All I Wanna Do
is....show blues style! Well, mereka anak muda. Awalnya
trio. Kabarnya, mereka lantas bersepakat ngeband, karena kepengen main di
Jakarta Blues Festival, JakBlues. Kalau disingkat kan JBF. Nah awalnya, mereka
memang trio. Dan JBF sebetulnya
adalah huruf pertama nama ketiga personilnya itu.
Grup
ini lalu ditinggal sang drummer. Merekapun tinggal berdua. Fawdy Irianto (gitaris) dan Soebroto
Harry Prasetyo (bass). Posisi drummer, saat ini diisi oleh Seffrino Kamaludin. Jadi, formatnya
tetap saja trio.
Saya
pertama kali melihat mereka memang di JakBlues. Waktu itu saya cukup dibuat
mereka terkagum-kagum. Ini grup apaan sih? Mana masih muda-muda gitu
musisinya. Mainnya asyik dan....”bener”. So, langsung saya jadi suka dengan trio tersebut.
Dasar
musik mereka memang blues. Tapi dengan selipan unsur musik lain, macam rock,
funk, sesekali juga ada aroma fusion sedikit.
Bisa disebut, blues yang modern. Kebetulan kan, blues modern begitu,
mulai dikenal lagi.
Adalah
Gugun Blues Shelter, yang seperti
menjadi pelopor dari blues modern itu. GBS sukses menjadi kayak “lokomotif”
pergerakan blues di tanah air. Sebelumnya sempat ada juga, grup blues
bersaudara, Jaque Mate Blues Brothers
Band. Sayang Jaque Mate meredup, padahal saat mereka muncul pada awalnya, lumayan
sukses merampas perhatian penonton, setiap kali mereka tampil.
Sebelum
ada Jaque Mate dan disusul dengan GBS, blues di sini sempat mengenal beberapa
kugiran blues. Yang banyak wara-wiri di kafe ke kafe. Sebut saja Time Bomb Blues, dari Bandung, dan kelompok
blues ibukota, Big City Blues. Big
City Blues muncul di sekitar akhir 1990-an. Begitupun halnya dengan Time Bomb
Blues.
Blues
pada perjalanannya, tidaklah jenis musik yang populer di sini. Yang memainkannya ada saja
sih, cuma bukan musik yang sukses meraih atensi banyak penggemar.
Konotasinya
tuh, kalau mainkan blues, adalah bersuasana 1960-1970an begitu. Era itu, banyak
hits yang muncul dengan suasana blues. Lagu-lagu dari era tersebut, yang banyak
disajikan para grup band di sini.
Mungkin
lantaran hal itu, maka blues lantas dianggap musik “jadul”. Dengan cakupan
penggemar, generasi muda 1960-1970an. Kebetulan kan ya, kalau menilik dari
perkembangan musik dunia di era sekitar 1960-1970an itu blues termasuk yang cukup
populer. Bersaing serulah dengan musik progressive
rock, dulu disebut art rock.
Selain musik country-western. Selain
itu ada musik dansa-dansi, model boogie
woogie, twist sampai hustle.
Menariknya
ya, blues itu kayak atletik di dunia olahraga. Dianggap banyak kritikus,
sebagai biangnya musik. Atau induknya. Paling ga, gambarannya begini deh, blues
adalah salah satu “musik dasar”, yang pada perjalanan kemudian memicu lahirnya
rock dan jazz.
Eits,
nanti aja deh, saya tulis sejarah blues. Sekarang, balik fokus ke kelompok gres
bernama JBF alias Jakarta Blues Factory. Trio muda. Belom pade kawin nih. Udah
pada punya pacar? Tanyain sendiri ke Fawdy dan Broto. Broto? Losmen kaliiii?
Mereka
adalah anak muda,yang mencoba menafsirkan, melakukan semacam re-interpretasi
pada musik blues. Menelusuri, mendengarkan, mempelajari, mengulik. Tapi
rasanya, sebagai musisi muda di jaman modern begini, mereka juga pasti membuka
diri mendengar dan menyaksikan musik lainnya.
Seperti
halnya dengan Gugun, Jono dan Bowie dari GBS itu. Eh iya, Jono udah diganti
Fajar. Memberi angle tersendiri dari mereka terhadap blues. Soul-nya blues,
tapi bunyian akhirnya, mungkin bertendensi pada rock, sedikit funk?
Sebelum
muncul JBF, yang menyusul GBS. Seingat saya saya ada beberapa grup muda, dengan
pilihan sejenis. Menafsirkan kembali blues, sesuai dengan umurnya. Dan GBS
unggul di depan. Muncul lebih dulu.
Bisa
tampil di beberapa event internasional, di Amerika dan Eropa. Bahkan menyambung
dengan berkeliling lagi di USA. Musik mereka jadi sudah “go global”, kira-kira
begitu. Catatan begitu, membuat nama GBS jadi kesohor bener di negerinya.
Generasi
berikutnya, mau tak mau harus terima “nasib” lah. Akan “mengingatkan” publik
pada apa yang dihasilkan, grup yang lebih duluan populer. JBF, sejenis jadinya
dengan GBS? Pada awal penampilan mereka di JakBluesFestival, saya ingat, mereka
beda. Apa ya bedanya?
Mereka
lebih tight dan funk-nya lebih
berasa. Sedikit terkesan, lebih “kompleks”. Tapi ketika menyaksikan penampilan
mereka di Ecobar kemarin, dalam rangka peluncuran album perdananya, saya tak
menangkap musik yang mereka mainkan di festival blues beberapa tahun lalu itu.
Saya
yakin,pasti ada banyak orang, menganggap JBF jadi seperti GBS. Kalau mengamati
dan menyimak musik dalam gig mereka kemarin itu. Salah ga salah sih. Tapi kan
terserah mereka dong? Cuma saya memang merasa, ada pergeseran sedikit pada
musik blues mereka.
Pengaruh
dari mundurnya drummer pertama mereka? Atau, oh apa karena siasat mereka dalam “menjual”
musiknya ke khalayak ramai? Mencoba berkompromi dengan “selera pasar”? Ga tau
juga. Biar JBF yang menjawab. Mungkin sekali waktu nanti, saya bisa ngobrol
seru-seruan dengan Fawdy dan Broto Harry, soal masa depan mereka?
Soal
apa yang ingin mereka mainkan? Soal keluarga ideal yang mereka inginkan di masa
depan? Soal siapa cewek favorit mereka? Atau apa lagi, tempat berlibur favorit
mereka mungkin? Nomer sepatu dan celana?
All Wanna Do, begitu judul single mereka. Itu
juga kalau ga salah, judul albumnya. Saya belum bisa ngomongin eh menuliskan
lebih jauh dan lebih dalem, tentang album mereka. Saya belum dapat albumnya
soalnya. Dapat dari mana? Beli dong. Siapa tahu labelnya, bermurah hati? Ha ha
ha ha....
Akhirul
kata, sukses saja untuk JBF, untuk Fawdy dan Broto “Dirty” Harry. Hehehe, biar
lebih “raawkkk” gitu lho, namanya Broto. Kemarin itu main 3 lagu, sort of jammin’ dengan Sandhy Sondoro. Eh bagus lho. Sandhy
tuh bluesy banget orang dan karakter
suara en interpretasinya. Tehnik bagus pulak!
Kenapa
ga coba, seriusin aja kolaborasi dengan Sandhy Sondoo itu? Bikin bareng lagu,
selagu atau 2 dah, utak-atik bareng. Sapa tahu, jadi .... “sesuatu”? Ah cuma
ide usil sekilas. Karena, saya “hanyut” dengan ‘Purple Rain’ versi JBF feat.
Sandhy Sondoro kemarin itu.
Saya
pengennya bisa menikmati lebih “sempurna” JBF kemarin sih. Juga, menonton
sambil memotret. Agak ga dapat sayangnya. Sound well...yah gimana ya, so so
lah. Lighting juga a la kadarnya. Tapi venue
tersebut, memang jadi terasa “kelewat terbatas”. Kalau pengen menikmati musik
lebih nyaman, ideal, empuk. Untuk mengapresiasi musik asyik, yang jadi makin
asyik.... Kemarin sih, kurang euy.
Oh
ya ada band pembuka kan kemarin? 3 pemain harmonika sebagai lead di depan. Unik juga. Jakarta
Harpist namanya. Harmonikanya, kan tiga, kalau bagi-bagi bener dan lebih detil,
bisa lebih menarik. Harmonika kayak gantiin blowers
atau barisan tiup kan, jarang ada lho. Well, berproseslah. Selamat mengulik dan
latihan yooo.
Sukses
untuk JBF, Jakarta Blues Factory! /*
No comments:
Post a Comment