SIX STRINGS,
yang teteup bergitar dengan dawai. Tapi udah ga enam gitaris lagi. Sekarang
berlima saja. Tapi kan Six Strings
harusnya, gitarisnya juga enam? Sekarang “tinggallah” I Dewa Gede Budjana, Aria
Baron Suprayogi, Tohpati Ario Hutomo, Ibrahim “Baim” Imran dan Eross
Chandra.
Jadi
berlima nih? Di komen Baron, pada postingan foto saya di Facebook, ia menjawab,
Satu
Diitendang jauuh ke planet sebrang.. biar dewasa merantau.. biar semakin matang
dan dewasa. Now welcome to free people was great talent n great attitude.
Menurut Baron, saat sebelum show,
ya berlima. Dan kita membuka diri, mengajak gitaris lain. Yang punya keunikan,
yang kita berlima sepakati bisa kita ajak. Kali ini, sambungnya, kami mengajak
Nissan Fortz. Karena perjuangannya, unik dia. Main keliling, kemana-mana.
Kemarin ke Lombok, berjuang sendiri. Jadi kita ajak.
Nissan Fortz, lantas jadi solo performer pembuka. bluesy, agak folk. Ia belum lama juga merilis album, Day By Day. Agak mengingatkan saya dengan solo guitarist “pejuang”
lain. Temen lama, dari DKSB, kang Ary
Juliant. Yang kerapkali mengembara kemana-mana, sorangan. Sekarang berdomisili di Lombok. Eh, masih di Lombok ga?
Dan lantas, Six Strings naik
panggung. Didukung Riyandi Andaputra
(drums), Fajar Adi Nugroho (bass)
dan Marthin Siahaan (keyboard).
Membuka dengan lagu yang jadi juduldebut album mereka, I Got You Back. Yoih, mereka emang lumayan serius nampaknya dengan
proyek kumpulan gitaris ini. Album perdana dirilis 2014 lalu.
Saya menonton mereka, pertama kali
di HUT Indosiar yang syuting live-nya diadakan di MEIS, Taman Impian Jaya
Ancol. Itu tahun 2013, kalau tak salah ya. Saya pikir, saat itu, ini proyek “seru-seruan”
aja. Serius? Mungkin-mungkin aja. Tapi apa bisa diseriusin sih?
So sorry jack, semua gitaris sibuk. Project masing-masing
wuih. Budjana dengan GIGI dan berbagai solo albumnya. Begitupun halnya dengan
Tohpati, salah satu gitaris yang paling banyak solo albumya. Baim, dengan trio
bluesnya sebagai solo projectnya.
Belum lagi grup “dansa”nya, the Dance Company. Eh itu grup band kok, bukan grup
dansa-dansi. Tapi kenapa juga ambil nama begitu?
Aria Baron, tak kurang pula
kesibukannya. Menjadi produser banyak rekaman pop. Belum lagi dengan berbagai
konsep solo projectnya, salah satunya Violet Jessica namanya. Eross Chandra,
setali tiga uang. Sheilaon 7 nya juga lagi seru-serunya jalan kemana-mana.
Waktu itu ada gitaris keenam
mereka, paling muda coy. Andre Dinuth
namanya.Ia salah satu gitaris muda, session player, yang main di banyak band.
Seperti band-band pengiring banyak artis rekaman.
Tapi eh mereka cukup serius
nampaknya. Semua berusaha untuk bisa menyisipkan waktu, untuk menjalankan Six
Strings ini. Main di Red & White Lounge misalnya, di Yogyakarta. Dan ya
rilis album, dengan konser pula.
Ini grup awalnya dari grup whats app messenger para gitaris.
Biasanya hanya saling lempar info soal alat-alat. Ya gitar-gitar dan segenap
asseosirsnya. Nah, awalnya itu hanya 6 orang itu yang lantas setuju untuk main
bareng.
Uniknya, dari keenam gitaris itu,
eala semua juga terbilang, gitaris yang kolektor gitar semua. Nafsu belanjanya
tinggi mek. Kagak boleh liat atau denger ada gitar kinclong, bagus, licin. Mau
gitar baru kek, apalagi gitar yang “bersejarah”....
Dan kayaknya, ide ngumpul sampai
main bareng ini, “ngelebarin” konsep Trisum
kali ya? Yang dengan Dewa Budjana, Tohpati dan Wayan Balawan itu? Trisum sendiri muncul di pertengahan 2000-an.
Dengan itu juga diawali duo Budjana dan Tohpati kan?
Sebelumnya, Tohpati sendiri pernah
terlibat dengan trio sejenis. Bersama Donny
Suhendra dan Oele Pattiselanno. OTD Blues namanya. Mereka antara lain
pernah main di Bandung tuh, dengan ada Guitar Orchestra, 50 gitaris segala, di
tahun 2001.
Info lain, yang model rame-ramean
gitu, ada juga bass. Para bassis suka juga main model barengan gitu, antara
lain kayak Bintang Indrianto, Indro Hardjodikoro dan AS Mates, yang pernah membentuk B3, itu
juga awal 2000-an. Kemudian Bintang melanjutkan dengan Akordeon, dimana Bintang bermain dengan bassis lain, Rindra Risyanto Noor dan Roedyanto Wasito.
Jangan lupa tentunya dengan Bass Heroes, yang bikin konser, main
juga di televisi dan menghasilkan album rekaman. Ini isinya 12 bassis. Itu
awalnya di tahun 2006. Bass Heroes, berlanjut lagi dengan project kedua di
tahun 2016 ini. Namun dengan pergantian formasi.
Begitupun halnya dengan instrumen
lain. Drums, blowers atau
pemain-pemain tiup. Juga kibordis-kibordis. Tapi memang kan, sebagian besar
lebih pada bentuk model jammin’
sesaat. Misal untuk sebuah pergelaran khusus. Atau, sebagian juga muncul pada
acara pameran alat musik.
Kembali ke Six Strings. Iseng-iseng
jadi sungguhan nih? Baim berseloroh dari atas panggung, gile, penonton The
Dance Company aja ga sebanyak ini. Penonton kemarin di Bentara Budaya, yang
memenuhi acara Musik Kamisan itu, memang ribuan. Areal penonton benar-benar
jadi padat dan sesak. Ga menyisakan tempat yang “enak” deh.
Apalagi, tempat yang “nyaman” buat
motrat-motret. Padat-datlah. Keliling memutari areal penonton, gerah dan lelah
juga dan....nyaris tak sukseslah!
Menarik juga sih, tontonan atraksi
enam gitaris begini, pastinya lebih banyak instrumental dong. Cuma mampu
mengundang ribuan penonton yang rela menonton berdesak-desakkan dan tak
beringsut. Kagak pade mo pulang...Padahal Six Strings menyuguhkan tak kurang
dari 12 lagu lho....
Mulai dari sekitar jam 20.00 WIB.
Agak molor juga sedikit, karena hujan sempat menetes. Rada ribet kalau hujan
beneran, karena panggung beneran open air.
Tak ada tenda sebagai penutup, di areal panggung maupun areal penonton.
Biar gimana, Six Strings jadi
tambah asyik, maksudnya untuk ditonton sekaligus didengerin, di atas panggung,
juga karena barisan rhythm sectionnya. Ketiganya juga pemain-pemain yang
lumayan sibuk. Martin Siahaan, session player yang berkeliaran juga. Apalagi
yang namanya, Yandi Andaputra. Ia belakangan juga sibuk menjalankan proyek Dua Drum nya dengan drummer muda
sepantarannya, Iqbal a.k.a Yoiqball
Sementara Fajar Adi Nugroho,
sebelum ini juga session player lumayan laris. Ia baru sekitar seminggu balik
dari USA Tour bersama grupnya saat ini, Gugun
Blues Shelter. Ia mengatakan, emang sih masih rada-rada jetlag gimana, udah
harus latihan sama Six Strings. Dan langsung main!
Tak bisa dilupakan juga, peran
serta pendukung vital lain. Apalagi kalau bukan alat-alat pendukung alias backlines, misalnya deretan amplifiers.
Atau juga sound. Yang diediakan oleh DSS.
Mana lagi, Donny Hardono, juragan
utama DSS sendiri yang turun tangan sebagai sound-engineer.
Nonton jadi nyaman dan tentram. Sesak-sesak dikit ah terimalah....
Lima atau enam gitaris, main
bareng. Efektif dan efisien. Tahan-tahan ego. Saling menghormati. Tak harus
keras semua, ga sampai ada yang merasa tak mau kalah keras. Ga ada yang kayak begitu.
Jadi nyaman disimak, diterima kuping.
Six Strings, pada perjalanannya
emang sudah jadi kayak keluarga saja. Itu diakui oleh Eross Chandra di saat
press conference, sebelum pentas pada Kamis 12 Mei kemarin itu. Tak hanya
obrolin gitar saja di antara kami, juga keluarga masing-masing.
Ini lebih sebagai tema
kangen-kangenan kami. Soalnya sudah cukup lama emang kangen main lagi, karena
kesibukan kami masing-masing kan, jelas Baim. Selain itu, mereka juga tengah
menyiapkan diri untuk mengerjakan album kedua. Udah masuk? Baim dan Baron mengatakan,
mereka memang akan menyiapkan waktu untuk proses itu.
Proses album, rasanya akan seperti
debut album. Ada satu dari antara mereka yang diplot jadi kumendan lapangan.
Kalau album pertama, Tohpati yang dapat posisi itu. Keberadaan satu penanggung
jawab terhadap hasil musik keseluruhn, akan membuat mereka dapat menahan diri
masing-masing. Jadi ada yang ngatur dan ngingetin kan, jelas Baron.
Ya kalau ga begitu, rekaman bisa ga
selesai-selesai. Ego masing-masing keluar, ya repot. Tapi masing-masing dari
Six Strings memang wajib berkontribusi, misal menyetor lagu. Dasarnya tetap
album barengan kami. Apakah album nanti, jadi berlima saja?
Nah pertanyaan itu, belum sempat
tuntas dan jelas dijawab. Bisa saja ya begitu? Ga papa juga kok. Toh mereka
berlima memang terkesan sehati, seia-sekata... Ya kawin aje! He he he. Lagu, ‘Bendera’
sebagai penutup konser mereka membuktikan itu.
Kerasnya, rada rocknya dapat. Tapi
harmonisasi dan dinamika lagu tetap terjaga. Lagu memang tetap tak ditinggalkan
unsur-unsur heroiknya. Terasa kok semangatnya. Seperti ketika mereka juga
memainkan lagu, ‘Pesawat Tempur’nya Iwan Fals. Ngerock tapi tak jadi kelewat
bising, karena lima gitaris kan? Ga harus lah semua beraksi maksimal, kelewat
semangat untuk menunjukkan kepiawaiannya. Lima gitaris berdistoris dengan
volume “sekeras mungkin”, apa jadinya?
Bahasa kerennya, saya rasa mereka
sudah mampu “mengendalikan” peralatan tempurnya masing-masing. Gitar mereka
masing-masing menjadi efektif, efisien, menghibur dan menyamankan kuping dan
hati penonton. Apa ada yang kurang?
Kurang penyanyi kali? Ga terlalu
perlu, ada Baim cukup sudahlah. Walau jadi terpaksa “membelot” bawain lagunya
Sheila on 7. Seru-seruanlah ya. Abis ini, dikejar-kejar bini masing-masing
karena kegetolan mereka belanja gitar dan asesorisnya?
Budjana berseloroh bilang, Baron
nih yang sering kasih info bahwa beli ini dan itu yang bagus. Eh pas kita main,
dia malah ga bawa apa-apa! Kita kemakan saran dia, belanja, jadi ngadepin
omelan istri masing-masing. Itu juga pernah diungkapkan Budjana sebelum ini.
Akhirul kata, tontonan Six Strings
itu, jadi tontonan selingan yang sehat dan segar. Ada sensasi, lima gitaris
dengan nama-nama besarnya. Musiknya juga rock, pop, jazz, blues. Komplitlah. Jadi, kudu diterusin? Terusin apa
diseriusin? Emang mereka masih keliatan kurang serius?/*
No comments:
Post a Comment