Menyaksikan
penayangan langsung musik di TVRI. Kayak menerbangkan saya ke tahun-tahun
doeloe. Jadi inget, nonton Spirit Band, Krakatau di acara Musik Malam Minggu Live.
Dalam studio TVRI Senayan. Dulu itu, masih seputaran 1980-an, acara itu jadi
acara andalan TVRI.
Bisa
dibilang, acara yang dikoordinir oleh pengarah acara, Syam NM, menjadi acara bergengsi. Soalnya banyak grup-grup band
ternama, terutama yang jazz(y), satu persatu diundang tampil. Digarap lumayan
bagus. Tata lampu dan tata suara diperhatikan cukup detil.
Karena
tayangannya bagus, maka banyak band memang tak akan menolak untuk tampil di
acara itu. Saya sempat datang menonton beberapa kali waktu itu, ya gitu antara
lain melihat Krakatau, Spirit, Emerald sampai Drive One Band.
Ingat,
waktu itu TVRI adalah stasiun televisi tunggal. Plat merah. Tapi hanya
satu-satunya. Stasiun televisi swasta belum ada satupun. Ga ada kompetiternya. Tapi
di saat dekat itu, TVRI juga punya acara-acara musik yang terbilang bagus.
Sebut
saja ada Orkes Chandra Kirana, misalnya. Chandra Kirana dikenal dengan konsep
tayangan menggunakan tehnologi chromakey,
yang jadi barang baru banget saat itu. Atau Orkes Telerama di bawah pimpinan
Iskandar, dilanjutkan dengan Isbandi. Jaman Aneka Ria Safari dan Kamera Ria
begitu populernya.
Banyak
musisi muda berbakat saat itu, yang kebagian tampil di kedua orkestra tersebut.
Misalnya saja, Chandra Kirana yang kerapkali melibatkan Elfa Secioria, dan
merupakan cikal bakal munculnya Elfa’s Singers. Di situ, demikian pula halnya
dengan Telerama, tempat munculnya nama-nama seperti Erwin Gutawa, Dewa Budjana,
AS Mates, Aldi, Uce Haryono, Yance Manusama sampai Embong Rahardjo, Udin Zach
hingga Didiek SSS. Dan banyak lainnya.
Nah
periode 1985-1990an itu, TVRI memang lumayan jazz(y) juga. Rada ke jazz-jazz
an, walau tak jazz banget. Karena banyak musisi muda yang memainkan jazz,
memang tampil di acara-acara tersebut.
Tapi
tayangan live waktu itu direkam, yang acara Musik Malam Minggu. Jadi Live Recorded. Ditayangkan biasanya 2
atau 3 minggu setelah syuting dilakukan. Syutingnya live, alias memakai sistem
perekaman suara langsung. Para performers
tampil beneran ya, bukan playback
atau minus-one.
Saat
itu, yang masih menggunakan analog, hasil perekaman live nya terbilang relatif bagus. Kan memang belum jaman digital,
pada equipment suara atau broadcast. Televisi stereo pun memang belum ada,
masih mono. Dengan media televisi mono, hasil akhir tayangan program televisi
itu, ya terbilang bagus. Baik audio maupun visualnya.
Setelah
stasiun televisi swasta bermunculan, perlahan tapi pasti TVRI kayak menyurut. Ya
ga mati, mana mungkin mokat jack. Punya
pemerintah! Ya tetap ada, sebagai apa tuh, “Stasiun Pemersatu Bangsa”. Itu
benar, karena hanya TVRI yang jangkauan siarnya ke seluruh penjuru Nusantara.
Acara-acara
di televisi-televisi makin variatif, makin warna warni. Makin, “mengkilap”?
Makin kinclong? Sementara TVRI nampaknya seperti mengalami stagnasi. Ya tahun
ke tahun, begitu saja. Sejatinya, soal hardware
untuk equipment-nya TVRI itu kabarnya
ya, malah unggul dari stasiun televisi swasta yang ada!
Belakangan
ini TVRI lumayan mulai mencuri perhatian. Ada beberapa konsep tayangan musiknya
yang mulai diperhatiin orang lagi. Ada acara jazz lagi. Ada acara Musik
Delapanpuluhan. Sampai acara Rock. Selain tetap menghidupkan acara musik lain
model Keroncong bahkan Country, dan so pastilah ... Dangdut!
Khusus
untuk Rock, diberi titel Taman Buaya
Beat Club. Lokasi syutingnya, di awal 2000-an pernah dipakai untuk program
reguler Blues Night. Nah, program
blues itu juga sebetulnya, sempat mulai dapat perhatian. Banyak musisi blues
dan rock ternama, bergantian muncul.
Sistem
perekamannya juga kali ini Live on Air. Mengundang penonton segala. Jadi memang
suasana seringkali lumayan ramai. Saya
pernah beberapa kali menengok juga, syuting acara blues itu, yang saat itu
dikoordinir oleh komunitas blues.
Bagus,
dalam hal pemilihan performersnya di awal-awal. Sayang, setting panggung,
maksudnya dekor memang terbilang rada out of date. Performers juga pada
belakangan, mulai terasa banget terbatas. Susah dihindari deh, yang nongol ya
jadi itu ke itu aja.
Stasiun
televisi lain, acara musiknya lebih variatif. Performers juga lebih ngetoplah.
Artis-artis top tampil. TVRI makin jauhlah. Terasa banget, makin ketinggalan
jaman. Belakangan ini, terisitimewa dalam 9-10 tahun terakhir, ini nih
kejadiannya. Stasiun-stasiun televisi swasta lalu terjebak, lebih memilih
program musik yang ratingnya bagus. Dan kreasi-kreasi inovatif pun makin minim.
Stasiun
itu lebih senang, lirik kanan-kiri, “memonitor” pergerakan kreatif stasiun
televisi swasta pesaingnya. Kalau ada program tertentu yang sukses, stasiun
lain lantas menyusulnya. Tak apa jadi pengekor, yang penting...iklan masuk.
Rating menjadi primadona, bray....
Yang
terjadi, program-program televisi rata-rata sejenis. Mau dari yang namanya
performersnya, temanya sampai pada dekornya. Dan termasuk tata lampunya. Nyaris
seragam. Sama-saa terang benderang saja. Dan ya pop jadi unggulan. Musik lain
mah, nomer sekian. Pop, dan juga dangdut, itu yang jadi “anak emas”.
Musik-musik lain, termasuk rock, ntar dulu.
Tetiba
di penghujung 2000-an, ada program televisi yang ngerock. Yang kayak
membangkitkan semanagt kaum rock Indonesia. Membangkitkan eforia. Adalah TV One
yang menggelar Radioshow. Yang makin lama, lebih memilih lebih sebagai rock
show. Macam-macam rock, bahkan heavy metal sekalipun, bisa tampil. Digelar di
panggung open air, penonton bejibun. Udah macam konser rock panggung terbuka.
Makin
rock saja, bahkan makin metal! Dan akhirnya, usianya ternyata ga panjang. Pihak
menejemen televisi bersangkutan dengan tega dan sadar,mencabut nyawa program
itu. Ditutup. Yeee apalagi, kalau bukan lantaran kering sponsor. Jarang
pengiklan.
Biar
kata pake ada petisi segala, dari para musisi rock,untuk meneruskan program
itu. Pihak stasiun televisi itu susah merubah keputusannya. Radioshow tamat. Habis
cerita. Mau bilang apa lagi? Stasiun lain gimana?
Kembali
deh ke TVRI. “Kebetulan” TVRI, ya dengan gaya “tersendiri, unik, agak jadul
lucu gimana gitu”, program musik di televisinya sejatinya ga ada yang mati. Ya
ok lah, segitu aja terus. Tapi mereka tetap “pertahankan”.
Entah
gimana model perjuangan mereka. Yang pasti program musik mereka itu, tetap
jalan dan tetap beragam. Ga hanya pop dan pop, dangdut dan dangdut belaka.
Bukan nama programnya doang yang berbeda, tapi isinya ya pop dan dangdut saja Bersyukur juga lah?
Boleh
kok bersyukur, bahwa eh masih ada tempat nih buat musik-musik yang outside-mainstream music industry, bisa
nafas. Nafas dan hidup. Hidup dan menunjukkan pergerakannya di layar kaca.
Pergerakkan yang jadi bukti musik-musik itu ga mati.
Yes,
Rock Never Die. Eh Jazz too. Country? Coba deh bayangin, sampai musik Country
aja dapat porsinya lho. Stasiun televisi lain, mana mungkin? Jauh panggang dari
api, berharap ada jazz bagus, rock keren, apalagi sampai metal, bisa muncul di
layar kaca. Itu die, TVRI masih kasih tempat untuk itu.
Jadi
program tetap ya mingguan, ya dwi mingguan, atawa sebulan sekali. Ada juga yang
selang-seling gitu. Misal Minggu ini jazz, minggu depan rock, minggu depannya
blues. Terus digilir begitu.
Lumayanlah.
Ada tontonan beda kan, kalau memang
masih doyan menengok siarannya televisi lokal. Memang kan begitu, televisi
lokal pelan tapi pasti, banyak ditinggalkan publiknya sendiri. Karena “keseragaman”
pada tema, para artis dan grup band yang tampil hingga pada bentuk sajian
visualnya. Die lagi, die lagi....
Itu
yang dibutuhkan pengiklan. Yang diminta produk-produk atau advertising agency sih. Ratingnya juga kan kelihatan tinggi.
Penonton maunya yang begitu. Etapi, penonton yang sebelah mana? Tak terlalu
penting tuh.
Yang
penting, program musik “seragam”, pop en
dangdut begitu ya yang pastinya bisa mendatangkan sponsor atau pengiklan. Lebih
aman tentramlah. Bisa menutup biaya produksi kan? Emangnye, bikin program
musik, syuting, apalagi live, ga butuh biaya? Biayanya lumayan....
Sampailah
ke, ya balik deui ke program yang namanya Taman Buaya Beat Club itu. Tempat
rock, masih dikasih porsi untuk tampil. TVRI masih “berbaik hati”? Ah ya,
sebutlah saja begitu. Sekali lagi nih, bersyukurlah kita semua?
Saya
sempat nonton beberapa episode. Baik yang nonton langsung di Taman Buaya itu.
Eh iya, namanya memang begitu itu, “Taman Buaya”. Itu tempat legendaris. Bisa
dibilang semua artis penyanyi, musisi, apalagi para pemain sandiwara, sinetron
TVRI dulu ya nongkrongnya di situ semua. Buayanya mana?
Masa
artis-artis dan musisi itu, dianggap buaya? Ya ga gitu. Tapi namanya memang
disebut begitu. Jaman 1970-1980an, Taman Buaya itu populer banget. Setiap
wartawan hiburan pasti kenal dan akan tahu banget tempat itu. Janjian wawancara
biasa di situ. Atau kalau wartawan pada mencari bintang, ya kesitulah
tempatnya.
Sekarang,
jadi mencari musisi rock atau jazz, ya di situ saja? Mungkin saja, ya
nanti-nantinya bisa begitu. Tapi bagusnya, variasi pengisi acara atau bintang
tamunya, lumayan terjaga kok. Jadi, lumayan sebenarnya sebagai “tontonan
alternatif”. Bila malas keluar rumah, pengen liat televisi, nonton acara musik
bagus yang “ga biasa”, ya liatlah program itu saja.
Kayak
kemarin itu, ada Daddy’s Day Out segala main di situ. Band dengan musik se-“meriah”
begitu, bisa juga muncul di televisi. Meriah apa ramai? Ramai, bukannya keras?
Yoih, kan grup rock yang cenderung rada metal. Rock berbau metal.
Metal
juga, tapi suasananya rock. Sebenarnya metal atau rock? Emang beda, rock dan
metal? Sudahlah, yang pasti ada Daddy’s Day Out, dipimpin langsung sang
kumendan, EMIL, sebagai gitaris dan penyanyi. Doi konseptor utamanya juga kan?
DDO
asyiklah, saya aja suka. Masak pada ga suka? Tapi mucnul di televisi, ditonton
penduduk Indonesia, dari Sabang sampai Merauke. Seberapa banyak yang suka?
Kalau acara itu konsisten, terjaga intensitasnya, bukan mustahillah siapapun
yang tampil di acara itu. Sekeras apapun musiknya. Pastinya, akan banyak aja
orang yang suka.
Setuju
kan? Perkara konsistensi saja. DDO itu apa lagi ga seriusnya? Total mainnya.
Ajak bintang tamu segala, Ezra Simanjuntak dan Tyo Wahono dari kelompok Zi
Fctor. Walah, musiknya tambah menyala-nyala. Puanasss sudah suasananya.
Panas
lah, DDO itu abis-abisan woro-woro kesana-kemari, ngundang banyak penonton.
Maka puluhan fansnya datang, asyik menonton, seneng banget. Pake mengangkat
spanduk-spanduk segala. Udah kayak nonton konser outdoor beneran! Seru aje.
Yang
agak kurang seru, nah ya soal konsistensi itu. Kalau memang ke rock maunya, ya
bagusnya yang tampil ya rock semua. Karena kemarin itu, DDO kelewat “keras,
galak, liar, panas”, kalau dibanding band pembukanya. Terlalu renyah, kalau
disandingkan dengan DDO yang “penuh vitalitas dan tenaga” begitu....
Jangan
salah pilih, Inkonsistensi, bisa bingungin penonton tentu saja. Lagipula,
kasihan kalau yang datang menonton langsung penonton yang penegn rock, eh ada
grup non rock yang main? Apa kata dunia?
Lucu
jadinya, kalau saya pikir-pikir nih. Menulis kok ya ngritik TVRI? Mereka udah
puluhan tahun di situ, pengalamannya mah udah yang paling panjang. Mereka pasti
tahu dan paham banget, apa yang mau mereka sajikan, mau hidangkan ke
penontonnya dong.
Emangnya
tulisan “iseng” begini dari saya, dianggap gitu atau dibaca orang TVRI? Jangan
kata orang TVRI jack & jill, jangan-jangan band-band utama yang tampil
juga ga merasa penting-penting amat ada yang mau menulis mereka? Skeptis amat,
coy? Ya ga sih, cuma suka kepikirannya aja.
Kepikiran
sih, TVRI bisa dikritik ga? Kalau DDO kan temen-temen baek banget. Udah kayak “saudara
seiman”. Biar gitu juga, memangnya mereka sempat membaca catatan saya? Ya baca
dong.... Yakin golagokin, pak Musikin yang tukang mesin. Ha ha ha.
Tapi
TVRI nya itu. Gimana ya? Sayang kan, mereka aja yang mau peduli lho. Well,
perjuangannya pasti berat sebenarnya. Ya kan? Tapi kepedulian mereka, lantas
disempurnakan. Kenapa tidak sih?
Biar
lebih banyak grup-grup rock lain, juga dapat kesempatan tampil. Coba juga, TVRI
rajin dan gencar aja promoin acara itu. Masak sih, penontonnya ga ada. Atau ga
bertambah-tambah? Mau liat rock dimana lagi, kalau di televisi? Sapa tahu, rock
di TVRI sukses, eh jadi inspirasi buat stasiun-stasiun televisi partikelir biar
ga “segitunya” lah sama musik-musik “pinggiran”....
Ya
sutralah. Sampai ketemu di episode berikutnya saja. Biar tambah meriah, tambah
ramai, tambah seru. Banyak kok yang seru-seru yang lainya, bukan hanya DDO
doang. Tinggal TVRI nya mau .... “bergaul” aja sih. Biar lebih paham sikon saat
ini.
Boleh kita support juga TVRI lah. Biar lebih baik lagi. Yang saya suka juga, kemarin setting atau design tata lampunya, model tata lampu yang didesain untuk indoor show. Dari spotting sampai pilihan jenis lampu. Kalau lihat langsung sih okeh. Ga tau ya kalau lihat di televisinya. Harusnya sih asik dan enak juga dilihat.
Yok
ah. Salam Rock (dan juga Jazz)! /*
2 comments:
tempat lokasi taman buaya biet club itu dimana ya agan?
Lokasi tepatnya, di dalam areal Stasiun TVRI Pusat, di kawasan Senayan, JAKARTA
Post a Comment