Sunday, April 2, 2017

The Living Legend, Benny Mustapha. Karir Musiknya sudah 60-an tahun

Here are the real living-legend, the real master. Would you welcome, Mister Benny Mustapha van Diest.
Mas Benny Mustapha, atau oom Benny, begitu ia biasa dipanggil. Adalah sosok drummer legendaris Indonesia. Bisa disebut sebagai salah satu “aset bangsa” yang tersisa. Dengan rentang karirnya sedemikian panjangnya....
Betapa tidak panjang, kalau ia telah mulai naik panggung sebagai drummer sejak pertengahan 1960-an? Jadi, kalau dihitung sampai sekarang, sudah lebih dari 50 tahun! Dan saat ini usianya sudah...08, tapi dibalik, begitu candanya suatu ketika di atas panggung saat ditanya berapa usianya.
Benny Mustapha van Diest kelahiran Jakarta pada 22 September 1939. So artinya, dua tahun lagi ia sampai di usia 80 tahun. Tak lagi muda, tentu dong. Tapi enerjinya, semangatnya, jelas banget haruslah ditiru. Sangat layak menjadi inspirasi dan motivasi, buat yang lebih muda....
Satu yang sangat khas pada penampilan seorang Benny Mustapha adalah keramahannya. Ia selalu terlihat santai, tapi begitu semangat kalau jelang naik panggung. Ramah, karena ia tak pernah malas membalas sapaan orang...
Namanya memang lekat betul dengan sejarah jazz di Indonesia. Ia adalah sosok ikon jazz Indonesia yang masih tersisa, sejak 1960-1970-an. Dan ketokohannya sebagai ikon jazz, dimulai sejak keterlibatannya dalam Indonesian All Stars.


Ini saya ambil sebagai cuplikan, tulisan tentang Indonesian All Stars dengan Benny Mustapha di dalamnya. Saya ambil dari wikipedia...

Pada tahun 1967 bersama Jack Lesmana, Bubi Chen, Maryono dan Jopie Chen tergabung dalam grup musik Indonesian All Stars. Dalam perjalanannya bersama Indonesian All Stars, mereka berkenalan dengan Tony Scott, pemain klarinet asal New York, Amerika Serikat, yang kebetulan pada saat itu sering wara wiri ke Indonesia. Selama 6 bulan mereka sering bertemu hingga akhirnya tercetus ide untuk menggabungkan musik Barat dan Timur. Tony Scott memang sangat tertarik dengan musik tradisional Indonesia seperti gamelan, suling, tetabuhan tradisional dan siter. Setelah itu Tony Scott mengajak Indonesian All Stars untuk menggarap sebuah album kolaborasi yang bertema Timur bertemu Barat. Pada saat yang bersamaan juga, berdekatan diselenggarakannya Berlin Jazz Festival, dan kemudian berangkatlah Indonesian All Stars tampil di Berlin Jazz Festival dan sekalian membuat album di sana. Rekaman dilakukan di Villingen-Schwenningen, Black Forrest pada tanggal 27 dan 28 Oktober tahun 1967. akhirnya terciptalah album tersebut dengan judul Djanger Bali.


So, Benny Mustapha, Indonesian All Stars dan Djanger Bali. Bisa disebut, itu salah satu momen penting bagi pergerakan jazz Indonesia. Dimana memang hanya tinggal tersisa seorang Benny Mustapha saja, dari formasi legendaris tersebut, di saat ini.
Syukurlah, bahwa rekaman vinyl atau piringan hitam legendaris itu sudah berhasil dilakukan remixing lantas dapat dirilis kembali. Sehingga generasi muda, ya juga semua yang masih berkesempatan bernafas teratur di hari ini, punya kesempatan mendengar. Menyimak. Lalu menikmati album fenomenal tersebut.
Sekaligus berarti kita memiliki referensi bagus dari permainan para musisi legendaris tersebut, yang sebagian besar telah tiada itu. Terutama tentunya, memberikan gambaran seperti apa penampilan permainan Benny Mustapha. Rekaman album yang mahal tuh.
Mahal, karena momennya. Masuk dalam catatan sejarah penting. Langka juga, karena ada berapa kali sebenarnya seorang Benny Mustapha punya kesempatan rekaman? Namanya sedemikian besar, ketokohannya jelas, tapi apakah Benny Mustapha pernah berkesempatan menghasilkan album rekamannya sendiri?
Benny Mustapha pernah berkelana di negeri paman sam, serta juga ke beberapa negara Eropa dan Afrika. Di tahun 1963, ia sempat bergabung dengan sebuah kelompok pop, yang isinya itu rata-rata lantas lebih dikenal sebagai jazzer, grup Eka Sapta.
Dalam Eka Sapta, Benny Mustpha bergabung dengan Bing Slamet, Ireng Maulana, Idris Sardi, Dharmono, Khamid dan Ietje Kumaunang. Eka Sapta memang hanya didukungnya sesaat, ia lantas digantikan Eddy Tulis. Tapi grup musik itulah, yang memperkenalkan namanya di pentas musik.
Walau karir musik profesionalnya sejatinya dimulainya sejak sekitar 6 tahun sebelumnya, dimana ia mendukung kelompok musik Quinta Nada. Itu grupnya pertama, setelah ia belajar bermain drums dengan Bart Risakotta, drummer yang dikenal lewat Nick Mamahit Trio.
Saya pribadi sudah mengetahui dan menikmati permainannya sejak, awal 1980-anlah. Eh mungkin juga sebelumnya, melihat permainannya di televisi, TVRI waktu itu. Dan sejak melihat itu, lalu tahun ke tahun, terus “menemui”nya di acara-acara jazz, saya berpendapat aduh bung Benny ini jazz banget! Ia itu tipikal drummer jazz “tulen” di pentas musik Indonesia.
Dan apa karena sifat low profile-nya ya, ya paling tidak itu yang saya rasakan selama ini, sehingga seorang Benny Mustapha itu sekian lama tak begitu “dikenal” kalangan pers. Iapun memang memperlihatkan, ketidak-dekatannya dengan kaum pers. Misal, sulit menyebut nama wartawan tertentu, bahkan wartawan yang sangat senior sekalipun.
Well, karena jazzer ya? Orang tua? Sehingga luput dari jeprat-jepret kamera ataupun, todongan tape-recorder dan mikrofon berita televisi? Kok ya rada diskriminatif kesannya? Yah begitulah.... Ah, sorry to say.
Padahal ia pun terlibat pula dalam rombongan jazzer Indonesia, yang mengguncang arena Expo 70 di Tokyo. Ia mendukung Indonesia Lima, dengan Mus Mualim, Tjok Sinsoe, Maryono dan Sadikin Zuchra. Dengan bintang tamu khusus, Idris Sardi.
Saat itu Mus Mualim, Idris Sardi dan kawan-kawannya juga menyodorkan apa yang disebut jazz-timur. Antara lain dengan menyuguhkan lagu, ‘Es Lilin’ dalam balutan jazz, tanpa menghilangkan nuansa Sundanya. Persis seperti yang disuguhkan juga oleh Indonesian All Stars di Belin, tiga tahun sebelumnya.

Jadi begitulah, drummer legend ini memang ada di antara grup-grup penting dalam sejarah jazz negeri kita. Yang penampilan grup-grupnya itu, dicatat oleh kaum kritikus musik barat. Well dan notabene, lagi-lagi dari grup yang ke Jepang itu, tinggallah Benny Mustapha yang masih ada. Dan, masih eksis sebagai drummer!
Lalu melewati pertengahan 1970-an, Benny Mustapha juga mendukung pasangan Jack dan Nien Lesmana, dalam menyelenggarakan acara jazz rutin di Taman Ismail Marzuki. Acara jazz itu, awalnya, kabarnya, hanya ditonton oleh segelintir penonton. Mereka memang agak “nekad” ya, mempertontonkan jazz di saat itu. Bener-bener pejuang...
Title acara saat itu ada Musik Jazz, Nada dan Improvisasi, Musik Jazz Dulu dan Sekarang, Jazz Jazz Jazz sampai Jazz Saja. Dan nama lain. Nama-nama acara itu menurut saya bagus dan “jazz banget”. Sampai-sampai saya pernah “mengambil”nya, sebagai apresiasi, untuk menjadi program jazz reguler saya satu saat dulu, di sekitar 2000-an awal di kawasan Bintaro.
Benny Mustapha kemudian juga bergabung dalam Ireng Maulana All Stars, yang lantas banyak membawakan lagu-lagu jazz berirama dixieland dan ragtime. Grup itu berisi antara lain alm. Rony Isani, alm.Hendra Wijaya, alm. Karim Tess, alm. Soetrisno, alm. Maryono dan Benny Likumahuwa.. Dan tentu saja, juga alm. Ireng Maulana.
Ireng Maulana All Stars itulah, yang pada waktu kemudian menjadi “gerbong utama” dari pergerakan Ireng Maulana Associates, yang sekaligus bertindak sebagai semacam artist and band agency. Mereka memasok grup-grup, penyanyi jazz untuk mengisi program entertainment di banyak cafe, bar dan pub di ibukota.
Ia sebelumnya sempat juga bermain dengan grup dixie lainnya, bersama Jack Lesmana, Didi Tjia, Benny Likumahuwa, Soetrisno, Oele Pattiselanno. Mereka dibentuk untuk bermain di Hotel Borobudur. Ada Pendopo Bar di hotel itu, yang pada masa itu dikenal juga sebagai sebuah kafe yang menampilkan hiburan jazz bermutu.
Demikianlah sekilas mengenai perjalanan seorang Benny Mustapha. Kemarin saya sempat menemuinya, saat ia tampil memeriahkan acara Indonesia Drums and Percussion Festival 2017, di Teater Kecil, Taman Ismail Marzuki.



Kemarin, ia berkolaborasi dengan bassis Bintang Indrianto. Sebuah kolaborasi pertama kali yang mempertemukan mereka. Walau mereka lama sudah saling mengenal. Karena ayah dari Bintang,Dicky Prawoto kerapkali bermain bareng Benny Mustapha, di era 1970-1980an.
Spirit saya itu bermain tadi ada di dia, ia lantas menyentuh dada Bintang. Bintang tersenyum lebar dan mengatakan, Benny Mustapha itu oom saya. Ya kan mainnya dulu dengan ayah saya. Benny Mustapha menimpali, ya iya keponakan saya yang saya salut dengan ide dan permainannya.
Menurut Bintang, jammin’ keduanya sih bebas dan lepas. Sempat latihan sekali. Lebih tepatnya hanya mencoba menjajaki saja, bagaimana mereka kalau bermain bareng. Maklumlah, memang baru pertama kali. Bintang sangat menghormati Benny Mustapha. Respek sepenuhnya. Dan Benny Mustapha juga memang juga mengagumi Bintang. Klop lah!
Bintang dan saya lantas mendiskusikan mengenai kesempatan rekaman. Bagaimana seorang Benny Mustapha itu, sudah selayaknyalah mendapat kesempatan rekaman solo. Maksudnya, rekaman album yang menonjolkan nama dan permainannya.
Itu perlu banget, sebagai sebuah dokumentasi dan bukti konkrit atas eksistensinya, sebagai drummer dengan karir bermusik yang begitu panjangnya. Benny Mustapha mungkin saja, drummer tertua yang tetap steady dan fit, bermain di panggung jazz di sini.
Rahasianya apa sih, bung? Sebenarnya, kenapa bermain drums dan bisa terus bertahan bermain jazz hingga saat ini? Iya, saya pengen bisa menulis lebih lengkap tentang Benny Mustapha van Diest. Belum kesampaian nih.....
Mungkin itu akan menjawab sebagian “kecil” pengharapannya, yaitu adanya penulisan lebih lengkap dan detil, sebagai bukti nyata apresiasi dan respek terhadap sejarah musik Indonesia. Dan tentu saja, terutama untuk musik jazz di Indonesia.
Bung Benny Mustapha, sehat selalu. Sampai berjumpa lagi. /*




No comments: