengan hasil-hasil foto dari fotografer lain. Terutama fotografer-fotografer
berpengalaman.
Lihat-lihat
buku foto deh, banyak melihat foto-foto yang baik dan benar itu. Akan melatih
kepekaan, juga termasuk menstimulan kemampuan dalam mengolah foto. Kemampuan
membentuk kompisisi, pencahayaan. Merangsang efektifitas kreatifitas.
Kalau
buat saya mah gini, kalau memotret sebuah konser. Baik konser gede maupun kecl.
Pertamanya, “mewakili” mata para penonton yang ada. Angle-nya dari sisi mata penonton. Ini berguna untuk “menyampaikan”
peristiwa yang ada kepada yang tidak sempat menonton. Sekaligus, bisa
mengulangi lagi pengalaman menonton konser itu bagi yang datang menonton.
Mewakili
mata penonton itu, lewat menggunakan lensa yang lebih lebar. Widelens, dapat menghasilkan foto dengan
komposisi foto lebar dan lapang, range
dari objek kan lebih luas. Wide-lens standar, saat ini bahkan sudah sampai 18
mm, jangkauan terlebar. Yang “medium” itu bisa lewat lensa lebar hingga 28 mm.
Kalau
memakai lensa lebih lebar, super-wide,
lebih ditujukan pada kreatifitas membuat foto menjadi “bermain”. Misal lensa,
15 mm deh. Efek distorsi, terutama objek yang tertangkap pada lensa, di pinggir-pinggiran
foto itu, malah menimbulkan kesan unik. Asal masih artistik saja, jangan malah
merusak gambar itu.
Kemudian
penggunaan lensa standar hingga medium, misalnya nih 50 mm sampai 85 mm hingga
135 mm, akan bisa menghasilkan foto medium
shot. Artinya, instrumennya tertangkap juga. Tentunya terutama untuk dapat
menangkap ekspresi. Ekspresi bermain gitar, ekspresi menyanyi dengan memegang mike-nya. Hingga juga drummer dengan set
drums-nya. Kan biasanya blocking drumset itu, di sisi dalam belakang panggung.
Pemakaian
lensa lebar hingga lensa standar, bisa dikulik juga. Antara lain, memainkan
komposisi. Menempatkan objek dan pelengkapnya. Nah ini menjadi seperti kreasi
kita sepenuhnya. Subyektif memang. Inilah datang dari diri kita sendiri.
Memainkan komposisi itu juga seru....
Sementara
lensa panjang atau tele, dari perhitungan 200 sampai 300an mm, lebih untuk
menangkap detil ekspresi. Sampai menangkap butiran keringat penyanyi atau
musisi, misalnya. Rambut yang kusut masai. Asap rokok dari gitaris, yang bermain
sambil merokok. Ya itu sebagian misal.
Tentunya
lensa tele, sangat berguna untuk memotret konser besar. Apalagi di outdoor. Dengan panggung yang pasti
lebih besar, dalam dan lebar. Bahkan banyak fotografer sekarang memakai hingga
400 mm. Karena seringkali, fotografer-pit,
yaitu ruang untuk para fotografer boleh memotret itu, diletakkan relatif jauh
dari panggung. Kalau takada lensa 300 mm gitu ya, maka objek yang dapat
ditangkap kan, ya pasti “kecil-kecil kayak butir jagung”.
Ok
itu, gambaran umum secara lebih lebar. Kembali ah ke memotret Easy dan SoG,
dalam konser Brotherhood Selasa malam kemarin. Ruang kecil, kita memungkinkan
untuk mendekat ke panggung.
Oh
ya, jangan lupakan etika memotret. Ini bicara etika moral. Kalau mau memotret,
sebesar apapun nafsu kita, please
lihat-lihat dululah. Ada ga pemotret lain. Dengan kamera dan lensanya,
capek-capek bawa dan siap memotret, kayak kita juga gitu. h kita main sradak-sruduk aja.
Main
motret ke depan, pas di bibir panggung misalnya. Lalu berdiri coy! Yoih, mendekat banget ke musisi atau
penyanyi. Ya boleh saja begitu, tapi tolong jangan lama-lama. Sesekali saja,
dan sekejap sekejap gitu. Kalau kelamaan, akan “merusak” foto dari fotografer
lain.
Selain
ya pastinya, menutup kesempatan angle dari orang lain yang mau memotret jga.
Kasihan kan? Kita mau memotret, ga asyik kalau “ketutupan” orang, bukan? Jadi,
jaga itu supaya janganlah kita melakukan hal begituan untuk fotografer lain.
Sama-samalah, saling menghormati saja.
Easy
duluan yang tampil kemarin. Setelah mbak Uga yang cantik, membuka acara. Maka
saya biarkan satu lagu mereka mainkan. Mendengar dan menyimak musik,lewat tata
suara yang ada. Serta, ini terpenting, melihat “permainan” tata cahaya yang dipakai.
Nikmati saja keseluruhan.
Baru
setelah itu, mulailah beraksi. mendekatlah ke panggung. Ambil, captured ekspresi dan aksi Vicky Abdie, gitaris yang di plotting
di sisi kanan. Di sisi kiri ada, Ivan
Godig, gitaris. Dan di belakangnya ada bassis, Rendhy Indrawan. Drummer di belakang, agak tengah, tempatnya Sansan.
Vokalis,
Farid Achmad, berada di tengah, tapi
agak sedikit kekanan, lebih dekat dengan gitaris Vicky Abdie. Ia tak terlalu
berpindah-pindah. Ya karena keterbatasan space
pada stage, tentunya.
Ya
saya tinggal ke sana kemari saja. Ke depan dan belakang. Sesekali, saya coba
ambil dari very low angle. Begitulah,
potrat-potret Easy, lima pemuda gagah dan cakep dari Bandung dan sekitarnya
itu.
Oh
iya, saya juga sambil memotret suasana penonton tuh. Keramaian yang ada, saya
jepret juga deh. Sesekali ya, karena lighting di sisi penonton itu minim, mau
tak mau, saya pakai flash. Tapi bukan
additional-flash, saya pilih pakai
saja built-in flash yang ada. Cukup
kok, untuk menerangkan foto. Flash tambahan juga mahal jack, saya ga punya duit untuk beli. He he he....
Abis
Easy, miss Uga memanggil State of Goove alias SoG. Saya siapkan diri lagi.
Memotretlah satu demi satu. Jeprat-jepret. Di sisi kiri itu ada, Chiko “the guitarkid”. Agak belakang Chiko, adalah posisi mas Djoko Sirat, bassis. Tengah, sang
vokalis nan gagah, Ariyo Wahab.
Belakang,
pada drums set ada, Arastio Gutomo,
yang tetap ganteng itu. Sementara posisi sebelah kanan, ada oom EMIL dengan gitarnya, yang pastinya
juga keren dong. Tapi ada dua tambahan nih, vokal latar. Mila Wahab dan Lesa.
Sayangnya,
Mila dan Lesa, berdiri di sisi belakang,yang kurang terjangkau cahaya, alias
spotnya rada gelap. Hampir senasib sih dengan drummer. Jadinya, rada susah memotret
kedua perempuan penyanyi itu. Ga bisa banyak di foto deh.
Nah
setelah SoG, lalu Ariyo dan EMIL memanggil para musisi yang menonton untuk
jammin’. Naiklah satu persatu, antara lain ada Iman J-Rocks gitaris dan menyanyi, Rival “Pallo” Himran, bassis. Rico
drummer. Juga Taraz Bistara, yang
satu lagu, bergitar. Eh lagu berikutnya, dia gantiin Rico, jadi drummer!
Musik
masih terus berbunyi nyaring dankeras. Suasana, makin lama makin puanaasss.
Saya lamntas menyimpan kamera dan lensa. Masukkin tas. Kemudian agak “diam-diam”,
meninggalkan venue itu. Maaf, hari sudah larut malam. Jadi, saya pulang,
sebelum acara benar-benar usai.
Tapi
kan inti acara sudah saya ikuti. Sudah banyak foto yang saya jepret. Begitu
sampai di rumah, saya check berapa
banyak foto yang saya buat, pas transfer dari SD card ke notebook saya. Lumayan lho, lebih dari 550 fotos! Tak terasa....
Yah
begitulah, saya berbagi pengalaman, kepada teman-teman yang mungkin suka
memotret. Mudah-mudahan bermanfaat buat yang ingin memotret lebih sering. Eh
saya mah, lebih senng disebut saja sebagai fotografer amatir-lah. Tapi sering
memotret. Itu saja.
Saya
kan, belumlah jadi “siapa-siapa” di dunia fotografi tanah air ini. “Hanya”lah
wartawan, dari tahun 1980-an, yang “kebetulan” suka memotret. That’s it! Saya senang, saya menikmati
dan saya....hidup. Asyik kan?
Hari
ini, banyak banget fotografer-fotografer muda bermunculan. Keren-kerenlah.
Apalagi, sebagian juga didukung perangkat tempur mumpuni. Kamera dan lensa,
kelas premium, coy. Saya salut sama mereka. Semangatnya itu....seruuu!
Bagus,
bagus juga fotonya. Eala, udah kayak pak Tino Sidin aja, bagus...bagus...bagus.
Tapi selalu ya jagan lupa, fotografi tak semata-mata karena peralatan. Jangan
sepelekan pada soal taste. Taste sih
tergantung orangnya.
Biar
taste bagus, gimana sih? Saya udah tulis juga kok di atas. Banyak-banyakin liat
foto-foto dari fotografer, terutama yang lebih senior dan berpengalaman. Itu
bisa juga jadi tahapan “memperbaiki” selera....
Eh
udah ya, cukup sekian dulu. Kalau ada yang kurang-kurang, maklumilah ya. Inget,
ini kan dari fotografer amatir. Hehehehehe. Nah selamat banyak memotret, buat
yang senang memotret. Cintai dan nikmati saja dulu, buat yang baru-baru mulai
iseng memotret. Memotret itu sih...gampang. Eh, gampang-gampang lucu lah.
Lucu?
Kok lucu sih? Iya, bayangin aja, karena keberadaan tehnlogi yang lebih maju,
memotret itu bisa pakai camera di handphone! Karena media sosial, banyak
kok orang lantas menjadi juga...fotografer! Itu membuktikan memotret itu,
ah...gampang. Dan ya lucu.
Foto-foto
itu, lewat hape, bisa dimacem-macemin
dengan pelbagai aplikasi tambahan. Tinggal download
doang. Udah ga perlu lagi...photoshop!
Beneran kan, bisa dibikin lucu-lucuan juga? Pake hape aje bisa motretlah.... Dan eh bisa...bagus! /*
One photo out of focus is a mistake,
ten photo out of focus are an experimentation,
one hundred photo out of focus are a style - - *
No comments:
Post a Comment